Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 10 Agustus 2013

Lebaran nih....(5)

Masjid Agung Tuban, icon kota Tuban.
Hari ketiga lebaran. Posisi masih di Tuban. Rencananya, siang nanti baru kembali ke Surabaya. Besok, sudah ada acara halbil di rumah, bersama teman-teman kelompok haji. So, banyak pekerjaan menunggu. Apa lagi Iyah belum balik dari mudik. Jadi musti mengerjakan semuanya sendiri, dibantu anak dan suami.

Pagi ini, setelah salat Shubuh, kami bersiap-siap lagi untuk menunaikan munajad kami. Ya, seperti kemarin. Apa lagi kalau bukan......bersepeda. Taratataaaa....

O'im dan Sa'ad sudah siap. Dua keponakan kami itu memang gemar bersepeda. Setidaknya ada bakat. O'im dan Sa'ad berusia sekitar 13 dan 11 tahun. Dari belasan keponakan kami, khususnya yang cowok, mereka yang terbesar, dan sudah memungkinkan untuk diajak bersepeda. Yang lain masih 'beyes-beyes'. Hehe.

Pagi ini kami menempuh rute yang agak berbeda dengan rute yang kami tempuh kemarin. Kalau kemarin hanya sekitar 10 km pulang-pergi, rute pagi ini sekitar 19 km. Untuk saya dan mas Ayik, itu rute ringan, tapi belum tentu untuk O'im dan Sa'ad. Maka kami membawa bekal air mineral untuk jaga-jaga kalau mereka perlu minum di tengah jalan.

Dan bercandalah kami dengan pagi yang sejuk. Kemarin kami menempuh perjalanan dari rumah langsung ke Merakurak. Saat ini, kami mengambil rute dari rumah menuju arah barat dulu, mampir di rumah adik di Banaran, baru menuju Merakurak. Jadi melingkar rutenya. 

Di Merakurak, kami akan mengambil serabeh yang sudah kami pesan kemarin. Dua puluh tangkep serabeh. Dua puluh ribu duitnya. Ya, murah bangetttt ya? Begitulah. Di sini, Anda masih bisa menemukan nasi bungkus seharga Rp. 2.000,- dan serabeh Rp. 500,- rupiah sebuah. Dengan bahan makanan yang sehat, diproses dengan relatif sehat, tanpa bahan tambahan makanan yang membahayakan bagi tubuh. Rasanya natural. Membagkitkan kenangan masa kecil. 

Saya seperti melihat sisi Tuban yang lain saat bersepeda menjelajah pedalaman seperti ini. Hamparan kebun jagung yang tanaman jagungnya mulai dari yang masih pendek, sedang, berbuah ranum siap dibakar, berbuah kering siap dipetik, semua ada. Bahkan ada juga kebun jeruk. Ya, jeruk. Kalau Tuban terkenal dengan belimbing Tasikmadu, buah srikaya, ubi dan labu kuning (waluh), siapa yang tidak tahu. Tapi ini jeruk. Mungkin ke depan, Tuban tidak hanya dikenal karena siwalannya (juga tuaknya, tentu saja), namun juga jeruknya. Siapa tahu?

Jalan-jalan di kabupaten Tuban, hampir semua beraspal mulus, bahkan sampai di pelosok-pelosok pun. Tuban memang pernah meraih prestasi sebagai kabupaten terbaik dalam hal infrastruktur. 

Berbagai industri yang sejak puluhan tahun tumbuh bak jamur di musim hujan, juga memberi perubahan yang signifikan. Penginapan, rumah makan, toko-toko, dan berbagai macam bisnis sampingan untuk melayani kebutuhan para pendatang juga tumbuh dengan pesat. Termasuk bisnis hiburan: karaouke, billyard, kafe, dan lain-lain. Perubahan musti membawa kosekuensi pada dua sisi, kebaikan dan keburukan.

Pemandangan di sepanjang jalan begitu menyegarkan mata dan jiwa. Sawah-sawah yang menghampar. Para petani yang sedang menyiapkan traktor. Air irigasi yang sedang dialirkan ke petak-petak yang akan ditanami. Para ibu bertopi lebar yang tengah mengayuh sepeda beriring-iringan. Dan....wow, matahari jingga yang begitu indah tersangkut di pepohonan. Subhanallah.... Indahnya....

Pagi ini begitu menyenangkan. Minum susu kopi di rumah adik di Banaran. Makan tempe gimbal panas sambil menunggu serabeh dan nasi pecel bungkus. Beramah tamah dengan orang-orang, dengan alam yang ramah. 

Hidup begitu lengkap. Begitu penuh warna. Begitu banyak cerita. Cerita tentang lebaran yang penuh suka cita, hanyalah salah satunya.....

Tuban, 10 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 09 Agustus 2013

Lebaran nih....(4)

Pesta nasi uduk selesai. Yang namanya pesta, jangan bayangkan dengan menu yang mewah dan berlimpah. Pesta kami hanya mengandalkan menu utama nasi uduk bungkus. Nasi uduk, lodeh kecambah, mie goreng, dan tempe goreng, yang disajikan dalam kemasan kertas lilin. Pelengkapnya adalah rempeyek kacang dan krupuk udang kecil-kecil. Juga, tentu saja, teh manis.

Selesai makan uduk, kami bersiap memulai acara selanjutnya, yaitu anjangsana, sowan-sowan ke rumah kerabat. Pakde paklik dan lain-lain. Para keponakan ikut serta. Mereka pakai baju-baju baru, cantik-cantik dan ngganteng-ngganteng. 

Siang yang terik kami sejukkan dengan menikmati setiap detik yang menyenangkan karena bertemu dengan sanak saudara. Di rumah paklik Bisri, adik ragil bapak, kami berebut dan berlomba makan gula-gula (biasa kami sebut arumanis). Ini hidangan khas yang selalu kami cari. Saya katakan khas, karena hidangan ini hanya ada di rumah paklik Bisri. Bulik Sob (istri paklik Bisri) tahu kalau kami semua gemar makan arumanis. Jadi selalu beliau siapkan setoples penuh arumanis, dan kami menghabiskannya dalam waktu sekejab.

Di rumah dik Hisyam, adik ragil saya, suguhan khasnya adalah rempeyek pedas dan minuman wedang sere. Mertua dik Hisyam tahu kalau kami mau datang, dan setoples besar rempeyek sudah beliau siapkan. Juga sepoci wedang jahe yang manis dan hangat.

Begitulah, kami mengalami kekenyangan karena kami makan terus dari satu rumah ke rumah yang lain. Sepertinya semua yang disuguhkan enak dan mengundang selera. Kemplang, keripik gayam, rengginang, kacang bawang, marning.....

Tapi tentu saja bukan makanan-makanan itu yang menjadi tujuan kami bersilaturahim. Adalah mempererat tali persaudaraan, saling berkabar, saling mengembangkan kepedulian, menjaga kebersamaan. Hampir setiap tahun kami melakukan aktivitas itu, sejak Arga masih kecil. Itulah yang diajarkan bapak ibu pada saya, dan saya ajarkan pada Arga. Ajaran itu menjadi tradisi di dalam keluarga besar kami.

Sampai sekarang pun, saat Arga sudah dewasa, dia tetap bersama kami bila melakukan aktivitas sowan-sowan itu. Seringkali teman-teman dan saudara-saudara heran, kok Arga masih mau diajak kesana kemari sama bapak ibunya. Ya, seperti otomatis saja, Arga selalu menyadari, apa tujuan datang ke Tuban, atau ke tempat lain. Ya dalam rangka silaturahim itu. 

"Barang siapa yang senang dipanjangkan umurnya, diluaskan rezekinya, dan dijauhkan dari kematian yang buruk, maka hendaklah bertakwa kepada Allah dan menyambung silaturahim." Begitulah menurut sebuah hadist. Manfaat silaturahim bahkan disebutkan ada 6, yaitu: diluaskan rezekinya, dikenang kebaikannya, dipanjangkan umurnya, khusnul khotimah, kecintaan dalam keluarga, dan kunci masuk surga. Amin YRA.

Maka, mari kita galakkan silaturahim... Apa lagi dalam momen lebaran ini. Yuk, silaturahim, yuk....


Tuban, 9 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 08 Agustus 2013

Lebaran nih...(3)

Mampir, menikmati  nasi boranan khas Lamongan.
Pagi, adzan subuh menggema. Hari kedua lebaran. Kami bertiga bangun, melakukan ritual pagi, bersiap melaksanakan munajad kami. Apa lagi kalau bukan......bersepeda. Taratataaaaaa......

Tapi Arga mengingkari janji. Sebenarnya tidak mengingkari janji. Dari kemarin dia sudah bilang kalau ingin memburu sunrise di pantai. Maka selepas salat, dia langsung melesat menuju pantai, lengkap dengan peralatan fotografinya.

Kami tidak jadi bersepeda bertiga, tapi berempat. Lho? Ya, kedua keponakan, O'im dan Sa'ad, ikut serta. Mereka kami minta untuk mengenakan jaket, karena pagi masih dingin. Teringat kapan itu, waktu O'im ikut kami bersepeda, dia 'njebeber' kedinginan karena tidak mengenakan jaket. Terus batuk-batuk....uhuk uhuk....

Maka berangkatlah kami menembus pagi yang masih gelap. Sawah di kanan-kiri, pepohonan di sepanjang jalan, dan makhluk-makhluk kecil yang namanya 'samber moto', menemani perjalanan kami. 

Tujuan kami jelas. Nasi uduk dan serabeh Merakurak. Jarak tempuh, untuk 5 kilometer itu, biasanya tidak sampai tiga puluh menit. Mungkin untuk pagi ini kami tempuh sedikit lebih lama, karena kami membawa pasukan anak-anak kecil itu.

Alhamdulilah, meski serabeh tidak buka, tapi nasi uduknya buka. Yang ngantri, wow....bakule sampek gak ketok bokonge. Kami mengambil beberapa buah tempe goreng yang masih hangat, tiga gelas teh panas, dan secangkir kopi. Sambil menunggu nasi uduk bungkus, kami menikmati hidangan itu, duduk-duduk di bale-bale, sebuah tempat duduk dari bambu. Nikmat nian......

Kami juga memanfaatkan menemui Sumarno dan Thoifur, dua teman SMP dan SMA saya, yang rumahnya di sekitar itu. Bertemu dengan anak istrinya, serta dengan orang tuanya. Bapak ibu mereka, yang sudah sepuh-sepuh, bahkan sudah ada yang bungkuk, nampak bahagia sekali dengan kunjungan kami. Mereka semua ikut 'njagongi' kami. Mereka juga menyilakan kami untuk singgah setiap kali mudik, meski pun mungkin Thoifur dan Sumarno sedang tidak di rumah. Indahnya silaturahim....

Nasi uduk, 23 bungkus, sudah siap dibawa pulang. Sepeda kami kayuh lagi. Ditemani matahari yang mulai menggeliat dan membagikan sinarnya yang hangat, kami melaju, menyibak kebekuan pagi. 

Sebentar lagi pesta nasi uduk. Kalau biasanya kami hanya minta Rp. 2.000,- per bungkus, kali ini kami minta Rp. 2.500,-. Jadi porsinya sedikit lebih besar. Padahal dengan dua ribu rupiah sebungkus itu saja sudah kenyang. Tapi tidak masalah. Sedikit kekenyangan tidak apa-apa. Ini kan lebaran?

Tuban, 9 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Lebaran nih....(2)

Rencana sowan-sowan ke tetangga-tetangga batal. Perumahan sepi nyenyet. Kata pak satpam, semua mudik, hanya satu rumah saja yang tidak mudik. Tetangga-tetangga di kampung juga sepi. Sebagian besar juga mudik atau sedang berkunjung ke rumah saudara-saudaranya di luar kota. 

Ya sudah. Demi memanfaatkan waktu, kami mengubah agenda. Rencana ke Tuban yang awalnya besok, kami ajukan. 

Sore ini juga kami melaju ke Tuban. Dengan membawa serta tiga buah sepeda lipat, ini 'klangenan'nya mas Ayik. Cita-cita kami, besok pagi, selepas subuh, tiga sepeda itu akan kami kayuh bertiga, ke Merakurak. Apalagi kalau tidak demi nasi uduk dan serabeh. Kalau ini, klangenan saya. Juga klangenan semua.

Masuk tol Gunungsari sampai keluar pintu tol Bunder, jalan relatif lengang. Tapi begitu keluar dari tol, mobil-mobil pribadi dan sepeda motor cukup padat. Beberapa kali sempat kena macet.

Haduh. Tiba-tiba terjadi kecelakaan di depan mata. Meski dari arah berlawanan, nampak jelas di depan mata. Sebuah sepeda motor tertabrak sepeda motor yang lain. Penumpang yang ditabrak itu, seorang laki-laki menggonceng istri dengan anaknya yang masih bayi dalam gendongan ibunya. 

Saya ngeri membayangkan apa yang terjadi pada mereka, terutama pada si bayi itu. Syukurlah, nampaknya tidak terlalu parah, mudah-mudahan. Setidaknya saya melihat, si ibu bisa langsung bangkit, dibantu orang-orang, dan bayi itu tetap dalam gendongannya. Si suami, begitu bisa bangkit setelah ditolong orang-orang, langsung menghambur ke arah anak istrinya. Tidak mempedulikan laki-laki yang menabraknya. Orang-orang sudah mengurus laki-laki itu.

Hhhh.... Sejenak saya bernafas lega. Kemacetan begitu saja terjadi pada jalur kanan. Kami terus melaju. Tidak akan melambatkan mobil hanya sekedar untuk menonton kecelakaan itu. Kecuali akan menyebabkan macet, juga tidak etis, orang kemalangan kok ditonton. 

Gerimis turun begitu kami memasuki Lamongan. Awalnya kami heran, kok bakul-bakul nasi boranan di pinggir jalan itu pada berlarian. Kami pikir ada obrakan, ternyata mereka menghindari hujan. Bernaung di bawah emperan toko yang lagi tutup, menggelar lapak nasi borannya di sana. 

Kami berhenti di tempat kerumunan nasi boranan itu. Nasi boranan, nasi putih, urap, berbagai lauk pilihan, dan dibubuhi bumbu semacam bumbu bali, yang pedas rasanya. Yang khas adalah ikan sili, sejenis ikan kali, yang dipanggang. Juga ikan kutuk (ikan gabus) goreng, yang dicelup ke dalam bumbu yang pedas itu. Lauk khas lainnya, gimbal empuk, sate uritan, telur dadar, telur asin, dan udang goreng.

Saya melahap seporsi nasi boranan. Arga dan mas Ayik, seperti biasa, tak pernah cukup hanya dengan seporsi. Mereka habiskan dua pincuk nasi boranan, tandas.

Gerimis ternyata tidak lama. Gerimis parlente. Kami melanjutkan perjalanan. Ternyata sejak dari Lamongan kota, sepanjang jalan basah. Gerimis sesekali rapat. Memasuki kota Tuban malah disambut hujan deras. Sejuk semilir. Sesejuk hati kami yang sebentar lagi bersua dengan para pujaan hati, ibu, mas-mas, mbak-mbak, adik-adik, keponakan-keponakan.

Masuk halaman rumah kami yang besar, ternyata ada banyak sepeda motor parkir di mana-mana. Ya, ini lebaran pertama. Rumah kami, sejak siang, selalu dipenuhi dengan para santri, para siswa, mantan santri, mantan siswa, para wali kelas, dan juga para ibu jamaah pengajian. Kami langsung mengarahkan mobil ke halaman belakang rumah induk. Parkir di depan rumah kakak kedua saya, mas Zen. Tidak berbeda jauh. Rumahnya juga dipenuhi para tamu. 

Akhirnya malam itu, kami bersua dengan banyak orang. Saya langsung bergabung di ruang tamu putri, setelah bersalaman dengan ibu, mas-mas dan mbak-mbak serta para keponakan. Tamu-tamu itu, sebagian kecil adalah teman masa kecil saya. Setidaknya, mereka masih ingat Luluk kecil yang sekarang sudah menjelma menjadi Luluk jumbo...haha.

Saya hanya sebentar bergabung dengan mereka. Saya lantas menarik diri ke ruang makan di belakang, berkangen-kangenan sama saudara-saudara. Mbak ipar saya, mbak Uma, menyiapkan menu nasi pecel plus tempe gimbal dan ayam goreng. Meski perut kenyang, tak kuasa juga hati ini untuk tidak menikmati lezatnya pecel sayuran dan teman-temannya. Apa boleh buat. Sebulan puasa kan? Dan ini sedang lebaran...

Tuban, 8 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Lebaran nih....

Pagi, adzan subuh bergema. Saya 'njrantal' bangun dari lelap saya. Maunya langsung ke kamar mandi, tapi ternyata kamar mandi yang hanya satu-satunya itu sedang terisi. Mas Ayik terdengar lagi 'jebar-jebur'. Maka saya langsung ke belakang, mengambil air wudhu, sholat di mushola. Sementara ibu dan Rini, adik ipar saya, sudah 'uplek' di dapur. Memanaskan opor, sambal goreng, rendang, bikin teh, dan entah apa lagi... Aroma wangi macam-macam makanan itu menusuk hidung, merasuk ke dalam kekhusyukan sujud saya.

Sejak semalam kami 'ngumpul' di rumah Tanggulangin. Saya sekeluarga, Dedi sekeluarga, Iwuk sekeluarga, dan bapak ibu. Rumah kecil ini jadi penuh oleh kami bersebelas. Bukan hanya karena jumlah kami yang cukup banyak, tapi juga karena ukuran kami yang hampir semua jumbo atau bahkan superjumbo. Benar. Hanya bapak dan dua cucu kecilnya, Chiro dan Gendis, saja yang berukuran kecil. Selebihnya ukuran jumbo dan superjumbo. Saya, alhamdulilah, masih masuk jumbo, belum termasuk superjumbo. Hehe.

Kami bersiap. Bergantian mandi, ganti baju, nyambi nyapu, nyiapin meja makan, dan sebagainya. Mas Ayik memandikan bapak dan membantu bapak berbusana. Bapak ingin salat 'Ied di masjid, meski sebenarnya jalan saja susah. Tidak masalah. Ada mobil yang nanti bisa membawa bapak, meski jarak rumah ke masjid tidak sampai 150 meter. Jarak segitu, sudah terlalu jauh untuk kondisi bapak. Jadilah mas Ayik, bapak, ibu, dan Dedi bermobil, sambil membawa kursi untuk duduk bapak ketika salat. Saya dan yang lain berjalan kaki, menuju sumber suara yang menggemakan takbir. Allahu akbar 3x. Laailaaha illallahu allaahu akbar. Allaahu akbar wa lillahilhamdu.

Usai salat 'Ied, seperti biasa, kami sungkem kepada bapak ibu, dimulai dari mas Ayik sebagai anak tertua, saya, adik-adik, terus cucu-cucu. Belum tuntas sungkem-sungkeman, tamu sudah mulai berdatangan. Tapi acara sungkem lanjut saja. Tamu-tamu juga pada sungkem ke bapak ibu.

Di perumahan ini, bapak ibu terhitung warga yang paling sepuh, sehingga menjadi jujugan bagi tetangga-tetangga. Selain itu, ada kebiasaan memberi angpau pada anak-anak kecil. Jadi anak-anak kecil pun kemriyek pada ke rumah, dan dik Diah, adik ipar saya, bertugas membagi angpau, uang baru-baru. Postur dik Diah yang besar, cocok sekali untuk peran itu....hehe. Layaknya juragan yang sedang bagi-bagi uang untuk para pekerjanya....

Tak berapa lama, kami kedatangan tamu agung. Sahabat kami, mas Rukin Firda, dengan dua putranya yang cakep-cakep, Lodi dan Nana. Yunie, istri mas Rukin, sedang jaga rumah ditemani anak wedok, Chacha, supaya tetap ada yang menerima tamu di rumah. 

Kami hanya 'jagongan' saja. Anak-anak ditemani Arga, di teras depan. Kami para orang tua ngobrol di gazebo. Sebenarnya kami mau mengajak makan pagi mas Rukin dan anak-anak, dengan menu kupat dan opor ayam. Ternyata menunya sama dengan menu di rumah mas Rukin. Yunie masak opor ayam juga. Meski bukan kupat, tapi lontong, sama saja, beda bungkus. 

Setelah tamu sepi, dan nampaknya siang ini tak akan banyak tamu, karena--seperti pada umumnya di perumahan--para penghuninya banyak yang langsung mudik setelah 'unjung-unjung', kami pun berkemas. Bersiap kembali ke Karah. 

Sore nanti dijadwalkan sowan-sowan ke tetangga-tetangga di Karah. Besok pagi mudik ke Tuban. Sowan ibu dan saudara-saudara di sana. Pakdhe budhe paklik bulik mas mbak adik dan ponakan-ponakan. 'Segepok' uang baru dan berkotak-kotak kue sudah kami siapkan. Tidak hanya untuk keluarga, tapi juga untuk teman-teman dan para sahabat. 

Saatnya berbagi, saatnya bermaaf-maafan, saatnya berlebaran.....

Surabaya, 8 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 07 Agustus 2013

Menggapai Ridho Allah

Ini sebuah acara di TVOne. Secara kebetulan saja saya, yang memang tidak terlalu hobi nonton TV, menemukannya pagi menjelang siang ini. 

Ceritanya, saya sedang mengisi 'slontongan' kupat-kupat dengan beras yang sudah saya 'pususi'. Tugas dari ibu, saya musti bikin kupat untuk menu buka puasa bersama sore nanti, dan juga untuk makan pagi setelah salat idul fitri besok. Dari pada hanya ngisikan beras, saya menghidupkan televisi. Duduk manis dengan tampah penuh slontongan kupat dan seember beras yang sudah bersih. Sambil menonton TV.

Dengan host K.H Syuhada Bahri, Ketua Umum Dewan Da'wah Islam Indonesia, acara ini begitu menarik perhatian saya. Misi Dewan Dakwah adalah melahirkan 1000 orang da'i yang mempunyai kompetensi mendidik umat si semua lapisan, di semua kalangan. 

Program bagus ini sedang menayangkan kisah perjalanan para da'i di berbagai pelosok Indonesia. Saat ini, yang sedang ditampilkan adalah perjuangan Ustad Buyah Hasan Pasaribu di Pulau Sikakap, Kepulauan Mentawai. Beliau yang mualaf itu berjuang ke titik-titik yang tidak mudah dijangkau. Kendaraannya adalah perahu, dan tentu saja dilanjutkan dengan jalan kaki menembus hutan dan semak belukar. Meski sudah tidak muda lagi, semangatnya begitu mengagumkan, sampai membuat saya mbrebes mili karena terharu.

Perjuangannya yang terberat adalah ketika harus mengajarkan Islam untuk menggantikan keyakinan masyarakat yang masih percaya pada kekuatan kayu-kayu besar, pada mistik-mistik, dukun-dukun, juga kepada arwah nenek moyang. Demi mengajarkan Islam itu, beliau sampai pernah diusi-usir oleh penduduk setempat.

Tapi beliau tak pernah menyerah. Tetap dengan sepenuh hati, perjuangannya tak pernah putus. Ternyata tak sia-sia. Beliau banyak mendapatkan pengikut dari masyarakat yang semula memusuhi beliau itu.

Saya jadi ingat perjuangan anak-anak SM-3T. Di awal-awal kehadiran mereka di Sumba Timur dua tahun yang lalu, penolakan sebagian masyarakat begitu kuat. Sampai memunculkan banyak friksi dan konflik. Sampai harus digelar peradilan adat segala untuk menyelesaikan masalah yang melibatkan guru-guru pengabdi itu. 

Semua itu dikarenakan tajamnya jurang perbedaan agama dan budaya. Sempat mereka dituduh sebagai guru-guru yang sengaja dikirim untuk menyebarkan agama. Sempat juga dianggap telah melanggar hukum adat karena melakukan sesuatu yang menyulut persoalan dalam kehidupan masyarakat setempat.

Syukurlah, berkat kesabaran dan kesungguhan mereka, masyarakat akhirnya tahu apa tujuan kehadiran mereka di Tanah Marapu itu (Marapu adalah nama 'agama' masyarakat tradisional Sumba). Sampai akhirnya, setelah setahun itu, tangan masyarakat Sumba Timur terbuka lebar untuk menerima peserta angkatan berikutnya. Berkat perjuangan para peserta angkatan pertama yang telah berhasil 'membuka jalan'. 

Perubahan memang membutuhkan waktu. Kadang cepat, kadang lambat. Namun perjuangan, sekecil apa pun, asal dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan hanya demi menggapai ridho-Nya, insyaallah akan selalu membuahkan hasil.

Selamat menyambut buka puasa yang insyaallah terakhir pada Ramadhan ini. Selamat merayakan idul fitri, mohon maaf lahir dan batin. Semoga semua ibadah kita selama di bulan Ramadhan diterima Allah SWT, dan kita semua dipertemukan dengan Ramadhan tahun depan. Amin YRA. 


Otw Tanggulangin, 7 Agustus 2013. 17.10 WIB.

Wassalam,
LN

Selasa, 06 Agustus 2013

TERKENANG PULAU SALURA

Senja hari di Salura
Matahari berpamit dari balik bukit
Bersama gumpalan mega berarak

Riuh rendah ceria anak pantai
Bersahut dengan debur ombak
Menyongsong malam
Menanti ribuan kunang-kunang dari perahu nelayan

Akankah ditemukan
Serombongan cumi yang sedang berpesta
Berkeliling berlomba berebut cahaya
Siap terjebak dalam perangkap dan jala
Mewujudkan harapan para pengelana

Senja hari di Salura
Akankah kembali kupetik keindahannya......

Tanggulangin, 4 Agustus 2013. 13.05 WIB