Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 08 September 2013

Tulisan Yang Datar-datar Saja....

Saya membaca deretan kalimat-kalimat itu. Untaian cerita tentang kisah perjalanan saya di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di daerah 3T. Ada kisah yang happy-happy, sekedar berbagi cerita tentang makanan, tempat wisata, rute perjalanan, dan aktivitas-aktivitas yang lain. Ada juga cerita tentang kesedihan, keprihatinan, dan ketertegunan karena melihat kegetiran hidup sebagian besar masyarakat dan kondisi guru, siswa, sekolah, dan pendidikan yang begitu terpuruk. Ada pesan-pesan pada kepala sekolah, kepala dinas, bahkan juga pada pemerintah, agar lebih mengedepankan pendidikan sebagai sebuah sarana untuk membangun masa depan yang lebih baik dan bermartabat.

Saya ingat, beberapa dari tulisan itu di-share ke berbagai milis oleh satu-dua orang teman. Beberapa tanggapan dari para miliser juga bermacam-macam. Mulai dari sekedar memuji sebagai tulisan yang manis, tulisan yang inspiratif, atau tulisan yang maknyuss, seru, benar-benar laporan petualangan, dan lain-lain. Bahkan ada juga yang iseng mengusulkan supaya ada event pemberian award untuk saya (haha...kalau yang ini, suweerrr....menurut saya tanggapan yang berlebihan). Beberapa juga mempertanyakan, kapan tulisan-tulisan itu akan dibukukan.

Menulis kisah perjalanan bagi saya sekedar memenuhi tuntutan hati. Menulis memberi keasyikan tersendiri. Memberi kenikmatan. Menulis yang tanpa beban. Tanpa tuntutan dari siapa pun kecuali dari diri sendiri. Kalau kemudian tulisan itu disukai oleh yang membaca, bahkan dibagikan pada pihak-pihak lain, atau dimuat di media (meski hanya media kampus), bagi saya, itu sekedar ekses saja. Ekses positif tentunya. Ada tanggapan atau tidak, disukai atau tidak, saya tetap saja menulis.

Mungkin karena itulah, tulisan-tulisan saya nyaris tidak ada yang istimewa. Biasa-biasa saja. Datar-datar saja. Hanya beberapa yang mungkin mampu menguras emosi, atau membuka mata siapa pun yang membaca, tentang apa saja yang mungkin belum mereka ketahui sebelumnya. Tentang budaya di suatu daerah, adat-istiadat, hubungan sosial-kemasyarakatan, kondisi pendidikan dan pembelajaran, dan lain sebagainya.

Meski begitu, meski tulisan-tulisan saya itu datar-datar saja, saya ingin membukukannya. Alasannya, pertama, karena saya ingin, sebagaimana yang sering saya dengung-dengungkan, turut serta membudayakan literasi, salah satunya dengan cara menulis dan membukukan tulisan-tulisan itu. Alasan kedua, saya sudah terlanjur berjanji pada banyak orang, bahwa saya akan membukukan tulisan-tulisan saya. Kalau tidak saya penuhi janji saya itu, maka saya akan menanggung hutang seumur hidup saya dan bahkan akan menjadi hutang anak-cucu saya kelak, iya nggak?

Alasan ketiga, saya sedang belajar untuk konsekuen. Kalau saya memaksa-maksa anak-anak saya peserta program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) untuk menuliskan kisah-kisah mereka, rasanya tidak adil kalau saya tidak melakukannya juga. Omdo namanya, begitulah. 

Alasan keempat, ternyata, buku 'Jejak-jejak Penuh Kesan', buku sederhana yang sebenarnya saya siapkan untuk kado pernikahan emas bapak ibu dulu itu, cukup memotivasi beberapa teman untuk menulis buku serupa. Ali Asy'ari, salah satunya. Peserta SM-3T angkatan pertama yang sekarang menempuh PPG di Unesa itu, mengirim SMS-nya ke saya setelah membaca buku kecil itu. 'Ibu, saya ingin punya buku yang seperti buku bergambar perempuan berpayung itu...'. Seorang teman dosen, juga terdorong untuk membukukan kisah-kisahnya setelah membaca buku itu. Juga, meski buku sederhana, namun ada saja teman dan sahabat yang request untuk bisa memilikinya, termasuk pak rektor, Prof. Muchlas Samani (mungkin karena gratis ya...hehe). Oleh sebab itulah, saya ingin menulis buku serupa.

Jadi, meski pun tulisan-tulisan saya itu datar-datar saja, saya akan membukukannya. Saya pikir, saya memerlukan seorang penyunting untuk membantu saya mencermati tulisan-tulisan itu. Setidaknya, dengan memeriksakannya pada seorang penyunting, tulisan-tulisan spontan saya itu akan menjadi lebih rapi. 

Namun, mungkin tidak mudah mendapatkan penyunting yang tertarik untuk menyunting tulisan-tulisan yang biasa-biasa saja seperti itu. Apa nikmatnya menyuting tulisan yang datar-datar saja? Menyadari itu, saya memutuskan untuk menyuntingnya sendiri. Ya penulis, ya penyunting. Bukan karena apa-apa. Saya tidak ingin membebani seseorang yang bersedia menyunting naskah saya hanya karena pertemanan dan persahabatan, bukan karena ketertarikan pada isi naskah itu. Kasihan kan. Bisa tersiksa ntar dia....

Tapi tentu saja, saya masih mengandalkan seorang sahabat saya untuk menghimpun tulisan-tulisan itu. Kalau sudah dihimpun, saya nanti akan menyuntingnya, menambahkan foto-foto, dan mengembalikannya pada sahabat saya itu untuk finalisasi. Layout, sampul, ISBN, dan cetak. Jadilah buku itu. Taratattaaa......

Rencananya, buku itu akan saya beri judul 'Berbagi di Ujung Negeri'. Tapi bisa jadi saya berubah pikiran nanti. Bisa jadi buku itu akan berjudul 'Surat dari MBD', mengambil sebuah judul di salah satu tulisan. Atau...entahlah, judul bisa dipikir nanti. Judul kan hanya bungkus saja. Meski juga sangat menentukan kemenarikan sebuah buku, tapi yang penting isinya dulu disiapkan.

Bulan depan adalah ulang bulan saya (meminjam istilah Prof. Kisyani, karena tahun tidak pernah berulang, yang berulang adalah bulan). Saya berharap buku itu akan menjadi kado untuk ulang bulan saya sendiri (untuk memancing kado-kado yang lain...haha). Saya akan mencetaknya secara terbatas, dengan cetakan yang sederhana saja, bukan yang mewah (menyesuaikan dengan isi buku yang memang hanya terdiri dari tulisan-tulisan yang sederhana). Ya, tentu saja, saya akan menghadiahkannya untuk para kerabat dan sahabat. Juga untuk oleh-oleh ketika saya berkunjung ke suatu tempat, misalnya dalam rangka memenuhi undangan dalam sebuah seminar atau workshop. Buku itu, dan buku kuliner Jawa Timur saya, rasanya cukup mewakili siapa saya.

Ya, insyaallah bulan depan, untuk menandai usia saya yang ke-46, buku itu akan terbit. Itulah kado kecil saya untuk dunia literasi. Semoga berterima dan bermanfaat.

Selamat menikmati hari Minggu, kawan...

Surabaya, 8 September 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 06 September 2013

Jakarta Hujan

Sepagi ini
Hujan membasahi Jakarta
Langit gelap penuh awan
Membuat kota seperti berkabut kelam

Sepagi ini
Hujan sudah membasahi Jakarta
Tanah Abang, Slipi, sejauh jalan tol menuju Soekarno Hatta
Jalanan berkilauan 
Air berpendar digilas roda-roda
Lampu-lampu gemerlapan
Dan dingin menusuk tulang

Sepagi ini
Jakarta hujan
Mengantar langkah-langkah kecilku
Menggapai tempat tujuan...

Jakarta, 6 September 2013. 03.50 WIB.

Kamis, 05 September 2013

Pernikahan Intan Soekisman Dan Harini: Sebuah Buku Tanda Bakti

Saya menerima buku ini saat halal bi halal Unesa pada 14 Agustus yang lalu. Prof. Dr. Kisyani, Pembantu Rektor I Unesa, yang memberi. Sebuah buku yang ditulisnya sendiri, untuk menandai pernikahan intan bapak dan ibunya. 

Ya, pernikahan intan. Enam puluh tahun. Subhanallah. Siapa sih yang tidak ingin mencapai usia pernikahan selanggeng itu, dalam keadaan yang relatif sehat dan sejahtera?

Bisa dipastikan semua pasangan suami istri menginginkannya. Tapi tentu saja tidak semua bisa meraihnya, entah karena pernikahan yang tidak langgeng, atau karena panggilan Illahi. Begitulah tulis Kisyani. Maka tidaklah berlebihan kalau peristiwa itu sangat layak untuk disyukuri, baik bagi pasangan yang bersangkutan, maupun bagi keluarganya.

Tentang pernikahan intan, Kisyani memaknainya dari sifat-sifat intan atau berlian, sebagai benda yang sangat bernilai. Sebagaimana emas, berlian dapat merujuk pada prestise seseorang. Usia 60 tahun pernikahan identik dengan intan yang sifatnya keras, sebagai simbol pernikahan yang telah ditempa dengan pengalaman hidup yang kerasnya luar biasa sehingga berhasil lulus dengan bentuk yang cemerlang, bercahaya, bermutu, berharga, dan berprestise.

Ada yang sangat menarik dan inspiratif dalam kehidupan Harini, ibunda Kisyani. Wanita kelahiran 8 Agustus 1935 di Boyolali itu, selalu mencatat setiap kejadian dalam hidupnya dalam sebuah buku harian. Setiap hari, dia selalu meluangkan waktu sekitar 10-15 menit untuk mencatat. Sampai sekarang buku hariannya sudah bertumpuk. Ada atau tidak ada peristiwa khusus, dia selalu mencatatnya setiap hari. Ya, setiap hari. Kisyani melampirkan sebagian catatan harian ibundanya pada buku ini, perjalanan hidup beliau saat menunaikan ibadah umrah. Harini, di mata Kisyani, begitu luar biasa dengan semangat menulisnya itu, bahkan sampai saat ini. Sayangnya tidak semua anak cucunya mewarisi ketelatenan menulis tersebut.

Yang unik, kehidupan Harini selalu diwarnai dengan angka 8. Meski beliau tidak mengkultuskan angka itu, namun itulah angka terindah bagi Harini. "Saya lahir pada tanggal 8 bulan 8 tahun 1935, menikah pada bulan 8, tahun pernikahan 53 jika dijumlah menjadi angka 8, anak saya 8, menantu saya 8, cucu saya 8 belas, tinggal di rumah nomor 88". Begitulah pernyataan Harini di tahun 2003, saat melaksanakan syukuran untuk pernikahan emas.

(Mengingatkan saya pada angka 7. Saya dikukuhkan menjadi guru besar pada tanggal 7 Januari 2010, pada usia saya ke 43, dan sebagai guru besar Unesa yang ke-43. Mudah untuk mengingatnya, karena 4 ditambah 3 sama dengan 7).

Soekisman (ayahanda Kisyani) bertemu dengan Harini di rumahnya karena Harini berstatus sebagai siswa SGB di Solo. Rajutan benang cinta mereka terjalin erat dan membawa mereka melangkah ke pelaminan. Pernikahan dilangsungkan di Boyolali pada tanggal 9 Agustus 1953.

Soekisman sendiri sebenarnya terlahir dengan nama Soenarto. Lahir di Solo, 9 Oktober 1927, dia memiliki masa kecil yang penuh dengan keceriaan, serta tergolong anak yang pemberani dan keras hati. Saking pemberaninya, saat usianya 11 tahun, dia terjatuh dari pohon jambu dan koma berhari-hari. Semua anggota keluarga sudah galau. Maka begitu dia sembuh, namanya diubah menjadi Soekisman.

Bagi Soekisman dan Harini, pendidikan adalah nomor satu. Pendidikan anak, cucu dan cicit, harus diutamakan karena pendidikan akan menjadi bekal kehidupan, baik di dunia maupun dalam pertanggungjawaban orang tua di akhirat kelak. Dengan pandangan hidupnya seperti itu, tidaklah heran kalau kedelapan putra-putri berkesempatan menikmati pendidikan tinggi dan berhasil dalam kehidupan mereka.

Anak pertama, Kisrini, dosen di FK-UNS. Anak kedua, Kismami, bekerja di BKKBN Jambi, juga mengajar di beberapa sekolah kebidanan dan perawat di Jambi. Anak ketiga, Kiswanto, bekerja sebagai kepala BPN Pontianak. Anak keempat, Kiswanti, ibu rumah tangga tapi sebelumnya bekerja du KLI Jakarta. Anak kelima, Kisyani, dosen di FBS Unesa, pernah menjabat sebagai Kepala UPBJJ-UT Surabaya dan sekarang menjabat PR 1 Unesa. Anak keenam, Kisyana, adalah guru SMA di Bekasi. Anak ketujuh, Kistini, bekerja di BKKBN Solo. Anak bungsu, Kistina, bekerja sebagai guru BK di MTs Negeri di Tenggarong, Kaltim. 

Masih ada banyak hal unik dan inspiratif di buku yang ditulis dengan runtut dan indah ini. Terasa betul kalau buku ini ditulis dengan penuh rasa cinta, dengan penuh rasa kasih. Cinta kasih seorang anak pada bapak ibunya. Berpadu dengan ungkapan syukur karena telah diberi kesempatan panjang bagi bapak ibu untuk mengarungi bahtera rumah tangga, serta berbahagia bersama anak, cucu dan cicit.

Kisyani, profesor cantik yang dikenal sangat suka berpantun itu, adalah sahabat, teman, ibu, kolega, kakak, yang baik dan sangat menyenangkan. Dia ramah pada siapa saja. Senyum dan sapanya membawa keceriaan. Ketegasan sekaligus kelembutannya menebarkan kesejukan. Seorang wanita yang cerdas, tangguh, sekaligus berhati kapas penuh persahabatan.

Tidak heran, karena dia lahir dari keluarga yang sangat menjunjung tinggi pendidikan, menyandarkan diri pada ajaran agama sebagai pedoman, dan selalu mengajarkan arti saling menghargai dan mengasihi demi kebersamaan dan kerukunan. 

Hotel Millenium Jakarta, 5 September 2013.

Wassalam,
LN

Kamis, 29 Agustus 2013

Di Bandara Juanda Pagi Ini

Saya mencium tangan mas Ayik, mengucap salam, keluar dari mobil, dan mengambil tas koper oranye saya di jok tengah. Melambai, dan melangkah menjauh ke arah pintu masuk.

Pagi ini, pukul 07.40, saya akan bertolak ke Jakarta menumpang Garuda. Sore nanti, pukul 16.00, ada rapat koordinasi dengan para kepala dinas pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat, untuk persiapan penyelenggaraan SM-3T. Sebenarnya, jam segini, masih terlalu pagi untuk menghadiri rapat sore nanti. Tapi inilah jadwal penerbangan satu-satunya yang saya bisa dapatkan. Penerbangan setelahnya, full-booked sampai sore. Saya memang baru kemarin sore minta mas Nardi, petugas tiket kami, untuk membelikan tiket ke Jakarta. Sampai tadi malam mas Nardi masih berusahan untuk mendapatkan tiket yang lebih siang, tapi tidak berhasil.

Menjelang masuk ke bandara, mata saya tertumbuk pada pemandangan yang cukup menyentuh. Seorang suami, mencium istrinya dengan penuh perasaan. Perempuan itu lantas melambai menjauh dari suaminya menuju pintu masuk, menangis, mengusap air matanya. Tentu saja saya hanya melihatnya sambil lalu, dan tidak bermaksud untuk ikut larut dalam keharuan mereka.  

Namun, lagi-lagi, persis di depan pintu masuk, saya melihat pemandangan serupa. Seorang suami sedang memeluk dan mencium pipi istrinya. Yang membuat saya seperti ikut larut, adalah betapa jelas wajah penuh kekhawatiran sang suami. 

Saya berjalan di belakang perempuan itu saat masuk di ruang pemeriksaan. Rambutnya sudah dihiasi helaian-helaian putih. Suaminya, berdiri di pagar pembatas, terus mengikuti langkahnya. Saya menikmati pemandangan itu. Di usia mereka yang sudah tidak lagi muda, mereka terlihat begitu romantis. Begitu saling mengkhawatirkan, begitu berat untuk berpisah. Saya berbahagia untuk mereka, sehingga tanpa saya sadari, saya tersenyum sendiri.

Begitu mencapai ruang dalam, saya langsung menuju ke arah tangga/lift, ke arah ruang tunggu. Tidak perlu check in. Mas Nardi sudah melakukannya. 

Namun, lagi-lagi, mata saya tertumbuk pada pemandangan menarik. Seorang bocah perempuan, usianya saya perkirakan dua tahunan, berdiri persis di depan lift. Sepertinya dia siap naik ke atas. Bocah itu bergitu lucu, wajahnya bulat, baju merah membungkus tubuh mungilnya yang gempal. Sontak saya berjongkok di depannya. Tersenyum semanis mungkin, menyentuh pipi gembulnya.

"Mama mana?"
Dia menatap saya. Nggak ada takut-takutnya. Tapi bibir dia terkunci rapat. Lantas matanya beralih ke lift itu lagi. Rupanya senyum saya tidak lebih menarik dari lift itu.

"Mana mama, sayang? Atau papa?" Tanya saya lagi. "Atau...adik di sini sama siapa ya....?" Saya melihat-lihat ke sekeliling. Celingukan. Kebetulan bandara memang tidak terlalu ramai. Saya mencoba memancing bocah itu untuk juga melihat-lihat sekeliling, barangkali dia kemudian melihat mamanya, atau papanya, atau siapa pun  yang bersama dia.

Tapi, lagi-lagi, lift itu lebih menarik. Kakinya tidak beranjak secenti meter pun dari tempatnya berdiri. Bahkan senyum paling manis yang kulempar ke arahnya pun, tak dipedulikan.

Lantas datang seorang petugas. Rupanya dia melihat gerak-gerik saya. Saya masih menanyai anak itu tentang siapa mamanya, ketika petugas itu tiba di depan kami.

"Ibu bukan mamanya?" Tanyanya. Saya menggeleng. "Bukan".

"O ya?" Diraihnya anak kecil itu. "Ayo, dik. Sini, dik...." Anak itu terpaksa menurut. "Terima kasih, bu." Kata petugas itu.

Saya mengangguk, menaiki lift, dan melihatnya pergi dengan menggandeng gadis kecil lucu itu, mendekati kerumunan barisan orang-orang yang lagi check in. Saya tersenyum sendiri. Coba menculik itu tidak berdosa, anak kecil itu pasti sudah kubawa serta dari tadi....


Bandara Juanda, 29 Agustus 2013

LN

Selasa, 27 Agustus 2013

Banda Aceh (3): Selendang dan Tas Khas Aceh

Luar biasa orang-orang ini. Sudah rajin, cantik, ramah, dermawan lagi. Haha.

Setelah setengah hari bersama mereka, saatnya untuk penutupan. Seorang peserta, guru SMK, namanya bu Herti, mewakili kesan-pesan selama pelatihan. Semua yang disampaikannya bagus, dia katakan apa yang diperoleh sejak kemarin, benar-benar hal baru. Benar-benar bermanfaat untuk acuan pengembangan kurikulum dan perangkat pembelajaran. Selama ini, mereka belum pernah menerima materi itu. Hanya sayangnya, menurut Bu Herti, waktunya terlalu singkat. Dan, ini yang terpenting, setelah mengikuti pelatihan sejak kemarin, semakin dirasakan betapa masih begitu banyaknya hal-hal yang belum dipahami. Sebuah kesadaran yang membangkitkan motivasi untuk terus belajar dan belajar.
Saat ini juga, saya mendapatkan hadiah sebuah selendang dengan bordir khas Aceh. Ibu Aminah, dosen paling senior, memasangkannya di kepala saya. Saya senang sekali. Beliau berbisik di telinga saya, 'sudah seperti orang Aceh...'. Saya tertawa lepas, dan terkejut lagi karena ternyata masih ada hadiah lain. Sebuah tas besar, maunya untuk isi oleh-oleh mungkin, tas khas Aceh juga. Wow, keren.....

Siang yang terik, dan kami berkendara menuju pusat oleh-oleh khas Aceh, yaitu arah ke Lhoknga, kemudian ke arah Aceh Besar. Di kejauhan, nampak Gunung Lhoknga, tempat ketinggian yang menjadi tumpuan para pengungsi saat tsunami dulu. Ke sanalah ribuan orang yang sedang dilanda kepanikan luar biasa itu terbirit-birit untuk menyelamatkan diri dari terjangan tsunami. 

Kami berkonvoi, empat mobil. Ya, empat mobil itu semua dikemudikan oleh para perempuan cantik, berbusana muslimah cantik,  dan, insyaallah, berakhlak cantik juga. Saya kali ini duduk di sebelah ibu Aya yang memegang kemudi, ditemani bu Fitri dan bu Kartini yang duduk di jok tengah. Di tiga mobil yang lain, adalah ibu Asmah beserta rombongan, ibu Suryati beserta rombongan, dan ibu...(Haduh, lupa..) beserta rombongannya juga.
 
Di sepanjang perjalanan, bu Kartini, bu Fitri dan bu Aya, bahu-membahu menjadi pemandu untuk saya. Kami melewati Masjid yang kubahnya berbentuk seperti kupiyah meuketuk, sebutan untuk kopiah yang digunakan saat perang oleh Teuku Umar. Sekarang, bentuk kopiah seperti itu digunakan sebagai kopiah pengantin pria Aceh.

Kami juga melewati Taman Ratu Safiatudin, sebuah taman yang di dalamnya menghampar berbagai rumah adat etnik Aceh. Ratu yang merupakan putri Sultan Iskandar Muda ini pernah memerintah kerajaan Aceh pada waktu itu, selama 35 tahun. Dia membentuk barisan perempuan yang ikut berperang melawan penjajah pada saat perang Malaka. Sri Ratu yang cerdas dan cakap ini konon suka menulis sajak dan cerita. Maka tidak heran pada masanya, hukum, pemerintahan dan sastra, berkembang dengan sangat baik. Ratu Safiatudin dianggap sebagai lambang kemegahan perempuan Aceh.

Sultan Iskandar Muda sendiri merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh mencapai kejayaannya pada waktu itu, di mana daerah kekuasannya semakin besar dan memiliki reputasi internasional sebagai pusat perdagangan dan pendidikan Islam.

Sebagai wilayah yang menerapkan syariat Islam, Aceh dipenuhi dengan simbol-simbol Islami. Banyak bangunan kantor yang  berkubah. Jembatan juga berkubah. Bagus. Namun sayang, kata teman-teman saya ini, ornamen-ornamen itu cenderung menenggelamkan hasil-hasil kerajinan Aceh sendiri, misalnya ukiran, lukisan, kain-kain dan lain-lain khas Aceh.

Siang ini, selain untuk membeli oleh-oleh khas Aceh, kami juga akan menyempatkan diri mengunjungi Unsyiah. Ya, tentu saja saya tidak akan membuang kesempatan untuk sekaligus melakukan semacam studi banding kilat ke jurusan PKK Unsyiah. Prodi yang bernaung di bawah FKIP itu (bukan FT sebagaimana di universitas eks-IKIP), sudah sangat akrab dengan PKK FT Unesa. Waktu yang tidak banyak ini musti harus digunakan sedemikian rupa supaya semua dapat. Oleh-oleh dapat, kunjungan ke Unsyiah dapat.

Untuk mencapai Unsyiah, kami melewati Tugu Pena, tugu yang  melambangkan kawasan pelajar/mahasiswa. Di kawasan Darussalam itu, setidaknya ada dua kampus besar, yaitu Usyiah dan IAIN.

Tugu Syah Kuala, berada di dalam kawasan Unsyiah, merupakan tugu untuk menandai berdirinya Unsyiah. Ada juga Gedung Dayan Dawood, sebuah nama yang dimaksudkan untuk mengabadikan salah satu mantan Rektor Unsyiah yang wafat karena penembakan.  Beliau, merupakan salah satu calon kuat Gubernur Aceh, menjadi korban penembakan pada masa konflik tahun 2001, saat Aceh masih menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Konon, penembaknya adalah dari kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dayan Dawood dibunuh antara lain dengan alasan karena beliau tidak mau membantu perjuangan GAM. 

Alhamdulilah, menjelang pukul 14.30, konvoi sudah memasuki halaman Bandara Sultan Iskandar Muda. Tepat waktu. Garuda akan membawa saya pada 15.25. Meski tiket sudah di-check in-kan, tapi saya musti membagasikan oleh-oleh. Oleh-oleh itu, termasuk kopi Aceh. Pesanan khusus ibu mertua. Harus saya penuhi, atau anak laki-lakinya akan diminta lagi...haha.

Kami berpelukan di ujung pintu masuk. Serombongan perempuan cantik itu mengucapkan selamat jalan dan doa untuk kelancaran perjalanan saya ke Surabaya. Juga harapan semoga bisa bertemu lagi pada kesempatan lain, dengan waktu yang lebih leluasa. Semoga.....

Banda Aceh, 27 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Senin, 26 Agustus 2013

Banda Aceh (2): Luka Duka Tsunami

Sore yang cerah. Ya, meski sudah pukul 17.30, Banda Aceh masih terang benderang. Matahari nampaknya bahkan masih memerlukan lebih dari satu jam untuk benar-benar tenggelam di peraduannya. 

Kami mengakhiri workshop sore ini. Setelah kelompok tata busana tampil dengan hasil diskusi perangkat pembelajarannya, presentasi akan dilanjutkan besok, mulai pukul 08.00, oleh kelompok tata boga. Selain karena waktu sudah sore, listrik juga tiba-tiba mati, pet. Menurut ibu Asmah, listrik tiba-tiba mati seperti itu sudah biasa terjadi di Banda Aceh. Tapi bukan hanya karena listrik mati, sore ini, saya akan dibawa jalan-jalan menikmati Banda Aceh oleh ibu-ibu cantik ini. Memanfaatkan sedikit waktu sebelum malam jatuh.

Kami berkendara dengan dua mobil. Saya sempat terkejut. Ibu Asmah menyetirnya sendiri. Juga bu Yuli, di mobil yang satunya. Bukan apa-apa. Ibu Asmah sudah cukup senior, dan ini beliau yang akan membawa saya dan teman-teman jalan-jalan. 

Di Surabaya, saya pun biasa membawa mobil sendiri. Tapi kalau untuk membawa tamu jalan-jalan, saya suka meminta driver atau teman untuk menyetirnya. Sekedar untuk menghemat energi. Dengan kondisi Surabaya dan sekitarnya yang rawan macet, dan adanya kemungkinan salah jalan karena saya seringkali tidak hafal jalan, maka membawa driver akan memastikan perjalanan jauh lebih nyaman. Bahkan belakangan ini, saya nyaris tidak pernah membawa mobil sendiri. Aktivitas yang begitu padat, bertarung dengan kemacetan di jalan bisa memicu stres. Maka ke mana-mana saya lebih senang meminta Anang, driver PPPG, untuk mengantar saya.

Kami keluar dari halaman SMK 3 Banda Aceh. Mungkin kami tidak akan singgah di banyak tempat, karena waktu kami memang tidak terlalu leluasa. Saya duduk di sebelah ibu Asmah, yang begitu anggun memegang setir (perempuan Aceh, bahkan saat menyetir mobil pun, terihat begitu anggun). Ibu Kartini dan ibu...(Aduh, saya lupa namanya), duduk di jok tengah. Bu Yuli, bu Zahara, dan ibu....(siapa ya, lupa lagi namanya), ada di mobil yang lain.

Obyek wisata yang pertama kali kami lihat adalah Museum Tsunani. Sebuah bangunan yang bentuknya mirip kapal besar sekali. Di dalam bangunan itulah tersimpan dan terekam berbagai hal terkait dengan musibah tsunami yang telah memporakporandakan Aceh pada akhir tahun 2004. Meluluhlantakkan segalanya menjadi puing-puing dalam waktu sekejap. Tak kurang 250 ribu orang menjadi korban. 

Duka itu begitu saja menggelayut di wajah ibu Asmah. "Ibu, kita tidak usah mampir ke museum ya...." Bu Asmah menghela nafas. Panjang dan berat. Lantas bibirnya mengucap Nama Allah. Suaranya bergetar. Saya langsung saja menjawab, "Baik, ibu, tidak masalah. Monggo, saya ikut saja apa kata driver..." Saya tertawa menggoda beliau.

"Ibu Asmah kehilangan banyak keluarga saat tsunami itu, bu Luthfi...." Jelas ibu Kartini. "Ada berapa, bu Asmah?" 

Bu Asmah menghela nafas berat lagi. Saya yang di sebelahnya, tiba-tiba merasakan dada saya sesak. "Ya...kalau diurut dari keluarga nenek, ada sekitar dua ratusan...". Jawab beliau, dengan suara sedih. "Sampai saat ini pun....saya tidak ingin memasuki museum itu...".

Tenggorokan saya terasa sakit. Tsunami telah menyisakan duka berkepanjangan bagi orang-orang yang telah menyaksikan dan kehilangan keluarganya. Betapa pun mereka menyadari semua kita adalah milik Allah dan betapa kita akan kembali kepada-Nya, namun bayangan kengerian itu ternyata masih lekat dalam ingatan mereka. Saya akhirnya harus memahami, mengapa justeru orang-orang Banda Aceh, seperti bu Asmah dan kawan-kawan yang lain, tidak ingin melihat seperti apa bagian dalam Musium Tsunami itu. Melihatnya, hanya akan membangkitkan luka duka dan kesedihan yang bertahun-tahun telah berusaha ditimbunnya dalam-dalam.

Ibu Kartini, meski beliau sekeluarga selamat, rumahnya terbakar, karena ada kapal terbakar yang menabrak rumahnya. Tapi ada sejumlah kerabatnya yang menjadi korban. Begitu juga ibu Suryati. Ibunya, ya, ibu kandungnya, dan beberapa saudaranya menjadi korban, meski beliau baru beberapa menit bertelepon setelah terjadi gempa. Ya, begitu cepat semuanya terjadi. Hanya dalam waktu sekitar lima menit, ketika air itu tiba-tiba datang dari bibir pantai, menyapu semuanya, termasuk membawa sanak keluarga mereka yang telah menjadi mayat.

Kami meneruskan perjalanan dengan keheningan yang tiba-tiba menyelimuti. Saya sendiri berdoa dalam hati, semoga semua korban tsunami diberikan tempat yang layak di sisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan tambahan kekuatan lahir dan batin. 

Kami akhirnya sampai di Kapal Apung. Meski sebenarnya obyek wisata itu sudah tutup, tapi petugasnya berbaik hati untuk menyilakan kami, begitu tahu kami (maksudnya saya) dari Surabaya. Bahkan dia mengantar kami ke banyak sudut kapal besi yang besar itu, menceritakan peristiwa yang mengikutinya. Juga menyediakan diri untuk menjadi fotografer supaya kami bisa narsis. Hehe....

Kapal itu, sesuai nama yang tertera di badannya, adalah PLTD Apung I. Tulisan di tugu yang ada di bagian depan halaman obyek wisata itu, berbunyi: 'PLTD Apung I adalah pembangkit listrik tenaga diesel lepas pantai dengan bobot 2600 ton yang didorong sejauh 5 km ke daratan oleh kedasyatan tsunami. Sekarang berlokasi di Gampong Punge Blang Cut, Kota Banda Aceh'. Di bagian sisi yang lain, tulisan bermakna yang sama, namun dalam Bahasa Inggris. 

Kemudian di tugu prasasti, di dekatnya, tercatat nama-nama korban. Ditulis memenuhi kelima sisi prasati. Tulisan itu meliputi: Dusun Krueng Doy 68 jiwa; Dusun Lampoh Lubhok 276 jiwa; Dusun Tuan Dikandang 350 jiwa; Dusun Tuan Dipakeh 212 jiwa; Dusun Tuan Balik Ayei 171 jiwa. Di bawah masing-masing tulisan itu, dicantumkan nama para korban dan usianya. 

Kapal besi yang besar itu adalah kapal pembangkit listrik yang awalnya berada di tengah laut. Tsunami telah menyeretnya sampai sejauh sekitar lima kilometer, menggerus rumah, manusia, dan apa saja uang dilaluinya. Dan dia baru berhenti, di tempat ini, ketika air mulai surut. Allahu Akbar. Saya bergidik membayangkannya. Tidak mungkin kapal itu akan berada di tempat ini tanpa ada campur tangan kekuatan dari Yang Maha Perkasa. Kapal sebesar itu... Dibuat dari besi lagi... Terapung-apung dari laut. Betapa dahsyatnya tsunami itu...

Bu Asmah juga membawa kami melewati makam Sultan Iskandar Muda, tempat mandi istri Sultan Iskandar Muda, juga tempat bermainnya. Lapangan Blang Padang yang di situ bertengger pesawat Seulawah, kapal bantuan rakyat Aceh kepada RI. Beliau dan teman-teman yang lain adalah pemandu yang andal. Hampir semua detil diceritakannya terkait dengan situs-situs itu.

Kami akhirnya sampai di sini. Di Pantai Olee Leu. Pantai yang berada di ujung barat Pulau Sumatra. Di ujung sana, adalah Masjid Baiturrahim, masjid yang tetap berdiri kokoh meski semua yang ada di sekitarnya porak-poranda saat tsunami dulu. Di seberang sana, adalah Pulau Sabang. Sebenarnya hanya memerlukan waktu sekitar 45 menit dengan kapal cepat untuk mencapainya. Di sana banyak obyek yang menarik. Namun saat ini tidaklah memungkinkan. Disimpan untuk kunjungan yang akan datang. Insyaallah....

Senja telah benar-benar jatuh. Kami duduk di pinggir pantai, menikmati matahari jingga, yang sinarnya memantul di permukaan laut. Membiaskan warna-warna merah dan kelabu yang berpadu. Menyajikan pantai Olee Leu ibarat lukisan yang luar biasa indah. Ditemani sebuah jagung bakar dan sebutir kelapa muda, kami mengagumi semua yang tersaji di depan mata. Menunggu adzan maghrib. Untuk menuju ke tempat sujud, di mana kami bisa melabuhkan seluruh hati dan jiwa kami. Melantunkan rasa syukur dan permohonan atas kekuatan lahir dan batin dari-Nya untuk menemani setiap langkah kami......

Banda Aceh, 26 Agustus 2013

LN

Banda Aceh (1): Di sinilah saya....

Minggu, 25 Agustus 2013. Pukul 23.40. Di sinilah saya saat ini, di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Akhirnya kaki saya menginjak Bumi Serambi Mekah. Di Tanah Rencong. Wilayah paling barat Indonesia. Setelah sejak pukul 13.40 terbang dari Bandara Juanda. Ya, sepuluh jam lebih di perjalanan. Diwarnai dengan delay sejak di Bandara Soekarno Hatta dan di Kualanamu Medan. Diwarnai juga dengan kegaduhan di Kualanamu karena beberapa penumpang mengamuk dan membentak-bentak petugas, akibat delay yang 'hanya' sekitar satu setengah jam. Teriakan mereka menggelegar memenuhi hampir setiap ruang di Kualanamu yang besar itu. Para penumpang yang lain berkerumun, mereka seperti mendapat tontonan dadakan yang menegangkan.

Begitu mencapai pintu luar bandara, saya sudah melihat wajah itu. Ibu Fitriana, dosen jurusan PKK Universitas Syah Kuala (Unsyiah), yang selama ini menjadi contact person saya untuk kegiatan di Banda Aceh. Wajahnya yang putih bersih, begitu cantik di bawah temaram lampu teras bandara yang hiruk pikuk. Kami berpelukan. Suaminya, bapak Rusman, dosen Kimia di Unsyiah juga, tersenyum ramah mengulurkan tangannya. Mencoba meraih koper saya, tapi saya menolaknya halus.

Di bawah langit Banda Aceh yang gelap, mobil kami menyusuri jalan meninggalkan bandara, menuju kota. Bu Fitri memaksa saya harus makan dulu, dan kami berhenti di sebuah rumah makan. Kami memesan mie goreng, dan pak Rusman memesan martabak telur. Mie gorengnya berasa tajam, khas mie Aceh, dan martabak telurnya lebih mirip omelette, berbentuk persegi. Saya menghabiskan separo porsi, bukan karena mie-nya tidak enak. Namun kelelahan di tubuh saya membuat selera makan tidak terlalu bagus. Separo porsi itu cukuplah untuk memastikan perut saya terisi setelah sejak terbang dari Surabaya tadi tidak sempat menikmati makan siang dan malam. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 00.50 saat kami memasuki pintu hotel Madinah.  Bu Fitri bilang, sebetulnya dia sudah berusaha memesankan kamar di beberapa hotel terbaik di Banda Aceh, tapi semua full-booked. Ada event  Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) yang akan dihelat pada September nanti, tapi panitia dari berbagai daerah di Aceh sudah memenuhi Banda Aceh untuk mempersiapkan kegiatan besar itu. Jadilah saya diinapkan di Hotel Madinah, sebuah hotel melati yang bagi saya tidak terlalu masalah, tapi bu Fitri berkali-kali meminta maaf karenanya. Nama hotel yang Islami, membuat saya merasa nyaman-nyaman saja. Apa lagi, hotelnya juga cukup besar, bersih, dan kamarnya juga luas.

Saya merebahkan kelelahan saya di tempat tidur yang bersih dan nyaman, membiarkan tas koper dan sepatu saya berserak di lantai. Mengirim kabar pada keluarga dan sahabat yang terus memantau perjalanan saya, kalau saya sudah mencapai hotel. 

Besok, saya harus mengisi acara pelatihan pengembangan perangkat pembelajaran di SMK 3 Banda Aceh. Acara yang sudah dipesan sejak lama oleh teman-teman jurusan PKK Unsyiah, namun baru bisa saya penuhi. Di antara berbagai kesibukan yang padat dan menyita waktu, saya sudah tidak mungkin mengulur-ngulur lagi. Semakin ke sini, kegiatan semakin padat. Prakondisi SM-3T, pemberangkatan angkatan ke-3, penarikan angkatan ke-2, ngajar, PLPG....

***

Senin, 26 Agustus 2013. Pukul 05.15. Saya bangun dengan sisa kelelahan semalam. Mengintip keluar melalui jendela. Gelap. Ya, meski tidak ada perbedaan waktu dengan Surabaya, namun jam segini di Aceh masih gelap seperti saat subuh di Surabaya.

Pagi ini saya musti bergegas. Pukul 8.15, bu Fitri dan pak Wildan, PD 3 FKIP, akan menjemput saya. Pak Wildan, sudah saya kenal dengan sangat baik. Beliau adalah koordinator SM-3T Unsyiah. Seperti layaknya satu tim, kami sering bertemu di berbagai kegiatan, bersama para koordinator SM-3T dari LPTK lain. Program SM-3T ini menyatukan kami semua, dan mengakrabkan pertemanan kami sebagai teman-teman seperjuangan.

Sebenarnya saya ingin segera bersiap setelah salat subuh dan mandi, namun SMS dan telepon dari peserta SM-3T dan para calon peserta, menyibukkan saya. Nama saya dipasang sebagai contact person di Dikti sebagai koordinator SM-3T Unesa, dan belasan bahkan puluhan SMS dan telepon membanjiri saya sejak perekrutan dan pengumuman kelulusan SM-3T beberapa pekan yang lalu, tak peduli pagi, siang, malam, bahkan tengah malam. Juga pagi buta seperti ini. Saya, pada posisi seperti ini, benar-benar dilatih untuk menjadi pelayan yang baik, sabar, tawakkal, dan menerima segala sesuatu sebagai berkah, bukan cobaan, dari Allah SWT. Haha...

Kami bertiga sampai di SMK 3 Banda Aceh, tempat pelatihan, pada menjelang pukul 9.00. Sekolah yang bersih, luas dan hijau. Wajah-wajah yang subhanallah...cantik-cantiknya. Ya, yang saya temui adalah dosen dan guru-guru yang 99,9 persen perempuan. Hanya ada satu, satu-satunya laki-laki. Dan para perempuan itu semuanya menarik, busana mereka bagus-bagus, perhiasan gemerlap, dan wangi. Cara mereka berbusana, begitu menawan, dengan blus panjang dan rok yang di beberapa bagiannya ada aksen bordir atau hiasan dari benang yang mengkilat. Untuk ukuran kita di Surabaya, cara mereka berbusana dan mengenakan aksesoris, sudah seperti busana pesta. Jadi nampaknya sayalah orang yang busananya paling kasual di antara para dosen itu. Kecuali para guru, yang saat ini mengenakan seragam mengajar yang berwarna hijau.

Tua maupun muda, semua orang di ruangan ini cakep. Hidup mancung, kulit bersih, mata indah. Dilengkapi dengan keramahan yang tulus, saya merasakan kehangatan berada di tengah-tengah mereka.

Di antara para dosen itu, saya sudah mengenal beberapa di antaranya dengan sangat akrab. Ibu Kartini, ibu Suryati, Ibu Asnah, dan bu Fitriani. Keempatnya juga sudah pernah beberapa kali berkunjung ke Unesa untuk menghadiri seminar Bosaris, yang kami helat setahun sekali. Selain itu, kami juga bertemu di beberapa kali di kegiatan dikti. Di situlah mereka mengenal saya, sebagai narasumber, moderator, dan fasilitator. Saat ini, mereka mengundang saya, untuk sekedar berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Betapa beruntungnya saya. Mendapatkan kesempatan mengunjungi Banda Aceh, bertemu dengan banyak teman, dan berbagi pengalaman. Dan yang tak kalah pentingnya, nilai silaturahim itu....tak bisa dinilai hanya dari sekedar uang atau materi.

Pelatihan ini diikuti oleh 35 orang, terdiri dari 5 orang guru SMK, 1 orang guru SMIK, 2 orang dari dunia usaha/dunia industri, 25 orang dosen, dan  2 orang mahasiswa. Didanai dari Badan Operasional Perguruan Tinggi (BOPT).

Di sini, saya menemukan semangat belajar yang dibalut dengan religiusitas yang kental. Semua peserta duduk manis dan mengikuti acara demi acara dengan penuh perhatian. Pembukaan dimulai dengan membaca ummul qur'an bersama-sama, dan kegiatan pelatihan dibuka dengan membaca wal'ashri. 

Pukul 16.00, dan mereka tetap di tempatnya. Setelah saya presentasi sejak pagi sampai pukul 12.30, memahamkan pada mereka tentang SKL, KI, KD dan Keterampilan Berpikir, juga memberikan contoh-contoh menuangkannya dalam silabus dan RPP, mereka bertekad untuk bisa menghasilkan satu silabus dan RPP yang musti dipresentasikan sore ini. Sesuai kelompok masing-masing, yaitu tata boga, tata busana, tata kecantikan, tekstil, kerajinan dan kewirausahaan. 

Saya menikmati keseriusan para ibu cantik itu. Membiarkan diskusi mengalir di antara mereka. Sesekali saya menghampiri kelompok-kelompok itu, melibatkan diri dalam diskusi, atau sekedar mengecek pekerjaan mereka. 

Sore semakin beranjak. Namun meski waktu sudah menapak pada pukul 17.30, matahari masih bersinar cerah. Maghrib di sini jatuh pada sekitar pukul 19.00. 

Kantuk dan lelah sisa perjalanan panjang semalam mulai menghampiri, namun tidak saya hiraukan. Sore di Banda Aceh, sungguh sangat sayang kalau dilewatkan begitu saja....

Bersambung....

Banda Aceh, 26 Agustus 2013