Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 17 Januari 2014

Big Bird, Macet dan Mie Goreng Jawa

Akhirnya GA yang saya tumpangi mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Jakarta mendung. Kondisi ini sudah terasa sejak masuk pesawat di Bandara Juanda tadi, saat awak pesawat menginformasikan tentang kondisi cuaca berawan yang diprediksikan akan menemani sepanjang perjalanan. Dan benar, sepanjang perjalanan tadi, lampu kenakan sabuk pengaman hanya beberapa menit saja padam. Pesawat seperti sedang melaju di atas jalan makadam.  

Setelah melepas hajat kecil di toilet, saya keluar menuju pangkalan taksi. Antrian orang yang menunggu taksi blue bird yang biasanya panjang, sepi. Tumben. Saya melenggang dengan suka hati. Berarti tidak perlu lama ngantri. Tapi ternyata, alamaakk... Blue bird terkena macet dan perlu berjam-jam untuk sampai di bandara. Kondisi taksi yang lain juga begitu. Heran. Seharusnya, sesuai namanya, blue bird tidak harus terhalang macet. Mestinya kan dia bisa terbang... Apa maksudnya bernama blue bird kalau ternyata terbang saja tidak bisa... Hehe.....

Saya ditanya petugas, "Ibu mau ke mana?" 
"Ke Sahid".
"Ibu, kami antar ke pangkalan blue bird saja, karena taksinya lagi kena macet semua". Petugas berbaju biru itu menunjuk bus biru yang sewarna dengan taksi blue bird. Bus itu di bagian lambungnya ada tulisannya "Big Bird". Oh, ini toh, induk semangnya blue bird. Saya bayangkan, big bird itulah yang melahirkan banyak blue bird.

Saya mengikuti petugas yang membawakan koper kecil saya, masuk big bird. Di dalam, penumpang sudah penuh, tapi masih ada kursi untuk saya. Saya pikir, daripada menunggu blue bird yang tidak jelas kapan datangnya, mending naik big bird saja menuju pangkalan. Kalau petugas berani menggiring kami menuju pangkalan, mustinya karena kami dijamin akan dapat taksi di sana.

Dan benar. Lumayan, ada banyak taksi, cukup untuk kami semua sebus. Aman.

Saya pun duduk manis di taksi. Dengan bapak supir yang ramah. Baru beberapa menit melaju, pak supir bilang. "Dibuang ke atas, bu, ternyata tol bawah ditutup".

Saya melihat tiga polisi dan beberapa petugas yang lain sedang mengatur lalu lintas. Mengarahkan semua kendaraan mengambil jalur kiri, lewat atas. Beberapa traffic cone berderet. Menutup akses menuju tol bawah. Saya pastikan, penyebabnya adalah banjir.

Pak Supir menghidupkan radio. Siaran dari Elshinta menginformasikan berbagai tempat di Jakarta yang dilanda banjir. Langsung dari para pengendara yang sedang terjebak banjir. Arta Gading menuju Tanjung Priuk macet sudah tiga jam. Cakung ke arah Tanjung Priuk juga macet, lebih dari sembilan jam. Semua terjebak kemacetan karena volume kendaraan dan genangan air serta banjir. Tol bandara ke arah Pluit diarahkan lewat atas karena tol bawah juga tergenang air.

Macet, itulah kondisi yang sudah saya duga. Hampir satu jam di dalam taksi, saya masih belum beranjak dari jalan tol di kawasan bandara. Pak Supir beberapa kali menguap karena ngantuk dan bosan. Mobil hanya beringsut sedikit demi sedikit. 

Mungkin seperti saya, pak supir itu mengantuk dan lapar. Saya membunuh waktu dengan SMS-an. Dengan Mas Rohman, membicarakan dua buku yang sudah di-layout dan siap naik cetak. 'Peta Pangan Olahan Kabupaten Sidoarjo' (buku hasil kajian kerjasama dengan Kabupaten Sidoarjo), dan buku 'Senandung Anak Sulung', buku kumpulan puisi mahasiswa PPG SM-3T program studi Pendidikan Bahasa Indonesia. 

Di antara pembicaraan kami, mas Rohman bilang, "bu, sudah tahu Jakarta banjir kok malah ke Jakarta". Saya jawab, "justeru karena banjir itu, mas, saya harus inspeksi...".
"Kalau gitu jangan lupa bawa pelampung, bu."
"Saya bawa perahu karet, mas.."

Saya juga memantau anak-anak Himapala yang sedang melakukan perjalanan Pataka, dalam rangka ulang tahun Himapala yang ke 36. Mereka berjalan dari 0 mdpl sampai ke Puncak Welirang. Ternyata mereka sedang mendekat ke arah Tanggulangin, dan di sana makan siang sudah disiapkan mas Rukin. Olala...beruntunglah anak-anak itu, dapat makan siang gratis. Sedangkan saya, lagi lapar-laparnya, mau makan siang pakai duit saja kok ya tidak ada..

Untunglah, tiba-tiba ada penjual kacang goreng dan manisan mangga. Nggak tahu dari mana bapak-bapak penjual itu, tiba-tiba dia nongol begitu saja dan mengetuk-ngetuk jendela taksi. Tapi kehadirannya bagai malaikat pembagi rezeki saja...

Akhirnya, setelah berkendara dua jam lebih, sampailah saya di Hotel Grand Sahid di kawasan Panglima Sudirman. Lega rasanya. Sore nanti, pukul 16.00, pembukaan rapat koordinasi tim MBMI (Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia) akan dilaksanakan. Masih ada waktu beberapa saat. Salat, makan, dan bertemu dengan peserta PPG SM-3T yang minta dibawakan buku-buku. 

Begitu masuk kamar, saya langsung menelepon room service. Pesan mie goreng jawa. Sepertinya enak disantap di siang yang suwejuk ini. Di buku menu dijelaskan, mie goreng jawa adalah 'stir-fried egg noodles with chicken and prawns, beef meatball served with satay'. Enak kan? Apa lagi kalau disantap dengan pelengkap acar dan cabe rawit. Nyam...nyam... 

Dan Jakarta masih juga mendung. Muram. Tapi tak semendung dan semuram hati saya. Sebentar lagi akan ada yang mengirim mie goreng jawa....

Wassalam,
LN

Grand Sahid Hotel, Jakarta, 17 Januari 2014

Selasa, 14 Januari 2014

Bersepeda dan Belajar Mlijo...

Pagi ini, selepas subuh, saya dan mas Ayik sudah di jalanan. Di bawah sinar lampu yang temaram, menyibak kegelapan dan kesejukan dini hari. Mengayuh seli (sepeda lipat), menuju Merakurak.

Ya, itu nama sebuah desa di Kabupaten Tuban. Jaraknya sekitar lima kilometer dari rumah kami, di Desa Jenu. Tempat yang hampir selalu kami kunjungi setiap kali kami pulang kampung.

Pulang kampung. Agenda ini seperti menjadi hutang yang tak pernah lunas terbayarkan bagi kami. Setiap kali ada kesempatan, kami selalu berusaha untuk bisa pulang kampung. Menengok ibu tercinta, mengunjungi saudara-saudara tersayang, menyapa para teman dan sahabat terkasih. 

Liburan hari Minggu kemarin, kami menghabiskan waktu di Tanggulangin sampai sore. Di Rumah bapak dan ibu. Sekedar berkunjung dan membantu ibu benah-benah rumah setelah hujan lebat yang membuat dapur dan ruang makan basah. Juga mendengarkan cerita ibu dan bapak tentang apa saja. Menjadi pendengar yang baik bagi ibu yang suka sekali bercerita. Untuk soal bercerita, ibu memang sangat berbakat. Sejak kami datang sampai menjelang pulang, cerita ibu mengalir terus seperti tak ada habisnya. 

Kembali ke cerita tentang Tuban. Tadi malam, kami berangkat dari Surabaya selepas isya. Setelah seharian berkutat di kampus, nguji empat kali, rapat dua kali, dan 'ngreviu' proposal penelitian dosen-dosen sampai menjelang maghrib. Pada saat menjelang maghrib itulah, mas Ayik pulang kantor. Hujan di sore itu membuat jalan macet, dan mas Ayik terjebak di Jagir Wonokromo. Makanya selepas isya, kami baru bisa berangkat ke Tuban.

Kami hanya berdua. Arga tidak ikut serta, dia ada acara motret ke Cangar bersama teman-temannya. Anak itu, memang luar biasa. Kuliahnya yang sudah tiga semester kacau (hanya bayar SPP saja tapi tidak memprogram), semester ini semakin kacau setelah mengenal fotografi dan bergabung dengan komunitas fotrografer. Dia multi-talented. Sampai bingung mau ngapain. Semua dicoba. Bermusik (mulai dari nge-band, orkestra, bikin aransemen, sampai jualan alat musik), jualan hape dan kaus, dan sekarang motret. Diarahkan untuk fokus kuliah, susah. Malah cenderung melawan. Dinasehati, 'mberik-mberik'. Ya sudah, biarkan saja dulu. Yang penting dia merasa nyaman di rumah, merasa nyaman dengan bapak ibunya. Sekolah diurus sambil jalan. Sampai dia 'menemukan jalannya'. Kami selalu mengembangkan pikiran positif, Arga sedang mencari jalannya. Dan insyaallah, Tuhan Yang Maha Mengatur akan menunjukkan jalan itu dan menata hidupnya dengan baik. Amin.

Lho, kok jadi cerita tentang Arga? Yak, sekarang kembali ke soal bersepeda, supaya gayut dengan judulnya.

Sekitar dua puluh lima menit sejak keluar dari rumah, kami sudah mencapai batas Desa Merakurak. Tidak jauh dari tempat itulah, serabi dan nasi uduk biasanya digelar. Tapi ternyata, pagi ini, nasi uduk tidak ada. Hanya ada nasi pecel. Menurut penjual langganan kami itu, tadi malam, orang-orang sudah 'bancakan' nasi uduk dalam rangka memperingati Maulud Nabi. Makanya pagi ini nasi uduk tidak dijual.

Tak berapa lama, belasan bungkus nasi pecel dan serabi kesukaan kami sudah kami dapatkan. Belum banyak orang yang antri. Kami termasuk pembeli di ring satu. Antriannya hanya bersama empat-lima orang. Selama kami menunggu pesanan kami, para pembeli yang masuk golongan ring kedua dan seterusnya berdatangan.

Kami tidak langsung pulang, singgah dulu di rumah teman SMP-SMA saya yang rumahnya hanya berjarak beberapa ratus meter. Nama teman saya itu sangat singkat, yaitu Ramto (jadi ingat nama sahabat saya yang namanya Rukin tok dan mahasiswa S3 bimbingan saya yang namanya Ana saja).

Tujuan kami singgah ke rumah mas Ramto adalah untuk mengantarkan serabi dan nasi pecel, sebagai 'tanda ingat'. Sekedar singgah, terus pamit pulang. Tapi olala....mas Ramto mengeluarkan sekarung beras, dan dipaksanya kami  membawa beras itu. Kami jelas-jelas menolak. Pertama karena kami membawa seli, tentu tidak layak untuk mengangkut sekarung beras. Kedua, rumah kami masih lumayan jauh, sekitar enam kilometer. Ketiga, kami sungkaannnn sekali. Ya, benar-benar sungkan (bukan singkatan dari 'sungguh-sungguh mengharapkan' lho).

Pasalnya, sekitar sebulan yang lalu, kami pernah singgah di rumah mas Ramto. Waktu itu isterinya baru saja melahirkan anak kedua mereka. Dengan ketulusan khas orang dusun, dia memaksa kami membawa beras sekarung dan seekor ayam. Ya, ayam. Ayam hidup, sodara-sodara. Ayam jago yang besar dan gagah. Sambil memaksa dia bilang, 'mbak, aku waktu ning Suroboyo kapan iko, njenengan tukokne soto ayam. Jan enak tenan kae. Opo maneh aku pas lesu-lesune. Iki....aku gak iso masak dewe. Tak gawani beras sak lawuhe. Njenengan masak dewe yo?"

Luar biasa. Soto semangkuk ditukar sekarung beras dan seekor ayam. Tentu ini sangat berlebihan. Tapi tidak. Ini bukan soal harga soto serta harga beras dan ayam. Ini sebuah bukti persahabatan. Dia sekeluarga akan sangat terluka kalau kami menolak membawa 'properti' itu. Ya sudahlah, kami bawalah beras dan ayam itu dengan sangat terpaksa (baca: dengan sangat suka cita).

Ayam itu, saya serahkan ke ibu. Biar disembelih dan dimakan ramai-ramai dengan para cucu. Belakangan saya tahu, ibu tidak sampai hati menyembelih si jago yang rupawan itu. Ibu malah membuatkan kandang untuknya, dan membeli seekor ayam wanita, eh, betina, untuk menemani hari-hari si ayam jago. Keduanya pun berproduksi. Sampai hari ini, mereka sudah menghasilkan telur dua puluh dua butir. Ya, tentu saja telur ayam kampung. Asli.

Berhenti dulu cerita soal ayam. Kami pun pamit dari rumah mas Ramto dengan membawa sekarung beras itu. Terpaksa (sekali lagi, baca: suka cita). Itu pun, tadinya kami sebenarnya dipaksa-paksa untuk membawa seekor ayam juga. Oh, no. Kami menolak dengan keras. Bayangkan, bersepeda, lengkap dengan helm dan berbagai atributnya, tapi yang dibawa sekarung beras dan seekor ayam. Sungguh tidak keren blas kan?

Beras itu akhirnya diletakkan di boncengan seli mas Ayik yang mini, dan pasti akan menyulitkan mas Ayik mengayuh selinya nanti. Tidak apalah. Demi menyenangkan hati seorang sahabat. Mas Ramto sekeluarga nampak puas sekali karena kami bersedia membawa beras hasil panennya sendiri itu, meski agak kecewa karena kami menolak membawa ayamnya.

Kami mengayuh sepeda menuju arah pulang, kembali ke jalan yang benar. Namun karena ibu tadi bertelepon dan meminta kami membelikan kacang panjang dan kangkung, kami bermaksud singgah dulu di pasar. Tapi belum mencapai pasar, di perjalanan itu, kami menemukan seorang ibu bersepeda yang membawa kacang panjang dan kangkung yang akan dijualnya di pasar. Wah, pucuk dicinta ulam tiba. Tidak perlu ke pasar, transaksi pun terjadi di jalan. Hanya dengan Rp.8.000,-, kami sudah dapatkan kacang panjang dan kangkung 'sak-umbruk'.

Kembali kami mengayuh seli yang tiba-tiba terasa agak berat, menuju jalan pulang, benar-benar jalan pulang. Dengan membawa sekarung beras, sekantung kangkung, 'sebagkelan' kacang panjang, dan tentu saja belasan bungkus nasi pecel dan serabi. Seli kami penuh dengan barang komoditi. Mirip dengan tukang sayur langganan kami. 

Sebuah pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa ini adalah, betapa menyenangkannya bersepeda. Membakar lemak, menyehatkan jantung, menguatkan otot-otot,  menikmati pemandangan, bersilaturahim, sekaligus belajar 'mlijo' (jualan sayur). Menyehatkan jasmasi dan rohani, jiwa dan raga, materiil spirituil.... 

"Selamat memperingati Maulud Nabi. Mari perbanyak membaca shalawat demi mendapatkan syafaat Rasulullah SAW. Amin YRA".

Tuban, 13 Januari 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 05 Januari 2014

Olah Raga Itu Menyehatkan

Kalau membaca judul itu, pasti orang akan berkomentar: 
"sopo sing gak weruh lek olah raga itu menyehatkan?" Ya, semua juga tahu itu. Mulai anak usia play-group sampai para manula. Laki perempuan, kaya miskin.

Sebenarnya judul itu hanya untuk meyakinkan diri saya sendiri. Pasalnya, beberapa waktu belakangan ini, saya sangat tidak mementingkan olah raga. Bukannya tidak mementingkan dalam arti menganggap olah raga itu tidak penting, bukan itu. Saya kurang atau bahkan tidak menganggapnya prioritas sehingga olah raga sak-kobere. Kalau pekerjaan menumpuk atau agenda kegiatan padat, saya nyaris tidak pernah berolah raga. Apalagi kalau sudah koreksian segunung dan naskah-naskah skripsi, tesis atau disertasi memenuhi meja saya. Boro-boro berolah raga. Lihat tumpukan kertas itu saja rasanya sudah eneg...hehe. Makanya daripada eneg, mending segera diberesi. Olah raga ntar saja....

Tapi setelah saya pikir-pikir, saya seperti merusak hidup saya sendiri kalau saya meninggalkan olah raga. Buktinya, sejak saya tidak bisa, atau lebih tepatnya tidak mau menyempatkan diri berolah raga, tubuh saya jadi gampang loyo, terasa kaku-kaku, kurang bersemangat. Juga gampang sakit, terutama flu dan gebres-gebres. Saya pikir-pikir lagi, kalau saya terus-teruskan kemalasan saya berolah raga ini, saya sedang mendholimi diri saya sendiri, karena tidak memberinya kesempatan untuk menghirup segarnya udara pagi, mengisi penuh paru-paru dengan hawa yang bersih, dan memacu jantung untuk berlatih agar tetap kuat. 

Nah, setelah saya pikir-pikir lagi, nuruti gawean nggak ada habisnya. Nuruti gawean nggak akan sempat berolah raga. Saya harus merubah pola pikir. Olah raga harus menjadi salah satu prioritas. Apa pun yang terjadi, harus bisa menyempatkan diri berolah raga. Setiap hari. Harus. Urusan koreksian, masak, bersih-bersih rumah, baca naskah, menulis....atur belakangan.

Sebenarnya olah raga macam apa sih yang saya inginkan? Ya, bersepeda. Cuma bersepeda. Bukan olah raga yang aneh-aneh. Panjat tebing atau menyelam misalnya. Wong sepedaan ae kok cik uwangele nyempatne.....

Syukurlah, dalam waktu sekitar dua mingguan ini, saya sudah mulai rutin bersepeda. Setiap pagi. Tiga puluh menit sampai satu jam. Berangkat selepas salat subuh, sama mas Ayik. Ke mana lagi kalau bukan ke Masjid Agung. Itu memang tempat favorit kami. Cukuplah tiga sampai lima putaran mengelilingi masjid megah itu, terus pulang.

Pulang. Tapi, nanti dulu. 
Acara sarapan harus aman sentausa lahir dan batin. Ada banyak pilihan di Masjid Agung dan sekitarnya. Siomay, semanggi, nasi pecel, nasi soto, nasi campur, bubur ayam... Demi stabilitas nasional, maka ketika pulang, kami harus sudah bawa makanan. Tidak ada waktu untuk memasak. Saatnya berbenah untuk berangkat kerja. Ya, memang hidup adalah pilihan. Kalau mau punya waktu untuk bersepeda, maka masak untuk makan pagi terpaksa seringkali dikorbankan. No problem. Akeh bakul...hehe.

Ternyata eh ternyata, olah raga itu benar-benar menyehatkan. Saya merasa lebih bersemangat setiap bangun tidur, lebih bersemangat beraktivitas seharian. Jarang kena flu, jarang pegal-pegal. Gebres-gebresnya juga banyak berkurang.

Ternyata eh ternyata, menurut hasil penelitian, olah raga pagi itu bisa mengurangi lelah. Seorang peneliti dari Universitas Georgia yang pada tahun 2008 melakukan studi, menemukan bahwa orang yang melakukan jogging sekitar 20 menit tiga kali dalam sehari mengalami peningkatan level energi sampai 65 persen. Nah, meski pun saya hanya berolah raga sekali sehari, efek positifnya sudah bisa saya rasakan. Ndahnea lek tiga kali sehari secara teratur. Wah....pasti semakin gak kober nyambut gawe haha....

Jogging juga dapat menyehatkan jantung karena akan meningkatkan detaknya dan mendorong paru-paru bekerja maksimal. Selain itu, jogging juga akan menguatkan seluruh otot tubuh, mengurangi risiko penyakit jantung, menurunkan tekanan darah dan kolesterol, bahkan mencegah diabetes. Konon, tubuh yang mengeluarkan keringat (dalam batas yang wajar) akan terjaga dari penyakit-penyakit yang disebabkan oleh lemak makanan dan semacamnya. 

Ternyata eh ternyata, olah raga juga ada hubungannya dengan kedisiplinan. Ya, untuk bisa rutin berolah raga, butuh kedisiplinan. Dengan berdisiplin berolah raga, maka kita akan terbiasa berdisiplin untuk hal lain. Begitu kira-kira.

Jadi, mari kita memasyarakatkan olah raga dan mengolah ragakan masyarakat. Men sana en corpore sano....


Tanggulangin, 5 Januari 2013

Wassalam,
LN

MAS yang Syahdu

Siapa yang tidak kenal Masjid Nasional Al Akbar Surabaya? Hampir semua orang Surabaya atau bahkan masyarakat Jawa Timur pasti mengenalnya. Masjid ini bahkan sudah terkenal di seantero Nusantara dan mungkin juga di seluruh dunia (pede aja lagee...hehe).
Masjid yang biasanya disebut sebagai Masjid Agung Surabaya (MAS) ini, konon terbesar kedua (setelah Masjid Istiqlal di Jakarta). 

MAS posisinya berada di samping Jalan Tol Surabaya-Porong. Kalau Anda lewat jalan tol tersebut, Anda akan melihat kemegahan MAS. Ciri yang mudah dilihat adalah kubahnya yang besar didampingi 4 kubah kecil yang berwarna biru, serta memiliki satu menara. Menara MAS tingginya 99 meter. Ya, seratus kurang satu. Nggak percaya? Ukur sendiri sono...

Menurut sejarahnya, MAS dibangun sejak tanggal 4 Agustus 1995, atas gagasan Walikota Surabaya saat itu, yaitu H. Soenarto Soemoprawiro. Pembangunan masjid ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden RI Try Sutrisno. Namun karena setelah itu terjadi krisis moneter, pembangunan masjid sementara dihentikan. 

Pada tahun 1999, masjid ini dibangun lagi dan berhasil diselesaikan tahun 2001. Selanjutnya, MAS diresmikan oleh Presiden RI pada saat itu, yaitu KH. Abdurrahman Wahid, pada 10 November 2000. 

Menurut Wikipedia, secara fisik, luas bangunan dan fasilitas penunjang MAS adalah 22.300 meter persegi, dengan rincian panjang 147 meter dan lebar 128 meter. Bentuk atap MAS terdiri dari 1 kubah besar yang didukung 4 kubah kecil berbentuk limasan serta 1 menara. Keunikan bentuk kubah MAS ini terletak pada bentuk kubah yang hampir menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer yang memiliki tinggi sekitar 27 meter. Untuk menutup kubah, dipergunakan sebuah produk yang juga digunakan di beberapa masjid raya seperti Masjid Raya Selangor di Syah Alam (Malaysia). Ciri lain dari masjid raksasa ini adalah pintu masuk ke dalam ruangan masjid tinggi dan besar, dan mihrabnya adalah mihrab masjid terbesar di Indonesia.

Nah, keren kan? Namun bukan hanya itu yang membuat MAS menarik. Datanglah di pagi hari, hari apa saja. Anda akan melihat ada banyak orang di sana. Kebanyakan berolah raga. Jalan-jalan, lari-lari, atau bersepeda mengitari MAS. Ada juga senam pagi yang secara teratur dilakukan di halaman MAS. Tapi jangan bayangkan senam yang neko-neko ya, misalnya dengan iringan musik ingar-bingar dan pelatih serta para peserta senam yang berpakaian ketat plus seksi. Oh, no way.... Ini masjid, sodara-sodara. Jadi pelatih senamnya berpakaian sopan meski berada di atas panggung, mereka adalah wanita berhijab. Para pesertanya, laki-perempuan, juga berbusana sopan (berarti busana ketat itu tidak sopan ya? Hehe....tahulah....). Sebagian besar peserta senam yang wanita juga berhijab. Dan, juga, yang perlu dicatat, kebanyakan dari mereka sudah mature....

Selain orang-orang yang sedang berolah raga, juga ada para penjual makanan. Yang selalu ada adalah penjual siomay, batagor, pentol, saridele dan semanggi. Ya, semanggi, makanan khas Surabaya itu. Jadi jangan pernah merasa kesulitan mendapatkan makanan yang berbahan dasar daun semanggi dan kecambah panjang itu ya. Makanan tradisional asli Surabaya yang pada waktu dulu sempat langka, serta hanya dijual oleh para ibu manula yang kesannya kurang higienis itu, sekarang dapat mudah ditemui di sekitar MAS. Setiap pagi, setiap hari. Yang jual tetap ibu-ibu, tapi ibu-ibu yang masih belum manula, bersih, dan cantik. Penyajiannya pun lebih higienis. Sepincuk semanggi, lengkap dengan dua buah krupuk pulinya yang lebar-lebar itu, cukuplah menjadi sarapan yang sehat. Kalau kurang kenyang, bisa minta pakai lontong. Penutupnya, sebungkus dua bungkus saridele hangat. Maknyusss.....

Bagaimana dengan hari Minggu pagi? Wow, tentu bukan rahasia lagi kalau MAS menjadi semakin menarik. Tidak hanya bagi para penyuka jalan sehat, jogging dan pesepeda. Anda akan melihat di banyak tempat, orang bermain bola dan badminton. Maka di angkasa (waduh, kayaknya tinggi banget gitu ya?), puluhan bola bulat dan bola berbulu beterbangan. Asyik banget gitu ngelihatnya.

Di sebuah lapangan yang khusus disediakan untuk para pedagang kaki lima, posisinya di seberang MAS, Anda juga bisa mendapatkan apa saja yang Anda cari. Mulai dari berbagai makanan siap santap, buah-buahan, bahan kebutuhan sehari-hari, baju, payung, mainan anak-anak, barang-barang kerajinan, sampai barang elektronik, apa saja ada. Komplit. Kerudung, daster, kaus, celana panjang, celana pendek, celana dalam, BH....hehe, ada semua. Kosmetik, sabun cuci, kapur barus, peniti, lem tikus, benang, jarum, gunting, sisir, seterika.... 

Anda juga akan dimanjakan dengan berbagai hiburan di sekeliling MAS. Mau kereta kelinci, ada. Mau naik kereta kuda atau andong, siap. Bahkan mau naik kuda, juga ada. Kuda beneran lho, bukan kuda-kudaan dari kayu atau kuda di komedi putar. Kuda beneran, tentu saja dengan dipandu pemiliknya. Ya, persis seperti kuda-kuda di Bromo itu. Oya, ada juga persewaan sepeda yang mirip skateboard tapi pakai kemudi itu (saya lupa namanya). Dan juga, tentu saja, makanan: siomay, batagor, soto ayam Lamongan, soto daging Madura, pentol, bakso, lumpia, semanggi, nasi krawu, pecel pincuk, bahkan sampai kerak telur. Ya, makanan khas Betawi itu, ada juga lho di sini...

Tidak heran kalau MAS menjadi tempat favorit banyak orang, tua-muda, laki-perempuan. Tempatnya yang jauh dari keramaian (maksudnya tidak di tengah kota), namun mudah untuk mengaksesnya (bisa dicapai dari berbagai penjuru mata angin), dengan berbagai fasilitas dan makanan yang terjangkau kantong kebanyakan orang,  
MAS bisa menjadi alternatif pilihan bagi Anda yang suka berolah raga sambil memanjakan perut. 

Tapi suasana istimewa yang akan membuat MAS menjadi lain daripada yang lain adalah saat usai salat subuh. Anda bisa mendengarkan dengan jelas kuliah subuh atau alunan ayat-ayat suci Al Quran, yang bersumber dari dalam masjid megah itu, sementara Anda jogging. Di bawah temaram lampu dan pagi yang masih redup, yang kadang diselimuti kabut tipis. Syahdu.  

Bagi Anda yang belum pernah menikmati kesyahduan MAS pada dini hari, saya sarankan, jangan coba-coba. Bener, jangan coba-coba. Ya. Karena kalau Anda datang, apa lagi beramai-ramai, dini hari di MAS akan kehilangan kesyahduannya. Anda semua akan merusak suasana yang dirindukan banyak orang itu.  Sayang dong... 

Jadi, jangan datang ya, jangan datang ya....
Bener lho...


Surabaya, 5 Januari 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 01 Januari 2014

Menyambut Tahun Baru 2014

Tahun baru ini, kami memutuskan tidak ke mana-mana. Tentu saja setelah menimbang-nimbang dari beberapa alternatif agenda. Antara lain: ke Tuban, bawa tenda, nge-camp di pantai, di hutan mangrove. Di hutan mangrove itu, tentu saja, penuh dengan tanaman mangrove. Menghampar sekitar tiga kilometer, mulai dari sisi terminal baru ke arah barat. Di hutan mangrove itu ada camping ground-nya, ada juga penginapan dan tentu saja para penjual makanan dan pernak-pernik khas wisata pantai. Rumah kami, di Desa Jenu, tidak terlalu jauh dari hutan mangrove itu, hanya sekitar tiga kilometer. Kami membayangkan nge-camp di hutan itu, bersama para keponakan, sambil bakar-bakar jagung, ketela, sosis, bakso, dan makan mie instan. Menikmati malam tahun baru. Tentu mengasyikkan, namun untuk saat ini, rasanya belum memungkinkan.  

Agenda kedua, ke Ponorogo, Menemani bapak dan ibu. Namun karena ada adik-adik yang juga berkeinginan ke Ponorogo, akhirnya adik-adiklah yang menemani bapak dan ibu. Kami cukup meminjamkan mobil dan menyiapkan bensinnya saja. 

Agenda ketiga, di rumah saja. Kebetulan saya kemarin baru saja dari dokter. Saya kena radang tenggorokan, tiga hari menahan sakit di tenggorokan dan rasa njarem di leher, akhirnya harus menyerah pada suntik dan obat dokter.  Sebelumnya saya coba mengobati sendiri dengan obat herbal yang biasanya cukup manjur. Namun mungkin selama sakit itu aktivitas saya cukup tinggi, maka sakitnya nggak hilang-hilang. Dengan obat dan antibiotik dari dokter, sakitnya berangsur berkurang, meski setelah minum obat, rasa kantuk selalu menyerang nyaris tanpa bisa ditahan. Artinya, saya dipaksa istirahat. Ya sudah, sejak kemarin, saya menikmati tidur sore, maksudnya tidur malam tapi sebelum pukul 21.00. Biasanya saya tidur menjelang tengah malam atau bahkan lewat tengah malam.

Kami memilih alternatif ketiga. Di rumah saja. Pagi tadi adik yang tinggal di Gedangan, SMS dan mau bergabung di Karah. Suaminya kerja di Laos. Melewati malam tahun baru hanya berdua dengan anak semata wayangnya, di lingkungan perumahan yang sepi karena para penghuninya banyak yang keluar kota, membuat dia merasa kurang nyaman. Maka sejak sore tadi, dia sudah boyongan ke rumah kami, di Karah.

Hari ini saya memasak seperti biasa, hanya jumlahnya saja yang lebih banyak. Belanja juga di tukang sayur langganan saja. Seadanya yang dibawa tukang sayur. Ayam kampung dan kepiting. Ayam kampung saya masak opor, kepiting saya masak kare, sudah ada kering tempe bikinan ibu, dan sambal terasi. Juga krupuk udang. Selebihnya buah-buahan: salak, buah naga, pepaya, apel, pear. Buah-buahan itu sebagian besar datang sendiri, tidak beli. Juga pisang rebus. Oya, juga rengginang lorjuk, kacang bawang dan emping goreng. Full asam urat. Hehe.

Selepas maghrib, mas Ayik pasang tenda di depan rumah. Lengkap dengan kursi-kursi santai. Begitu tenda siap, kasur dan bantal dimasukkan, keponakan kami, Ichiro, langsung menyerbu masuk tenda bersama mamanya, tidur. Jam 20.00 sudah sepi. Arga sendiri sudah berangkat keluar rumah sejak lepas maghrib tadi, ada 'tanggapan' nge-band. 

Saya dan mas Ayik bersiap-siap. Mengeluarkan sepeda, helm, senter dan lampu sepeda, dan perbekalan.  Tepat pukul 21.00, kami keluar rumah, tentu saja setelah pamit pada adik dan berpesan padanya untuk pindah masuk ke dalam rumah kalau sudah bosan di tenda. 

Bersepeda menuju Bungkul. Apa lagi kalau tidak demi car free night. Sejak keluar ke jalan besar, kami langsung terjebak kemacetan. Sebenarnya saya sendiri agak enggan ke Bungkul, tidak nyaman, karena pasti macet. Tapi mas Ayik mengajak ke sana, ya sudah, mengikuti ritme suami saja.

Di Taman Bungkul, manusia tumplek bleg, tua muda laki perempuan bahkan bayi-bayi pun mememuhi jalanan. Pesepeda tidak banyak, yang banyak manusianya. Ada banyak panggung, ada banyak pertunjukkan, terompet bersahut-sahutan, ingar bingar. Sama sekali tidak nyaman. Ini hiburan yang justeru bikin stres. Sebenarnya seperti itulah memang yang sudah saya bayangkan kondisi Bungkul pada malam ini. Tapi apa boleh buat, setidaknya sudah tahu suasananya seperti apa.

Rencana menikmati Taman Bungkul barang sebentar, kami urungkan. Kami langsung ambil jalan pulang, menuju arah kampus, lewat jalan Kutai, tembus Gunungsari, lanjut Ketintang, masuk kampus. Sejak sebelum masuk pintu gerbang, beberapa anggota Menwa sudah menyapa, begitu juga sampai di pos satpam. Ternyata banyak juga yang mengenal saya, sehingga tidak perlu bernego dengan satpam untuk dibukakan palang pintu. Ya, malam ini keamanan kampus dikendalikan super ketat. Hanya orang-orang yang jelas-jelas saja yang boleh masuk kampus. Yang kurang jelas, meski bilang mau ke himapala atau ke humas, tidak diperbolehkan. Alasannya, tidak ada surat pemberitahuan kalau malam ini di kedua sekretariat itu ada acara. Ya, memang. Namanya juga acara spontanitas saja, jadi nggak pakai surat pemberitahuan.

Di Humas, teman-teman sedang 'cethik geni', belum ada bakar-bakar. Padahal tadi mas Rohman, sahabat kami yang juga tim Humas Unesa, SMS kalau sedang siap-siap untuk bakar jagung. Saya kira jagungnya sudah dibakar dan saya tinggal melahapnya...hehe, maunya...

Karena di Humas masih siap-siap, kami bergeser ke sekretariat Himapala. Lumayan ramai. Mereka menggelar tikar dan karpet. Memasang TV besar di depannya. Masak penyetan. Ada acara game-game yang bikin ger-geran. Seru. 

Sekitar sepuluh menit menjelang tengah malam, kami pamit. Geser ke Humas lagi, karena mas Rohman beberapa kali SMS minta kami mampir ke sana. Teman-teman Humas sedang berkumpul di busem, siap-siap menyalakan kembang api. Ada sekitar dua puluh-an mereka, laki-perempuan, sebagian besar adalah para reporter. 

Detik-detik pergantian tahun pun tiba. Suara menggelegar ada di mana-mana, warna terang benderang memercik-mercik dan bersemburat di atas. Di mana-mana suara berdebum bersahut-sahutan. Saya seperti sedang dalam medan perang dan dikepung dari segala penjuru. Pada dasarnya saya tidak suka suara petasan dan sejenisnya. Tapi kilatan-kilatan kembang api di angkasa itu begitu indahnya, dan memaksa saya untuk terus menikmatinya.

Selamat datang 2014.
Semoga semakin berkah untuk kita semua, untuk negara dan bangsa. Amin YRA.


Surabaya, 1 Januari 2014. 01.10 WIB.

Wassalam,
LN

Sabtu, 28 Desember 2013

Senja

Senja mulai jatuh perlahan
Membawa sejuta tabir dan menutup kilau matahari
Adzan maghrib berkumandang memanggil setiap insan untuk bersiap diri
Cukuplah hari ini bersibuk diri
Saatnya bersimpuh di hadapan Illahi Rabbi...

Tanggulangin, 28 Desember 2013. 17.50 WIB.


Wassalam,
LN

Soreku

Soreku adalah kelelahan yang memuncak seperti lelahnya matahari yang sinarnya meredup di ujung senja
Diamnya rumput ilalang yang tak bergerak sedikit pun karena angin telah lelah menerpanya
Gegung-gedung tinggi yang beku dan temaram lampu-lampu yang masih bermalas-malasan untuk menyala

Soreku
Menjadi sangat hidup saat sedang mengingatmu 
Bersemangat menyapa pepohonan yang di rerantingnya tersangkut bayang-bayangmu
Mencumbui aroma cemara hutan yang terendus seperti wangimu 

Aku, matahari, ilalang, gedung-gedung, lampu-lampu, semua telah lelah sore ini
Namun kerinduan menemui sosokmu dan membaui wangimu, membasuh semua lelahku

OTW Home, Wiyung
27 Desember 2013
17.00

Wassalam,
LN