Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 05 Juni 2014

Tamu Istimewa dari Jauh

Hari ini saya kedatangan tamu istimewa dari jauh. Tidak tanggung-tanggung. Tamu saya itu dari Kabupaten Mamberamo Raya, Papua. Namanya, Isak Torobi. Beliau adalah Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mamberamo Raya.

Sebenarnya Pak Kadis, begitu kami menyebutnya, sudah tiba di Surabaya sejak dua hari yang lalu. Tetapi karena saya masih bertugas di Yogya, maka baru hari ini kami bertemu.

Siang ini saya membawa Pak Kadis menghadap Pak Rektor. Di ruang rektor yang sejuk, ditemani PR 1 dan secangkir teh manis serta kletikan, Pak Kadis menyampaikan maksud kedatangannya. Beliau menunjukkan setumpuk berkas surat kesanggupan para peserta SM-3T untuk kembali ditugaskan ke Mamberamo Raya.

"Saya ingin menyampaikan kepada Bapak Rektor, bahwa para guru SM-3T sanggup untuk kembali ditugaskan ke Mamberamo Raya. Tentu saja kalau Bapak merelakan mereka.." Begitu kata Pak Kadis. Lelaki hitam tinggi besar tapi ramah itu menjelaskan. Kata-katanya runtut, mengalir lancar dengan suaranya yang agak serak namun jelas. Mata tajamnya yang bersembunyi di wajah hitamnya menyiratkan kesungguhan.

"Kami merasa sangat terbantu dengan kehadiran para guru itu. Kami sangat kekurangan guru. Bupati mengharapkan mereka semua akan menetap di sana. Mereka akan diangkat sebagi guru kontrak, sambil menunggu formasi untuk CPNS. Mereka nantinya akan diprioritaskan."

Tentu saja Pak Rektor menyambut dengan tangan terbuka. Para guru itu sudah membuat surat kesanggupan yang sudah mereka tandatangani sendiri. Atas inisiatif mereka sendiri. Apa yang harus ditolak? Ketika anak-anak muda itu merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari pembangungan pendidikan di pelosok negeri, bukankah itu pilihan yang hebat. Tidakkah itu membanggakan?

"Tapi, kalau nanti mereka selesai bertugas di Mamberamo Raya, saya dengar, mereka masih harus setahun mengikuti program PPG, benarkah begitu?"
Pak Rektor mengangguk. Menjelaskan bahwa selepas dari Program SM-3T, mereka akan mengikuti Program PPG.
"Tidak bisakah itu ditunda?" Tanya Pak Kadis.
Tentu saja tidak, itulah jawaban Pak Rektor. Namun dengan bahasanya yang rileks dan mencerahkan. Ternyata Pak Kadis datang, selain ingin menyampaikan surat kesanggupan para peserta SM-3T, juga untuk memohon supaya mereka boleh tidak mengikuti Program PPG.

Saya katakan itu program yang penting untuk mereka. Juga menguntungkan bagi Pemda Mamberamo Raya. Karena begitu mereka nanti bertugas di sana, mereka tidak lagi direpotkan dengan kewajiban harus ikut sertifikasi guru. Mereka sudah memiliki sertifikasi itu. Artinya, begitu bertugas, mereka tidak akan pergi-pergi dalam jangka waktu yang lama untuk menempuh pendidikan profesi.

"Berarti mereka akan pergi selama setahun? Bisakah kami dijamin bahwa kami diberi guru-guru untuk menggantikan mereka, Pak Rektor? Sementara mereka pergi untuk menempuh PPG? Kami sangat kekurangan guru, dan kehadiran mereka begitu berarti bagi kami. Kalau kami harus kehilangan mereka selama setahun, saya khawatir dengan anak-anak, guru-guru, dan sekolah-sekolah yang sudah terlanjur mencintai mereka." Lanjut Pak Kadis.

Pak Rektor spontan melihat saya. Saya mengangguk, terharu. Juga meyakinkan Pak Rektor. "Bisa, Bapak." Suara saya pelan. Dada saya agak sesak tiba-tiba. Suara Pak Kadis barusan, begitu menghunjam ulu hati saya. Membayangkan rasa kehilangan itu. Setahun memang waktu yang singkat. Namun ketika dalam setahun itu kebersamaan begitu intens, bersama-sama membangun pemahaman dan pengertian, memaknai suka-duka karena keberagaman, dan lantas terjalin perasaan saling membutuhkan dan saling mencintai, betapa berat sebuah perpisahan.

"Mungkin ada baiknya Pak Kadis menulis surat ke Dikti, supaya nanti Mamberamo Raya dikirim lagi guru-guru ke sana." Kata Pak Rektor.
"Ke Dikti?" Tanya Pak Kadis. Ragu.
"Ke Unesa saja juga tidak apa-apa, Bapak." Tukas saya, mencoba memahami keraguan Pak Kadis. Beliau pasti merasa akan kehilangan jalur emas kalau harus berkirim surat ke Dikti. "Ke Unesa saja, Bapak, nanti kita yang membawa suratnya ke Dikti."
"Ya ya, begitu juga bagus." Kata Pak Rektor.

Tiba-tiba Bu Kisyani, tersenyum, menarik perhatian kami. "Ada apa, Bu Kis?" Tanya saya.
"Gelangnya Pak Kadis...bagus sekali."
Kami tertawa berderai. Gelang perak di pergelangan tangan Pak Kadis serta merta menjadi pusat perhatian kami. Pak Kadis tertawa lebar, memperlihatkan lesung pipitnya.

Tentang lesung pipit itu, tadi, menjelang masuk ruangan Pak Rektor, saat saya memperkenalkan Pak Kadis ke Bu Kis, Bu Kis juga spontan berkomentar. "Aduh, Bapak manis sekali....punya lesung pipit ...." Tentu saja Pak Kadis tersipu-sipu dengan sapaan yang tidak terduga itu.
 
Kami keluar dari ruangan rektor saat jam menunjukkan pukul 14.00 lewat. Sebenarnya ada kegiatan pembukaan Pekan Olah Raga (POR) Peserta PPG siang ini, dan saya diharapkan bisa membuka acara. Namun saya sudah berpesan ke Pak Sulaiman dan Pak Heru tadi, kalau acara sudah dimulai dan saya belum tiba, Pak Sulaiman bisa mewakili saya untuk memberi sambutan dan membuka acara.

Tiba di PPG, ternyata acara baru akan dimulai. Benar-benar tepat momennya. Upacara Pembukaan POR ini tidak hanya dihadiri oleh kami para pengelola, namun juga dihadiri Kepala Dinas Mamberamo Raya sebagai tamu kehormatan. Saat saya memberi sambutan, saya memperkenalkan kepala dinas dari seberang timur itu, dan menyampaikan maksud kedatangannya. Maka sambutan yang hangat pun riuh rendah dari para peserta PPG.

Kami membawa Pak Kadis berkeliling, melihat gedung PPG dari satu lantai ke lantai yang lain. Saya sempat memisahkan diri karena saya harus menghadiri pertemuan dengan para mahasiswa S2 peserta penelitian Hibah Pasca Sarjana, yang memang sengaja saya undang ke PPG, biar saya bisa nyambi-nyambi. Sementara itu, Pak Heru dan Pak Julianto, mendampingi Pak Kadis mengunjungi asrama. Bercengkerama dengan para peserta PPG, yang kebetulan beberapa ada yang asli Papua, dan sempat makan malam bersama dengan anak-anak muda itu.

Begitu tiba di ruangan saya sekembalinya dari asrama, Pak Kadis berkata. "Luar biasa. Saya yakin, kita bisa mengembalikan jati diri kita bila proses pendidikan guru dikemas seperti ini." Wajahnya menyiratkan kebanggaan.
"Ya, Bapak. Oleh sebab itu, biarkan para guru yang saat ini bertugas di Mamberamo Raya, pulang dan belajar di sini setahun, dan baru kembali lagi ke Mamberamo. Untuk melengkapi bekal mereka sebagai guru."
"Ya ya, saya sangat setuju. Saya akan laporkan ke Pak Bupati nanti, bahwa para guru itu harus mengikuti program ini, supaya Mamberamo Raya nantinya mendapatkan guru-guru yang benar-benar guru."

Malam itu, lewat waktu Isya, kami mengakhiri pertemuan dengan makan malam di Rumah Makan Lombok. Pak Kadis dan Pak Heru menikmati sup buntut, saya dan Anang menyeruput sayur asem, dan Pak Julianto melahap gurami bakarnya. Pertemuan sehari ini begitu indah dan penuh makna. Semoga memberi makna juga bagi hal-hal baik yang telah terbangun dan terus dibangun.

Surabaya, 4 Juni 2014.

Wassalam,
LN
(5 Juni 2014. 19.10. Di Juanda, nunggu boarding)

Senin, 02 Juni 2014

Please Note Your Boarding Time

Pagi ini saya kembali menyapa Juanda. Hari ini saya dan besok terjadwal melakukan monitoring dan evaluasi (monev) Program PPG di UNY. Bila on time, saya akan menumpang Wings Air menuju Yogyakarta pada pukul 07.10. Diperkirakan pukul 08.20, saya akan tiba di Yogyakarta.

Di pintu masuk bandara, saya bertemu Mendikbud M. Nuh, bersama ajudannya, Mas Rizal, polisi yang tinggi semampai  dan ngganteng itu. Pak Nuh  tersenyum lebih dulu ke saya. "Selamat pagi, Pak." Saya mengulurkan tangan, tapi, tidak seperti biasanya, beliau menolak bersalaman. Mungkin beliau habis wudhu dan bersiap salat dhuha. Atau mungkin karena sebenarnya beliau tidak suka bersalaman dengan lain jenis, khas kyai NU, kecuali terpaksa. Hehe. Mas Rizal, yang dalam kondisi rileks biasanya sangat 'celelekan', kali ini 'macak' sopan, formal, dan tidak banyak cakap.

Saya mengantri di barisan penumpang Wings Air. Pak Nuh dan ajudannya berlalu, Mas Rizal bilang, 'bapak' naik Twin Air.

Setelah menerima boarding pass, saya langsung naik ke lantai dua. Dua orang gadis menyambut di ujung tangga, dengan membawa papan kecil berwarna biru dengan tulisan putih. Saya sempat membaca di salah satu papan itu. "Please note your boarding pass." Oya, saya jadi ingat, beberapa waktu yang lalu, saya mendengarkan informasi dari televisi kalau sejak Juni 2014, pengumuman naik pesawat tidak lagi akan dilakukan di Bandara Juanda. Penumpang harus mencermati waktu boarding-nya masing-masing, karena kalau tidak, mereka bisa ketinggalan pesawat.

Maka saya bayangkan Bandara Juanda sejak hari ini akan sunyi dan tenang, tidak ramai oleh pengumuman-pengumuman masuk pesawat yang sambung-menyambung seperti biasanya. Dan benar. Beberapa waktu duduk di ruang tunggu, saya tidak mendengar pengumuman apa pun. Bagus. Ini akan membuat penumpang lebih hati-hati dan lebih cermat terkait dengan waktu boarding. Ini juga akan membuat penghematan energi karena bandara tidak harus menggunakan loud-speaker terus-menerus. Juga lebih ramah lingkungan, mengurangi polusi suara.

Tapi, olala. Ternyata perkiraan saya meleset. Pengumuman pertama terdengar di seantero gedung. Pengumuman untuk penumpang yang mengandung, membawa bayi di bawah enam bulan, serta yang sedang sakit cacar, supaya mereka lapor. Juga pengumuman kedua, untuk penumpang Lion Air yang membawa bagasi lebih dari satu koli, yang diminta melapor kembali ke konter check in.

Baiklah, kalau pengumuman terkait dengan hal-hal itu, bolehlah. Itu pengumuman penting. Untuk pengumuman waktunya naik pesawat, mungkin tidak akan diumumkan seperti yang sudah diinformasikan.

Tapi, sekali lagi, dugaan saya meleset. Pengumuman demi pengumuman ternyata masih juga berkumandang. Mulai Lion Air yang akan terbang ke Balikpapan, dan lain-lain, sampai akhirnya Wings Air jurusan Yogyakarta. Itu pesawat saya. Maka masuklah saya ke badan pesawat ATR itu.

Mungkin karena saat ini masih masa transisi, meski Bandara Juanda sudah menyampaikan kalau setiap penumpang harus memperhatikan waktu boardingnya masing-masing, informasi waktu naik pesawat masih juga diumumkan. Ya sudahlah, karena masih masa transisi, bisa dimaklumi. Yang akan datang, pasti semuanya akan berjalan sesuai rencana.

Jadi, perhatian untuk semua penumpang yang akan berangkat dari Bandara Juanda, please note your boarding time....


Yogyakarta, 2 Juni 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 01 Juni 2014

Pagi Hari di Soetta

Manisnya bubur kacang hijau di pagi ini, seperti manis senyummu yang menawan hati
Santan kentalnya yang gurih adalah gurihnya canda tawamu yang menghibur diri
Bongkah kecil roti mini ini bagai bongkah-bongkah rindu yang tak pernah henti, menyatu di sanubari seperti menyatunya roti dengan selai strawberi

Coba kucicip legitnya muffin pandan mungil ini
Hm, lembutnya, wanginya, mengingatkan diriku akan harummu, serasa merasuk di hati

Ditemani secangkir teh manis dan hangatnya sinar mentari yang menembus jendela-jendela kaca
Mengantarkan diriku merindui kehangatanmu yang selalu setia....

Garuda Lounge, Soetta, 29 Mei 2014. 06.30 WIB


Wassalam,

LN

Kangen

Sore sudah jatuh ketika saya keluar dari lobi hotel Grand Candi, Semarang. Waktu menunjukkan pukul 17.00. Dengan menumpang taksi, saya menuju bandara. Pukul 18.30 nanti, saya akan terbang menumpang Sriwijaya Air, pulang ke Surabaya.

Ini perjalanan di luar rencana. Seharusnya kegiatan di Semarang dijadwalkan sampai tanggal 2 Juni besok, dan malam ini adalah finalisasi reviu instrumen ujian tulis PPG Kolaboratif. Namun karena 16 'pakar' yang diundang untuk mereviu instrumen ini memiliki kecepatan bekerja yang berbeda, maka orientasi kegiatan lebih pada output, bukan waktu. Tugas mereviu dilakukan secara mandiri, dan siapa pun yang sudah selesai, bisa pulang lebih dulu. Namun pada umumnya, tidak ada yang mampu menyelesaikan sebelum jadwal yang sudah ditentukan, bahkan kadang ada yang melewati jadwal, alias pekerjaannya belum selesai. Kecuali orang-orang yang sedang beruntung. Seperti saya.

Ya, saya benar-benar menjadi orang yang beruntung kali ini. Saya kebagian mereviu instrumen bidang tata boga, sesuai dengan spesialisasi saya. Instrumen yang saya reviu itu, sudah lumayan rapi. Meski tetap harus melakukan pembenahan di sana-sini, namun, dibandingkan dengan instrumen yang ada pada teman-teman reviewer yang lain, butir-butir soal yang harus saya reviu, sebagian besar sudah baik.

Kebetulan saya kenal penyusunnya. Teman dosen dari UNY dan UNJ, keduanya asli orang Tata Boga, jadi paham bidang studi. Mereka lulus S2 dan S3 dalam bidang pendidikan, bahkan salah satu di antaranya lulusan doktor bidang penelitian dan evaluasi. Klop sudah. Bidang studi paham, pedagoginya dapat, dan evaluasinya kena.

Sejak kemarin sore, begitu saya membaca butir-butir instrumen secara sepintas, saya memperkirakan kalau saya tidak perlu memerlukan dua hari dua malam untuk membenahinya. Rencana saya semula yang akan langsung ke Yogya, karena tanggal 2-3 Juni saya dijadwalkan untuk melakukan monev PPG di UNY, mungkin bisa saya atur ulang. Saya akan pulang Minggu malam ke Surabaya, dan paginya baru berangkat lagi ke Yogya. Dari pada saya naik travel dari Semarang ke Yogya dengan waktu tempuh sekitar empat jam, rasanya pulang ke Surabaya jauh lebih dekat dibanding jarak Semarang-Yogya.

Menjelang siang, ketika saya sudah menyelesaikan 90 persen tugas saya, saya menelepon Mas Nardi, minta dipesankan tiket pesawat ke Surabaya untuk penerbangan sore. Sekaligus juga pesan untuk penerbangan dari Surabaya ke Yogya besok pagi.

Mungkin bagi sebagian orang, betapa melelahkannya perjalanan saya. Beberapa minggu ini, jadwal tugas keluar kota begitu padat. Berderet-deret sampai saya tidak lagi bisa menikmati tanggal-tanggal merah yang berkali-kali menghiasi kalender, termasuk juga libur akhir pekan. Dengan kondisi seperti itu, sebenarnya, untuk saat ini, mungkin saya lebih baik naik travel ke Yogya, semalam istirahat di Yogya, dan besok bisa langsung beraktivitas di UNY, tanpa perlu bangun pagi-pagi dan terburu-buru mengejar pesawat.

Namun saya akan kehilangan beberapa jam yang sebenarnya bisa saya dapatkan untuk bisa bersama keluarga. Beberapa jam itu, betapa berharganya. Ya, dalam kondisi aktivitas yang sedemikian padat, ada sesuatu yang sepertinya terenggut dari hari-hari saya. Berkumpul bersama keluarga. Bersantai di rumah, nonton TV, makan bersama, pulang kampung, nge-mall, nonton film, bersepeda, memasak, membersihkan taman...

Saya kangen itu semua. Dalam segala keterbatasan saya, dalam segala kepadatan tugas-tugas saya, saya selalu berjuang untuk bisa mendapatkan kesempatan itu. Ternyata saya bukan siapa-siapa tanpa keluarga. Ternyata saya begitu lelahnya ketika kesempatan bertemu keluarga terenggut dari hari-hari saya. Saya rindu, saya kangen, saya ingin pulang....

Ya Tuhan, beri kekuatan lahir dan batin, perlindungan lahir dan batin, kesehatan lahir dan batin, untuk saya, anak dan suami saya, seluruh keluarga besar saya. Berkahi setiap langkah kami, tuntunlah kami ke jalan yang senantiasa Engkau ridhoi....

Semarang, 1 Juni 2014. 18.21.

Wassalam,
LN

Senin, 26 Mei 2014

Jus Pinang Aceh

Pernah minum jus pinang?

Sore ini, sekitar pukul 15.30, saya dan Dr. Heri Yanto, dosen Unnes, tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Begitu keluar pintu bandara, sebuah sapa mengagetkan kami.
"Assalamualaikum..."
Ternyata Pak Jufri, Dekan FKIP. Beliau dengan seorang teman, Bapak Samingan, Koordinator PPG SM-3T Unsyiah.

Kami bersalaman dan saling berkabar. Saya pikir, kami akan dijemput driver FKIP saja atau driver dengan koordinator PPG SM-3T atau salah satu dosen. Tidak membayangkan pak Jufri yang akan menjemput.
"Kok Bapak sendiri yang menjemput?" Protes saya. Benar-benar protes. Kalau dekan yang menjemput, saya jadi tidak leluasa untuk mengajak mampir ke sana ke mari sebelum masuk hotel. Padahal rencana saya dan Pak Heri, sore ini mau langsung jalan-jalan ke Masjid Raya Baiturahman dan makan jagung bakar di Pantai Oleele, sambil menikmati matahari terbenam.

"Ya, karena tahu Bu Luthfi yang mau datang, saya putuskan untuk menjemput sendiri." Kata Pak Jufri. Olala...inilah risikonya jadi orang terkenal. Hehe, bercanda.

Kami diantar ke Hotel Hermes. Saat melepas kami bersama room boy yang akan mengantar kami ke kamar, Pak Jufri mengucapkan selamat beristirahat dan mengatakan kalau pukul 20.00 akan datang menjemput kami untuk makan malam.

Selamat beristirahat? Boro-boro.... Hanya sebentar kemudian, setelah menunaikan salat dhuhur dan ashar jama' taqdim, saya dan Pak Heri sudah berada kembali di lobi hotel. Setelah meminta petugas hotel untuk memanggilkan taksi, maka meluncurlah kami menuju Museum Tsunami.

Sayang sekali, museum sudah tutup. Ya, pukul 16.30 museum memang sudah tutup, dan ini sudah pukul 17.00. No problemo. Masih ada yang menarik. Masjid Raya Baiturahman. Masjid indah yang lebih mirip taman rekreasi itu asyik juga untuk cuci mata. Apa lagi ini hari Minggu. Wow, ramainya mantap. Di mana-mana kerumunan orang. Mulai bayi sampai manula. Juga orang-orang berjualan jajanan. Termasuk mi aceh yang dibeber di rombong.

Tapi yang menarik tentu saja tidak hanya itu. Keindahan Masjid Baiturahman itu menyimpan cerita panjang sejarahnya sendiri sejak ratusan tahun silam. Ya, setelah sekitar 600 tahun lebih melewati peristiwa-peristiwa bersejarah, sampai saat ini, masjid itu masih berdiri kokoh sebagai simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme Suku Aceh.

Di seberang jalan masjid, ada juga sederetan rombong yang menjual produk khas. Buah pinang atau jambe. Dari kejauhan, buah yang warnanya hijau itu nambak bergerombol-gerombol digantung-gantung.  "Pak Epi, apa orang Aceh juga makan sirih pinang?" Tanya saya pada driver.
"O tidak, Bu. Itu untuk obat kuat laki-laki."
"Hah?"
"Ya, buah itu diminum sama telur bebek."
Penasaran, saya menyeberang jalan. Memisahkan diri dari Pak Heri dan Pak Epi. Saya mendekati rombong-rombong itu.
"Bu, ini untuk apa?" Saya bertanya pada ibu penjual, sambil menunjuk buah jambe yang dibungkus dengan daun sirih.
Ibu itu melihat ke saya. Agak heran. Mungkin dalam pikirannya, "perempuan ini kalau lihat manisnya sih kayak perempuan Aceh, tapi kok nggak ngerti sirih jambe buat apa." Hehe. Asli, saya tidak ge-er. Tadi, di perjalanan, driver taksi sempat bilang "saya pikir ibu orang Aceh. Ibu rapi sekali pakai kerudung, dan wajah ibu mirip-mirip orang Aceh." Nah, kan? Padahal orang Aceh kan manis-manis...

"Itu....untuk digigit-gigit....untuk menghilangkan bau badan." Jelas ibu penjual. "Satu harganya seribu."
Saya mengangguk-angguk. Kok jawabannya berbeda dengan penjelasan Pak Epi ya? Apa karena yang bertanya saya ya? Kalau yang bertanya bapak-bapak, mungkin jawabannya berbeda.

Dari Masjid Baiturahman, kami meluncur ke Pantai Oleele. Makan jagung bakar dan minum kelapa muda. Sambil menikmati matahari jingga yang jatuh di kaki langit. Ini kali kedua saya menikmati laut di pantai ini. Di tempat yang sama. Dengan keindahan yang juga sama.

Malamnya, sekitar pukul 20.00, kami dijemput oleh Dekan FKIP bersama istrinya, para Pembantu Dekan, para pengelola PPG SM-3T, makan malam di sebuah restoran. Menu di restoran itu tentu saja menarik, terutama seafood-nya. Udang gorengnya besar-besar, gurih, manis, dan juga...gratis. Haha.

Namun ada yang lebih menarik perhatian saya. Saat pelayan membawa dua buah gelas bertangkai yang isinya cairan kental berwarna kelabu seperti kopi susu, saya bertanya ke pak dekan.
"Itu minuman apa, Pak?"
"Itu dia....jus pinang."
"Hah? Jadi pinang diminum?"
"Ya. Ibu mau?" Tanya pak Dekan, yang disambut dengan gelak tawa berderai-derai dari yang lain. Rupanya khasiat jus pinang sebagai obat keperkasaan laki-laki ini membuat pertanyaan saya terdengar lucu di telinga para bapak itu.
"Mumpung bisa ngerjain profesor." Canda pak dekan. "Kalau di kampus, kita tidak bisa kan ngobrol-ngobrol begini? Betul kan, Pak?" Tanyanya pada yang lain.

Jadi, ternyata, jus pinang itu, banyak dijual di sembarang tempat di Banda Aceh ini. Di depan restoran tempat kami makan, juga ada rombong penjual jus pinang. Namanya Jus Pinang Spesial. Entah seperti apa yang spesial itu. 

Selidik punya selidik, jus pinang spesial itu, adalah
campuran beberapa butir pinang muda yang dikupas dan diambil isi buahnya, jahe merah yang sudah dihaluskan, telur bebek diambil hanya bagian kuning telurnya saja, sari kurma, ditambah serbuk habatus sauda. Semua bahan itu dicampur air dan dihaluskan dengan blender. Hasil akhirnya adalah cairan yang sewarna dengan kopi susu.

Selidik punya selidik lagi, ternyata jus pinang tidak hanya berkhasiat sebagai obat kuat laki-laki, tetapi juga untuk obat masuk angin. Artinya, mungkin cocok juga untuk ibu-ibu yang masuk angin. Dari pada kerokan dan blonyohan minyak kayu putih atau minyak tawon, mungkin ada baiknya sesekali mencoba jus pinang.

Berani coba?
Saya tidak. Tidak. Sekali lagi, tidaaaakkkk.......

Banda Aceh, 26 Mei 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 18 Mei 2014

Sate Dan Gule Pak Slamet

Tiba di Bandara Juanda, begitu saya masuk mobil, bersalam pada Mas Ayik dan mencium tangannya, Mas Ayik bilang "Langsung ke Kediri ya, Sayang?" Saya mengangguk. "Tapi pulang bentar, naruh koper dulu ya, sekalian nengok rumah." Jawab saya.

Maka pagi ini, kami berkendara menuju Kediri, tepatnya Pare. Ada teman kantor Mas Ayik yang punya hajat mantu. Sebenarnya acaranya kemarin, tapi Mas Ayik ingin datang bersama saya, mengingat saya pun sudah kenal baik dengan Pak Siswanto, teman kantor Mas Ayik itu. Tapi karena saya masih bertugas di Semarang, maka baru hari ini kami bisa memenuhi undangan itu.

Di perjalanan, baru beberapa menit, saya sudah izin ke Mas Ayik. "Aku bobo' ya, Mas?"
"Ya. Bobo' aja. Kursi diundurne, sendenan dijeglekne, ben bobo'e nyaman." Tentu saja saya manut. Menggeser jok dan sandarannya, memastikan pada PW (posisis wenak). Dan pulaslah saya.

Sampai di Pare, pas adzan dhuhur. Tamu di rumah Pak Sis ada beberapa pasang. Terop mulai dibongkar. Kami ngobrol ngalor-ngidul sambil makan kue-kue, minum kopi dan teh. Pak Sis jago ngobrol. Ada saja topiknya. Kami lebih banyak hanya mendengar. Sambil senyum-senyum, tertawa-tawa, mengangguk-angguk, dan berkomentar sepatah dua patah kata untuk mengimbangi obrolan saja.

Kami tidak berlama-lama di rumah Pak Sis. Hanya sekitar setengah jam. Yang penting kami sudah datang, menunjukkan perhatian sekaligus mempererat tali silaturahim dengan Pak Sis dan keluarganya. Untungnya, kami tidak disuguh makan siang. Ya, karena ada yang kami incar sejak dari Surabaya. Yaitu, sate dan gule Pak Slamet.

Ini yang kedua kali kami makan sate gule Pak Slamet yang ada di jalan raya Kandangan, Pare itu. Yang pertama kali dulu waktu saya ada kegiatan terusan dari Kediri ke Malang. Ditemani Mas Ayik juga, kami makan sate dan gule di tempat itu. Rasanya cocok dengan selera kami. 

Sebagai orang Ponorogo, Mas Ayik sangat fanatik pada sate. Sate ayam maupun sate kambing. Kalau tidak enak, dia mending tidak makan sate.

Nah, untuk sate dan gule Pak Slamet ini, rupanya cocok dengan selera Mas Ayik. Sama, cocok juga dengan selera saya. Kami berdua memang sama-sama penggemar sate, terutama sate kambing.

Meski penggemar sate, kami tidak lantas umpak-umpakan makan sate. Tahu diri. Ingat kesehatan. Cukuplah sepuluh tusuk untuk berdua. Juga semangkok gule untuk berdua. Minumnya wedang jeruk nipis hangat, untuk menetralisir. Bahkan sambil menunggu sate, kami makan banyak buah untuk 'nglambari'.

Sate Pak Slamet empuk, bumbu kacang yang ditabur irisan bawang merah dan sesendok sambal pas sekali untuk melumuri daging bakar yang masih panas itu. Begitu irisan jeruk nipis dibubuhkan di atasnya, wow, aromanya... Hanya dari aroma dan tampilannya saja, sate ini sudah menunjukkan pesona rasanya yang pasti lekerrr.....

Jadi, tunggu apa lagi? Mari kita nimati satenya. Te.....sate......


Pare, 18 Mei 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 15 Mei 2014

Olala....Sriwijaya....

Saya sedang mengajar di kelas saat sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Saya meminta izin mahasiswa untuk mengecek ponsel.

Ya, meski saya tidak membolehkan mahasiswa untuk menghidupkan ponsel ketika perkuliahan sedang berlangsung, tapi sejak awal saya sudah meminta keistimewaan, aturan itu tidak berlaku bagi saya. Posisi saya sebagai koordinator SM-3T mengharuskan saya untuk selalu menyediakan diri mengangkat telepon dan SMS sepanjang waktu, 24 jam nonstop. Para peserta SM-3T tidak mudah untuk mendapatkan sinyal, mereka harus menaiki bukit atau berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk bisa telepon atau mengirim SMS. Dengan kondisi seperti itu, maka saya harus senantiasa siap sedia mengangkat telepon dan membalas SMS secepatnya. Pernah suatu ketika saya telat membaca SMS, akhirnya SMS balasan saya tidak berhasil terkirim. Saya telepon ponselnya, tidak ada nada sambung sama sekali kecuali "tulalit....tulalit...." Yang bersangkutan pasti sudah turun dari bukit sinyal. Di SMS-nya dia bilang "Ibu, mohon SMS saya segera dibalas. Saya sedang di atas bukit, tapi ini mendung. Saya tidak bisa berlama-lama, harus segera turun."

Saya mengecek SMS, ternyata dari Sriwijaya Air. "Kpd YTH pelanggan Sriwijaya Air kami informasikan utk tgl 16MAY SJ225 SURABAYA-SEMARANG jam 11.25 Berubah MAJU  menjadi jam 10.10.
Mohon maaf atas ketidak nyamanan ini. Untuk keterangan lebih lanjut hub 031-5491777 atau call center 021-29279777 atau -031.8688538 -08041777777 atau kantor perwakilan Sriwijaya Air terdekat."

Duh. Padahal saya lagi nggetu-nggetunya mengajar. Saya sudah memperhitungkan waktu dengan baik. Saya akan mengajar sampai pukul 08.30, lantas ke Pasca untuk menyerahkan nilai dan menitipkan tugas-tugas mahasiswa ke sekuriti, lanjut ke LPPM, bertemu dengan tamu penting, yaitu Bapak Nanang Ahmad Rizali dari Pertamina Foundation, baru meluncur ke Bandara Juanda. Kalau penerbangan sesuai jadwal awal, yaitu pukul 11.25, waktu saya lumayan leluasa. Tapi kalau tiba-tiba jadwalnya dimajukan begini, wah, bisa kacaulah rencana saya.

Saya melihat jam. Pukul 8.10. Saya mendekati Pak Leksono, partner mengajar.
"Cak, penerbanganku maju, jek tas onok SMS soko Sriwijaya, piye iki?"
"Yo wis ora opo-opo, Jeng. Wis, ndang budhal, kelas tak atasane."
"Ngono yo, Cak? Sepurone yo, Cak?" Saya bersiap-siap. Mengemasi laptop dan buku-buku saya.
"Sama Pak Leksono dulu ya, anak-anak..." Pamit saya pada mahasiswa. Seperti guru SD ke murid-muridnya.
"Ya, Bu Guru..." Serentak jawaban mahasiswa.

Saya meminta Anang, driver PPG, untuk mengantar saya ke Pasca. Terus yergesa-gesa lanjut ke Bandara Juanda. Di tengah perjalanan, Pak Nanang mengirim pesan di whatsapp.
"Ass. Ww. Bu Prof, saya sdh di mobil keluar jln bandara. LP2M itu dekat gd Rektoratkah?"
Saya langsung mengangkat telepon. Menghubungi Pak Nanang. Menyampaikan permintaan maaf tidak bisa menemui beliau, meskipun sangat ingin. Saya juga katakan kalau Pak Isbondo dan Prof. Wayan Susila, Ketua LPPM, sudah menunggu beliau di LPPM. Dan berharap semoga suatu saat ada kesempatan bagi saya untuk bertemu.

Sampailah saya di Bandara Juanda. Langsung masuk dan menuju tempat check in. Selagi mengantri, ada sepasang suami istri yang marah-marah pada seorang petugas di konter check in itu. Saya tidak terlalu menghiraukan. Tapi begitu giliran saya sampai di depan petugas, saya jadi ngeh, kenapa orang-orang itu marah. Ternyata SMS dari Sriwijaya yang mengatakan kalau jadwal penerbangan dimajukan itu, tidak benar. Ternyata ada miscommuniation di internal Sriwijaya, dan terkirimlah SMS untuk para pelanggan itu. Padahal sebenarnya, ternyata, jadwal tidak berubah. Tetap. Tidak maju tidak mundur.

"Hah, apa?" Tanya saya pada petugas.
"Ya, Bu. Mohon maaf, ada miscommunication, Bu. Jadi jadwal seperti semula."
Rasanya ingin saya ngremus petugas itu. Ingat kelas yang saya tinggalkan sebelum waktunya, ingat pertemuan penting dengan tamu penting yang saya harus abaikan, ingat bagaimana saya meminta Anang untuk ngebut di tol sewaktu mengantar saya tadi. Tapi melihat wajah petugas yang  seperti sudah siap menerima kemarahan itu, hati saya tidak tega. Sepertinya dia sudah sejak tadi menerima komplain dari satu pelanggan ke pelanggan lain. Melihat wajah dan sorot matanya yang memelas, saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja.
"Kok bisa sih..." Kata saya lirih. "Maaf, bu..."

Ya sudah. Saya pun naik. Masuk ke sembarang kafe. Pesan jus jambu dan kentang goreng. Makan, meski tidak sedang lapar. Pelampiasan rasa jengkel dan kecewa. Kecewa sama Sriwijaya. Olala....Sriwijaya.....

Bandara Juanda, 16 Mei 2014


Wassalam,
LN