Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 03 Agustus 2014

SelamatJalan, Sahabat (2) (Puisi untuk Rukin Firda)

Senja mulai jatuh saat kami antar kau ke peristirahatan terakhirmu
Matahari jingga tersangkut di ranting-ranting pohon kamboja
Wangi bunganya semerbak mengabarkan semua keindahan yang abadi tentangmu

Betapa terpampang jelas kecintaanmu pada kehidupan
Pada istri dan ketiga buah kasihmu
Pada semua sanak saudaramu
Pada kerabat, pada sahabat
Saat ini, mereka tumpah ruah di pelataran sunyi yang tiba-tiba menjadi semarak ini
Ramai dengan alunan tahlil dan doa-doa
Mengantarkan kepergianmu menemui Rabb-mu

Sahabat,
Aku masih di sini
Menatap nanar pusaramu
Seperti tak percaya diri ini
Kaukah itu, yang terbaring di bawah taburan kembang merah yang menebarkan harum mewangi
Namun kenapa kulihat senyummu di mana-mana?
Seperti meyakinkan kami semua
"Aku baik-baik saja. Pulanglah. Lanjutkan perjuanganmu. Gapailah cita-citamu. Bukankah itu juga yang menjadi perjuangan dan cita-citaku?"

Sahabat, baiklah, kami memang harus rela melepasmu
Bukankah kau juga yang mengajarkan ketegaran
Tapi sungguh, rasa kehilangan ini begitu dalam
Tak terbayang hari-hari setelah kepergianmu
Tulisan-tulisan itu
Kelas-kelas itu
Anak-anak muda itu
Yang telah terlanjur mencintaimu
Yang selalu menunggu sapamu
Dan telah banyak menggantungkan harapan padamu
Entahlah....

Semoga Tuhan mengatur segala sesuatunya
Sebaik saat kau masih ada untuk kami semua

Selamat jalan, sahabat...
Damai selalu di sisi-Nya....

Tanggulangin, 2 Agustus 2014. 20.15 WIB

Wassalam,
LN

Selamat Jalan Sahabat (Puisi untuk Rukin Firda)

Siang ini, saat kami semua sedang bersama dalam acara halal bi halal Himapala, di Kampus Lidah
Yuni, istri tercintamu menelepon
"Mbak, apa Mas Rukin di situ?"
"Tidak, Yun, belum datang. Ada apa?"
"Iki lho mbak, tadi pagi dia keluar rumah, kok terus ada kabar dia kecelakaan. Tapi tak telpon hapenya kok gak nyambung-nyambung."
"Hah, kecelakaan? Yun, coba dihubungi lagi, aku juga coba hubungi. Moga Mas Rukin baik-baik saja."

Seketika perasaan cemas menyergapku
Saat kutelepon ponselmu, bukan dirimu yang mengangkat
Suara seorang perempuan di seberang menjelaskan semuanya
Dirimu mengalami kecelakaan, dan meninggal

Oh Tuhan
Sekujur tubuh ini seketika bergetar, dada sesak, tangis pun pecah
Tidak, itu tidak mungkin

Tapi itulah yang terjadi
Ini bukan mimpi

Begitu cepatnya semua berlalu
Masih kulihat senyummu di setiap jejak yang pernah kau ukir
Canda kelakarmu dan kata-kata penyemangatmu mengiringi langkah perjuangan para pengabdi di ujung-ujung negeri
Sumba Timur, Maluku Barat Daya, Mamberamo Raya, ke banyak tempat terdepan, terluar, tertinggal
Buku-buku ini, adalah saksi
Gambar-gambar ini, adalah bukti
Betapa kau cintai kami
Merelakan dirimu berjuang bahu-membahu selalu mendampingi
Kau adalah bagian penting dari perjuangan ini

Tahukah kau?
Kau adalah sahabat terbaik
Yang menjadi tempat berbagi cita-cita demi kemajuan pendidikan bangsa
Yang siap menjadi apa saja bagi kami semua, para pejuang kecil bercita-cita besar ini
Yang rela mengarungi samudera, menembus hutan belantara, mendaki bukit penuh onak duri
Demi menjangkau mereka yang tak terjangkau
Demi menyentuh mereka yang tak tersentuh

Dan orang baik itu, dirimu, sekarang sudah pergi, pergi untuk selamanya
Namun kenangan-kenangan itu tak mungkin sirna
Hal-hal baik yang telah kau wariskan
Juga ribuan cita-cita yang masih kau gantungkan
Semangat yang tak pernah padam untuk mengabdi pada kehidupan

Sahabat,
Kulantunkan Al Fatihah dan doa-doa,
Untuk mewakili kesedihanku, menggantikan cucuran air mataku, menyiratkan rasa kehilanganku
Di sini, aku, sahabatmu
Dan ratusan rekan baikmu, ratusan pendidik muda generasi setelahmu
Hanya mampu mengucap
Selamat jalan, sahabat kami, bapak kami, guru kami
Allah telah memanggilmu ke pangkuan abadi-Nya
Dalam rengkuhan kasih sayang-Nya
Semoga kau damai selalu di sisi-Nya

Amin Ya Rabbal Alamin

Tanggulangin, 2 Agustus 2014, 16.15 WIB

LN

Selasa, 29 Juli 2014

Muhibah Lebaran (2): Bani Wahabi dan Bani Tamami

Sekitar pukul 15.20, kami meninggalkan Kota Ponorogo. Meluncur menuju Solo. Kami mengambil rute Purwantara, Wonogiri, Sukoharjo, Solo.

Lalu lintas padat lancar. Sebenarnya cukup menyenangkan untuk perjalanan jauh. Tapi Arga yang hampir semalaman tidak tidur karena menyiapkan acara halal bi halal keluarga bersama Dio, memilih pensiun sementara jadi driver. Mas Ayik yang semalam melekan bersama teman-teman SMA-nya, terserang flu, dan obat flu yang diminumnya hanya membuatnya bertahan mengemudi sampai Purwantara. Akhirnya, sayalah yang harus pegang kemudi. Oh Tuhan, tidak terbayangkan, ternyata kedua laki-laki itu begitu teganya pada saya. Mereka berdua tidur mendengkur sementara saya mengukur jalan.

Tapi sebenarnya, pucuk dicinta ulam tiba. Dari dulu saya ingin nyetir di Jalur Ponorogo-Solo yang jalannya meliuk-liuk dan lumayan naik turun itu. Dari dulu Mas Ayik tidak pernah memberi saya kesempatan karena dia tidak tega. Katanya, medannya berbahaya.

Tapi kini, dia menyerah. Kondisi fisiknya yang teler karena obat flu tak memungkinkan dia untuk menolak kemauan saya. Wow, asyik sekali. Saya menguasai mobil sampai lepas Maghrib, saat kami tiba di rumah saudara di Jayengan, Solo. Kami salat dan makan malam, lantas pamit melanjutkan perjalanan menuju Boyolali.

Akhirnya, pada pukul 20.15, kami bertiga memasuki Kota Boyolali. Baru sekitar empat puluh menit yang lalu, kami meninggalkan Kota Solo. Solo dan Boyolali, dua kota yang menyimpan sejarah masa kecil saya.

Ibu saya lahir di Solo. Eyang dan buyutnya tersebar di Solo dan Boyolali. Sebagian saudara saya lahir di Solo. Masa kecil saya, sering saya habiskan di Solo dan Boyolali. Setiap liburan sekolah, kami sering dikirim bapak ibu ke Solo atau Boyolali, berlibur di rumah Mbah Putri dan Mbah Kakung, atau di rumah Pakde dan Bude Tamam. Ingatan masa kecil saya saat bersama Mbah Kakung, Mbah Putri, Pakde dan Bude Tamam, serta bersama para saudara sepupu, masih tersimpan rapi. Juga kenangan bersama Paklik Mubin almarhum, adik terkecil ibu, yang hobinya motret dan ngusungi para keponakan ke mana-mana, ke Sriwedari, Jurug, Tawangmangu, Pasar Kembang, Pasar Klewer dan Alun-alun.

Begitu kami tiba di depan rumah Pakde Tamam, keriuhan segera terdengar. Subhanallah. Di rumah itu ternyata sudah ada Bani Wahabi, para anak cucu Paklik Wahab. Mulai dari anak pertama sampai kelima, lengkap dengan anak-anak mereka. Bertemu dengan Bani Tamami, para anak cucu Pakde Tamam, mulai dari anak pertama sampai keenam, juga lengkap dengan anak-anak mereka. Suasana di ruang keluarga itu seperti sedang ada perayaan ulang tahun atau semacamnya. Lebih dari empat puluh orang berkumpul. Ramainya bahkan tidak kalah dengan ramainya PAUD atau kelompok bermain.

Begitu saya menginjakkan kaki ke ruang keluarga, mereka semua bahkan sudah menyiapkan acara penyambutan secara spontanitas. Mendendangkan salawat badar. Lengkap dengan bunyi-bunyiannya.

Kami bertiga geleng-geleng kepala melihat tingkah polah puluhan anak-anak kecil dan remaja itu. Sementara orang tua mereka tertawa cekakakan sambil memegangi perut masing-masing. Kami bergantian bersalaman, berangkulan, berpelukan. Saya bersimpuh di depan Bude Tamam, yang sedang duduk dan tersenyum manis menikmati tingkah polah anak-anak manusia yang tersaji di depannya. Saya cium punggung tangannya, kedua pipinya, dan menyampaikan permohonan maaf, serta menghaturkan salam takzim dari ibu saya dan saudara-saudara saya.

Bude Taman, sudah empat tahun gerah stroke. Sakit itu membuat beliau sulit berjalan. Tapi beliau secara mental sangat sehat, meski bicaranya sangat pelan. Dalam kondisi seperti itu, dalam usianya yang sudah mendekatai 80 tahun, bude Tamam tidak pernah meninggalkan salat tahajud dan dhuha, selain, tentu saja, tak pernah meninggalkan salat wajib lengkap dengan sunnat rawatibnya. Selama bulan puasa ini, beliau puasa penuh, meski dahar sahur nyaris tidak pernah kerso, kecuali hanya ngunjuk saja.

Kami sebenarnya ingin langsung menemui Pakde Tamam di kamar. Beliau sedang terbaring sakit. Namun masih ada beberapa tamu yang berada di kamar, menjenguk Pakde.

Sejak beberapa minggu ini, Pakde hanya bisa berbaring. Ibu dan saudara-saudara saya sudah menengok Pakde pada Ramadhan beberapa hari yang lalu. Kondisi beliau saat itu masih bisa berkomunikasi, masih sesekali bercanda dengan anak cucu, di antara waktu-waktu istirahatnya yang lebih banyak diisi dengan salat dan dzikir. Dalam kondisi tidur pun, lidah Pakde bergerak-gerak seperti melafalkan nama Allah.

Begitu kamar Pakde kosong, kami bertiga menghampiri beliau. Mbak Menuk, Mbak Umi, dua orang putri Pakde, juga Dik Iffah, putri almarhum Paklik Wahab, juga menemani. Mbak Menuk berbisik di telinga bapaknya.

"Bapak, Dik Luluk, Pak. Dik Luluk Bulik Basyiroh, Tuban, Pak."

Pade hanya sedikit menggerakkan matanya yang terpejam. Tidak berkata sepatah pun.

"Pakde..." Saya meraih tangannya yang tersembunyi di bawah selimut. "Pakde, ngaturaken sedoyo kalepatan, nyuwun pangapunten..." Saya mencium punggung tangannya dengan sepenuh perasaan. Hati saya meleleh. Sosok yang biasanya selalu ceria namun teduh itu begitu saja membuat hati saya menangis. "Pakde, ngaturaken salam lan sungkemipun Ibu lan sederek-sederek Tuban sedoyo..." Pakde tak bergeming. Saya menghela nafas panjang, melantunkan doa. Memberi kesempatan pada Mas Ayik dan Arga untuk menyapa Pakde.

"Waktu rene sing kapan iko, Pakde isih saget guyon lho, Mbak." Kata Dik Iffah. "Aku matur ngene. Pakde, kulo niki lek ningali Pakde remeeennn saestu. Terus Pakde ngendikan 'lha ngopo?' Pakde meniko pasuryanipun teduuuhhh sanget. Menopo Pakde Golkar to? Golkar meniko teduh Pakde, mergi pohon beringin. Wah, Pakde nggujeng kekel kae.."

Dik Iffah, anak perempuan satu-satunya Paklik Wahab dan Bulik Kafiyah (keduanya sudah almarhum), adalah saudara sepupu kami yang paling heboh. Ceriwisnya minta ampun. Kami pikir dulu karena dia masih kecil. Ternyata, sampai sekarang, di usianya yang sudah empat puluh tahun, ceriwisnya semakin menjadi. Dia bilang, sudah diobatkan ke mana-mana. Tidak ada obat yang cocok. Bahkan menurutnya, dia sudah kebal dengan berbagai macam obat. Tapi itu membuatnya sangat cocok menjadi guru PAUD, profesinya sekarang.

Setelah beberapa waktu menunggui Pakde, saya keluar kamar. Tiba-tiba barisan anak-anak kecil itu, anak turun Bani Wahabi dan Bani Tamami, melantunkan koor.

"Bude Luluk, Bulik Luluk.....sawerannya mannaaaaa?"
"Hah?" Saya kaget. Anak-anak itu tertawa keras. Para orang tua terpingkal-pingkal.
"Siapa yang ngajari kalian, hah?"
Spontan anak-anak itu menunjuk ke seseorang. Siapa lagi kalau bukan..... Dik Iffah.
"O.....dasar. Guru PAUD gak nggenah." Semprot saya. Dik Iffah tertawa berderai, puas sekali wajahnya. Saudara-saudara yang lain tidak kalah puasnya.

Malam itu, kami pamit sekitar pukul 21.30-an. Bani Wahabi akan melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing, ke Yogya, ke Solo Baru, dan di Boyolali saja. Bani Tamami, tentu saja, tetap tinggal bersama Pakde dan Bude Tamam, menunggui bapak ibu dan eyang mereka yang lagi gerah. Kami sendiri, delegasi Bani Zawawi, akan melanjutkan perjalanan, entah sampai di mana, sampai kami merasa perlu berhenti dan menginap di hotel untuk transit. Besok pagi, perjalanan dalam rangka muhibah lebaran ini berlanjut menuju Rembang, Pamotan, dan Tuban.

Rasa bahagia dan marem menyelimuti benak saya, ketika mobil kami menembus malam yang masih ramai. Bertemu dengan banyak saudara, bersilaturahim dengan para orang tua, seperti memberikan energi dalam jiwa. Rasanya ingin berlama-lama bersama mereka, namun perjalanan musti berlanjut untuk menemukan sumber energi yang lain.

Boyolali, 28 Juli 2014

Wassalam,

LN

Muhibah Lebaran (1): Tong Ting

Sabtu, 26 Juli 2014, sekitar pukul 22.30, kami berangkat dari rumah menuju Ponorogo. Arga pegang kemudi, Mas Ayik di sebelahnya sebagai navigator, saya dan ibu duduk di jok tengah. Ada berkotak-kota kue di belakang, tas pakaian, dan dua sepeda lipat di roof rack di atas.

Perjalanan lancar mulai Surabaya sampai Wilangan, Nganjuk. Sejak Wilangan, lalu lintas padat merambat. Tiba di Madiun, sekitar pukul 03.15. Masih terhitung normal. Kami makan sahur di Sego Pecel Bu Wo.

Kami tiba di Ponorogo menjelang shubuh. Bu Heni dan Pak Anwar, suami istri adik ibu, sudah menunggu. Tapi ngantuk berat yang menyerang membuat saya tidak betah berlama-lama beramah-tamah. Saya pun izin berselancar di Negeri Kapuk.

Sekitar pukul 08.00, saya dan Mas Ayik keluar, berkunjung ke rumah sanak saudara. Kami ditugasi ibu untuk ulem-ulem. Besok pagi, selepas salat Idul Fitri, kami ketempatan acara halal bi halal keluarga besar Ki Amat Drangi, punjernya keluarga besar Ponorogo. Acara akan dihelat di Terazz Cafe, sebuah cafe milik saudara sepupu.

Meski kami sekeluarga ketempatan halal bi halal, kami tidak terlalu repot. Semua makanan kami pesankan. Menunya sederhana, nasi uduk lengkap, rujak manis, dan kue kotak. Minumannya cukup air mineral dan soft drink.

Selepas salat Ied, kami sungkem-sungkeman, tradisi dalam keluarga besar kami. Cium tangan, cipika-cipiki, berpelukan, saling memaafkan, saling mendoakan. Setelah itu....ini yang juga sangat ditunggu-tunggu....pesta makan nasi uduk dan ayam ingkung.

Nasi uduk dan ayam ingkung, adalah menu utama tradisi keluarga setiap lebaran. Semua dimasak sendiri. Pak Anwar, adik ipar ibu, kepala rumah tangga di rumah keprabon ini, selalu menyembelih sendiri ayam kampung yang besar, meracik bumbu, dan mengolahnya, dibantu Bu Heni, istrinya, dan putro-putri.

Kebetulan hari ini, Dik Riris, putri pertama mereka, memasak nasi biriani. Dia khusus membeli beras jenis long grain untuk mendapatkan nasi biriani yang sempurna.

Dik Riris, saudara sepupu kami ini tinggal di Malang. Dua putrinya sudah mahasiswa. Bersama mereka ada seorang guru asli China yang bertugas mengajar di STT Telkom Malang, yang tinggal di rumah mereka. Tong Ting (entah seperti apa ejaannya), gadis China itu, juga ikut pulang mudik ke Ponorogo. Sebenarnya dia diajak temannya untuk berlibur ke Bali, tapi dia memilih ikut mudik host parent-nya. Saya bilang ke dia: "You do not just teach, you learn about the culture as well."

Acara halal bi halal keluarga besar kami dihadiri oleh sekitar 50 orang, yang semuanya keluarga, kecuali Tong Ting, yang panggilannya Tiny. Selain acara sebagaimana layaknya acara halal bi halal yang lengkap dengan tausiah yang diberikan oleh Pak Anwar, acara juga dimeriahkan oleh sajian live music. Iwuk, adik Mas Ayik, memegang keyboard, bergantian dengan Arga. Dio memegang biola. Penyanyinya bergantian, termasuk Tiny. Tiny menyanyikan lagu Hao Siang dan Yue Liang Dai. Tepuk tangan meriah mengikuti alunan suaranya yang nyengek-nyengek. Saat menyanyikan Yue Liang Dai, dia duet dengan Arga. Gadis 23 tahun itu nampak begitu menikmati berada di antara keluarga besar kami di acara family gathering ini.

Dio, adalah saudara sepupu Arga. Dia sekelas dengan Arga, di Pendidikan Sendratasik Unesa. Dio piawai memainkan Biola, Arga lebih suka Cello. Tapi biola yang dimainkan Dio saat ini, adalah biola milik Bapak almarhum. Ibu sengaja mengeluarkan biola itu dan meminta Dio untuk memainkannya. Lagunya, Jali-Jali, salah satu lagu kesukaan Bapak.

Selesai acara, kami semua beres-beres. Termasuk membereskan makanan yang masih cukup banyak tersisa, kami bagikan untuk keluarga dan tetangga-tetangga. Saya sendiri membawa puluhan kotak kue, kami akan bagi-bagikan nanti pada anak-anak dan orang-orang di perempatan jalan.

Puas rasanya bisa bertemu dengan para saudara, keluarga besar Ponorogo, mulai dari mbah-mbah sampai buyut-buyut. Tradisi tahunan ini selalu menjadi momen yang ditunggu oleh keluarga besar kami. Setelah setahun bersitegang dengan berbagai macam tugas dan urusan, bertemu keluarga besar seperti ini seperti mengurai semua rutinitas yang kadang menjemukan dan melelahkan.

Inilah salah satu berkah silaturahim.

Siang nanti, kami bertiga akan melanjutkan muhibah lebaran ke Solo dan Boyolali. Biasanya kami juga berkunjung ke Sragen, ke rumah Paklik Wahab dan Bulik Kafiyah. Namun beliau berdua telah berpulang sejak sekitar dua tahun yang lalu.

Setiap tahun, kerabat kami hampir selalu berkurang. Waktu acara halal bi halal tadi, kami juga berdoa bersama untuk Bapak Nurhadi, Bapak kami, yang berpulang sekitar seratus hari yang lalu. Juga untuk Mas Ranawi, saudara sepupu, yang berpulang hanya beberapa hari menjelang idul fitri.

Begitulah. Umur manusia benar-benar rahasia Illahi. Semoga kita masih dipertemukan dengan Ramadhan dan Idul Fitri yang akan datang. Amin.   

Ponorogo, 28 Juli 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 23 Juli 2014

Kisah Buah Mangga

Sekitar seminggu yang lalu, saya berkunjung ke Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Saya diundang oleh Konsorsium Pendidikan Kemdikbud untuk menjadi narasumber pada pelatihan Kurikulum 2013. Pesertanya adalah para guru, mulai dari guru SD, SMP, SMA dan SMK.

Hari pertama di Maumere, saya disambut cuaca yang sangat ramah. Awan tipis menutupi sebagian langit, dan sinar matahari masih bisa dinikmati kehangatannya. Sangat bersahabat, terutama bagi kami yang sedang berpuasa. Mendung, tapi tidak hujan.

Hari kedua, matahari sudah bersinar cerah sejak pagi. Saya memberi pelatihan sejak pukul 09.00 sampai pukul 15.00. Ada jeda istirahat sekitar tiga puluh menit, kesempatan menikmati makan siang bagi para peserta yang hampir semua pemeluk Katolik, dan kesempatan bagi kami yang muslim untuk menunaikan salat dhuhur.

Hari itu, adalah puasa terberat saya. Melatihkan K-13 pada para peserta yang sebagian besar masih nol pemahamannya, di cuaca yang sangat panas, di antara sekitar 150 peserta yang dengan bebasnya 'nyumak-nyamuk' dan 'srupat-sruput'. Tenggorokan saya sampai terasa pahit sekali saking 'ngorong'nya, dan kaki-kaki saya 'kemeng' luar biasa. Sekujur badan rasanya sakit semua.

Saya pernah merasakan kondisi mirip itu, ketika umroh pada Ramadhan 2011, tiga tahun yang lalu. Waktu itu, suhu di Makkah menembus angka 51 derajat Celcius. Udara panasnya tak terkira. Sekujur tubuh sakit terpapar panas, baju di badan terasa seperti baju yang baru saja diseterika, dan menyentuh benda apa pun di luar penginapan, hampir semuanya panas menyengat. Tenggorokan kering dan pahit, badan loyo, lungkrah, dan kepala serasa berasap. Benar-benar ruarrr biasa.

Di Maumere, memang rasanya tak seheboh seperti di Makkah. Namun karena saya menjadi kelompok minoritas, benar-benar minoritas, di antara para peserta yang dengan tenangnya 'telap-telep', ditambah suhu AC di ruang workshop yang tak bisa membendung suhu panas dari luar, sementara saya harus menjelaskan panjang lebar tentang K-13, 'nyerocos' terus, maka sensasi 'ngorong dan kemeng' yang saya rasakan mengingatkan saya saat di Makkah kala itu.

Begitu pelatihan selesai, saya langsung 'keplas' masuk mobil, minta pada driver supaya AC dihidupkan kuat-kuat, dan segera mengantar saya ke hotel Sylvia, tempat saya menginap. Saya ingin segera 'slulup', eh, maksud saya 'grujukan' di bawah shower. Saya mengalami dehidrasi parah, dan perlu digerojok air dingin yang berlimpah, sebelum sekujur tubuh saya 'kemlingkingen'.

Selesai mandi dan salat, saya turun ke lobi. Minta diantar driver muter-muter, ngabuburit. Saya ingin melihat-lihat kota Maumere. Saya diantar ke toko pusat oleh-oleh, ke Pelabuhan Lorosae, ke pasar tradisional melihat tenun ikat dan membeli buah-buahan.

Ya, buah-buahan. Dalam kondisi puasa, buah-buahan adalah makanan favorit saya. Buah apa saja. Yang penting buah beneran, bukan buah plastik atau buah kayu.

Sejak kemarin saya tidak makan buah. Sehari saja tidak ketemu buah, seperti ada yang kurang lengkap hidup ini. Maka sore itu, di Pasar Alok, saya membeli dua buah apel merah seharga Rp.15.000,- dan tiga buah mangga mengkal seharga Rp.20.000,-. Cukuplah. Karena besok toh saya sudah balik ke Surabaya. Di Surabaya, buah apa pun sudah tersedia.     

Sore itu, saya kembali ke hotel dengan sekantung buah, selembar kain tenun ikat, dua plastik kopi Manggarai, sebungkus nasi goreng, dan dua gelas es kelapa muda. Saya sengaja menolak ajakan panitia untuk buka puasa bersama di sebuah rumah makan. Saya ingin menikmati semuanya sendiri, di kamar, dengan menu buah segar, nasi goreng, dan es kelapa muda. Setelah itu, saya akan segera salat tarawih, ngaji sebentar, terus tidur. Lelah tubuh sehari ini harus terbayar lunas.

Dari sekian jenis makanan, bagi saya, yang paling menggiurkan adalah buah mangga. Mangga itu sejenis mangga arumanis, tapi masih mengkal. Bukan masak pohon, karena memang belum masak. Tapi justeru karena dia masih mengkal itu, rasanya begitu eksotis. Manis, asam, dan renyah. Pas dengan selera saya. Saya menikmatinya di setiap gigitan, sampai akhirnya gigi saya terasa ngiluuuu.

Saya berhenti. Mangga sebuah saja sudah cukup membuat gigi saya protes. Tapi saya puas. Dan bertekad untuk membawa serta dua buah mangga yang masih tersisa ketika saya pulang ke Surabaya besok.

Nah, sore ini, ya, sore ini, kedua buah mangga itu sudah masak. Saya mengupasnya dengan sepenuh hati, memotong-motongnya dalam bentuk kotak-kotak besar, menatanya di piring, melengkapinya dengan garpu. Saya siapkan mangga itu di atas meja makan, bersama hidangan yang lain, nasi putih, tempe goreng, bebek goreng, sambal dan lalapan, juga es garbis.

Begitu adzan maghrib terdengar, kami bertiga, bapak ibu dan anak ini, langsung menyerbu mangga yang warnanya oranye menggemaskan itu. Kami menikmatinya dengan penuh rasa syukur, lega, merasakan perjuangan sehari ini telah sampai pada batasnya. Insyaallah kami lulus. Insyaallah puasa kami diterima Allah SWT. Insyaallah kami termasuk golongan orang-orang yang diberi ampunan. Amin YRA.

Wuihh, mangga ini, rasanya.....manisnya....harumnya.... Ini benar-benar mangga istimewa. Bukan saja karena dia mangga pertama yang kami nikmati sepanjang Ramadhan ini. Tapi juga karena dia dibawa dari tempat yang sangat jauh, menyeberang laut, menyeberang pulau. Saya seperti mendengan sayup-sayup suara lagu Maumere Manise yang dinyanyikan oleh para guru peserta pelatihan menjelang pelatihan usai waktu itu. Seperti nama lagu itu, seperti tempat dia berasal, Maumere Manise, seperti itulah rasa mangga ini. Mangga manise.


Surabaya, 23 Juli 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 17 Juli 2014

Kurikulum 2013: Target Implementasi yang Terlalu Ambisius

Siang ini, saya sedang nunggu boarding di Bandara Frans Seda, Maumere. Saya membuka tab, cek email, FB, dan baca-baca.

Sebuah artikel di Kompasiana berjudul 'Kemdikbud: Nafsu Gede, Stamina Memble', menarik perhatian saya. Sebelum membaca isinya, saya coba tebak, ini pasti tentang Kurikulum 2013.

Ternyata benar. Artikel yang ditulis Mochamad Syafei itu berbicara tentang K-13 yang fonomenal itu. Fenomenal karena 'kehebatannya.'

Betapa tidak. Kemdikbud manargetkan pada awal masuk sekolah 14 Juli 2014, K-13 harus sudah diimplementasikan. Artinya, semua guru sudah dilatih, buku-buku sudah didrop di semua sekolah, dan oleh sebab itu, 'siap tidak siap, bisa tidak bisa, K-13 harus jalan'.

Padahal, kenyataannya, tidaklah seperti itu. Tanggal 6-7 Juni yang lalu, saya diundang ke Kupang, sebagai narasumber untuk workshop K-13. Saya menyiapkan materi selengkap mungkin, meski saya berharap, saya tidak harus memulai dari awal ketika bicara tentang K-13. Artinya, saya berharap, para peserta workshop sudah memiliki pengetahuan awal yang cukup memadai tentang rasional K-13, elemen perubahan, pola pikir, dan hal-hal lain yang terkait dengan konsep. Saya berharap, saya bisa langsung berdiskusi tentang sistem pembelajaran dan penilaian dalam K-13, dan ada cukup banyak waktu untuk berlatih menyusun RPP dan instrumen penilaian.

Ternyata harapan saya tinggal harapan. Para peserta itu, sebanyak sekitar 100 peserta, yang terdiri dari guru SD, SMP, SMA dan SMK, yang datang dari segala penjuru Kabupaten Kupang, mayoritas belum paham K-13 bahkan pada tataran konsepnya. Jadilah dua hari itu kami berdiskusi intens tentang konsep K-13 sampai kepada sistem pembelajaran dan penilaian. Tidak terlalu cukup waktu untuk berlatih menyusun RPP dan instrumen penilaian.

Sekitar dua minggu setelah itu, saya rapat di Dikti, Jakarta, bersama UKMP3 (Unit Kerja Menteri Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Unit khusus menteri ini meminta kami terlibat dalam monitoring implementasi K-13, dengan melibatkan para peserta SM-3T yang bertugas di berbagai pelosok Indonesia dan para peserta PPG yang sedang ber-PPL di berbagai sekolah di kota-kota di Indonesia juga.

Waktu itu, wakil dari UKMP3 menegaskan, bahwa semua guru sudah dilatih dan semua buku sudah didrop.
"Apa?" Saya spontan bertanya. "Tidak mungkin."
"Diasumsikan begitu, Bu. Sesuai target yang dicanangkan oleh Kemdikbud."
"Diasumsikan?" Saya balik bertanya lagi. Saya mau melanjutkan kalimat saya "itu asumsi yang super ngawur", saya tahan. Saya perhalus kalimat saya, "Itu asumsi yang jauh dari kenyataan." Terbayang dalam benak saya, betapa K-13 itu bahkan sama sekali belum menyentuh semua daerah 3T yang pernah saya kunjungi pada bulan-bulan belakangan ini.
"Ya, untuk itulah, Bu, kami perlu lakukan monitoring ini."

Kemarin, saya diundang sebagai narasumber workshop K-13 di Maumere. Pesertanya sekitar 150 guru, mulai dari guru SD, SMP, SMA dan SMK.

Sebagaimana harapan saya ketika saya diundang di Kupang, saya bisa langsung berbicara tentang sistem pembelajaran dan penilaian, serta pengisian rapor. Apa lagi sebelumnya, panitia sudah memberi tahu, bahwa guru-guru yang akan mengikuti pelatihan sebagian besar sudah menerima sosialisasi dan pelatihan K-13. Mereka hanya merasa kesulitan pada sistem penilaian dan pengisian rapor.

Tapi harapan saya, lagi-lagi, tinggal harapan. Meski saya paksakan, guru-guru itu tidak akan nyambung kalau saya langsung bicara tentang sistem penilaian. Bagaimana tidak. Ketika saya tanya, 'Apa KI-1, KI-2, KI-3, dan KI-4', hanya sebagian kecil saja guru yang bisa menjawab. Bahkan pengetahuan awal mereka tentang K-13 lebih minim daripada guru-guru di Kupang, yang saya latih sekitar sebulan yang lalu.

Sebagian kecil dari peserta itu mempelajari K-13 saat PLPG tahun 2013, sebagian kecil mengikuti sosialisasi singkat, sebagian besar belum pernah menerima informasi apa pun lewat sosialisai maupun pelatihan. Ada satu dua yang mencoba belajar dari internet. Dari seluruh peserta tersebut, belum ada satu pun dari sekolah mereka yang sudah mendapatkan dropping buku-buku K-13.

Benar memang yang dikatakan banyak orang, yang saya alami, yang saya lihat. Kemdibud terlalu ambisius dengan target implementasi K-13 ini. Para pakar dan tim yang diandalkan untuk menyusun dan memastikan implementasi K-13 tentulah orang-orang yang tak diragukan kapasitasnya. Namun kondisi di lapangan dengan berbagai kendalanya nampaknya tidak terlalu cermat diperhitungkan.


Entah apa lagi yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita setelah ini.


Bandara Frans Seda, Maumere, 17 Juli 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 16 Juli 2014

MAUMERE

Kusapa Frans Seda, di suatu siang saat matahari menyembul di sela-sela awan putih
Kehangatannya seperti mengabarkan keramahan Tanah Maumere
Senyuman orang-orang berkulit hitam berambut keriting 
Tegur sapa "taksi, Ibu?" atau "boleh diantar ke mana, Ibu?" atau "apa sudah ada yang menjemput, Ibu?" adalah suara-suara indah di negeri asing ini

Inilah negeri yang telah melahirkan seorang pahlawan
Dia disebut sebagai Pahlawan Keuangan
Meski sudah melanglang buana sampai ke mancanegara, dia selalu mengingat tanah kelahirannya
Berjuang membuka jalur lewat laut dan udara
Mendatangkan banyak kapal dan pesawat perintis untuk membuka isolasi Indonesia Timur yang dicintainya

Inilah tanah kecil yang menyimpan kemakmuran
Dia memiliki pisang, kemiri, kakao, kelapa, kopra 
Beragam tenun ikat yang indahnya telah kesohor di seluruh dunia
Cobalah datang ke Pasar Alok
Temukan semua di sana
Bersama para mama yang tersenyum manis
Nona-nona yang menawarkan es kelapa muda
Dan para bapa yang menggelar kain-kain lebar tenun ikatnya

Datang jugalah ke pantainya pada suatu senja, di sebuah pelabuhan laut bernama Lorosae
Tumpukan peti kemas dan kapal-kapal yang bersandar, berpadu dengan lekuk garis pantai dan batas cakrawala
Serta bukit-bukit dan pulau-pulau di kejauhan
Ditingkahi suara bocah yang riang-gembira melempar-lempar bebatuan
Adalah lukisan alam yang tak terkata indahnya

Inilah pintu gerbang utama wilayah Indonesia Timur
Kota kecil yang menjadi persinggahan menuju Kelimutu dan Larantuka
Bahkan Labuan Bajo pun bisa terjangkau meski harus menempuh perjalanan panjang
Namun pesona alamnya  adalah mimpi para petualang
  
Inilah tempat yang dihuni orang-orang kuat
Meski tsunami pernah mengguncangnya puluhan tahun silam dan merenggut ratusan ribu nyawa, orang-orang ini tak diam berputus asa
Terus bangkit, bergerak, membangun peradaban
Sri Paus Johanes Paulus II pun terpikat untuk datang menyapa
Ada kerukunan beragama yang kuat, ada toleransi yang mengagumkan, ada banyak perkawinan campuran
Namun jangan berharap ada kerusuhan
Orang-orang ini hanya ingin bekerja mencari nafkah untuk keluarga
Agama, budaya, dan adat istiadat yang berbeda, adalah sebuah keniscayaan
Tidak ada guna saling menjelekkan, saling menghinakan
Hidup rukun bersama, merayakan lebaran dan natal bersama
Dengan bahan makanan yang berbeda, pisau dan alat-alat memasak yang berbeda, tukang masak berbeda, dan meja sajian yang berbeda, mereka berpesta bersama, mensyukuri nikmat bersama
Dalam kebersamaan, dalam keragaman serupa itu, bukankah itu semua begitu indah?

Datanglah ke Maumere-Sikka
Dan kau akan disambut dengan sepenuh suka cita, sepenuh kehangatan, sepenuh ketulusan...

Maumere, 16 Juli 2014

Wassalam,
LN