Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 08 September 2016

Laporan dari XXIII IFHE World Congress (5)

Kami benar-benar banyak belajar dari pengalaman mengikuti IFHE Congress ini. Mulai dari pengemasan acara, pelaksanaannya, dan pernak-pernik lain sebagai kelengkapan acara.

Di antara agenda kongres dan konferensi internasional yang padat, peserta disuguhi dengan pameran berbagai macam produk unggulan Korsel, seperti gingseng, teh, dengan berbagai variannya. Juga dimanjakan dengan produk hand-made seperti sumpit, kipas, tas dan dompet, serta merchandising lainnya. Juga, yang tak kalah menariknya, ada juga pameran busana hanbok, busana tradisional Korea, dan peserta boleh mengenakannya dan berfoto sebagai kenang-kenangan. Free of charge. Oya, tata cara minum teh juga diperagakan oleh para wanita cantik, lengkap dengan busana tradisionalnya. Sangat menarik dan sarat makna. 

Pada saat closing ceremony, ditampilkan juga peserta termuda dari lima benua. Serta ada pemberian penghargaan bagi artikel terbaik. Selain memperoleh piagam penghargaan, penulis artikel terbaik juga memperoleh dana scholarship. Tidak banyak, hanya sekitar USD 700, namun dengan dimuatnya artikel terbaik tersebut dalam jurnal internasional, nilainya tentu jauh lebih berarti daripada sekadar dana yang diterima.

Closing ceremony juga dihiasi dengan tayangan foto-foto kegiatan. Tak disangka, foto-foto kami bertiga juga muncul beberapa kali dan meski hanya seperti itu, kami cukup bangga. Setidaknya wajah-wajah wakil dari Indonesia menghiasi dokumentasi IFHE dalam perhelatan internasional ini.

Yang juga menarik, ada penghargaan bagi para panitia dan para pendukung acara. Mereka tidak hanya disebut namanya, namun diminta tampil ke panggung untuk menerima piagam penghargaan dari Presiden IFHE. Kebanggaan dan keharuan memancar dari wajah-wajah mereka karena mereka telah berhasil menyuguhkan sebuah perhelatan besar yang pasti sangat menyita energi. Ya, sejak empat tahun yang lalu, saat IFHE World Congress XXII di Melbourne memutuskan bahwa Korsel akan menjadi host pada event selanjutnya, maka praktis sejak itulah panitia bekerja keras. Dan saat ini, kerja keras mereka terbayar dengan kebahagiaan dan kebanggaan atas kesuksesan seluruh acara.

Ketua panitia juga diberi kesempatan untuk menyampaikan closing remark, dan sepertinya inilah puncak dari seluruh kebahagiaan, kebanggaan, dan keharuan itu. Profesor Mae Sok Park, ketua panitia yang cantik itu, meski berusaha untuk tegar, suaranya sempat terbata-bata juga karena menahan haru. Bisa dibayangkan, betapa lega dan bangganya dia setelah tugas berat selama empat tahun ini terlepas dari pundaknya.

Satu lagi yang menarik, setelah pelantikan Presiden IFHE yang baru, ditampilkan juga para presiden IFHE periode sebelumnya. Beberapa perempuan yang sudah tidak muda lagi tampil di panggung, wajah-wajah cerah memancar dari raut muka mereka. Harus diakui betapa panitia begitu pintar memanfaatkan momen ini sebagai ajang pemberian penghargaan bagi siapa pun yang telah menorehkan sejarah dalam perkembangan IFHE. Bagi saya pribadi, semuanya itu menjadi inspirasi untuk menyajikan hal-hal yang menarik dan menyentuh tersebut dalam event seminar nasional dan mungkin internasional yang akan dilaksanakan oleh Jurusan PKK di waktu-waktu yang akan datang.  

Ajang ini juga menjadi begitu menarik dan prestisius karena dari ratusan artikel peserta konferensi dari seluruh dunia, dipilih 10 nominasi artikel terbaik. Makalah tersebut akan dimuat di International Home Economic Journal. Pada ajang ini, makalah terbaik berhasil disabet oleh peserta dari Jepang, Korea, Nigeria, Virginia, dan peserta lain dari Afrika Selatan dan Asia Selatan.  

Home economics begitu luas bidangnya, dan kalau di dunia internasional, ilmu itu begitu tinggi penghargaannya, maka tidak begitu di negara kita. Perlu waktu panjang agar ilmu itu berterima secara luas sebagai sebuah cabang ilmu. Banyak pihak yang masih meragukan bahwa IKK adalah sebuah ilmu yang memenuhi syarat ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Adalah tugas para ahli IKK, termasuk saya, untuk terus mengembangkannya dan meningkatkan kemanfaatakannya bagi kemaslahatan umat.

Daejeon, Korsel, 4 Agustus 2016

Kamis, 01 September 2016

Laporan dari The XXIII IFHE World Congress 2016 (4)

Sore ini tibalah jadwal saya untuk presentasi paper di sesi concurrent session 2. Dalam ruang nomor 105 yang berisi sekitar 30 partisipan, saya bersama pemakalah dari USA, Finlandia, Thailand, Korea, dan Jepang, masing-masing diberi waktu sekitar 15 menit untuk presentasi. Sisa waktu sekitar 30 menit dialokasikan untuk tanya jawab.

Saya ingin berbagi pada teman-teman dosen yang masih belum memiliki keberanian untuk presentasi makalah di luar negeri. Bahasa Inggris saya tidak terlalu bagus atau bahkan pas-pasan. Awalnya saya agak ragu juga, apakah saya berani presentasi makalah pada ajang konferensi internasional, dan itu di luar negeri. Pengalaman menyajikan makalah pada seminar internasional yang dilaksanakan di dalam negeri sudah terlalu sering saya ikuti, dan sebagian tidak membuat saya semakin terampil berkomunikasi dalam bahasa Inggris, karena saat presentasi, tidak selalu dituntut untuk menggunakan bahasa Inggris. Satu-satunya pengalaman presentasi dalam bahasa Inggris di dalam negeri adalah saat mengikuti seminar internasional Aptekindo di UPI-Bandung, karena saat itu di kelompok saya, partisipannya lebih banyak dihadiri dari akademisi luar negeri. Pengalaman saat menjadi delegasi Indonesia di Seameo Innotech di Manila pada 2011 dan benchmarking di beberapa universitas di Thailand pada 2011 dan Melbourne pada 2014, tidak terlalu memaksa saya untuk berkomunikasi intensif.  

Saat mengikuti presentasi makalah di concurrent session pertama tadi, di mana pesertanya adalah dari USA dan New Zealand, saya agak keder juga. Tentu saja speaking kelima penyaji itu sangat bagus karena mereka menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari mereka. Tapi saya berusaha berpikir positif. English is not your language, so don't worry if you can't speak as good as them. 

Begitu memasuki sesi kelompok saya, dan melihat presentasi penyaji dari Thailand dan Jepang, sungguh, kepercayaan saya membengkak, melambung tinggi. Ada untungnya saya mendapatkan giliran terakhir, yaitu kelima, dengan demikian saya bisa menjajagi seberapa bagus presentasi peserta yang lain.

Sungguh, saya bisa melakukan lebih baik dari itu, atau setidaknya, samalah. So, saat giliran saya tiba, maka dengan keyakinan penuh saya memperkenalkan diri. Let me just start by introducing myself. My name is Luthfiyah Nurlaela, I'm lecturer of Home Economic Department, Universitas Negeri Surabaya. Today, I would like to talk about....bla, bla, bla....cas, cis, cus. Maka terjadilah apa yang terjadi. Saya menyampaikan artikel penelitian saya yang berjudul "Implementing lesson-planning tools of family welfare science course to enhance problem-solving skill of students of Home Economics Education". Dengan lancar, dengan suara tanpa bergetar, dan mendapat applaus setelahnya. Sama seperti penyaji yang lainnya.

Tunai sudah. Ternyata selama ini apa yang saya khawatirkan tidak terjadi. Ternyata apa yang selama ini membuat saya ragu, tidak terbukti. Benar ternyata. Kalau kita tidak berani mencoba, maka kita tidak akan pernah tahu bahwa kita mampu. 

Meskipun, memang betul, bagaimana pun kita harus terus berusaha meningkatkan keterampilan komunikasi kita. Dan itulah yang saya coba terus lakukan sampai saat ini. Saya membaca buku-buku, membaca koran, melihat film, mengikuti kursur gratis seperti English for Presentation yang disediakan Unesa, dan juga kursus di luar, dan  itu semua sangat-sangat membantu.

Bagi teman-teman yang sudah tidak ada masalah dalam hal speaking in English, saya yakin apa yang saya sampaikan ini kedengaran sepele. Masalah kecil. Tapi bagi orang-orang yang bahasa Inggrisnya terbatas, seperti saya ini, betapa hal itu menjadi kendala besar. Tetapi sekali lagi, tidak usah takut. Ternyata kita seringkali under-estimate pada kemampuan kita sendiri. Begitu kita berada di ajang internasional, kita bisa dan tidak jelek-jelek amat. Tentu saja, jangan dulu berharap memperoleh award sebagai presenter terbaik. Dalam ajang seperti yang saya ikuti sekarang ini, di mana diikuti oleh puluhan negara dari segala penjuru dunia, dan hanya dilakukan selama 4 tahun sekali, dengan proses pendaftaran dan seleksi abstrak yang relatif ketat, mampu mempresentasikan paper dengan baik saja sudah cukup.

Daejeon, 2 Agustus 2016

Rabu, 31 Agustus 2016

Laporan dari The XXIII IFHE World Congress 2016 (3)

Ruang utama DCC (Daejeon Convention Center) lantai 2 itu penuh. Para profesional home economics dari berbagai negara bertemu. Saya perkirakan ada sekitar 800 orang. Setiap orang duduk menghadap podium dan backdrop yang menjadi pusat perhatian di depan sana. Di sepanjang meja di depan peserta disediakan satu alat translator, karena beberapa kata sambutan dan presentasi keynote speaker akan dilakukan dalam bahasa Korea.

Pembawa acara pada pembukaan ini adalah seorang perempuan Korea yang cantik, cerdas dan begitu luwes mengantarkan acara demi acara. Dimulai dengan penampilan tari dan musik khas dari para pemuda Korea, sambutan Presiden IFHE (2012-2014), Carrol Warren, dilanjutkan sambutan Ketua Panitia, yaitu Mae Sok Park, yang juga Wakil Presiden IFHE. Sambutan juga disampaikan oleh Hae-Kyung Chung, Presiden KHEA, serta Jaesoon Cho, Presiden Korean Home Economics Education Association (KHEEA). Tidak tanggung-tanggung, Menteri Kesetaraan Gender dan Keluarga (Gender Equality and Family), Eun-hee Kang, serta Mayor Daejeon Metropolitan City, Sun-taik Kwon, juga memberikan sambutannya.

Kegiatan ini memang didukung sepenuhnya oleh pemerintah Korsel. Dukungan ini tentu saja menjadi pertimbangan penting bagi IFHE Organization sebelum memutuskan Korea sebagai host untuk kawasan Asia. Korea menjadi wakil Asia sebagai tempat kongres IFHE bukan hanya karena kekayaan budaya dan sejarahnya, tetapi juga karena kepeduliannya pada pendidikan, terutama pada pendidikan keluarga. Kiprah Korean Home Economics Association (KHEA) sebagai organisasi profesi telah cukup mantap dan memiliki rekam jejak dalam bidang riset dan pendidikan yang berskala internasional. 

Siapa pun yang mengikuti agenda IFHE ini akan semakin menyadari, betapa keluarga adalah sangat prioritas. Tema 'Hope and Happiness, the role of Home Economics in the pursuit of Hope and Happiness for individual and communities now and in the future ' sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini yang cenderung melupakan peran dan fungsi keluarga sebagai penentu kesejateraan bangsa dan negara. Banyak negara yang mengejar kemakmuran dan berhasil menjadi negara dengan tingkat pendapatam tetinggi, tetapi di balik itu, kesejahteraan keluarga seringkali terlupakan. Anak-anak terlantar, mengalami kekerasan, perempuan termarginalkan, dan bentuk-bentuk penyimpangan lain yang pada intinya menganggap sepele eksistensi institusi keluarga.

Siapa pun yang mengikuti kongres ini juga akan semakin menyadari, betapa eksisnya bidang home economics atau family and consumer sciences. Meskipun di beberapa negara, khususnya di Indonesia, PKK ini masih banyak pihak yang memandangnya dengan sebelah mata. Tentu hal ini menjadi tantangan tersediri bagi para ahli PKK, bagaimana supaya bidang ini lebih dihargai dan diperhitungkan sebagai sebuah cabang ilmu. Keberadaan asosiasi profesi bidang PKK yang masih sangat lemah, juga sepatutnya menjadi agenda perjuangan tersendiri bagi saya sendiri dan rekan-rekan sesama peminat bidang IKK di Indonesia.

Pada hari pertama ini, selain acara pembukaan yang berbobot dan sangat efisien, juga diisi penyajian dari para keynote speaker yang membawakan topik yang sungguh sangat menarik dan bernas. Mereka adalah pembicara dari University of Wyoming, Helsinki University, Griffith University, Yokohama National University, dan Ewha Woman University. Semua pembicara menyajikan kurikulum home economics saat ini dan arahnya ke depan di negaranya masing-masing.

Acara coffee break juga tidak kalah menariknya bagi kami. Bukan karena beragamnya makanan. Tapi karena justeru kesederhanannya. Menu utamanya tentu saja teh dan kopi, dilengkapi dengan dua macam kue tradisional yang kalau di Indonesia semacam getuk, dan kue-kue kemasan kecil-kecil. Juga ada buah plum dan peach. Kue-kue dan minuman itu disediakan di beberapa meja dan peserta bisa mengambilnya sesuka hati. Benar-benar sesuka hati. Kami lihat beberapa peserta terang-terangan meminta lebih untuk dimasukkan tas mereka, dan kue-kue selalu diisi ulang. Kami pun  jadi ikut-ikutan. Plum dan peach di Indonesia bukan buah yang murah, itu pun tidak selalu ada, kalau di sini kita boleh makan sepuasnya, kenapa tidak. Roti dan kue-kue kecil juga bisa kami bawa selain yang sudah kami makan di tempat, namun tentu tidak berlebihan. Intinya, makanan yang disedikan memang sederhana, praktis, umumnya buah dan makanan kemasan yang tinggal beli di toko. Diletakkan begitu saja di keranjang-keranjang, namun makanan itu seperti tak pernah habis karena diisi lagi dan diisi lagi.

Lebih menariknya lagi ketika makan siang. Peserta tidak memperoleh makan siang, kecuali peserta yang membayar biaya registrasi untuk paket lengkap (USD 700). Untuk peserta seperti kami yang membayar 'hanya' USD 500, makan siang tidak disediakan, namun panitia mengadakan semacam kantin dan kita bisa makan di tempat itu, atau menikmati bekal yang kita bawa sendiri, atau membeli makanan di kantin tersebut. Menu yang disediakan di kantin adalah menu sederhana seperti sandwich dan jenis roti yang lain. Setiap waktu makan tiba, kami bertiga memilih pulang ke penginapan kami yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari DCC. Shalat, makan, dan kembali lagi ke tempat acara.

Dibandingkan di Indonesia, bila ada acara apa pun semacam ini, urusan makan seolah menjadi begitu penting dan seringkali menjadi ukuran suksesnya sebuah event. Dana kepanitiaan terserap cukup banyak untuk konsumsi. Seksi konsumsi juga begitu repot karena harus membuat berbagai alternatif menu dan menyiapkannya sedemikian rupa. Satu pelajaran dari mengikuti konggres IFHE ini, bahwa urusan konsumsi memang penting, namun itu tidak berarti harus mewah dan beragam. Konsumsi yang sederhana, praktis, dengan menampilkan kekayaan lokal, menjadi daya tarik tersendiri. 

Setelah pemaparan keynote speaker, setiap hari, sampai hari keempat, acara dilanjutkan dengan concurrent session. Pada acara ini, peserta dibagi menjadi 7 kelompok sesuai tema. Dalam setiap kelompok, peserta menyajikan papernya. Saya sendiri kebagian jadwal hari pertama ini tapi pada sesi kedua. Jadi saya memiliki kesempatan untuk melihat lebih dulu bagaimana para peserta yang lain tampil, dan mempersiapkan penampilan terbaik saya.

Daejeon, 2 Agustus 2016 

Selasa, 30 Agustus 2016

Laporan dari The XXIII IFHE World Congress 2016 (2)

Perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Korea kami tempuh dalam waktu sekitar 6 jam 35 menit. Sekitar pukul 01.00 dini hari tadi kami bertolak dari Bandara KLIA 2, dan saat ini, pukul 08.50, kami sudah mendarat di Incheon Airport. 

Mengikuti arus ke mana para penumpang yang lain bergerak, kami berjalan mengular sambil membaca petunjuk. Menaiki train, mengantri di bagian custom, mengambil bagasi, kemudian menuju meja airport information. Menanya bagaimana caranya kami bisa menuju Daejeon. Petugas memberi tahu kami dengan sebuah peta, dan menunjuk ke satu arah supaya kami bisa memperoleh tiket bus. Di Platform 9B.

Ternyata tidak hanya bus yang tersedia, tapi juga taksi. Kami memilih taksi sebagai alternatif pertama. Demi kepraktisan. Kalau naik bus, kami hanya bisa sampai ke Daejeon Terminal Complex. Masih harus naik bus atau taksi lagi ke Innopolis Guest House Dae Deok, penginapan kami. Penginapan kami sebenarnya di Daejeon juga, tapi bus tersebut tidak sampai ke sana. 

Wow, ternyata harga taksi cukup mahal, 250,000 Won, atau sekitar 3 juta rupiah. Kami mundur teratur. Beralih ke konter penjualan tiket bus. Membayar 69,000 Won bertiga. Sekitar 828 ribu rupiah. 

Di Incheon Airport, hampir semua petunjuk ditulis dalam Bahasa Korea. Beberapa petunjuk yang kami bisa baca adalah Transfer, Arrival, Foreigner Passport, Bagagge Claim, dan angka-angka. Selebihnya tak terbaca oleh kami, karena menggunakan huruf Hangeul.

Tentang aksara Hangeul, sebuah sumber menyebutkan, Hangeul adalah satu-satunya aksara yang diciptakan oleh seseorang berdasarkan teori dan maksud yang telah direncanakan dengan baik. Orang itu adalah Raja Sejong yang Agung (1397-1450), seorang pemimpin sekaligus ilmuwan dan pelopor budaya. Melalui upaya keras bertahun-tahun, ia meneliti unit dasar Bahasa Korea menggunakan kemampuannya sendiri tentang kebahasaan dan akhirnya berhasil menuangkannya dalam bentuk aksara. Dibanding aksara bangsa lain, Hangeul tidak didasarkan pada satu bahasa tulis atau meniru aksara lain, namun unik khas Korea. Hangeul merupakan sistem penulisan yang bersifat ilmiah, didasarkan pada pengetahuan kebahasaan yang mendalam dan asas-asas filosofis. Begitulah yang saya baca sambil menunggu bus di bus stop di bagian depan bandara yang ramai.

Sebelum naik bus, saya menyempatkan diri menghampiri vending machine. Rasa haus tak bisa saya tahan karena saya tidak minum semalaman, sejak masuk pesawat. Bodohnya saya. Sudah tidak pesan makanan di pesawat, tidak bawa minuman lagi.  

Tapi saya beruntung. Waktu saya mau membeli minuman di vending machine, ternyata saya harus membayar dengan koin 1000 Won. Padahal saya tidak punya koin. Dan vending machine tidak menerima jenis uang yang lain, misalnya uang kertas dan memberi kembalian. Seorang pria membantu saya dan membelikan saya sebotol air mineral dingin dengan uangnya. "Oh, it's your money." Kata saya. Dia menggerak-gerakkan tangannya dan saya mengartikannya "no problem". Benar-benar rezeki anak sholehah.

Perjalanan dari Incheon menuju Bus Terminal Complex, Daejeon bisa ditempuh selama sekitar 3 jam. Di sepanjang jalan, adalah laut yang mengering, gunung-gunung di kejauhan, bukit-bukit yang rimbun pepohonan, dan bangunan-bangunan menjulang. Semua papan petunjuk dilengkapi dengan tulisan dengan aksara Hangeul. 

Tibalah kami di Bus Terminal Complex. Sedihnya, tidak ada petunjuk dalam Bahasa Inggris sama sekali. Saya bertanya pada seseorang, dan entah dia bicara apa, tapi saya artikan, "silakan terus saja ke sana". 

Syukurlah, seperti mendapat durian runtuh ketika kami dapati seorang pemuda membawa papan nama besar dengan tulisan: XXIII IFHE World Congress and International Conference. Oh, thanks God. Kami langsung menghampiri dia dan menyapa dengan riang-gembira. "We are participants the IFHE Congress from Indonesia". Dan....bedudak-beduduk bedudak-beduduk. Ternyata dia tidak bisa berbahasa Inggris juga. Tapi dia berbaik hati mengantarkan kami ke tempat taksi mangkal dan menyampaikan pada driver ke mana tujuan kami.

Penginapan kami ternyata berada satu kompleks dengan Daejeon Convention Center (DCC), tempat di mana konferensi digelar. Hari ini sebenarnya acara sudah dimulai, namun agendanya adalah IFHE Council/Pre-Congress Conference. Tentu saja kami tidak perlu mengikuti acara itu. Tapi saya sempat mengintip tema pre-congress, yaitu: Current Status and Future Directions of Home Economics Curriculum around the World. 

Kami cukup melakukan lapor diri ke panitia saja saat ini. Namun sewaktu kami akan menuju ruang DCC, seorang pemuda berjas lengkap menyambut kedatangan kami dan menanyakan apakah kami sudah melakukan registrasi online dan membayar. Saat saya bilang sudah, dia katakan kalau kami tidak perlu melapor panitia dan sebaiknya langsung istirahat dulu setelah perjalanan jauh. Syukurlah. 

Pemuda ramah itu mengantarkan kami ke guest house yang ada di sisi kanan DCC. Membantu membawa koper-koper kami. Bahasa Inggrisnya bagus meski dengan logat Korea yang kental. Dia menyampaikan ke resepsionis tentang kedatangan kami, dengan bahasa Korea. Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu isi pembicaraan mereka. Namun ujung-ujungnya, kami menerima kunci kamar. Bu Dwi dan Bu Lusi di kamar 205 dan saya di kamar 406. Maka siang itu, sekitar pukul 14.30, kami memasuki kamar kami masing-masing di Innopolis Guest House. Tak sabar rasanya membayangkan air mandi yang berlimpah dan tempat tidur yang empuk.

Siang ini kami mengemasi semuanya. Membersihkan diri dan menata bagasi bawaan. Juga menyantap makan siang pertama kami di Korea: nasi uduk instan, produksi Bu Dwi. Ya. Selama kami di Korea, kami memasak sendiri. Bukan karena kami tidak punya uang untuk membeli makanan, tetapi memperoleh makanan halal tentu tidak terlalu mudah di negara yang mayoritas penduduknya nonmuslim ini. Guest House menyediakan alat memasak di setiap kamar. Rice cooker, water boiler, kompor listrik, dan sebagainya. Tentu saja mangkuk dan sumpit khas Korea. 

Saya akan mempresentasikan paper saya besok, sedangkan Bu Dwi dan Bu Luci membawa produk penelitian masing-masing, nasi uduk instan dan nasi kuning instan, untuk dipamerkan. Kedua produk itu sudah dipatenkan. Selain membawa produk, Bu Lusi sudah menyiapkan dua bendera merah putih kecil dengan tatakannya yang manis. Besok, merah putih akan berkibar di meja pamer IFHE World Congress 2016.

Innopolis Guest House, 1 Agustus 2016

Senin, 29 Agustus 2016

Laporan dari The XXIII IFHE World Congress 2016 (1)

Air Asia yang kami tumpangi mendarat mulus di Bandara KLIA 2. Sempat saya lihat matahari senja siap menyembunyikan diri di balik cakrawala. Jam menunjukkan hampir pukul 19.00 waktu Kuala Lumpur. Sebentar lagi maghrib, dan kami bisa menunaikan shalat maghrib dan isya sekalian sebelum melanjutkan penerbangan ke Korea Selatan.

Saya bersama Dra. Dwi Kristiastuti, M. Pd dan Dra. Lucia Tri Pangesthi, M.Pd. Bertiga kami akan menghadiri XXIII IFHE World Congress 2016. IFHE singkatan dari International Federation of Home Economics. Merupakan satu-satunya organisasi dunia yang concern pada ilmu kesejahteraan keluarga dan konsumen. Didirikan pada tahun 1908, IFHE adalah sebuah NGO internasional dan memiliki status konsultatif dengan United Nations/UN (ECOSOC, FAO, UNESCO, UNICEF) dan dengan Konsul Eropa. Anggota IFHE tentu saja  adalah para profesional di bidang home economis atau ilmu kesejateraan keluarga, atau ilmu keluarga dan konsumen (family and consumer science). IFHE menyelenggarakan kongres empat tahunan, dan dihadiri oleh ratusan delegasi dari berbagai negara di lima benua. Kalau saat ini Korean Home Economics Association yang menjadi host sebagai wakil region Asia, empat tahun yang lalu, Australia yang menjadi host. Empat tahun yang akan datang, Atlanta sudah dipastikan akan menjadi host-nya.

Saya sendiri menjadi member IFHE sejak 2011, dan sejak tahun ini, Bu Lucia dan Bu Dwi bergabung. Jurusan PKK juga baru saja bergabung sebagai organization member tahun ini.

Begitu memasuki Bandara KLIA 2, kami langsung menghampiri petugas di bagian informasi. Kami menunjukkan boarding pass kami, dan petugas mengeceknya di komputer di depan dia, serta mengatakan kalau kami harus ke Gate P4 untuk check in nanti. 

Kami lantas mencari mushala. Tidak sulit karena di mana-mana bisa dengan mudah ditemukan penunjuk arah. Begitu menemukan mushala, kami bersyukur. Mushalanya bersih, sejuk. Sajadah terlipat rapi di rak kayu di sisi kiri mushala dan beberapa mukena menggantung di sisi kanan. Waktu kami akan mengambil air wudhu, terdengar informasi bahwa saat ini sudah waktunya shalat maghrib. Pas.

Di mushala itu ada beberapa kursi hitam. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, untuk apa kursi-kursi itu. Lantas saya ingat ibu mertua saya yang selalu shalat dengan duduk di atas kursi. Jadi untuk orang-orang seperti itulah rupanya. Di luar mushala, saya juga melihat ada baby tafel, tempat yang memudahkan ibu-ibu untuk mengurus bayinya saat berganti popok. 

Kesan saya, mushala ini ramah. Untuk semua kalangan, termasuk untuk orang-orang berkebutuhan khusus dan bayi. Mungkin seharusnya seperti itulah mushala di semua bandara. 

Di Indonesia, saya melihat sudah ada beberapa bandara yang menyediakan baby tafel, tapi di toilet, bukan di mushala. Saya belum pernah melihat mushala yang menyediakan tempat duduk untuk orang yang tidak bisa shalat secara normal. Ibu saya bisa shalat dengan berdiri, namun setelah sujud, beliau harus duduk, karena kondisinya tidak memungkinkan untuk berdiri di rakaat selanjutnya. Maka beliau memilih shalat sambil duduk di atas kursi. Kursi membantu sekali dalam hal ini, karena tidak mengharuskan beliau duduk di bawah, yang akibatnya harus 'krengkel-krengkel' untuk berdiri.

Kami akan berlama-lama di KLIA 2 ini karena penerbangan kami masih lima jam kemudian. Perut lapar dan kami menuju restoran di lantai dua. Saat akan membayar, baru ingat kalau kami tidak memiliki uang seringgit pun. 

"Sorry, may we pay by Visa? Credit card?" Tanya saya pada petugas, sepertinya keturunan India.
"Yes, can, can."

Sungguh beruntung. Lebih beruntung lagi saat menyadari betapa simpelnya berkomunikasi. Orang Malaysia pintar berbahasa Inggris, dan kami mudah sekali memahaminya. Saat tadi kami bertanya "Do you have rice?" Dia menjawab, "Yes, have, have."

KLIA 2, 31 Juli 2016

Selasa, 21 Juni 2016

PUISI CINTA UNTUK SUMBA

Sumba, aku datang lagi
Menyapamu dengan sepenuh hati
Andai kau tahu, Sumba
Betapa aku jatuh cinta, bahkan sejak pertama kali kita berjumpa

Sumba, jangan kau tanya kenapa, karena sesungguhnya aku juga tak tahu
Yang ku tahu hanya kesederhanaanmu, keindahanmu, keramahanmu, kehangatanmu, kepolosanmu, sekaligus ketegaranmu

Padang sabana dan kumpulan kuda hanyalah sebagian alasan aku mencintaimu
Begitu juga dengan tumpukan bukit menjulang dan pantai-pantai yang panjang menghampar

Namun harus kuakui, aku tak mampu enyahkan bayangan ina-ina dan bapa-bapa dengan sirih pinangnya
Juga para rambu dan umbu yang menenteng parang dan keranjang masuk keluar hutan, kebun, dan ladang

Dan, ya, anak-anak itu, anak-anak sekolah yang menerjang bukit dan belantara hanya untuk menjumpai guru-guru mereka
Guru-guru yang sejuknya seperti air bening penghilang dahaga
Yang ke mana pun membawa kuas untuk melukis jiwa-jiwa dengan pelangi penuh warna-warna  

Namun, sekali lagi, semuanya itu hanyalah sebagian alasan kenapa aku mencintaimu

Selebihnya, aku tak tahu 

Sumba, aku hanya ingin kau paham betapa kucinta kau apa adanya
Bahkan saat aku harus menorehkan luka, betapa sesungguhnya hatiku juga terluka
Bahkan saat aku harus menggoreskan lara, semua kulakukan tetap dengan sepenuh cinta

Aku mencintaimu meski kau tak bisa pahami
Namun entah kenapa, aku yakin, suatu ketika kau akan mengerti, begitulah caraku mencinta, agar keindahan dan ketegaranmu tetap terjaga

Sumba, aku datang lagi, menyapamu dengan sepenuh hati
Satu yang ingin kau tahu
Aku mencintaimu
Apa adanya

(Didedikasikan untuk para guru di Sumba Timur, juga untuk para guru SM-3T di mana pun kita pernah bersama)

Waingapu, 25 April 2016

Minggu, 19 Juni 2016

Lounge Jorok

Kalau Anda sering bepergian dengan menumpang pesawat, dan Anda sering memanfaatkan lounge bandara sementara menunggu boarding, coba perhatikan lounge tersebut. Mulai pintu masuk, ruang duduk, menu, dan toilet. Maka Anda akan bisa membuat pengelompokan: lounge yang bersih, lounge yang sedang-sedang saja, dan lounge yang jorok.

Bagi saya, menu makanan itu penting. Saya punya menu favorit di sebuah lounge, jelasnya lounge di Bandara Juanda Terminal 1. Tauwa. Ya, minuman yang di beberapa tempat disebut kembang tahu itu. Kuah jahenya yang panas pedas dipadu dengan bunga tahu putih nan lembut itu, begitu nikmat. Juga tahu dan tempe gorengnya yang selalu hangat. Dua makanan itulah langganan saya kalau singgah di lounge tersebut.

Saya lupa nama lounge-nya (saya memang tidak pernah menghafal). Yang jelas bukan Lounge Garuda. Kalau masuk lounge tersebut, Anda bisa menggunakan kartu ATM Prioritas Anda, atau membayar cash Rp.100.000,-, kalau tarifnya belum naik sih. Pakai kartu kredit juga bisa tentu saja, tapi saya sendiri tidak pernah masuk lounge dengan menggunakan kartu kredit. Kartu member Garuda atau GFF (Garuda Frequent Flier) Anda tidak berlaku karena memang bukan Lounge Garuda. 

Menurut saya, lounge ini tergolong bersih. Menunya oke, lumayan bervariasi, ruang duduknya longgar, toiletnya selalu bersih, dan musalanya terawat. Saya betah berlama-lama di lounge ini, sampai pernah nyaris ketinggalan pesawat karenanya.

Pernah masuk lounge (maaf) Garuda di Bandara Ngurah Rai? Saya pernah, sebentar saja, terus keluar lagi. Pindah masuk lounge di dekatnya, saya lupa juga nama lounge-nya. Tapi di lounge itu, ruang duduknya lebih nyaman, dan menunya lebih enak. Karena saya punya pilihan yang sama-sama gratisnya jika masuk lounge, pakai GFF atau pakai Prioritas, maka saya memilih lounge yang lebih nyaman. Garuda, maaf lagi, meskipun sudah sangat terkenal dan lounge-nya seringkali eksklusif hanya khusus pemegang kartu GFF minimal Gold, tapi kenyamanannya kadangkala masih kalah dengan lounge yang ada di sekitarnya.

Sore ini saya menunggu boarding di lounge juga. Tepatnya, menunggu buka puasa. Dari pada saya jajan di luar dan keluar duit, saya masuk lounge dengan memanfaatkan kartu prioritas saya. Tidak pakai GFF, karena saya tidak naik Garuda, tapi naik Wings Air. Maklum, go show, jadi tiket sak-nemunya, dan memang tidak ada jadwal penerbangan Garuda menuju Surabaya pada jam-jam seperti ini.

Menu di lounge, tidak seperti bayangan saya. Setidaknya ada buah korma dan kolak, begitulah pikiran saya, mengingat ini bulan Ramadhan. Tidak ada. Yang di atas meja adalah roti mini, cake mini, dan tempe goreng mini. Tidak masalah sih. Tapi begitu menengok makanan utamanya, nah, ini baru masalah. Yang tersaji adalah oseng sawi hijau plus oseng tahu, tentu saja juga nasi putih yang dibiarkan di dalam magic com-nya. Ya ampun, kebangeten, pikir saya. Mbok sedikit menghargai orang puasa. Segini banyak orang menunggu saat berbuka puasa, ketemunya sawi sama tahu. 

Selera saya pecah berantakan. Tapi saya mengambil piring. Menyendok sawi dan tahu. Tanpa nasi. Ini hanya jurus mempertahankan hidup saja. Perut saya harus saya isi kalau tidak ingin maag saya kambuh. Apa lagi semalam tidak makan sahur, karena tidak terbangun. Kelelahan setelah rapat dan mengerjakan tugas sampai larut malam. 

Selesai makan yang hanya formalitas itu, saya bermaksud salat. Ternyata saya harus keluar lounge karena lounge tidak punya musala. Saya pun salat di luar dan meninggalkan tas koper saya tetap di dekat tempat duduk saya tadi.

Kembali ke lounge, saya masuk toilet. Alamaaakkkk. Kotornya minta ampun. Air berserak, tissue tersebar, dan klosetnya kotor. Tak tega, saya tidak jadi menggunakan toilet. Masih kuat ngempet.

Sungguh, kalau menu tidak menarik atau bahkan tidak enak pun, saya tidak akan protes. Tapi kalau toilet kotor, saya tidak bisa terima. Pokoknya tidak terima. Maka saya hampiri mas cleaning service yang lagi menyapu. 

"Mas, toiletnya kotor banget, tolong dong. Saya sampai nggak tega mau pakai."
"Ya Bu." Kata mas cleaning service.

Beberapa menit kemudian, saya masuk toilet. Nampak sudah dibersihkan memang. Tapi masih ada bekas tissue dan sabun di sudut toilet. Payah. Saya pikir memang ya cuma seginilah standar kebersihan mereka. Buruk. Kalau mereka punya standar bagus, mestinya kalau bersih-bersih ya sekalian. Masak terkesan cuma formalitas begini.

Malam ini nampaknya saya sedang diuji kesabaran saya. Wings Air baru akan mendarat pukul 19.20. Begitu informasi yang baru saja saya dengar. Padahal seharusnya jam segitu saya sudah terbang. Ya sudahlah, apa boleh buat. Toh dengan begitu saya ada waktu untuk menulis. Rasanya sudah lammmmaaaa sekali tidak menulis seperti ini.

Tapi, andaikata ada tauwa.....
Pasti lebih nikmat.

Semarang, 19 Juni 2016
LN