Hari Minggu kemarin, saya menemui kakak mbarep saya, Mas Ibroham Azach , di rumah saudara kami, di Cibitung. Kakak saya ini pensiunan PNS guru agama SD di Tuban, mungkin tiga atau empat tahun yang lalu dia pensiun.
Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, dia masih kerja. Kerja apa saja, salah satunya nyupir. Nyupiri siapa saja yang membutuhkannya. Dengan tujuan ke mana pun.
Tapi sungguh saya tidak nyangka, kakak saya ini nyupiri pelanggannya dari Jenu, Tuban, sampai ke Cibitung. Jauhnyaaaa. Saya sempat protes dan mempertanyakan, "kok wadoh mas?" Tapi dia rileks saja menjawab, "nggolek hiburan". "Nggolek hiburan kok wadoh men", saya masih protes. "Lha isone ngono kuwi kok", jawabnya. Saya pun hanya bisa pesan-pesan, "ngunjuk sing akeh, lek ngantuk istirahat." Dia bilang "siap-siap", tapi ternyata hari itu dia puasa. Ya, dia sudah bertahun-tahun puasa ndaud, dan hari itu tidak mokel meski nyupir sejauh itu. Allah benar-benar memberinya kekuatan lahir dan bathin.
Pelanggannya kebetulan saudara kami juga, Dik Wafa sekeluarga, anak cucu saudara sepupu kami. Dari Jenu, mereka sekeluarga, empat orang, diantarkan Mas Ib, naik mobil. Tujuan ke Cibitung adalah silaturahim ke rumah saudara kami juga, Dik Arid dan Dik Naim. Dik Naim, kebetulan sedang diganjar sakit, sehingga silaturahim ini sekaligus dalam rangka menjenguk Dik Naim.
Mas mbarep saya ini memang pejuang sejati. Dia tidak malu kerja apa saja, yang penting halal. Ketika masih jadi guru, dia bawa krupuk ke sekolah. Yang nggoreng dan mbungkusi krupuk isterinya sendiri. Ngernet, ngondektur, ngontrol bus, dan lain-lain, semua sudah dilakoninya.
Mas Ib pantang ngutang dan nyambat dulur. Mungkin karena dia sangat nriman, dia menjalani hidup dengan apa yang ada. Mencukup-cukupkan dengan ikhtiar dan wani tirakat.
Untuk urusan silaturahim, di antara kami bersaudara, kami berenam, dialah juaranya. Militansinya tidak hanya berjuang untuk mencukupi keluarganya, namun juga dalam urusan silaturahim.
Dia juga sangat ramah dan periang. Saking ramah dan periangnya, ketemu siapa pun disapanya. Disalaminya. Dulu ketika masih mengajar, semua orang di sepanjang jalan, kenal dia, karena dia sapa mereka semua. Padahal jarak rumah ke sekolah mungkin sekitar tujuh km atau lebih.
Kemarin, saya sempat menculiknya dari rumah Dik Naim. Bersama Dik Wafa sekeluarga, Mas Ib menginap di apartemen Kalcit yang saya tempati. Siang sampai hampir maghrib, mereka beristirahat. Selepas maghrib, saya mengajak mereka jalan-jalan. Melintasi taman dan kolam renang, makan di mall Kalcit, bahkan mampir di ruang kantor saya. Semua bisa dijangkau hanya dengan jalan kaki.
Besoknya, hari Senin, sekalian saya berangkat kerja, saya sempatkan nderekke tamu-tamu saya ini silaturahim ke rumah Dik Gus Yahya di Menteng. Sarapan di sana, kecuali Mas Ib, karena dia waktunya puasa. Obrolan jadi gayeng karena Mas Ib dan Dik Gus Yahya ini pernah mondok bareng di Krapyak, Yogyakarta.
Saat saya menulis ini, Mas Ib dan Dik Wafa sekeluarga sedang menempuh perjalanan kembali ke Jenu, Tuban. Semoga Allah memberikan kelancaran, perlidungan, menyehatkan, mencukupkan, dan memberkahi. Amiin ya Rabb.
Kalcit, 09072024