Pages

Selasa, 25 Januari 2022

Kemurnian Ciptagelar

 

NAMA desa ini, bagi saya, cukup unik. Ciptagelar. Saya penasaran mengapa desa ini namanya Ciptagelar. Saya mencoba menelusurinya di internet. Saya dapatkan beberapa referensi tentang Ciptagelar, yang membahas sejarah, letak geografis, budaya, demografi, dan sebagainya. Ciptagelar mempunyai arti terbuka atau pasrah.

 

Dari catatan yang saya baca, Kasepuhan Ciptagelar adalah masyarakat hukum adat yang berada di kawasan pedalaman Gunung Halimun-Salak. Istilah kasepuhan berasal dari bahasa Sunda, yang secara umum artinya adalah mereka yang dituakan. Secara spesifik wilayah perkampungan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tersebar di tiga kabupaten yang berada di sekitar wilayah perbatasan Provinsi Banten dan Jawa Barat.

 

Kasepuhan Adat Ciptagelar mulai berdiri pada 1368 dan telah beberapa kali mengalami perubahan kepemimpinan yang dilakukan secara turun temurun. Sampai saat ini Kasepuhan Ciptagelar juga telah mengalami beberapa kali perpindahan desa pusat pemerintahan yang disebut sebagai Kampung Gede, karena masih menjalankan tradisi berpindah yang berdasar pada wangsit yang diterima dari para leluhur (karuhun). Secara administratif saat ini Kasepuhan Ciptagelar berada di wilayah dusun Sukamulya, Desa Sirnaresmi, kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

 

Berdasarkan data tahun 2008, Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar memegang kuat adat dan tradisi yang diturunkan sejak 644-an tahun lalu (1368 M). Kasepuhan Ciptagelar dihuni oleh sekitar 293 orang yang terdiri dari 84 kepala keluarga dengan 151 orang laki-laki dan 142 orang perempuan. Desa ini merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul yang tersebar di lebih dari 500 desa.

 

Tanggal 14-15 Januari yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi Desa Adat Ciptagelar, dalam rangka memperingati Sewindu UU Desa. Kami semua, seluruh pejabat tinggi madya dan pejabat tinggi pratama, juga Menteri Desa PDTT serta Sekretaris Jenderal, secara bertahap berangkat dari Hotel Inna Samudra Pelabuhan Ratu. Harus secara bertahap, karena jalan menuju Desa Ciptagelar merupakan jalan yang berbatu-batu, menanjak, berbelok-belok, dan sempit.  Bila kami berangkat bersama-sama, jika di tengah jalan ada satu saja mobil yang mogok atau bermasalah, hal ini akan menyebabkan terjadinya mogok berjamaah. Mobil yang kami bawa, semuanya adalah mobil offroad 4WD, menyesuaikan dengan kondisi medan berat yang kami tempuh.

 

Saya semobil dengan Pak Jajang Abdullah (sekretaris BPSDM), Mohammad Sodikin (TA BPSDM), dan Mas Angga (staf BPSDM). Mas Angga sehari sebelumnya sudah mengunjungi Ciptagelar untuk tryout mobil dan kenal medan. Namun begitu, kami masih sempat tiga kali terhenti di tengah jalan yang menanjak curam, karena Mas Angga telat oper gigi. Sempat mundur beberapa meter untuk mengambil start. Beberapa mobil bahkan mogok karena mesinnya panas, dan harus menunggu mesin dingin dulu, baru berangkat lagi. Ibu Irjen dan beberapa direktur bahkan terpaksa dipindahkan ke mobil lain karena mobil yang ditumpanginya mogok berlama-lama. Memang, sepanjang pengalaman saya berkendara di medan ekstrim, jalan ke Ciptagelar ini merupakan jalan terekstrim yang pernah saya lalui dengan mengendarai mobil.

 

Kami tiba di Kasepuhan Ciptagelar sekitar pukul 11.30. Sekitar dua setengah jam perjalanan dari Pelabuhan Ratu. Kami semua berpakaian adat Citpagelar. Para lelaki mengenakan baju dan celana hitam, juga mengenakan ikat kepala (totopong). Yang perempuan, mengenakan kain kebaya dan kain (sarung/jarit/rok panjang). Tidak boleh mengenakan celana panjang, apa lagi celana jins. Seperti itulah memang yang saya lihat orang-orang Ciptagelar berbusana. Para lelaki yang bersahaja dalam balutan hitam-hitam dan ikat kepala. Para perempuan yang umunya berkulit bersih, cantik, mengenakan kebaya dengan kain, pada umunya kain sarung, yang dililitkan begitu saja. Bahkan beberapa anak belasan tahun pun sudah mengenakan pakaian adat seperti itu dalam kesehariannya.

 

Kami diterima di Pendopo Imah Gede. Sebuah pendopo dan sekaligus rumah Ketua Adat, yaitu Abah Ugi Sugriana Rakasiwi. Sosok yang tampan, berkulit bersih, berwibawa, sangat disegani. Belasan teman dari Kemendes PDTT sudah lebih dulu datang, khususnya para panitia, yang sebagian besar adalah pejabat tinggi pratama, beserta para staf dan ajudan. Kami disuguhi makan siang yang sudah ditata di atas meja panjang. Ada karpet tergelar dengan meja-meja pendek, dan kami makan secara lesehan. Menunya hampir sama dengan yang kita kenal pada umumnya, dengan kekhasan hidangan Sunda yang selalu tersedia sambal dan lalapan mentah. Yang berbeda adalah nasinya. Bukan nasi yang empuk dan pulen, sebaliknya nasinya agak kering atau pera, bulirannya pendek-pendek.

 

Warga Kasepuhan Ciptagelar dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh adat dan tradisi yang bersandar pada budaya pertanian, khususnya padi. Beras yang dikonsumsi penduduk Ciptagelar berasal dari tanaman padi yang mereka tanam sendiri, dengan bibit yang mereka kembangkan sendiri, dan diproses dengan cara tradisional secara turun-temurun. Dari catatan yang saya baca, Beberapa rangkaian kegiatan pertanian yang mengakar di antaranya adalah ngaseuk (menanam padi yang dilakukan secara bersama-sama), mipit, nganyaran, serentaun, dsb. Dari catatan juga saya peroleh penjelasan bahwa kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar adalah masyarakat adat yang bersandar kepada budidaya padi, seluruh sendi-sendi kehidupan adat didasarkan kepada kalender siklus padi. Leuit bagi warga kasepuhan Ciptagelar tidak hanya berarti gudang tempat penyimpanan padi, melainkan berkaitan dengan simbol penghormatan pada Dewi, yaitu Nyi Pohaci Sanghyang Asri yang menampakkan dirinya dalam bentuk padi. Setiap kali panen, mereka menyimpan 10% padi di leuit (lumbung) sehingga tidak heran jika di sana terdapat padi yang usianya ratusan tahun. Bagi warga kasepuhan Ciptagelar, padi merupakan kehidupan, bila seseorang menjual beras atau padi, berarti menjual kehidupannya sendiri.

 

Leuit atau lumbung ini menjadi pemandangan yang sangat khas di Desa Ciptagelar. Bangunan semi permanen dari kayu dan atap jerami ini berada di sekitar rumah atau di tempat-tempat yang agak jauh dari pemukiman. Berpadu dengan gunung, sawah, dan pepohonan, jajaran leuit adalah pemandangan yang sangat indah dan mengesankan.

 

Kegiatan kesenian dan kebudayaan, termasuk diantaranya Angklung Buhun, Wayang Golek, dan Jipeng merupakan bagian dari keseluruhan adat istiadat, budaya, serta tradisi yang terus berkembang sampai saat ini.

 

Menikmati Ciptagelar dengan segala kemurniannya, semakin memberikan kesadaran pada kita, betapa sesungguhnya alam selalu ada untuk kita. Bersahabat dengan alam adalah kuncinya.

 

Jakarta, 23 Januari 2022

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...