NAMA desa ini, bagi saya, cukup unik. Ciptagelar. Saya penasaran mengapa desa ini namanya Ciptagelar. Saya mencoba menelusurinya di internet. Saya dapatkan beberapa referensi tentang Ciptagelar, yang membahas sejarah, letak geografis, budaya, demografi, dan sebagainya. Ciptagelar mempunyai arti terbuka atau pasrah.
Dari
catatan yang saya baca, Kasepuhan Ciptagelar adalah masyarakat hukum adat yang
berada di kawasan pedalaman Gunung Halimun-Salak. Istilah kasepuhan berasal
dari bahasa Sunda, yang secara umum artinya adalah mereka yang dituakan. Secara
spesifik wilayah perkampungan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tersebar di tiga
kabupaten yang berada di sekitar wilayah perbatasan Provinsi Banten dan Jawa
Barat.
Kasepuhan
Adat Ciptagelar mulai berdiri pada 1368 dan telah beberapa kali mengalami
perubahan kepemimpinan yang dilakukan secara turun temurun. Sampai saat ini
Kasepuhan Ciptagelar juga telah mengalami beberapa kali perpindahan desa pusat
pemerintahan yang disebut sebagai Kampung Gede, karena masih menjalankan
tradisi berpindah yang berdasar pada wangsit yang diterima dari para leluhur
(karuhun). Secara administratif saat ini Kasepuhan Ciptagelar berada di wilayah
dusun Sukamulya, Desa Sirnaresmi, kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Berdasarkan
data tahun 2008, Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar memegang kuat adat dan
tradisi yang diturunkan sejak 644-an tahun lalu (1368 M). Kasepuhan Ciptagelar
dihuni oleh sekitar 293 orang yang terdiri dari 84 kepala keluarga dengan 151
orang laki-laki dan 142 orang perempuan. Desa ini merupakan bagian dari
Kesatuan Adat Banten Kidul yang tersebar di lebih dari 500 desa.
Tanggal
14-15 Januari yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi Desa Adat Ciptagelar,
dalam rangka memperingati Sewindu UU Desa. Kami semua, seluruh pejabat tinggi
madya dan pejabat tinggi pratama, juga Menteri Desa PDTT serta Sekretaris
Jenderal, secara bertahap berangkat dari Hotel Inna Samudra Pelabuhan Ratu.
Harus secara bertahap, karena jalan menuju Desa Ciptagelar merupakan jalan yang
berbatu-batu, menanjak, berbelok-belok, dan sempit. Bila kami berangkat bersama-sama, jika di
tengah jalan ada satu saja mobil yang mogok atau bermasalah, hal ini akan
menyebabkan terjadinya mogok berjamaah. Mobil yang kami bawa, semuanya adalah
mobil offroad 4WD, menyesuaikan dengan kondisi medan berat yang kami tempuh.
Saya
semobil dengan Pak Jajang Abdullah (sekretaris BPSDM), Mohammad Sodikin (TA
BPSDM), dan Mas Angga (staf BPSDM). Mas Angga sehari sebelumnya sudah
mengunjungi Ciptagelar untuk tryout mobil dan kenal medan. Namun begitu, kami
masih sempat tiga kali terhenti di tengah jalan yang menanjak curam, karena Mas
Angga telat oper gigi. Sempat mundur beberapa meter untuk mengambil start.
Beberapa mobil bahkan mogok karena mesinnya panas, dan harus menunggu mesin
dingin dulu, baru berangkat lagi. Ibu Irjen dan beberapa direktur bahkan
terpaksa dipindahkan ke mobil lain karena mobil yang ditumpanginya mogok
berlama-lama. Memang, sepanjang pengalaman saya berkendara di medan ekstrim,
jalan ke Ciptagelar ini merupakan jalan terekstrim yang pernah saya lalui
dengan mengendarai mobil.
Kami
tiba di Kasepuhan Ciptagelar sekitar pukul 11.30. Sekitar dua setengah jam
perjalanan dari Pelabuhan Ratu. Kami semua berpakaian adat Citpagelar. Para
lelaki mengenakan baju dan celana hitam, juga mengenakan ikat kepala
(totopong). Yang perempuan, mengenakan kain kebaya dan kain (sarung/jarit/rok
panjang). Tidak boleh mengenakan celana panjang, apa lagi celana jins. Seperti
itulah memang yang saya lihat orang-orang Ciptagelar berbusana. Para lelaki
yang bersahaja dalam balutan hitam-hitam dan ikat kepala. Para perempuan yang
umunya berkulit bersih, cantik, mengenakan kebaya dengan kain, pada umunya kain
sarung, yang dililitkan begitu saja. Bahkan beberapa anak belasan tahun pun
sudah mengenakan pakaian adat seperti itu dalam kesehariannya.
Kami
diterima di Pendopo Imah Gede. Sebuah pendopo dan sekaligus rumah Ketua Adat,
yaitu Abah Ugi Sugriana Rakasiwi. Sosok yang tampan, berkulit bersih,
berwibawa, sangat disegani. Belasan teman dari Kemendes PDTT sudah lebih dulu
datang, khususnya para panitia, yang sebagian besar adalah pejabat tinggi
pratama, beserta para staf dan ajudan. Kami disuguhi makan siang yang sudah
ditata di atas meja panjang. Ada karpet tergelar dengan meja-meja pendek, dan
kami makan secara lesehan. Menunya hampir sama dengan yang kita kenal pada
umumnya, dengan kekhasan hidangan Sunda yang selalu tersedia sambal dan lalapan
mentah. Yang berbeda adalah nasinya. Bukan nasi yang empuk dan pulen,
sebaliknya nasinya agak kering atau pera, bulirannya pendek-pendek.
Warga
Kasepuhan Ciptagelar dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh adat dan
tradisi yang bersandar pada budaya pertanian, khususnya padi. Beras yang
dikonsumsi penduduk Ciptagelar berasal dari tanaman padi yang mereka tanam
sendiri, dengan bibit yang mereka kembangkan sendiri, dan diproses dengan cara
tradisional secara turun-temurun. Dari catatan yang saya baca, Beberapa
rangkaian kegiatan pertanian yang mengakar di antaranya adalah ngaseuk (menanam
padi yang dilakukan secara bersama-sama), mipit, nganyaran, serentaun, dsb.
Dari catatan juga saya peroleh penjelasan bahwa kampung Gede Kasepuhan
Ciptagelar adalah masyarakat adat yang bersandar kepada budidaya padi, seluruh
sendi-sendi kehidupan adat didasarkan kepada kalender siklus padi. Leuit bagi
warga kasepuhan Ciptagelar tidak hanya berarti gudang tempat penyimpanan padi,
melainkan berkaitan dengan simbol penghormatan pada Dewi, yaitu Nyi Pohaci
Sanghyang Asri yang menampakkan dirinya dalam bentuk padi. Setiap kali panen,
mereka menyimpan 10% padi di leuit (lumbung) sehingga tidak heran jika di sana
terdapat padi yang usianya ratusan tahun. Bagi warga kasepuhan Ciptagelar, padi
merupakan kehidupan, bila seseorang menjual beras atau padi, berarti menjual
kehidupannya sendiri.
Leuit
atau lumbung ini menjadi pemandangan yang sangat khas di Desa Ciptagelar.
Bangunan semi permanen dari kayu dan atap jerami ini berada di sekitar rumah
atau di tempat-tempat yang agak jauh dari pemukiman. Berpadu dengan gunung,
sawah, dan pepohonan, jajaran leuit adalah pemandangan yang sangat indah dan
mengesankan.
Kegiatan
kesenian dan kebudayaan, termasuk diantaranya Angklung Buhun, Wayang Golek, dan
Jipeng merupakan bagian dari keseluruhan adat istiadat, budaya, serta tradisi
yang terus berkembang sampai saat ini.
Menikmati
Ciptagelar dengan segala kemurniannya, semakin memberikan kesadaran pada kita,
betapa sesungguhnya alam selalu ada untuk kita. Bersahabat dengan alam adalah
kuncinya.
Jakarta,
23 Januari 2022
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...