Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 29 Februari 2012

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Mengenal Pangan Lokal dengan Model Tematik Pada Siswa Kelas I Sd Di Kotamadia Surabaya *)

Oleh
Luthfiyah Nurlaela, Niken Purwidiani, Siti Sulandjari
Pendidikan Tata Boga, Universitas Negeri Surabaya
luthfiyahn@yahoo.com


Abstrak: Masalah yang akan diteliti adalah apakah perangkat pembelajaran mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik: (1) telah memenuhi persyaratan untuk digunakan dilihat dari aspek materi, kebahasaan, penyajian, dan inovasi pelaksanaan pembelajaran?; (2) dapat dibaca dan mudah dipahami siswa?; (3) memberikan kemudahan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas?; dan (4) bagaimana  hasil  belajar siswa? Pada penelitian ini terdapat kegiatan utama yakni mengembangkan perangkat pembelajaran dengan model tematik untuk kelas 1 SD dan ujicoba terbatas dan luas. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan meliputi RPP, buku siswa, dan alat penilaian berbasis kelas. Pengembangan  perangkat pembelajaran dengan menggunakan four-D models (Define, Design, Develop, dan Disseminate). Tema yang diambil adalah tema yang tersedia dalam Kurikulum KTSP dan berdekatan dengan masalah pangan serta yang dekat dengan kebutuhan anak, yaitu: Makanan, Tumbuhan, dan Hewan. Hasil penelitian menunjukkan perangkat pembelajaran mengenal pangan lokal dengan model pembelajaran tematik yang telah dikembangkan: (1) berkategori baik ditinjau dari aspek, materi, kebahasaan, penyajian, dan inovasi pelaksanaan pembelajaran, (2) direspon positif oleh siswa yakni menarik, penampilan menarik, tidak ada uraian atau penjelasan yang terlalu sulit, dan gambar/ilustrasi mudah dipahami dan memperjelas uraian; (3) memberikan kemudahan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas; dan (4) hasil belajar belajar siswa relatif tinggi.

Abstract: This study aims to find out whether thematic instruction-based learning materials on getting to know about local food: (1) has fulfilled the criteria of learning materials, in terms of materials, language use, presentation,  and learning innovations?; (2) has met the criteria of readibility and comprehensibility?; (3) assist the teacher in conducting the teaching-learning process; (4) improve the students’ achievement? This study involved materials development using thematic model for 1st graders, as well as limited and broad tryouts. The materials developed consist of lesson plans, student’s book, and class-based assessment instruments. The learning materials were developed using four-D models (Define, Design, Develop, and Disseminate). The themes were taken from School-based Curriculum and were related to food and children’s needs, i.e. Food, Plants, and Animals. The result of the study reveals that the  existing thematic-based learning materials that are related to matters of local food: (1) are sufficiently developed in terms of materials discussed, language use, presentation, and learning innovations;(2) gain positive response by the students due to their interesting materials and presentation, easy and comprehensible explanation, and easy and functional illustrations that help students’ understanding; (3) help the teacher conduct teaching-learning process; and (4) improve the students’ achievement.  
______________________________________
*) Artikel Hasil Penelitian Strategis Nasional, 2009. 

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki sumber-sumber karbohidrat yang sangat kaya, antara lain terdapat sekitar 157 spesies bahan pangan karbohidrat nonbiji yang belum termanfaatkan dengan baik. Selain itu, dalam hal ketersediaan makanan beragam, Indonesia memiliki kekayaan budaya makanan dan masakan tradisional yang sangat besar. Upaya yang diperlukan adalah menjadikannya berdaya saing dan mensosialisasikannya pada khalayak yang lebih luas. Untuk itu peningkatan pengetahuan atas pangan dan gizi masyarakat harus terkait dengan perubahan perilaku dan kebiasaan makan. Perubahan ini memerlukan proses yang lama dan gradual, sehingga sebaiknya sasaran dari langkah ini adalah kelompok usia sangat muda dan balita, murid TK dan SD (Tampubolon, 2002). Proses peningkatan pengetahuan dan gizi ini perlu segera dimulai, meskipun hasilnya baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian.
Penelitian Tejasari (2001) dan Anonim (2001) juga menunjukkan potensi pangan lokal di Jawa Timur sangat baik dilihat dari segi produksi maupun produktivitasnya. Pengembangan produk makanan berbasis pangan lokal sangatlah diharapkan dalam rangka mendukung tercapainya ketahanan pangan nasional.
Data menunjukkan bahwa upaya pengembangan dan diversifikasi pangan khususnya pangan lokal telah dilakukan sejak dua dasawarsa yang lalu, namun belum berhasil seperti yang diharapkan (Nindyowati, 2001; 2002). Berbagai upaya sosialisasi telah banyak dilakukan. Selama ini sosialisasi yang dilakukan lebih banyak melalui kegiatan-kegiatan kampanye, lomba/pameran/gelar makanan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun pusat, dengan keterlibatan pihak instansi terkait. Upaya sosialisasi ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain kurang komprehensif, sesaat, sehingga tidak bertahan lama dalam menanamkan pemahaman dan menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat. Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Jawa Timur bahkan menggelar kegiatan-kegiatan serupa dua tiga kali dalam setahun, dengan keterlibatan instansi terkait, dinas pendidikan, dan juga industri; namun tetap memprihatinkan lambatnya hasil pemasyarakatan diversifikasi pangan tersebut.
Pemerintah daerah propinsi Jawa Timur yang dikoordinasikan oleh Balitbang Jawa Timur bekerja sama dengan Universitas Negeri Surabaya telah melakukan kajian pengembangan berbagai produk olahan berbasis pangan lokal. Hasil kajian ini sampai saat ini baru dapat  disosialisasikan ke instansi terkait dari 4 kabupaten/kota, yaitu Dewan Ketahanan Pangan, Dinas Kesehatan/BKKBN, Bapemas, Dinas Pertanian, dan PKK (Sampang, Bangkalan, Kabupaten Malang, dan Kotamadia Malang) (Sulandjari, dkk, 2002). Sosialisasi lebih lanjut diperlukan agar upaya peningkatan ketahanan pangan dapat lebih berarti dan menjangkau masyarakat yang lebih luas.
Sosialisasi lebih lanjut, yang selama ini belum pernah dilakukan, adalah melalui jalur pendidikan formal, khususnya SD. SD  sebagai agen sosialisasi sekunder bagi peserta didik yang berusia muda memiliki peran yang strategis karena pada usia-usia tersebut masih sangat terbuka peluang untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang diharapkan akan lebih mudah tertanam serta bertahan lama. Keberhasilan dan keterjaminan perwujudan ketahanan pangan memprasyaratkan kesadaran masyarakat Indonesia akan arti penting dan sentralnya ketahanan pangan bagi kehidupan masa kini dan masa mendatang. Kesadaran ini harus ditumbuhkan dengan lebih komprehensif, mendasar, dan sistemik yang salah satunya adalah mengintegrasikannya dalam kurikulum pendidikan formal, khususnya pendidikan dasar (Nurlaela, 2002; 2006). Hal ini sejalan dengan pendapat Tampubolon (2002) yang menyatakan bahwa sebaiknya sasaran untuk sosialisasi penganekaragaman pangan adalah kelompok usia sangat muda dari balita, murid TK, dan SD. Soenardi  (2002) juga mengemukakan hal yang sama, yaitu penganekaragaman pangan non-beras perlu diperkenalkan sejak usia dini hingga terbawa sebagai kebiasaan hingga usia dewasa. Proses tersebut harus segera dimulai walaupun hasilnya baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian, karena proses ini memerlukan waktu yang lama dan gradual.
Analisis yang telah dilakukan peneliti (Nurlaela, 2002;2006) tentang kajian sosialisasi pendidikan ketahanan pangan melalui pendidikan dasar menemukan bahwa   beberapa mata pelajaran SD seperti IPA, IPS, PPKn, dan Bahasa Indonesia, sangat terbuka peluang untuk mengintegrasikan pendidikan ketahanan pangan ke dalam kurikulumnya. Ini berarti sosialisasi konsumsi pangan lokal tidak perlu berdiri sendiri sebagai mata pelajaran tersendiri karena hal ini akan membebani kurikulum SD, namun cukup menjadi isi/bahan/muatan di dalam beberapa mata pelajarannya. Hasil kajian konseptual peneliti lebih lanjut (Nurlaela, 2006) tentang penerapan model pembelajaran terintegrasi (integrated learning) juga menunjukkan adanya peluang yang sangat terbuka untuk mengintegrasikan pendidikan pangan dalam berbagai mata pelajaran. Ketahanan pangan sebagai tema dapat memadukan mata pelajaran-mata pelajaran lain seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Pengetahuan Sosial, Sains, dan Kertakes.
Penelitian  yang dilakukan oleh Sulandjari, dkk (2002) menghasilkan buku “Ragam Olahan Bentul Dalam Rangka Diversifikasi Pangan Non Beras”, dimaksudkan sebagai media sosialisasi ke dinas/instansi terkait. Penelitian disertasi Nurlaela (2007) tentang pengaruh model pembelajaran (tematik dan konvensional) terhadap hasil belajar pada siswa kelas 3 SD menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran tematik lebih baik daripada siswa yang menggunakan model konvensional. Hal ini disebabkan antara lain siswa pada pembelajaran tematik lebih aktif, lingkungan belajar lebih baik, dan penilaian berbasis siswa; yang kesemuanya ini memang merupakan sebagian karakteristik pembelajaran tematik. Penelitian Suryanti dkk (2007) juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu pencapaian hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran tematik yang meningkat secara signifikan.
Rumusan masalah yang hendak dipecahkan dalam penelitian ini adalah apakah perangkat pembelajaran mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik yang dikembangkan: (1) telah memenuhi persyaratan untuk digunakan dilihat dari aspek materi, kebahasaan, penyajian, dan inovasi pelaksanaan  pembelajaran?; (2) dapat dibaca dan mudah dipahami siswa?; (3) memberikan kemudahan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas?; dan (4) bagaimanakah hasil belajar siswa?
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengembangkan perangkat pembelajaran mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik, yang dapat meningkatkan kualitas proses belajar mengajar pada siswa kelas 1 SD. Perangkat pembelajaran dimaksud meliputi: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Buku Siswa, dan penilaian berbasis kelas yang memenuhi persyaratan dari aspek materi, bahasa, penyajian, keterbacaan, pemahaman, dan menarik bagi siswa, memberi kemudahan bagi guru, dan meningkatkan prestasi belajar siswa.
Manfaat penelitian ini secara umum adalah tersedianya contoh perangkat pembelajaran perangkat pembelajaran mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik. Secara spesifik manfaat tersebut adalah sebagi berikut: (1) bagi siswa, perangkat pembelajaran mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik ini akan membantu mengembangkan semua pemikirannya karena diasajikan secara terpadu tidak terpisah-pisah; (2) bagi guru, dengan dikemasnya kompetensi-kompetensi antar mata pelajaran dalam satu tema tertentu yang dituangkan dalam buku siswa, akan lebih mudah mengelola pembelajaran secara tematik, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemberian tugas, dan penilaian siswa; dan (3) bagi dosen dan instansi yang terkait dengan bidang pendidikan serta ketahanan pangan, Hasil penelitian ini dapat menjadi pijakan untuk penelitian-penelitian lebih lanjut, baik di SD maupun jenjang-jenjang di atasnya. Selain itu juga dapat menjadi bahan untuk pengabdian kepada masyarakat dan kegiatan-kegiatan lain yang menyangkut sosialisasi ketahanan pangan melalui jalur pendidikan formal.

KAJIAN TEORI

Sosialisasi Ketahanan Pangan melalui Pendidikan
Upaya pengembangan dan diversifikasi pangan khususnya pangan lokal telah dilakukan sejak dua dasawarsa yang lalu, namun belum berhasil seperti  diharapkan. Salah satu kendala sulitnya diversifikasi pangan adalah karena secara budaya beras masih diakui masyarakat sebagai pangan pokok yang bernilai tinggi. Beras tidak hanya dipandang sebagi bahan makanan pokok namun dalam pemanfaatannya diyakini mampu menggambarkan staus kondisi sosial ekonomi sautu keluarga. Faktor lain yang dimungkinkan dapat menjadi penyebab rendahnya minat masyarakat terhadap pangan non beras, Pertama, bentuk sajian yang ada di masyarakat kurang bervariasi, Kedua, pengolahan yang dikenal masyarakat kurang bervariasi, dalam arti bentuk olahan masih menunjukkan bahan baku aslinya, cara membuatnya lama, dan daya simpannya pendek (Anonim, 2001)
Salah satu upaya sosialisasi ketahanan pangan dapat ditempuh melalui institusi pendidikan, baik formal, nonformal, maupun informal. Diyakini bahwa secara asasi pendidikan itu bertujuan untuk: (1) melimpahkan suatu pandangan hidup, (2) meningkatkan dan merekonstruksi pandangan hidup itu, dan (3) memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu. Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu kebutuhan manusa dalam rangka mengembangkan, memanfaatkan, dan melestarikan nilai-nilai yang dianut bersama. Nilai dalam hal ini sistem nilai budaya bangsa merupakan konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat berharga dalam hidup. Karena itru sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Koentjaraningrat, 1985). Sistem nilai budaya tersebut dapat dipandang sebagai pandangan hidup bangsa dan dalam trangka proses penanaman sistem nilai inilah pendidikan itu dilakukan. Dengan demikian, dalam rangka sosialisasi nilai budaya pola konsumsi makan, maka dapat dilakukan meaui berbagai institusi pendidikan.
Selanjutnya karena diyakini pendidikan sebagi pranata dan proses penanaman nilai, dengan kata lain pendidikan sebagai saluran dan proses enkulturisasi, yang berarti tempat latihan, dan berkat latihan itulah seorang individu diintegrasikan ke dalam kebudayaan sejaman dan setempat (Baker, 1990), maka perlu dilakukan sosialisasi nilai budaya pola konsumsi pangan untuk berbagai institusi pendidikan, khususnya pendidikan dasar.
Pendidikan dasar sebagai agen sosialisasi sekunder bagi peserta didik yang berusia muda memiliki peran yang strategis karena pada usia-usia tersebut masih sangat terbuka peluang untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang diharapkan akan lebih mudah tertanam serta bertahan lama. Tampubolon (2002) bahkan menyatakan bahwa sebaiknya sasaran untuk sosialisasi penganekaragaman pangan adalah kelompok usia sangat muda dari balita, murid TK dan SD. Proses tersebut harus segera dimulai walaupun hasilnya baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian, karena proes ini memerlukan waktu yang lama dan gradual.
Implementasi pendidikan ketahanan pangan dalam pendidikan salah satunya dapat disikapi sebagai isi/bahan/muatan pendidikan/pembelajaran yang dapat diajarkan atau dibelajarkan pada siswa. Dalam kaitan ini, pendidikan ketahanan pangan sebaiknya dimasukkan dalam kurikulum formal (ideal). Apabila pendidikan ketahanan pangan belum memungkinkan untuk diwadahi dalam mata pelajaran tersendiri, maka paling tidak dapat diintegrasikan atau dipadukan dalam mata pelajaran tertentu. Isi/bahan pendidikan ketahanan pangan dapat diintegrasikan ke dalam banyak mata pelajaran, misalnya Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA, PPKN, IPS, dan mungkin Agama. Oleh sebab itu, pendekatamn integratif dalam pengembangan bahan pelajaran perlu diupayakan dalam kaitan ini.
Analisis yang telah dilakukan Nurlaela (2002, 2006) tentang kajian sosialisasi pendidikan ketahanan pangan melalui pendidikan dasar menemukan bahwa   beberapa mata pelajaran SD seperti IPA, IPS, PPKn, dan Bahasa Indonesia, sangat terbuka peluang untuk mengintegrasikan pendidikan ketahanan pangan ke dalam kurikulumnya. Misalnya pada pelajaran IPA SD Kelas V Semester I terdapat pokok bahasan "Makanan, Alat Pencernaan, dan Kesehatan", di dalamya terdapat sub-pokok bahasan "Makanan bergizi dan penyusunan makanan dengan gizi seimbang", di dalamnya dapat dimasukkan muatan pendidikan ketahanan pangan khususnya tentang konsumsi pangan lokal. Ini berarti sosialisasi konsumsi pangan lokal tidak perlu berdiri sendiri sebagai mata pelajaran tersendiri karena hal ini  akan membebani kurikulum SD, namun cukup menjadi isi/bahan/muatan di dalam beberapa mata pelajarannya; atau dapat juga diintegrasikan dalam mata pelajaran keterampilan (tata boga/memasak), atau menjadi salah satu pilihan kegiatan dalam ekstrakurikuler. Hasil kajian konseptual peneliti lebih lanjut (Nurlaela, 2006) tentang penerapan model pembelajaran terintegrasi (integrated learning) juga menunjukkan adanya peluang yang sangat terbuka untuk mengintegrasikan pendidikan pangan dalam berbagai mata pelajaran. Ketahanan pangan sebagai tema dapat memadukan mata pelajaran-mata pelajaran lain seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Pengetahuan Sosial, Sains, dan Kertakes.

Konsep Pembelajaran Terpadu Dengan Model Tematik
Dewasa ini, para ahli pendidikan mulai memunculkan kembali ide keterpaduan dalam pembelajaran dengan menciptakan berbagai model dengan panduan rancangan pembelajaran yang tersusun secara rinci dan jelas. Pembelajaran terpadu sangat terkait dengan implementasi paradigma konstruktivistik dalam pengembangan kecerdasan multiple pada anak didik.
Menurut Forgaty (1991), ada sepuluh model pengintegrasian kurikulum, mulai dari yang sangat berorientasi pada persatuan mata pelajaran hingga sangat berorientasi pada keterpaduan mata pelajaran bahkan diantara siswa, meliputi: (1) model penggalan (fragmented), (2) model keterhubungan/tyerkait (connected), (3) model sarang (nested), (4) model sequenced, (5) model shared, (6) model webbed, seringkali disebut model terjala atau model tematik, (7) model threaded, (8) model integrated, (9) model immersed, dan (10) model networked.
 Dalam kajian ini, model yang digunakan adalah model terjala (model webbed) atau yang biasa disebut model tematik, karena menggunakan tema dalam merencanakan pembelajaran. Pembelajaran tematik merupakan suatu strategi pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Keterpaduan dalam pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek kurikulum, dan aspek belajar-mengajar. Menurut Joni (1996), pembelajaran terpadu yang kegiatan belajarnya terorganisasikan secara lebih terstruktur dapat terwujud, apabila kegiatan belajar-mengajar yang diselenggarakan itu secara lebih eksplisit bertolak dari tema-tema.
Menurut KTSP, pembelajaran tematik diajarkan pada siswa SD kelas rendah (kelas 1, 2 dan 3), karena pada umumnya mereka masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik), perkembangan fisiknya tidak pernah bisa dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial dan emosional. Apabila di jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti SMU, khasanah pengetahuan dapat dipilah-pilah demi efisiensi penyajian (metematika, bahasa, IPA, dan sebagainya, yang diajarkan secara terpisah-pisah oleh guru bidang studi), di jenjang SD terutama di kelas-kelas awal, para siswa yang masih lebih menghayati pengalamannya sebagai totalitas, mengalami kesulitan dengan pemilahan-pemilahan pengalaman yang ‘’artifisaial’’ ini (Joni, 1996). Dengan kata lain, para siswa yang masih muda itu melihat dirinya sebagai pusat lingkungan yang merupakan suatu keseluruhan yang belum jelas unsur-unsurnya, dengan pemaknaan secara holistik yang berangkat dari yang bersifat konkrit.
Pembelajaran tematik memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan pembelajaran yang lain. Kegiatan belajar lebih banyak dilakukan melalui pengalaman langsung atau hands on experiences. Adapun karakteristik pembelajaran tematik antara  lain; (1) tema memberikan pengalaman langsung dengan obyek-obyek yang nyata bagi anak untuk memanipulasi; (2) tema menciptakan kegiatan yang memungkinkan anak untuk menggunakan pemikirannya, (3) membangun kegiatan sekitar minat-minat umum anak, (4 Adapun karakteristik pembelajaran tematik antara  lain; (1) tema memberikan pengalaman langsung dengan obyek-obyek yang nyata bagi anak untuk memanipulasi; (2) tema menciptakan kegiatan yang memungkinkan anak untuk menggunakan pemikirannya, (3) membangun kegiatan sekitar minat-minat umum anak, (4) menyediakan kegiatan dan kebiasaan yang menghubungkan semua aspek perkembangan kognitif, social, emosi, dan fisik; (5) mengakomodasi kebutuhan anak-anak.Untuk bergerak dan melakukan kegiatan fisik, interaksi sosial, kemandirian, dan harga diri yang positif, (6) menghargai individu, latar belakang kebudayaan, dan pengalaman di keluarga yang dibawa anak-anak ke kelasnya, dan (7) menemukan cara untuk melibatkan anggota keluarga anak (Barbar Rohde dan Kostelink, et.al, 1991).
Selain cara di atas, Hendrik (1989) dalam Kostelink (1991) mengemukakan bahwa tema membantu anak-anak mengembangkan semua pemikiran dalam belajar. Melalui pembelajaran tematik anak-anak membangun hubungan di antara informasi yang terpisah-pisah untuk membentuk konsep yang lebih kompleks dan abstrak (Osbum dan Osbum, 1983; Bredekan dalam Kostelink, et.al, 1991)
Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan bahwa pengajaran dengan tema merupakan model pembelajaran yang lebih komprehensif dan terpadu. Menggunakan tema dapat mengembangkan konsep anak. Konsep adalah gagasan pokok tentang obyek dan peristiwa yang dibentuk oleh anak-anak di lingkungannya. Konsep adalah kategori kognitif yang membuat orang mengelompokkan informasi yang berbeda secara perceptual, peristiwa dan persoalan (Wellman, 1998 dalam Kostelink,1991). Dengan demikian pembelajaran tematik merupakan model pembelajaran yang lebih komprehensif dan terpadu (Nurlaela, 2008).
Keterpaduan dilakukan secara sadar, bertujuan, sistematis dan membantu siswa untuk memahami topik tertentu dari berbagai sisi. Charbonnean dan Reider (1995:5) menyatakan bahwa guru dan siswa hendaknya memilih topik yang menarik untuk dipelajari dan topik tersebut hendaknya melibatkan beberapa konsep dan keterampilan. Dengan adanya kerjasama antara guru dan siswa, siswa akan memperoleh kesempatan belajar menggunakan ide-idenya, keterampilan dan konsep-konsep yang telah dipelajarinya dalam konteks bidang studi yang lain.

METODE PENELITIAN
    
Untuk mengembangkan perangkat pembelajaran tematik digunakan four-D models yakni define, design, develop, dan disseminate (Thiagarajan, Semmel & Semmel, 1974). Dalam tahap define akan dilakukan kajian terhadap standar kompetensi dan isi yang ada dalam kurikulum KTSP yang sesuai dengan tema-tema yang telah ditetapkan. Langkah selanjutnya adalah mendisain format perangkat dan penulisan perangkat seperti tampak pada bagan berikut ini.
 
Setelah perangkat pembelajaran tematik berhasil ditulis dan menghasilkan Draft 1, selanjutnya diadakan kegiatan telaah. Sebagai penelaah pakar-pakar pendidikan yang berkompeten di bidangnya, yakni ahli pendidikan dan guru SD kelas I. Kegiatan telaah dimaksudkan untuk melihat aspek materi, kebahasaan, penyajian dan inovasi dalam peningkatan KBM. Aspek materi yang dinilai meliputi kebenaran konten, kemutakhiran konten, dan sistematika sesuai dengan struktur keilmuan. Aspek kebahasaan meliputi bahasa yang digunakan sesuai dengan usia siswa, menggunakan bahasa yang baik dan benar, istilah yang digunakan tepat dan mudah dipahami dan penggunaan istilah dan simbol secara ajeg. Aspek penyajian meliputi membangkitkan motivasi/minat/rasa ingin tahu, sesuai dengan taraf berpikir dan kemampuan membaca siswa, mendorong siswa terlibat aktif, dan memperhatikan siswa dengan kemampuan/gaya belajar siswa serta menarik/menyenangkan. Aspek inovasi peningkatan KBM meliputi kesesuaian tema dengan kurikulum, kesesuaian buku dengan tema, menekankan dunia nyata, KBM yang student centered, dan menunjang terlaksananya KBM yang bervariasi. Setelah dilakukan telaah, maka akan dilakukan revisi berdasarkan masukan dari ahli dan guru kelas 1 SD, dan dihasilkan Draf 2. Selanjutnya dilakukan uji coba terbatas, dan menghasilkan perangkat pembelajaran tematik.
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka data diambil dengan menggunakan instrumen angket, observasi, dan dokumentasi, serta tes. Data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Untuk mengetahuai efektifitas perangkat pembelajaran dilakukan analisis dengan menggunakan uji-t.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengembangan Perangkat Pembelajaran Tematik
Sesuai dengan tahapan pengembangan perangkat pembelajaran yakni model 4D maka pada tahap define telah dirumuskan tema-tema yang ada dalam kelas 1 SD semester 2 yakni tema makanan, tumbuhan, dan hewan. Tema-tema tersebut memadukan berbagai standar kompetensi dalam 5 matapelajaran yakni Bahasa Indonesia,  Matematika, IPA, IPS, dan Kertakes.
            Berdasarkan tema yang telah ditentukan, tahap selanjutnya adalah mengembangkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari RPP, buku siswa, dan alat penilaian untuk setiap tema.

1. Buku Siswa
Buku Siswa dikembangkan sebagai perangkat pembelajaran yang berfungsi untuk memandu siswa dalam mempelajari materi-materi yang disajikan dalam kegiatan pembelajaran. Buku Siswa tematik terbagi menjadi tiga buku, yaitu buku dengan tema Makanan, Tumbuhan, dan Hewan. Buku Siswa diawali dengan penyajian peta konsep yang merupakan formulasi  kaitan tema dengan mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, IPA/Sains, IPS, dan Kertakes, serta formulasi kompetensi yang akan dicapai dalam setiap mata pelajaran tersebut. Kemudian penyajian materi secara terpadu sedemikian rupa sehingga tidak nampak pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain. Di dalam buku tersebut materi dipadukan dengan tugas-tugas dan aktivitas lain seperti membaca, menulis, menjelaskan isi gambar, menghitung, gunting tempel, menyanyi, bermain peran, serta praktik. Aktivitas dilakukan di dalam maupun di luar kelas, secara individual maupun berkelompok.
            Karakteristik buku siswa dikembangkan dengan mengacu pada kebutuhan anak SD yang masih tahap operasional konkrit dan ketertarikan anak pada gambar-yang menarik dan berwarna. Dengan disertai gambar-gambar yang menarik dan berwarna diharapkan mampu menumbuhkan minat anak untuk membaca dan mudah memahami konsep yang terkandung di dalamnya. Selain itu, buku dikembangkan berdasarkan prinsip dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks, dari yang dekat dunia anak menuju ke yang relatif jauh. Berdasarkan teori belajar sosial Bandura (Slavin, 1995), anak dapat belajar melalui pemodelan, maka buku siswa juga dikembangkan dengan mengetengahkan seorang anak yang ideal sebagai tokoh yang diharapkan dapat digunakan sebagai model oleh siswa.
           
2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
            RPP dirancang sebagai panduan bagi guru untuk melaksanakan pembelajaran. RPP dengan tema Makanan terdiri dari empat RPP masing-masing dengan alokasi waktu pembelajaran sebanyak 6x35 menit. RPP tema Tumbuhan terdiri dari 3 RRP masing-masing dengan alokasi waktu pembelajaran 6x35 menit. RPP tema Hewan terdiri dari 3 RRP masing-masing dengan alokasi waktu pembelajaran 6x35 menit. Setiap RPP diawali dengan identifikasi kelas, waktu, dan tema. Setelah itu masuk pada bagaian A, yaitu tahap perencanaan, yang menampilkan mata pelajaran dan indikator hasil belajar yang dipadukan, kompetensi dasar, indikator keberhasilan, Metode pembelajaran, dan sumber bahan. Pada bagian B yaitu tahap pelaksanaan, menyajikan kegiatan awal yang meliputi apersepsi dan curah pendapat sehingga dapat dimunculkan kemungkinan kaitan tema dalam bentuk peta konsep. Dilanjutkan dengan kegiatan inti yang menggambarkan skenario kegiatan guru dan siswa dalam pembelajaran. Tahap selanjutnya adalah kegiatan akhir, meliputi evaluasi, tindak lanjut, dan penutup. RPP diakhiri dengan bagian C, yaitu Evaluasi, yang di dalamnya meliputi prosedur tes, jenis tes, dan bentuk tes, serta dilengkapi dengan soal dan butir-butir tes yang diberikan.

3. Alat Penilaian
            Alat penilaian berupa soal-soal tes untuk tema Makanan yang terdiri 15 butir soal, tema Tumbuhan terdiri 9 butir soal, dan tema Hewan terdiri 9 butir soal. Soal tes disusun berdasarkan RPP dan buku siswa yang telah dikembangkan. Tes dilakukan dua kali berupa pre tes yang dilaksanakan diawal KBM dan postes yang dilaksanakan diakhir KBM dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal, hasil belajar, serta peningkatan hasil belajar siswa.
           
Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran Tematik
Setelah perangkat pembelajaran tematik berhasil dikembangkan, langkah selanjutnya dilakukan validasi oleh ahli/praktisi pendidikan. Validasi ini dimaksudkan untuk melihat kebenaran materi, kebahasaan dan penyajian. Perangkat pembelajaran telah divalidasi oleh 3 orang ahli dan praktisi pendidikan. Hasil validasi menunjukkan bahwa perangkat yang dikembangkan dilihat dari aspek materi, kebahasaan, penyajian, dan peningkatan KBM dinilai baik oleh validator. Namun demikian terdapat beberapa catatan yang direkomendasikan sebagai bahan revisi perangkat yakni materi pada tema makanan yang terlalu berat untuk anak kelas 1 SD dan aktivitas siswa supaya lebih diperbanyak. Masukan ini sebagai bahan revisi perangkat sebelum diujicobakan kepada siswa di kelas.

     Hasil Ujicoba Terbatas Perangkat Pembelajaran Tematik
            Untuk mengetahui keterbacaan perangkat pembelajaran pengembangan mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik yang telah dikembangkan, dilakukan ujicoba terbatas pada siswa kelas 1 SD di SDN Kebonsari II. Setelah pelaksanaan pembelajaran, siswa diberi angket tentang pendapatnya mengenai buku siswa dan pemahaman mereka melalui tes.
Hasil ujicoba menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran, yakni buku siswa direspon positif oleh siswa, siswa menyatakan buku tersebut menarik, mudah dipahami, bagus, dan tidak ada yang sulit dipahami. Hasil ini memperlihatkan bahwa hasil rancangan dan pengembangan buku siswa tentang mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik tersebut sesuai dengan karakteristik anak usia kelas 1 SD yang masih dalam tahap operasional konkrit dan menyukai gambar–gambar ilustratif dengan warna-warna cerah yang dekat dengan dirinya. Pendapat siswa ini ternyata konsisten dengan hasil belajar (postes) yang dijaring melalui tes dalam 3 tema yang  memperlihatkan bahwa perangkat pembelajaran memberikan rerata dan peningkatan hasil belajar yang relatif tinggi di kelas 1 SD

     Hasil Ujicoba Skala Luas Perangkat Pembelajaran Tematik
                 Ujicoba skala luas dilaksanakan di tiga sekolah dasar yakni SDN Kebonsari I, SDN Ketintang III, dan SDN Jajartunggal III. Hasil ujicoba skala luas dimaksudkan untuk mengetahui hasil belajar siswa. Hasil Analisis deskriptif untuk masing-masing tema dapat dilihat pada gambar di bawah.    

1.    Tema Makanan

Berdasarkan grafik di atas nampak ada peningkatan rerata hasil belajar dari pretes dan postes pada tema Makanan, SDN Ketintang III rerata pre tes adalah 44,56, rerata post tes 76,50, sedangkan SDN Jajartunggal III rerata pre tes 62,43 dan rerata postes adalah 78,18.
Dari hasil uji-t, menunjukkan angka signifikansi 0,061 dan 0,000 dengan taraf signifikansi 5%, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan dan peningkatan hasil belajar antara pretes dan postes.

2. Tema Tumbuhan

Berdasarkan tabel dan grafik di atas nampak ada peningkatan rerata hasil belajar dari pretes dan postes pada tema Tumbuhan, SDN Kebonsari I rerata pre tes adalah 75,14, rerata post tes 79,14, sedangkan SDN Ketintang III rerata pre tes 75,23 dan rerata postes adalah 78,63. Dari hasil uji-t, menunjukkan angka signifikansi 0,013 dan 0,000 dengan taraf signifikansi 5%, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan dan peningkatan hasil belajar antara pretes dan postes.

3 Tema Hewan     

Berdasarkan tabel dan grafik di atas nampak ada peningkatan rerata hasil belajar dari pretes dan postes pada tema Hewan, SDN Kebonsari I rerata pre tes adalah 79,06, rerata post tes 86,60, sedangkan SDN Jajartunggal III rerata pre tes 85,72 dan rerata postes adalah 94,23. Dari hasil uji-t pada Tabel 4.11 dan 4.12 menunjukkan angka signifikansi 0,002 dan 0,000 dengan taraf signifikansi 5%, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan dan peningkatan hasil belajar antara pretes dan postes.
Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perangkat pembelajaran tematik memberikan rerata hasil belajar yang relatif tinggi di kelas 1 SD. Hal tersebut mengindikasikan  bahwa pembelajaran tematik yang di lengkapi dengan perangkat pembelajaran tematik cukup memberi peluang perlibatan berbagai pengalaman siswa, karena tema–tema yang diangkat dipilih dari hal–hal yang di kemukakan siswa, yang mungkin bertolak dari pengalaman sebelumnya, serta berdasarkan kebutuhan yang dirasakan siswa (felt need). Hasil ini sesuai dengan temuan Hendrik (dalam Kostelink,1991) yang menyatakan bahwa tema membantu anak–anak mengembangkan semua pemikirannya dalam belajar. Melalui pembelajaran tematik, anak–anak membangun hubungan di antara informasi yang terpisah-pisah untuk membentuk konsep yang lebih kompleks dan abstrak (Osborn dan Osborn, dalam Kostelink,1991).
            Benson (2005) mengemukakan pembelajaran tematik melibatkan sekumpulan aktifitas yang terkait dan dirancang di seputar topik atau tema, serta menjangkau beberapa  area kurikulum. Adanya keterlibatan sekumpulan aktifitas berarti siswa tidak hanya mengandalkan pendengaran, namun juga mata dan bahkan gerakan atau sentuhan; dan semuanya ini akan lebih optimal bila dilengkapi dengan bahan ajar tematik. Tema yang dikemas sedemikian rupa dalam bentuk bahan ajar dapat menyediakan linkungan yang mendorong belajar proses dan melibatkan seluruh siswa secara aktif (Fisher,1991).
        Selain itu, pengemasan bahan ajar  yang berbasis tema, membuat siswa mudah memusatkan perhatian pada satu tema atau topik tertentu. Siswa dapat mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi mata pelajaran dalam tema yang sama, serta memahami materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan. Selama pembelajaran, linkungan belajar yang ditata  sedemikian rupa memungkinkan siswa lebih bergairah belajar,  karena bisa berkomunikasi dalam situasi yang nyata misalnya bertanya, bercerita, bermain peran, berdiskusi, bekerja kelompok, dan sebagainya.

SIMPULAN DAN SARAN
                 Berdasarkan penyajian data dan pembahasan hasil penelitian maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut Perangkat pembelajaran pengembangan perilaku menyukai pangan lokal dengan model pembelajaran tematik yang telah dikembangkan: (1) berkategori baik ditinjau dari aspek, materi, kebahasaan, penyajian, dan inovasi pelaksanaan pembelajaran; (2) direpon positif oleh siswa yakni menarik, penampilan menarik, tidak ada uraian atau penjelasan yang terlalu sulit, dan gambar/ilustrasi mudah dipahami dan memperjelas uraian; (3) memberikan kemudahan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas; dan (4) belajar siswa relatif tinggi
            Dari simpulan yang diambil maka dapat disampaikan saran sebagai berikut: (1) Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional, dapat melalui jalur pendidikan yaitu dengan dengan menerapkan perangkat pembelajaran pengembangan  perilaku menyukai pangan lokal dengan model pembelajaran tematik, dan (2) agar hasil belajar siswa optimal maka sebaiknya pembelajaran tematik di kelas rendah, khususnya di kelas 1 SD, menggunakan bahan yang dikemas dalam bentuk tematik, tidak berdiri sendiri setiap mata pelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Benson, T.R. 2005. The issues: Integrated teaching units. PBS teacher source. http://www.pbs.org/teachersource/prek2/issues/904issue.shtm
Fisher, B. 1991. Joyful learning: A whole language kindergarten. Postmouth, N.H.: Heinemann
Kostelink, M.J., Soderman, A.K & Whiren, A.P. 2004. Developmentally appropriate curriculum: best practice in early childhood education. Upper Saddle River, N.J: Merrill
Nindyowati, E. 2001. Kebijakan dan Program Pembangunan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Makanan Tradisional, di NICE Center Graha Pena Building Surabaya, 27 Oktober 2001.
---------------. 2002. "Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan dan Sosialisasi Pangan Lokal". Dalam  Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Hasil-hasil Penelitian Makanan Tradisional Pengembangan dan Sosialisasi Pangan Lokal.  Unesa University Press, Universitas Negeri Surabaya. 
Nurlaela, Luthfiyah. 2002. Sosialisasi Ketahanan Pangan: Mungkinkah Melalui Pendidikan Dasar? Dalam Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. 3 No. 1, 2002: 52-61.
----------------. 2002. "Sosialisasi Pangan Berbasis Bahan Pangan Lokal Melalui Pendidikan". Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Hasil-hasil Penelitian Makanan Tradisional Pengembangan dan Sosialisasi Pangan Lokal.  Unesa University Press, Universitas Negeri Surabaya
-----------------. 2006. Penerapan Model Pembelajaran Terintegrasi (Integrated Learning) untuk Meningkatkan Pemahaman Pendidikan Ketahanan Pangan di SD. Dalam Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. 7 No. 1, Maret 2006.
-----------------. 2008. Pengaruh Model Pembelajaran, Gaya Belajar dan Kemampuan Membaca terhadap Hasil Belajar Siswa SD di Kota Surabaya. Dalam Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. 9 No. 1, Maret 2008.
Nurlaela, Luthfiyah dan Rita Ismawati. 2007. Pemetaan dan Pendokumentasian Makanan Tradisional Jawa Timur. Laporan Penelitian Fundamental. Belum Dipublikasikan. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya. 2007.
Sulandjari, Siti; Bahar, Asrul; Amaria. 2002. Penelitian dan Pengkajian Pola Konsumsi Melalui Diversifikasi Menu dan Gizi di Jawa Timur. Laporan Penelitian Kerjasama antara Balitbang Propinsi Jawa Timur dan Universitas Negeri Surabaya. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.
Soenardi, Tuti. 2002. Makanan Alternatif untuk Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Suryanti, dkk. 2007. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Tematik untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di Kelas Rendah Sekolah Dasar. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Lanjutan. Belum Dipublikasikan. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya. 2007.
Tampubolon, SMH. 2002. Suara dari Bogor, Sistem dan Usaha Agribisnis, Kacamata sang Pemikir. Pusat Studi Pembangunan IPB dan USESE Foundation.
Tejasari, dkk. 2001. Kajian Tepung Umbi-Umbian Lokal sebagai Bahan Pangan Olahan. Laporan Penelitian kerjasama antara Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember dan Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur. Tidak diterbitkan.
Tim Universitas Brawijaya Malang. 2001. Kajian Pangan Olahan Pengganti Beras. Laporan Penelitian Kerjasama antara Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang dan Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur. Tidak diterbitkan.
Thiagarajan, S., Doroty S. Semmel, dan Melvyn I. Semmel. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children. Source Book. Bloominton: Center for Innovation on Theaching the Handicapped.

Selasa, 28 Februari 2012

Himapala Unesa, Ajang Pengembangan Karakter

Luthfiyah Nurlaela

Sejarah Himapala
            Istilah pecinta alam, di luar negeri disebut aktivis lingkungan, merujuk pada sekelompok anak muda yang suka berpetualang, naik gunung, lintas hutan, dan beberapa aktivitas di alam yang lain, termasuk di dalamnya adalah aktivitas yang mencerminkan adanya kepedulian pada kelestarian alam. Penghijauan, pengelolaan sampah, konservasi alam, dan sebagainya, adalah sebagian kecil kegiatan kepecinta alaman.
            Konsep pecinta alam dicetuskan oleh Soe Hok Gie pada tahun 1964. Gie sendiri meninggal pada tahun 1969 karena menghirup gas beracun Gunung Semeru. Pada awalnya, gerakan pecinta alam merupakan gerakan murni perlawanan sipil atas invansi militer, dengan doktrin militerisme-patriotik.

"Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi (kemunafikan) dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung" (Soe Hok Gie - Catatan Seorang Demonstran).

Era pecinta alam sesudah meninggalnya Soe Hok Gie ditandai dengan adanya ekspedisi besar-besaran. Selanjutnya pada era 1969 – 1974 merupakan era antara masa kematian Gie dan munculnya Kode Etik Pecinta Alam . Tatanan baru dalam dunia kepecinta-alaman muncul dengan disahkannya Kode Etik Pecinta Alam pada Gladian IV di Ujungpandang, 24 Januari 1974. Pada saat itu di Barat juga sudah dikenal 'Etika Lingkungan Hidup Universal' yang disepakati pada 1972. Era ini menandakan adanya suatu babak monumental dalam aktivitas kepecinta alaman Indonesia dan perhatian pada lingkungan hidup di negara-negara industri. Lima tahun setelah kematian Gie, telah muncul suatu kesadaran untuk menjadikan pecinta alam sebagai aktivitas yang teo-filosofis, beretika, cerdas, manusiawi/humanis, pro-ekologis, patriotisme dan anti - rasial (Anonim, 2012).
Dalam 'Etika Lingkungan Hidup Universal' ada tiga hal yang merupakan prinsip dasar dalam kegiatan petualangan yaitu: “Take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill noting but time”.  Sejalan dengan hal tersebut, dalam Kode Etik Pecinta Alam Indonesia disebutkan: 1) Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa; dan 2) Pecinta alam Indonesia sadar bahwa pecinta alam sebagai makhluk yang mencintai alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam (Himapala) Universitas Negeri Surabaya (Unesa), sebagai salah satu dari puluhan, bahkan ratusan perhimpunan pecinta alam di tanah air, memiliki sejarahnya sendiri, meskipun tidak terlepas dari sejarah pecinta alam di Indonesia. Oleh karena adanya kecintaan terhadap alam yang terwujud dalam berbagai kegiatan di tengah alam, sekelompok mahasiswa IKIP Surabaya (sekarang Unesa), pada tanggal 13 Januari 1978 mendirikan sebuah organisasi yang bernama Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam Keluarga Mahasiswa IKIP Surabaya (disingkat Himapala KM IKIP Surabaya).
Jauh sebelum Himapala berdiri, embrio Himapala sudah ada saat bendera Dewan Mahasiswa (DEMA) masih tegar berdiri di bumi kampus IKIP Surabaya. Tepatnya pada penghujung 1977, sekelompok Mahasiswa IKIP yang mempunyai kesamaan hobi mendaki gunung, mempunyai ide membentuk suatu wadah organisasi yang dapat menampung segala kegiatan di alam bebas. Ide tersebut diajukan kepada DEMA untuk mendapat perlindungan dan nasehat untuk pembentukan selanjutnya.
Sebagai tindak lanjut dari usulan tersebut, dibentuklah sebuah tim yang terdiri dari 12 orang untuk menyiapkan pembentukan organisasi. Tim tersebut adalah Heru Nooryanto, Fatah Hadi Susanto, Ram Surya Wahono, Bambang, Arethank, Wahyu Choirot, Ahli Budi, M. Tis Amin, Hadi Purnomo, Mulyono serta Sigit Satata. Setelah tim terbentuk, mulailah tim bekerja untuk membuat proposal dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Setelah melalui proses yang agak panjang dan melelahkan, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1978, AD/ART selesai dan ditandatangani oleh tim 12 tersebut. Dalam AD/ART tercantum bahwa nama organisasi adalah Himapala KM IKIP Surabaya. Namun sebelum nama ini ditetapkan, organisasi tersebut diusulkan bernama GMPA (Gerakan Mahasiswa Pencinta Alam). Karena pada saat itu mahasiswa dihadapkan pada problema kelesuan politik, dikhawatirkan nama tersebut berbau borjuis yang nantinya ditafsirkan sebagai organisasi politik. Walaupun AD/ART sudah jadi, Himapala belum bisa dikatakan berdiri karena pada saat itu proposal belum ditandatangani ketua DEMA sebagai pelindung.
Peristiwa yang menandai berdirinya Himapala adalah Pataka, yaitu berjalan dari ketinggian 0 meter di atas laut (mdpl) sampai ketinggian 3129 mdpl di puncak Gunung Welirang. Pelarungan bendera Pataka dilaksanakan pada tanggal 10 Januari 1978. Setelah melalui upacara dengan khidmat sekitar pukul 24.00 WIB, tim mulai berjalan dari Pantai Kenjeran menuju puncak gunung Welirang. Tepat pukul 13.00 WIB tanggal 13 Januari 1978, berkibarlah bendera pataka dipuncak Gunung Welirang diiringi lagu syukur yang menandai lahir dan berdirinya Himapala. Pada akhir pelaksanaan Pataka tersebut proposal ditandatangani oleh ketua DEMA Heru Noorjanto, dan lengkaplah kelahiran bayi Himapala di bumi kampus IKIP Surabaya.


Aktivitas Himapala
            Saat terbentuk, Himapala masih berupa badan semi otonom di bawah naungan DEMA IKIP Surabaya. Setelah periode DEMA dihapus dari peredaran kampus karena permasalahan politik yang bergejolak,  yang diwarnai dengan maraknya aksi mahasiswa turun ke jalan menjelang Sidang Umum MPR pada Maret 1978, maka kehidupan diperbaharui dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tanggal 19 April 1978 Nomor 0156/U/91778 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), serta tanggal 24 Februari 1978 No. 037/U/1979 tentang bentuk susunan organisasi kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi. Berdasar SK Mendikbud tanggal 24 September 1980 Nomor 0230/U/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) universitas dan institut negeri yang disebut periode NKK/BKK, maka Himapala merupakan badan otonom yang bertanggung jawab langsung kepada Rektor. Lingkup kegiatan adalah menampung seluruh kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas kepencinta alaman.
            Aktivitas Himapala tertuang dalam program kerja tahunan, yang terbagi menjadi program kerja rutin dan insidental. Program kerja rutin antara lain adalah: 1) Latihan Keterampilan dan Kepemimpinan Himapala (LKKH) dalam rangka perekrutan anggota baru dan pengembangan keterampilan dan kepemimpinan anggota baru, 2) Musyawarah Anggota dalam rangka melakukan reformasi Badan Pengurus Harian (BPH) Himapala, 3) Program Unggulan, misalnya Program Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), 4) Ekspedisi, dan 5) Silaturahim Himapala dalam bentuk reuni atau halal bi halal. Sedangkan program insidentil, misalnya berupa: 1) Peringatan Hari Bumi dan Hari Lingkungan, 2) Pengelolaan sampah, dan 3) Penyusunan otobiografi Himapala.
            Tidak hanya berkecimpung di dunia outdoor sport, himapala unesa juga mengambil bagian di bidang sosial salah satunya dengan kegiatan Pekan Pengabdian Masyarakat (PPM). PPM adalah program unggulan Himapala Unesa yang dilangsungkan tiap tahun. Kegiatan tersebut bertujuan agar para anggota Himapala mempunyai rasa tanggung jawab dan jiwa pengabdian, serta dapat berperan aktif di masyarakat. Tanggal 24 Juni 2010 yang lalu, misalnya, dalam rangka PPM, Himapala bekerja sama dengan BSMI Surabaya dan YDSF (Yayasan dana Sosial Al Falah) memberikan pelayanan medis dan penyerahan paket susu bagi warga Desa Douro Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang. Beberapa kegiatan yang lain dalam rangka PPM ini adalah:  membantu mengajar di TPQ; membimbing kelompok belajar untuk siswa SD; pelatihan seni tari, baca pusi dan tartil; outbond dan flying fox, electri fun, puzel, spider wap; dan berbagai lomba untuk siswa SD dan pemuda. Untuk ibu-ibu PKK diberikan pelatihan daur ulang sampah plastik yang pematerinya langsung dari dosen biologi Unesa, tentu saja dibantu oleh para anggota Himapala sendiri; papanisasi, pembibitan lele, pelatihan servis dan servis gratis dari UPM Unesa.
Pada kesempatan lain, Himapala mengajak seluruh sivitas akademika dan masyarakat umum untuk peduli pada lingkungan. Dalam rangka mengurangi efek pemanasan global, maka bertepatan dengan Hari Bumi, Senin 25 April 2011 yang lalu, Himapala mencanangkan agenda yang bertema “Satu Hari Tanpa Asap.”
Tentu saja banyak aktivitas lain yang telah mewarnai Himapala sejak awal berdirinya. Beberapa aktivitas sekaligus prestasi tersebut antara lain adalah: 1) Ekspedisi pulau tidak berpenduduk di Nusa Barung, Long March Rute Anyer- Panarukan (1982); 2) Penelitian Gua II (Juara II dalam lomba karya tulis ilmiah Nasional) (1986); 3) Tour de East java Mountain (Welirang, Arjuno, Semeru, Bromo, Ijen dan Raung) (1987); 4) Pemandu pemanjat dunia Prancis (Patrick Berhault) di Tebing Lingga (1988); 5) Penelitian Goa Pongangan Gresik (1988); 6) Pendakian Gunung bersalju Cartenz Pyramide Irian Jaya (1989); 7) Penelitian Pengangkatan Air Gua Suling Pacitan (1992);  8) Lomba peranserta masyarakat dalam KSDA dan lingkungan Hidup Tingkat Nasional (Juara I) (1993); 9) Lomba perahu karet (HUT KODIKAL) (Juara) (1995); 10) lomba Arung Brantas Kediri s/d Surabaya HARDIKAL (Juara I) (1997); 11) Panitia Gladian nasional XII Pencinta Alam Indonesia (2001); 12) Penghijauan kaki gunung Penaggungan (2003); 13) Pusat informasi Daerah (PID) Mapala Jatim periode 2005-2006; 14) Triangle Ekspedition (ekspedisi 3 divisi; caving, KSDAH, rock climbing); dan 15) Expedisi Malang selatan (Panjat Tebing dan Susur Gua).

Sarat dengan karakter
            Sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Unesa, Himapala merupakan ajang untuk mengembangkan karakter mahasiswa. Melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, anggota Himapala tidak hanya dituntut kuat secara fisik, namun yang lebih penting adalah mentalnya. Selain itu, kemampuan untuk memecahkan masalah secara mandiri sekaligus bekerja sama, kemampuan untuk bisa memimpin diri sendiri sekaligus memimpin orang lain, sikap peduli dan setia kawan, serta keberanian untuk berkompetisi sekaligus berkolaborasi, merupakan nilai-nilai karakter yang senantiasa terus dikembangkan.
          Nilai-nilai karakter tersebut sebenarnya telah tertuang dalam lambang Himapala. Nilai-nilai karakter yang diharapkan akan mewarnai setiap anggotanya.
Makna dari lambang tesebut adalah: (1) Unsur kepencintaalaman digambarkan dengan mata angin berwarna merah putih yang berkesan tajam dan kaku, menunjukkan arah dan tujuan Himapala yang dijiwai oleh keberanian dan kebenaran; 2) Unsur Unesa digambarkan dengan sayap berkembang yang merupakan unsur dominan dari lambang Unesa, berwarna kuning emas dan berkean luwes karena lekukan–lekukan sayapnya, berjumlah sembilan dari tiap sisinya yang terdiri empat sayap besar dan lima sayap kecil, yang mengandung makna berkembang dengan semangat proklamasi tahun 1945 dan berdasarkan keluhuran budi, yang merupakan arti dari warna kuning; 3) Perpaduan antara kedua unsur tersebut saling berkait dengan erat sehingga kesan tajam dan kaku dari mata terpadu dengan sayap terkembang yang berkesan lembut dan luwes, menjadi paduan yang harmonis. Dari perpaduan tersebut bisa diartikan: dengan dilandasi keluhuran budi, semangat proklamasi dan dijiwai oleh keberanian dan kebenaran, kita kembangkan Himapala mencapai tujuan.
Sedangkan permaknaan dari mata angin sebagai tujuan Himapala adalah sebagai berikut: Secara harfiah, mata angin adalah petunjuk arah dan telah diketahui bersama bahwa arah ke atas menunjukkan arah utara, arah ke bawah menunjukkan arah selatan, sedangkan arah ke kanan untuk arah timur, ke kiri untuk arah barat. Namun dalam lambang ini maknanya adalah sebagai berikut: 1) Arah ke atas mengandung makna: meningkatkan kualitas anggota dalam rangka mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan menjunjung tinggi almamater; 2) Arah ke samping kiri dan kanan mengandung makna: mengembangkan pribadi, potensi, kreativitas, keilmuan dan budaya mahasiswa agar berperan aktif dan positif demi darma baktinya pada masyarakat dan negara; mengembangkan dan meningkatkan persatuan dan kesatuan serta rasa kekeluargaan terhadap sesama pencinta alam khususnya, dan masyarakat pada umumnya; 3) Arah ke bawah mengandunga makna: melestarikan alam semesta dan memupuk cinta tanah air.
Berdasarkan gambaran tentang aktivitas Himapala serta makna lambang Himapala, jelaslah bahwa Himapala Unesa memberi perhatian yang penting pada pengembangan karakter, sejak awal berdirinya. Hal tersebut juga tergambar pada Kode Etik Himapala, meliputi: 1) Bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa; 2) Menjunjung tinggi nama almamater; 3) Mempunyai rasa solidaritas terhadap sesama pecinta alam; 4) menghormati adat-istiadat setempat; dan 5) Mencintai alam semesta.(*)

Bahan Bacaan:



Anonim. 2010. Baksos Himapala Unesa BSMI Surabaya hingga ke Jombang. http://bsmisurabaya.or.id/baksos-himapala-unesa-bsmi-surabaya-hingga-ke-jombang


Tim Penyusun. 2011. Materi LKKH 2011. Tidak diterbitkan.

Tim Penyusun. 2011. Laporan Pertanggungjawaban Badan Pengurus Harian Periode 2011 Himapala Unesa. Tidak diterbitkan.

Minggu, 26 Februari 2012

Ketika Sekolah adalah Penting

Adalah Rahmad Syarifuddin, salah satu mahasiswa saya di Prodi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK). Baru sekitar seminggu yang lalu dia menemui saya di ruang saya di Program Pascasarjana (PPs). Tujuannya adalah meminta ujian susulan. Tentu saja dia sudah menghubungi saya sebelumnya melalui telepon. Anak MA (Madura Asli) itu sopan sekali. Attitude-nya sangat bagus. 

Ini adalah ujian yang kelima yang ditempuhnya. Sendirian. Semua temannya sudah selesai menempuhnya. Bahkan perkuliahan semester ini sudah berakhir sejak dua minggu yang lalu. 

Pada matakuliah Teori Belajar, saya memberi 5 kali ujian, untuk teori belajar perilaku dan sosial, teori belajar kognitif, teori belajar konstruktivis, pemotivasian belajar, dan strategi-strategi belajar. Setiap satu topik selesai dibahas (biasanya memerlukan waktu dua atau tiga kali pertemuan), pertemuan berikutnya adalah ujian. Soal ujian terdiri dari dua bentuk, multiple choice dan essay. Soal jenis pertama harus dikerjakan tanpa membuka buku, soal jenis kedua boleh membuka buku dan internet, yang penting harus dikerjakan sendiri. Selain ujian, untuk setiap topik, mereka harus membuat ringkasan dalam bentuk power point, dengan ketentuan tertentu (saya membuat rubrik penilaian power point untuk digunakan sebagai pedoman). Pada power point itu juga, mereka harus memunculkan dua pertanyaan yang berbobot terkait dengan topik yang diringkas (penerapan strategi membuat ringkasan, bertanya, dan metakognitif). Pola ini mungkin cukup berat bagi sebagian besar mahasiswa, namun karena dari pengalaman selama ini pola tersebut memberikan banyak manfaat dalam hal meningkatkan motivasi, pemahaman, dan kemajuan belajar mahasiswa, maka pola yang saya adopsi dari Prof. Nur ini masih saya pertahankan.  

Kembali ke Rahmad Syarifudin. Anak muda itu baru mengikuti satu kali pertemuan di awal perkuliahan, ketika sebuah kecelakaan lalu lintas menimpanya pada awal semester yang lalu. Sepulang dari mengajar, sepeda motor yang dikendarainya terserempet mobil, dan dia terjatuh dengan luka kaki yang sangat parah. Ya, kakinya patah. Maka tidak ada pilihan, dia harus dioperasi untuk memulihkan kakinya, dan menjalani perawatan yang cukup lama. Ibunya menelepon saya dari rumah sakit, memintakan izin anaknya untuk sedikitnya tiga bulan (sesuai kata dokter) tidak mengikuti kuliah. Tiga bulan. Artinya lebih dari 50 persen dia akan absen. Maka ketika ibunya bertanya dengan nada penuh kekhawatiran, apakah Rahmad masih boleh meneruskan kuliahnya, saya jawab, 'ya, tentu saja boleh'. Beliau bertanya lagi, 'tapi kalau absen selama tiga bulan, apakah dia bisa lulus untuk matakuliah yang ditempuhnya di semester ini?' Saya sejenak bingung, namun secepat mungkin saya jawab, 'Ibu, apa pun konsekuensinya, Rahmad harus sehat dulu kan? Insyaallah Allah akan mengatur semuanya dengan sangat baik. Yang penting sekarang fokus pada kesehatan Rahmad dulu.'

Sekitar sebulan setelah itu, Rahmad menelepon saya kalau dia sedang berada di Surabaya. Dia ingin menemui saya setelah kontrol di RS PHC. Karena kebetulan saya sedang ada tugas di luar kota, maka saya katakan, mungkin sebaiknya dia langsung pulang saja ke Madura, toh dia masih dalam keadaan sakit, dan tidak boleh terlalu banyak bergerak. Namun ternyata besoknya, ketika saya bertemu dengan Prof. Fabiola, dosen pengajar matakuliah Bahasa Inggis di Prodi S2 PTK, beliau bercerita kalau kemarin Rahmad menemui beliau. Nampak sekali Prof. Fabiola begitu terkesan pada anak itu. Dengan diantar ibunya, berjalan dibantu kruk, Rahmad berusaha menemui dosennya satu per satu untuk meminta izin tidak mengikuti kuliah selama kondisinya belum memungkinkan; padahal sebenarnya dia sudah meminta izin melalui telepon. 

Sekitar dua minggu setelah itu, Rahmad menelepon lagi, dan mengatakan bahwa dia ingin menemui saya. Dia katakan, dia habis kontrol di RS PHC, dan saat ini sedang meluncur ke kampus. 

Akhirnya, muncullah anak itu di hadapan saya. Berjalan tertatih-tatih dengan dua kruk menyangga tubuhnya, dengan wajah yang meringis menahan sakit. Ibunya mendampinginya dengan penuh kesabaran. Mereka diantar pamannya dari Madura dengan mobil pick-up. Ibunya adalah seorang guru SD. Rahmad merupakan anak satu-satunya, dan bapak Rahmad sudah lama meninggal. Karena begitu kuatnya keinginan Rahmad untuk sekolah, ibunya memberanikan diri mengambil pinjaman dari bank, sejumlah 10 juta. Uang itu sudah digunakan untuk membayar SPP semester pertama, dan saat ini yang 5 juta, cadangan untuk SPP semester kedua, masih tetap di tabungan. Bahkan meskipun beliau memerlukan banyak dana untuk pengobatan Rahmad, beliau memilih meminjam dari koperasi sekolah dan dari teman-temannya yang lain; dan tidak mengutak-atik uang sekolah Rahmad. Juga ketika rumahnya rata dengan tanah karena diterjang angin puting beliung, beliau tetap bertahan untuk tidak menggunakan uang sekolah itu; namun meminjam dari sanak-saudaranya untuk memperbaiki rumahnya. Perempuan sederhana itu menceritakan semuanya dengan sangat tegar, dengan tutur katanya yang lancar, tidak ada nada mengeluh, bahkan berkali-kali justru rasa syukur yang meluncur dari bibirnya, karena meskipun cobaan beruntun menderanya, Allah tetap melindunginya dan anaknya,  dan selalu memberikan jalan keluar bagi setiap kesulitannya.

Rahmad mengatakan, kalau kondisinya sudah memungkinkan, dia akan mengumpulkan semua tugas dan akan menempuh semua ujian untuk mata kuliah saya. Dia juga akan lakukan hal yang sama untuk matakuliah lain. Dia tanyakan apa itu bisa. Saya katakan, bahwa saya belum bisa memastikan saat ini. Bahwa jumlah kehadiran mempengaruhi nilai partisipasi kelas. Karena saya kaprodi S2 PTK, saya berjanji, saya akan menghubungi semua dosen pengajar, meminta kesediaan beliau semua untuk melayani Rahmad dengan memberinya kesempatan untuk mengumpulkan tugas dan menempuh ujian. Setidaknya, meskipun nilainya tidak bisa optimal, karena nilai partisipasinya pasti sangat rendah, namun setidaknya, yang penting dia bisa lulus, bahkan dengan nilai minimal sekali pun (tentu saja kalau dia dinilai pantas lulus;  saya tidak akan melakukan intervensi pada dosen yang bersangkutan, karena itu menyangkut kewenangan dosen). Saya juga katakan pada Rahmad, saya harus konsultasikan kebijakan ini pada Prof. Muslimin, Asdir I PPs.

Besoknya, ketika saya menelepon semua dosen, jawaban beliau-beliau melegakan saya. 'Oke, bu Lutfi, no problem'. Kata Prof. Fabiola. 'Siap, Prof.' Jawaban Prof. Munoto. Jawaban dosen-dosen yang lain pun bernada sama. Prof. Muslimin, Asdir I, juga menyerahkan pada kebijakan saya sebagai Kaprodi, dan kesepakatan dosen-dosen pengajar. Saya benar-benar lega. 

Saya sampaikan kabar yang melegakan itu kepada Rahmad. Dia nampak senang sekali, dan berkali-kali mengucapkan terimakasih. Dia berjanji akan segera mengikuti kuliah bila kondisinya sudah memungkinkan, dan akan sebisa mungkin mengejar ketertinggalannya.

Tiga kali pertemuan sebelum perkuliahan semester ini berakhir, Rahmad tiba-tiba muncul di kelas. Masih mengenakan kruk, tapi tinggal satu. Saya tanyakan ke dia, apakah kondisinya sudah memungkinkan untuk ikut kuliah. Dia jawab, 'insyaallah, ibu. Yaa....dipaksa-paksa sedikit, ibu, sekalian latihan jalan.' Sejak itu, dia mulai mengumpulkan tugasnya satu demi satu, menempuh lima kali ujiannya setahap demi setahap; dan itu dilakukannya juga untuk matakuliah yang lain. Setiap kali saya ketemu dosen pengampu matakuliah, hampir semuanya mengemukakan kekagumannya pada Rahmad. Pada daya juangnya dan motivasi belajarnya yang luar biasa. Pada kehalusan budi pekerti dan kesantunannya. Hampir setiap hari selama minggu-minggu terakhir perkuliahannya itu, dia menyetorkan tugas-tugas, menempuh ujian, dan mengikuti kuliah demi kuliah. Di dalam setiap perkuliahan, dia berusaha untuk sepenuhnya terlibat, bertanya, menanggapi, menunjukkan kesungguhannya untuk mengejar ketertinggalannya dalam nilai partisipasi kelas.

Sebagai seorang dosen yang sudah puluhan tahun bertugas, saya sering dibuat terharu dengan kegigihan beberapa mahasiswa saya. Beberapa dari mereka ke kampus sambil membawakan nasi bungkus untuk teman-temannya, tentu saja teman-temannya itu harus membelinya. Atau membawa goreng-gorengan (tahu, tempe, pisang, dll). Ada juga yang harus membagi waktu sedemikian rupa karena dia bekerja sebagai tenaga casual di sebuah hotel, sehingga kadang-kadang di kelas dia terkantuk-kantuk kelelahan. Saat ini ada sekelompok mahasiswa bimbingan saya berwirausaha dengan menjual berbagai makanan di kampus, dan mereka seringkali berlari-lari untuk mengejar perkuliahan yang akan segera dimulai. Namun begitu, mereka menjalani aktivitas kuliahnya dengan sangat baik,  tugas selalu tepat waktu, UTS- UAS tidak ketinggalan, dan aktif di kelas.

Sebagian besar mahasiswa S2 saya adalah guru dan sebagian lagi dosen, yang tetap harus mengajar di antara waktu-waktu kuliahnya. Seorang mahasiswa saya, Abdul Fatah, guru SMA di Lamongan, setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu, 'nglajo' dengan vespanya. Seorang lagi, dosen Unmuh Madiun, 'ngebus'. Beberapa yang lain, bersepeda motor PP Pamekasan-Surabaya, Mojokerto-Surabaya, dan Jombang-Surabaya. Spirit mereka, ya spirit itu,  begitu bisa saya rasakan. Spirit untuk menuntut ilmu, apa pun motivasinya. Padahal, kalau mereka sekedar ingin dapat ijazah S2, mereka bisa mendapatkannya dengan jauh lebih mudah dari banyak perguruan tinggi swasta yang menawarinya. Tidak harus bersusah-payah dengan menjadi mahasiswa reguler dengan segala macam aturan dan beban kuliahnya.

Semua itu dikarenakan, bagi mereka, sekolah adalah penting. Mungkin ada banyak hal juga yang sebenarnya bagi mereka tidak sesuai dengan keinginan. Dosen yang terlalu banyak memberi tugas, dosen yang seringkali mengubah-ubah jadwal semaunya, dosen yang sangat pelit nilai, bahkan dosen yang membosankan ketika mengajar. Tapi mereka semua menjalaninya dengan sangat realistis. Bagaimana pun mereka sudah ada di sini, dan 'do my best', itulah pilihan sikap yang terbaik. Bahkan bagaimana menghadapi kejenuhan yang luar biasa saat dosen mengajar dengan membosankan, perlu kemampuan mengelola emosi dan daya tahan. Bila mereka mampu melewatinya, maka satu tahap telah berhasil dicapainya. Selalu ada hal baik yang bisa dipetik, bahkan dari seorang dosen yang mengajar dengan cara yang paling membosankan sekali pun.... 

Bagi mereka, pendidikan jelas bukan sekedar persekolahan (meminjam istilah Daniel M. Rosyid dalam 'Dunia setelah Sekolah'); dan bagi mereka, belajar juga bukan sekedar untuk lulus ujian.  Pendidikan dan belajar bagi mereka, saya yakin, adalah benar-benar untuk bekal menyongsong masa depan....

Wassalam,
LN

Kamis, 23 Februari 2012

Pendokumentasian Makanan Tradisional Jawa Timur*)

Luthfiyah Nurlaela, Rita Ismawati, Sumarno


Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menggali ragam makanan tradisional Jawa Timur, yang meliputi makanan utama, kudapan, dan minuman tradisional. Selain nama makanan, bahan, cara membuat dan cara menyajikan, ragam makanan juga dikaji berdasarkan aspek kulturalnya. Penelitian dilakukan pada 3 domain, yaitu Domain 1 adalah Jawa Timur bagian utara yang meliputi Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo; domain 2 adalah daerah Madura yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep; dan domain 3 adalah Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun dan Nganjuk. Sedangkan makanan tradisional yang menjadi sampel adalah makanan utama, kudapan, dan minuman tradisional, yang dikonsumsi sehari-hari. Data  dikumpulkan dengan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Temuan penelitian adalah sebagai berikut: (1) Makanan tradisional di 17 kabupaten/kota yang diteliti berasal dari beras, jagung dan ubi kayu atau singkong sebagai bahan makanan pokoknya, yang diolah menjadi nasi, nasi jagung, aron, sredek dan inthi. Makanan utama berupa nasi dikonsumsi di semua kabupaten, namun beberapa kabupaten memiliki makanan tradisonal yang menggunakan bahan pokok jagung (Bangkalan, Sampang, pamekasan dan Sumenep), dan beberapa memanfaatkan bahan pokok ubi kayu (Ngawi dan Bojonegoro); (2) Lauk-Pauk tradisional pada umumnya memanfaatkan hasil laut. Berbagai jenis hidangan sumber protein hewani juga memanfaatkan daging dan ayam. Sayur-sayuran dikonsumsi di semua kabupaten, namun tidak terlalu populer di wilayah Madura; (3) Kudapan tradisional pada umumnya terbuat dari bahan dasar tepung beras dan  tepung ketan. Beberapa kudapan dibuat dengan memanfaatkan bahan pangan lokal yang lain seperti waluh; dan (4) Minuman tradisional yang umumnya dikonsumsi antara lain adalah Pokak, Dawet, dan Cao. 

Kata Kunci: Makanan Tradisional, Jawa Timur

Abstracts: The research objective is to find  various traditional foods of East Java, included main dish, snack  and traditional beverages.  Besides the name of dish, ingredient, technique, and service, varios of food is discussed based on its cultural aspects. The research  is conducted in 3 domains, i.e: Domain 1 is north part of  East Java, included Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, and Situbondo; Domains 2 is Madura area, included Bangkalan, Sampang, Pamekasan, and Sumenep; and Domain 3 are Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun and Nganjuk.  Traditional food as a sampel are main dish, snacks and traditional beverages that consumed daily.  Data collected by observation, interview and documentation. Analysis of data is using qualitative descriptive. The find out of the research are: (1) Traditional foods in 17 regency/town based on rice, corn, cassava as main dish, which is produced as rice, corn rice, aron, sredek and inthi. Rice is consumed in all of regencies, however there are many regencies that consume corn as main dish (Bangkalan, Sampang, Pamekasan and Sumenep), and the rest are using cassava (Ngawi and Bojonegoro);  (2) Traditional dishes generally based on seafood, meat, poultry. Vegetables is consumed in all of regencies, however it is not too populer in Madura area; (3) Traditional snacks usually made of rice flour and glutinous rice flour, and another local food i.e pumkin; and (4) Traditional beverages that usually consumed are Pokak, Dawet and Cao.

Key Words: Traditional Food, East Java  


Pendahuluan
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh minimnya literatur tentang makanan tradisional Jawa Timur. Makanan tradisional merupakan aset budaya bangsa yang sangat bernilai, oleh sebab itu perlu terus digali dan dilestarikan. Salah satu upaya yang harus dilakukan untuk tujuan tersebut adalah perlunyan inventarisasi dan dokumentasi.
Inventarisasi dan dokumentasi makanan tradisional Jawa Timur pernah dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985). Hasil kajian dari kegiatan ini adalah berhasil diidentifikasi wujud, variasi, dan fungsi makanan serta cara penyajiannya di Jawa Timur. Makanan dalam kajian ini dibedakan menjadi dua, yaitu makanan sehari-hari dan makanan untuk upacara. Daerah pengumpulan data lebih banyak terpusat di tiga wilayah, yaitu Gresik, Nganjuk, dan Magetan, yang mewakili daerah pantai, dataran rendah, dan daerah berbukit. Selain karena daerah pengumpulan data yang kurang representatif, kajiannya sangat kurang mendalam, tidak komprehensif, sehingga deskripsi temuannya tidak memadai dan terkesan dangkal. Nama makanan, bahan, cara membuat, cara menyajikan, tidak spesifik. Kesimpulannya, makanan tradisional Jawa Timur belum terinventarisasi dan terdokumentasikan secara memadai, baik dari jenis hidangan, maupun perwilayahannya.
Penelitian yang agak lebih memadai dilakukan oleh Arsiniati dkk (2001), tentang mutu dan gizi serta khasiat makanan tradisional Jawa Timur. Wilayah pengumpulan data meliputi 28 kabupaten/kota dari 37 kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur. Sayangnya, penelitian ini hanya dikhususkan pada makanan utama, tidak termasuk makanan kudapan dan minuman tradisional, karena alasan keterbatasan waktu dan dana.  Kelemahan yang lain adalah, responden penelitian yang terdiri dari ibu-ibu PKK dan penjual makanan tradisional diminta untuk membuat display dalam kegiatan gelar makanan tradisional Jawa Timur, dengan menampilkan makanan tradisional masing-masing kabupaten/kota. Berdasarkan gelar makanan ini kemudian diidentifikasi dan diseskripsikan macam makanan tradisional yang ada. Cara ini tentu saja kurang memadai, karena pengumpulan data kurang mendalam, dan makanan tradisional yang tidak digelar pada saat display, tidak teridentifikasi dan tidak terdokumentasikan.
Beberapa literatur yang mengkaji makanan tradisional seperti buku Mustika Rasa (1967), Aku Cinta Makanan Indonesia (1997), Kumpulan Makanan Tradisional (1999), serta beberapa hasil penelitian belum berhasil menginventarisasi dan mendokumentasikan makanan tradisional Jawa Timur secara relatif lengkap dan mendalam. Namun begitu, bagaimanapun hasil-hasil penelitian dan kajian tersebut akan sangat bermanfaat sebagai titik pijak untuk penelitian-penelitian lanjutan.
Melalui penelitian ini akan dilakukan inventarisasi dan pendokumentasian makanan tradisional Jawa Timur. Makanan tradisional yang akan didokumentasikan meliputi makanan utama, kudapan, dan minuman, yang dikonsumsi sehari-hari. Pendokumentasian meliputi nama hidangan, bahan, cara membuat, dan cara menyajikan. Selain itu, karena makanan tradisional tidak bisa dilepaskan dari perspektif kultural, maka aspek sosial budaya yang mempengaruhinya juga akan menjadi kajian dalam penelitian ini. Berdasar pertimbangan aspek kultural ini juga pendokumentasian makanan tradisional dianggap sangat penting, karena hasil inventarisasi yang ada sudah harus diperbaharui, mengingat secara budaya manusia terus maju dan berkembang. Seiring dengan kemajuan dan perkembangan tersebut, makanan tradisional juga sangat mungkin berkembang. Penelitian ini diharapkan dapat melakukan pendokumentasian dengan data dan informasi yang lebih akurat dan mutakhir.
Jawa Timur sebagai wilayah penelitian akan dibagi menjadi 7 domain berdasarkan letak geografisnya (Suhardjo, 1989). Dengan pembagian wilayah ini, kegiatan pendokumentasian akan lebih terfokus. Namun demi kedalaman penelitian, dan dengan mempertimbangkan berbagai keterbatasan, penelitian pada tahap ini dilakukan pada 3 domain. Domain yang lain (4 domain) diharapkan dapat dilakukan pada penelitian selanjutnya.
Melalui penelitian ini diharapkan akan dihasilkan dokumen penting tentang ragam makanan tradisional Jawa Timur yang relatif lengkap, termasuk kajian sosial budayanya. Selanjutnya temuan penelitian akan dipublikasikan, baik dalam jurnal penelitian, maupun dalam bentuk buku. Buku tentang ragam makanan tradisional Jawa Timur ini tentu sangat bermanfaat untuk menambah khasanah literatur makanan tradisional Jawa Timur, yang saat ini masih sangat terbatas. Manfaat penting lainnya adalah bahwa, penelitian ini merupakan upaya nyata pelestarian makanan tradisional, yang merupakan aset budaya bangsa yang sangat bernilai.
Makanan tradisional merupakan makanan yang biasa dimakan sejak beberapa generasi, terdiri dari hidangan yang cocok dengan selera, tidak bertentangan dengan agama, kepercayaan masyarakat setempat, dan terbuat dari bahan makanan serta bumbu-bumbu yang tersedia setempat (Sastroamidjojo, 1995). Makanan tradisional umumnya terdiri dari: (1) makanan pokok, (2) lauk pauk, termasuk sayuran yang selalu dimakan mendampingi makanan pokok, dan (3) makanan selingan atau kudapan, di samping buah-buahan. Dari pengelompokan tersebut masih dibedakan menjadi (1) makanan biasa, dan (2) makanan upacara atau makanan istimewa yang dimakan pada waktu-waktu tertentu (Suryobroto, 1995).
            Makanan tradisional mempunyai keunggulan dari segi kesehatan dibanding dengan makanan import. Samsudin (1995) menemukan peranan penting makanan tradisional dalam tumbuh kembang bayi dan anak. Peranan penting lainnya adalah dalam pemenuhan gizi ibu hamil dan ibu menyusui (Rumawas, 1995; Widyaningsih, 2000), peningkatan prestasi olah raga (Moeloek, 1995), serta dapat menunjang kecantikan (Rata, 1995).
            Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia untuk mempertahankan hidupnya. Makanan diperoleh sebagai wujud interaksi antara manusia dengan lingkungannya, dan untuk mengolah lingkungan tersebut manusia mengembangkan strategi hidup. Strategi hidup dilakukan bersama-sama dalam kelompok yang harus bersaing untuk mempertahankan hidup yang meliputi strategi makan, srtategi mengolah serta mengkonsumsinya. Aspek pemeliharaan ekosistem dan pemeliharaan keserasian unsur-unsur sosial budaya masyarakat dengan lingkungannya diperlukan dalam upaya mempertahankan dan melestarikan penerapan konsumsi pangan (Susanto dan Suparlan, 1989; Afifah, 2006).
            Ritenbaugh (1982) mengemukakan, tindakan makan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang merupakan refleksi dari interaksi antara faktor kebutuhan biologi dan faktor budaya. Faktor kebutuhan biologi mensyaratkan pemilihan makanan tertentu untuk pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan reproduksi. Faktor budaya mensyaratkan pemilihan makanan tertentu yang boleh atau tidak boleh dimakan.
            Jerome, et. al. (1980) menyatakan bahwa faktor lingkungan berupa lingkungan fisik dan sosial, organisasi sosial, sistem budaya, serta tingkat teknologi membentuk interaksi dengan kebutuhan biologi dan psikologi individu terhadap pangan. Seseorang menentukan dan memilih makanan tidak hanya didasarkan pada pemenuhan perut semata, melainkan berkaitan pula dengan pengendalian perilaku konsumsi makan yang bersumber pada kebenaran menurut adat istiadat yang bersifat tradisional, kebenaran menurut agama dan kebenaran menurut ilmu pengetahuan (Susanto, 1991). Kebiasaan makan diartikan sebagai cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial dan budaya (Suhardjo, 1989). Menurut Sanjur (1982) kebiasaan makan juga dipengaruhi faktor fisik, di antaranya produksi pangan, cara dan alat pengolahan pangan, pengawetan pangan,  dan distribusi pangan. Dari konsep pemikiran tersebut, kebiasaan makan suatu masyarakat tidak selalu sama, maka muncullah berbagai macam makanan tradisional.
            Beberapa jenis makanan tradisional yang sampai saat ini masih  dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat antara lain adalah semanggi, lontong balap, lontong kupang, rujak cingur  (Surabaya); tahu campur, sego boranan (Lamongan); nasi krawu, pudak, jubung (Gresik), sego tiwul (Pacitan, Trenggalek), sego jagung, mangut (Tuban), sego pecel (Madiun, Nganjuk, Ponorogo), sego ampok (Malang), lodho (Tulungagung), kaldu kokot (Sumenep), sego pecel tumpang (Kediri), dan sebagainya (Nurlaela, 2002). Makanan-makanan tersebut sebagian masih diolah dan disediakan dalam keluarga, namun sebagian besar lebih banyak tersedia sebagai makanan jajanan.
Propinsi Jawa Timur terletak antara 1110 - 1140 4’ BT dan 70 12’ - 80 48’, dikelilingi oleh Laut Jawa di sebelah utara, Selat Bali di sebelah timur, Samudra Indonesia di sebelah selatan, dan Propinsi Jawa Tengah di sebelah barat, dengan luas wilayah 47.922,48 km2.
            Ditinjau dari masyarakat yang mendiami, daerah-daerahnya dapat dibagi menjadi masyarakat Jawa, masyarakat Madura, Masyarakat Tengger, masayarakat Osing, dan masyarakat Pendalungan (campuran Jawa dan Madura). Keragaman tersebut menimbulkan keragaman dan keunikan budaya,  termasuk di dalamnya adalah karakteristik makanan tradisional.
            Berdasarkan kondisi fisik dan alam, Jawa Timur dibagi menjadi beberapa sub region, yaitu: (1) wilayah dataran tinggi bagian tengah, mulai daerah Ngawi sampai Banyuwangi dikategorikan sebagai daerah subur dan sudah berkembang; (2) wilayah dataran rendah bagian utara, yang meliputi Kabupaten Bojonegoro, Gresik, Tuban, Lamongan dan Kabupaten di Pulau Madura yang dikategorikan sebagai daerah yang memiliki kesuburan sedang dan sedang berkembang; (3) wilayah pegunungan kapur di bagian selatan, yang meliputi Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar dan Malang (semuanya bagian selatan), dikategorikan daerah yang kurang subur dan baru mulai berkembang; dan (4) pulau-pulau yang terpencil dan belum berkembang yang terdapat di Kabupaten Sumenep (+ 63 pulau), Kabupaten Sampang, Gresik, Probolinggo, Jember dan Kabupaten Malang (Anonimous, 2000).
            Berdasarkan uraian di atas, propinsi Jawa Timur mempunyai wilayah yang heterogen karakteristik tanahnya, wilayah gunung berapi, lahan kering dan tanah subur. Kondisi tanah tersebut menyebabkan Jawa Timur mampu mengadakan diversifikasi pertanian dengan bermacam-macam hasil produksi untuk tanaman pangan dan perkebunan.
            Jenis tanaman pangan yang telah dihasilkan antara lain adalah padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, buah-buahan (nanas, pepaya, mangga, pisang, rambutan, apel, nangka dan lain-lain), beragam sayuran (bayam, kangkung, sawi, kol, wortel, kentang, tomat dan lain-lain). Sedangkan untuk perkebunan adalah kopi, coklat, jahe, empon-empon, jambu mente, tebu, kelapa, dan lain-lain.
            Berdasarkan kondisi fisik dan alam  serta jenis tanaman pangan dan perkebunan yang dihasilkan, makanan tradisional Jawa Timur sangatlah beragam. Dari aspek makanan pokok saja, Suhardjo (1989) mengemukakan bahwa berdasarkan data SUSENAS 1976, di Jawa Timur bagian utara (Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo), memiliki pola pangan ”beras, jagung, kasava”; begitu juga di wilayah Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun, dan Nganjuk, juga untuk wilayah Bondowoso. Sedangkan untuk wilayah Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep), mempunyai pola konsumsi yang agak berbeda di mana jagung menduduki tempat pertama sebagai makanan utama, sedangkan beras dan kasava menduduki tempat kedua dan ketiga, sehingga pola pangannya adalah ”jagung-beras-kasava”.  Selanjutnya di wilayah Jawa Timur bagian tengah (Ponorogo, Kediri, Mojokerto, Jombang) dan Jawa Timur bagian selatan (Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi), peranan kasava lebih menonjol daripada jagung, namun beras tetap menempati posisi pertama, sehingga pola pangannya adalah ”beras-kasava-jagung”.
            Pola pangan tersebut sangat mungkin sudah berbeda pada saat ini, karena adanya kemudahan pada aspek ketersediaan dan distribusi, termasuk di dalamnya adalah pengaruh kebijakan pangan dan intervensi pemerintah dalam memberikan bantuan untuk korban bencana, yang hampir selalu mengarah pada beras. Penelitian Arsiniati  (2001) menemukan bahwa di semua kabupaten/kota di Jawa Timur, beras merupakan makanan pokok di semua daerah, meskipun jagung dalam bentuk nasi jagung (campuran nasi beras dan jagung) serta ampok atau aron (jagung halus) masih sering ditemui di Kabupaten Sumenep, Pamekasan, Blitar, Magetan dan Probolinggo.
Masalah yang diteliti adalah ragam makanan tradisional Jawa Timur, yang meliputi makanan utama, kudapan, dan minuman tradisional. Selain nama makanan, bahan, cara membuat dan cara menyajikan, ragam makanan juga dikaji berdasarkan aspek kulturalnya. Agar lebih terfokus, penelitian dilakukan pada 3 domain, yaitu Domain 1 adalah Jawa Timur bagian utara yang meliputi Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo; domain 2 adalah daerah Madura yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep; dan domain 3 adalah Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun dan Nganjuk.

B. Metode Penelitian
            Penelitian ini dilakukan di daerah Jawa Timur. Jawa Timur saat ini terdiri dari 38 kabupaten/kota. Penelitian dilakukan di 17 kabupaten/kota, yang terbagi menjadi 3 domain berdasarkan letak geografisnya. Domain 1 adalah Jawa Timur bagian utara yang meliputi Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo. Domain 2 adalah daerah Madura yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Domain 3 adalah Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun dan Nganjuk.
Berdasarkan tujuan penelitian, 17 kabupaten/kota yang terbagi menjadi 3 domain tersebut semuanya merupakan lokasi penelitian. Subjek penelitian meliputi: (1) Unsur pemerintah yaitu Dinas Pertanian atau Badan Ketahanan  Pangan  atau KUKP (Kantor Urusan Ketahanan Pangan) setempat, (2) Para praktisi makanan tradisional (guru, instruktur pelatihan, pengusaha katering, rumah makan dan sejenisnya), dan (3) Pemerhati dan atau pencinta makanan tradisional di wilayah setempat, serta (4) tokoh masyarakat, sesepuh, serta unsur lain yang dianggap memiliki pengetahuan yang memadai tentang makanan tradisional  di wilayah setempat.
Sedangkan makanan tradisional yang menjadi sampel adalah makanan utama, kudapan, dan minuman tradisional, yang dikonsumsi sehari-hari. Makanan tradisional untuk upacara tidak dikaji dalam penelitian ini mengingat keterbatasan dana dan waktu yang tersedia.
            Data primer dikumpulkan dengan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi digunakan untuk menggali data ragam makanan tradisional, baik yang disediakan di dalam keluarga, maupun dalam usaha makanan. Selain itu, observasi juga digunakan untuk mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi makanan tradisional, yaitu faktor  produksi pangan, faktor psikologis, faktor sosial, dan faktor budaya.
Selain digali dengan observasi, informasi tersebut juga diperoleh dengan metode wawancara. Wawancara dilakukan kepada unsur pemerintah yaitu Dinas Pertanian atau Badan Ketahanan  Pangan  atau KUKP (Kantor Urusan Ketahanan Pangan) setempat, praktisi makanan tradisional (guru, instruktur pelatihan, pengusaha katering, rumah makan dan sejenisnya), pemerhati dan atau pencinta makanan tradisional di wilayah setempat, serta  tokoh masyarakat, sesepuh, serta unsur lain yang dianggap memiliki pengetahuan yang memadai tentang makanan tradisional  di wilayah setempat.
Dokumentasi dilakukan terutama untuk menggali data sekunder, antara lain tentang monografi kabupaten/kota. Sumber pustaka yang berupa buku, leaflet, brosur, dan lain-lain yang terkait dengan makanan tradisional juga akan dimanfaatkan sebagai data sekunder.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hasil analisis berupa uraian-uraian kualitatif mengenai ragam makanan tradisional yang mencakup nama makanan, bahan dan bumbu, cara mengolah dan menyajikan, untuk semua wilayah yang terbagi dalam 3 domain. Kajian faktor  produksi pangan, faktor psikologis, faktor sosial, dan faktor budaya juga dicoba dideskripsikan untuk setiap wilayah mengingat faktor kultural tersebut mempengaruhi keberadaan makanan tradisional itu sendiri.

Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan pada 17 kabupaten/kota di Jawa Timur, yang terbagi menjadi 3 domain. Domain 1 adalah Jawa Timur bagian utara yang meliputi Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo. Domain 2 adalah daerah Madura yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Domain 3 adalah Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun dan Nganjuk.
1. Domain 1 
            Sebagaimana disebutkan, Domain 1 adalah Jawa Timur bagian utara yang meliputi Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo. Kabupaten Tuban berada pada jalur pantura dan pada deretan pegunungan Kapur Utara. Daerah Tuban memiliki aneka makanan khas salah satu makanan utama yang terkenal di daerah ini adalah Nasi Jagung, Nasi Punten, Kare Rajungan, Mangut Pe dan Sambal Goreng Cumi (Nus). Jenis Kudapan yang terkenal yaitu Dumbeg dan memiliki minuman khas berupa Dawet Siwalan, Tuak dan Legen.

            Lamongan dikenal memiliki makanan khas, yang cukup popular dan dapat dijumpai di berbagai daerah di kota Lamongan. Adapun makanan utama yang terdapat didaerah Lamongan antara lain: Nasi Boranan, Soto Lamongan, Tahu Campur Lamongan, Tahu Tek Lamongan. Makanan Ringan/ Kudapan yang terdapat dikota Lamongan yaitu: Wingko Babat, Jumbreg, Klebet Jagung, Opak Lodo, Jepit Gulung, Gantesan, Putu Sawah, Katul Ngempol, Jagung Paren, Katul Srubuk, Lempok, Srebel, Blendong, sedangkan untuk minuman khasnya yaitu; Es Dawet Siwalan Muda (Jawa: Ental).
            Gresik dikenal sebagai salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur dan memiliki beranekaragam jenis makanan. Makanan khas Gresik adalah Nasi Krawu, Sego Roomo dan Otak-Otak Bandeng, dan Ikan Bandeng Goreng Ala Gresik. Sedangkan aneka kudapan yang terkenal di daerah ini adalah Jenang Pudak, Jenang Jubung, Ayas dan Ubus dengan jenis minuman yang terkenal yaitu Obuk-Obuk (Es Siwalan) dan Legen Panceng.
            Surabaya merupakan ibukota Provinsi Jawa Timur. Terdapat bermacam-macam makanan utama di Surabaya, yaitu Lontong Balap, Lontong Mi, Semanggi Suroboyo, Rujak Cingur, Rawon, Krengsengan, Tahu Tek, Gado-Gado, Bebek Goreng, Tempe Penyet. Menu kudapan yang populer di Surabaya yaitu: Kue Pisang (Leker), Kue Jongkong Surabaya, Klanting, Bikang,   Jajan Pasar. Sedangkan minuman yang banyak dijumpai yaitu Es Dawet, Wedang Pokak.
            Sidoarjo merupakan daerah sumber kelautan. Kupang Lontong merupakan makanan tradisional Sidoarjo, dengan pelengkapnya sate kerang. Bandeng Asap merupakan produk unggulan. Kudapan yang terkenal adalah Klepon dan Gempo, sedangkan minumannya yaitu Es Degan dan Pokak.
            Pasuruan dikenal sebagai daerah industri dan daerah wisata (Gunung Bromo). Nasi punel merupakan makanan tradisional utama, juga sate komoh, kripik lempuk/pepes. Kudapannya antara lain Bipang/Brondong, Kue Jongkong, Lopis Oncer dan Tape Oncer. Sedangkan minuman tradisionalnya adalah pokak dan beras kencur.
            Probolinggo adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang Terletak di kaki gunung Semeru, Gunung Argopuro dan Pegunungan Tengger. Makanan pokoknya adalah jagung pipil yang dibuat tepung dan diberi nama nasi aron. Sayur daun ranti yang dimasak Bobor, Sayur Asam    Labu Siam, Daging Bumbu Usek, dan Ikan Asin Jenggelek, merupakan jenis makanan utama. Kudapan yang banyak dijumpai adalah risoles aron, kue lumpur aron, sedangkan minumannya adalah pokak.
            Situbondo terletak di daerah pesisir utara Pulau Jawa, yang penduduknya mayoritas berasal dari suku Jawa dan Madura. Makanan Utama Situbondio antara lain: Nasi Jagung, Sayur Kalentang, Paes Komere Ikan Laut, Sate Komoh.

2. Domain 2
            Domain 2 adalah daerah Madura yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Bangkalan merupakan kabupaten yang terletak di ujung paling barat pulau Madura. Makanan utama tradisional adalah nasi jagung, Soto Madura, Sate Ayam, Topak Ladha, dan Mento Ponakan.
            Kabupaten Sampang memiliki makanan tradisional yang hampir sama dengan Bangkalan, nasi jagung, sate madura, dan kaldu soto. Sedangkan Pamekasan, makanan tradisionalnya adalah Soto Pamekasan, Sop Kikil, dan Paessa Cakalan. Selanjutnya Sumenep yang terletak di ujung Timur Pulau Madura, serta memiliki sebuah keraton keluarga kerajaan Madura yaitu Cakraningrat, juga memiliki makanan tradisional yang hampir sama dengan kabupaten lain di Madura. Nasi Jagung, Soto Madura, Sate Madura, merupakan makanan yang terkenal. Selain itu, Kaldu Kokot juga merupakan makanan tradisional yang populer di Sumenep. 

3. Domain 3
            Domain 3 adalah Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun dan Nganjuk. Ngawi merupaka kabupaten yang terletak di bagian barat Provinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Ngawi memiliki makanan tradisional yang terkenal, yaitu: Nasi Sredek (sawut), Nasi Inthi (Tiwul), Tahu Tepo, Sambal Lethok, Sate Ayam. Kudapannya berupa kripik tempe, Ledre dan Geti. Sedangkan minuman yang terkenal adalah Wedang Cemue..
            Bojonegoro merupakan kabupaten yang memiliki makanan tradisional yang cukup terkenal, antara lain: Nasi Sredek (sawut), nasi Inthi, Rawon Santan Daging. Kudapannya antara lain Gethik Waloh. Sedangkan minumannya adalah Es Telasih, Dawet Kemangi, dan Es Cao.
            Makanan utama di Kabupaten Magetan antara lain: Lodheh Sunten (tuntut Pisang), Bothok Tempe Daun Brambang, dan Nasi Menok. Sedangkan makanan tradisional Madiun yang terkenal adalah Nasi Pecel, dan makanan kudapannya adalah Madumongso. Selanjutnya di Kabupaten Nganjuk, makanan utamanya adalah krupuk pecel, Becek Sate Kambing, dan kudapannya adalah Madumongso Waluh.

Kesimpulan dan Saran
            Penelitian ini sebaiknya ditindaklanjuti dengan lebih menggali data primer. Keterbatasan peneliti menjadi kendala utama, khususnya karena keterbatasan dana, yang tidak memungkinkan peneliti untuk melakukan pengumpulan data secara relatif mendalam. Selain untuk lebih memperdalam penelitian ini, penelitian serupa di 21 kabupaten/kota yang tersisa juga sebaiknya dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1985. Makanan: Wujud, Variasi dan Fungsinya serta Cara Penyajiannya daerah Jawa Timur. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
--------------. 1997. Aku Cinta Makanan Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Afifah, C.A.N. 2005. Kebiasaan Makan Onggok Singkong sebagai Makanan Pokok Masyarakat Cirendeu Kecamatan Cimahi Kabupaten Bandung. Jurnal Boga dan Gizi. Vol 1 No. 2, Juli 2005. Hal. 61-65.
Arsiniati M. Brata-Arbai, dkk. 2001. Kajian Mutu dan Gizi serta Khasiat Makanan Tradisional Jawa Timur. Laporan Penelitian. Kerjasama Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Timur dengan Pusat Kajian Makanan Tradisional Universitas Airlanggan.
Hubeis, A.V.S. 1995. Upaya Meningkatkan Mutu dan Kebersihan Makanan Jajanan Lewat Jalur Pendidikan Orang Dewasa dan Berdasarkan Usaha Bisnis yang Berkelanjutan. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Hal. 146-164.
Jerome, N.W., G.H. Pelto and R.F. Kandel. 1980. An Ecological Approach to Nutritional Anthropology.  New York: Red Grave Pub. Co.
Nurlaela, L. dan Winarni, A. 1999. Uji Coba Paket Pelatihan Sanitasi dan Keamanan Makanan Tradisional. Laporan Penelitian. Universitas Negeri Surabaya.
---------------------------------------. ------. Peningkatan SDM Pedagang Makanan Jajanan Tradisional (PMJT) Melalui Implementasi Paket Pelatihan Sanitasi dan Keamanan Pangan. Laporan Penerapan Ipteks. Universitas Negeri Surabaya.
Rata, I.G.A.K. 1995. Peranan Makanan Tradisional dalam Menunjang Kecantikan. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Hal 234-242.
Ritenbaugh, C. 1982. New Approaches to Old Problems: Interactions of Culture and Nutrition, Clinically Applied Anthropology Anthropologist in Health Science Setting. Boston: D. Reidel Pub. Co.
Rumawas, J. S. P. 1995. Peranan Makanan Tradisional dalam Memenuhi Gizi Ibu Hamil dan Menyusui. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Hal 42-48.
Samsudin. 1995. Peranan Makanan Tradisional dalam Tumbuh Kembang Bayi dan Anak. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Hal 29-39.
Sanjur, D. 1982. Social and Cultural Perspectives in Nutrition. New Jersey: Prentice-Hall.
Sapuan. 2000. Evaluasi dan Strategi Pengembangan Pemasaran Makanan Tradisional. Jurnal Makanan Tradisional Indonesia. Vol. 2 No. 4, Januari 2000. Hal 1-7.
Sastroamidjojo, S. 1995. Makanan Tradisional, Status Gizi, dan Produktivitas Kerja. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Hal 62-66.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Suhardjono. 1992. Kelompok Studi Kesehatan Perkotaan. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit Umum UNIKA Atmajaya.
Surjodibroto, W. 1995. Hubungan antara Makanan Tradisional dan Tingkat Kebugaran Masyarakat Indonesia. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Hal 223-232.
Susanto, D. 1991. Fungsi Sosial dan Budaya Pangan. Dalam Pangan. Volume II.
Susanto, D. Dan Suparlan, P. 1989. Keanekaragaman Makanan Pokok di Indonesia dan Ketahanan Sosial Budaya. Dalam Widyakarya Pangan dan Gizi. Jakarta: LIPI.
Wardani, P.E.K. dan Nurlaela, L. 2006. Pengaruh Penambahan Tepung Ikan Teri terhadap Hasil Jadi Kerupuk Tangguk Teri. Jurnal Boga dan Gizi. Vol 1 No. 3, Januari 2006. Hal. 133-137.
Widyaningsih, T. D. 2000. Evaluasi dan Strategi Pengembangan Pemasaran Makanan Tradisional. Jurnal Makanan Tradisional Indonesia. Vol. 2 No. 4, Januari 2000. Hal 16-21.
_____________________________________
*) Artikel hasil penelitian fundamental tahun  2009.

Ibuku

Ibuku, sekarang berusia 77 tahun. Alhamdulilah, dalam usianya yang sudah udhur, ibuku diberikan kesehatan yang menurutku sangat baik. 'Sehate wong tuwo'. Meskipun beliau mengidap diabetes mellitus sejak tahun sembilan puluhan, alhamdulilah ibu nyaris tidak berkurang aktivitasnya. Tetap mengajar ngaji, masih 'kerso' diundang mengisi pengajian kesana-kemari atau sekedar memberikan mauidhotul hasanah di acara-acara pernikahan. Ibu juga tetap aktif mengikuti pengajian rutin di Jombang, dan di beberapa tempat lain. Beliau biasanya pergi bersama teman-teman yang dulunya adalah murid beliau, atau santri beliau, atau setidaknya yang pernah ngaji kepada beliau. 

Bapakku kapundhut pada 8 Mei 1993. Sekitar setahun setelah kelahiran Arga, anak kami (anakku lahir 2 Mei 1992). Waktu itu aku masih kuliah di S2 PTK IKIP Yogyakarta. Ketika bapak kapundut, aku sedang berada di Surabaya (karena mas Ayik kerja di Surabaya), dan anak kami di Ponorogo dengan akung-utinya. Seorang teman kantor mas Ayik mengabarkan, kalau ada telepon dari keluarga Tuban, yang menyampaikan berita duka itu (kami belum punya sambungan telepon di rumah kontrakan kami, jadi komunikasi dengan menggunakan nomor telepon kantor). Aku sontak menangis histeris ketika mas Ayik memberitahuku, meski dia menyampaikannya dengan sangat hati-hati. 

Saat itu juga kami, dengan mobil dan supir kantor, meluncur ke Tuban, tanah kelahiranku. Sepanjang perjalanan aku terisak, dan mas Ayik terus menenangkanku. Yang terbayang-bayang di benakku adalah wajah sepuh bapakku yang lembut, penuh kasih, namun lemah karena penyakit asma yang bertahun-tahun menderanya. Teringat semua kerja kerasnya, perhatiannya, dan semua perlakuan manisnya. Juga kesetiaannya mengabdikan setiap tetes keringatnya untuk menghidupi kami semua. Bapak adalah seorang guru pegawai negeri. Pada pagi hari beliau mengajar di M.Ts Negeri Tuban, siang mengajar di M.Ts Alhidayah yang berada sekompleks dengan rumah kami, selepas maghrib beliau mengajar ngaji para santri di pondok pesantren peninggalan kakek kami. Seringkali selepas shubuh, bapak ke laut untuk menebar jaring, mencari ikan untuk lauk-pauk kami. Bapak yang pendiam, penyabar, jarang sekali memarahi kami. Sebaliknya adalah curahan kasih-sayangnya yang tak pernah pupus, sampai akhir hayatnya.

Sepanjang perjalanan itu segunung penyesalan menyesakkan dadaku. Aku belum sempat membahagiakan bapak. Bahkan setelah sekitar 3 tahun pernikahan kami, bapak dan ibu masih terus begitu perhatian. Sekitar 4 bulan sejak aku kuliah S2 di Yogya, bapak dan ibu menengokku di tempat kos, membawakan hampir semua makanan kesukaanku. Menginap semalam. Saat itu pun bapak anfal sesak napasnya. Menderita sekali beliau, napasnya sangat berat. Tapi bapakku yang tabah menenangkan aku, bahwa beliau baik-baik saja, dan napas berat seperti itu sudah biasa, dengan minum obat akan segera reda. Bapak juga pernah datang sendirian ke Surabaya di rumah kontrakan kami, ketika usia kehamilanku menjelang 7 bulan, dengan membawa sekardus penuh isi makanan kesukaanku: lontong sayur (kami menyebutnya ancah), nasi uduk, dan berbagai buah-buahan hasil kebun kami sendiri. Dan perhatian-perhatian lain sebagai wujud kasih-sayangnya. Sejauh itu, nyaris tak ada sesuatu pun yang aku sudah lakukan untuk membalasnya.  

Wajah ibuku juga melintas-lintas di benakku sepanjang perjalanan itu. Perempuan tegar yang telah melahirkanku dan kelima saudaraku itu. Akankah ibu tetap mampu tegar sepeninggal bapak? Apa pun sudah beliau lakukan untuk membesarkan kami. Ibu, yang semasa aku kecil (tahun 70-an) adalah anggota DPR Kabupaten Tuban, aktif di berbagai organisasi, mengajar pagi dan siang di sekolah yang sama dengan tempat bapak mengajar, sebagai guru honorer. Di malam hari, setelah mengajari kami semua mengaji usai sholat maghrib berjamaah, ibu masih menggoreng kacang, emping, kerupuk, untuk dititip-titipkan ke warung-warung; pekerjaan rutin yang beliau lakukan sambil menunggui kami belajar. Meskipun bapak dan ibu punya penghasilan tetap, tetapi menghidupi enam anak tentu tidak cukup kalau hanya mengandalkan dari gaji bulanan. Kami biasa makan nasi jagung, nasi bulgur, sebagai 'selingan'. Ya, kupikir dulu hanyalah sebagai selingan supaya kami tidak bosan makan nasi beras terus (sebagaimana seperti yang dikatakan ibu); ternyata waktu itu memang karena bapak ibu tidak memiliki cukup uang untuk membeli beras, sehingga kami harus makan nasi jagung atau bulgur sekali-sekali.

Akhirnya, sampailah kami di rumah duka yang sudah luar biasa ramai oleh para pelayat. Aku turun dari mobil dengan tubuh limbung, dipapah mas Ayik dan temannya. Kaki-kakiku serasa tidak menapak ke bumi. Aku seperti melayang-layang  saja, masuk rumah, disambut ibu yang tetap tersenyum dalam kedukaannya. Beliau memelukku, dan mencoba menenangkan aku yang menangis tak henti-henti. Aku sangat kehilangan bapak, dan aku mengkhawatirkan ibu sepeninggal bapak. Tapi ternyata beliau yang aku khawatirkan nampak begitu tegar, jauh di luar bayanganku. Aku pingsan, ditidurkan di lantai beralas tikar. Ketika siuman, ibu sudah di sebelahku, lengkap dengan senyumnya yang penuh ketabahan.

Sepeninggal bapak, ibu tidak berubah. Beliau tetap sebagai wanita kuat lahir dan batin. Tidak pernah mengeluh. Ibu memang bukan tipe orang yang suka mengeluh. Bahkan ketika kecapekan pun, beliau selalu berucap, 'alhamdulilah....isih diparingi kuwat lan sehat....'  Semangatnya itu, begitu mengagumkan kami.

Sebegitu tabahnya ibu, ternyata jauh di dalam hati beliau, ibu juga seperti perempuan pada umumnya. Suatu ketika secara tidak sengaja, aku menemukan catatan-catatan ibu, semacam diary, ketika ibu memintaku mengambilkan sesuatu di almari beliau. Aku sempat membaca diary itu. Adalah isi hati ibu tentang rasa kehilangannya karena ditinggal bapak, kerinduannya, keluh-kesahnya pada Allah atas semua cobaan, dan doa-doanya agar senantiasa diberi kekuatan untuk mendampingi kami semua, anak-anaknya. 

Aku pun terpekur di tempat itu, di kamar ibu. Lidahku kelu dan tenggorokan terasa sakit menahan keharuan yang mendadak menyergap. Oh, ibu. Serapi itu ibu menyembunyikan perasaannya dari kami semua, anak-anaknya. Membungkusnya dalam balutan senyum penuh ketabahan. Menyimpannya jauh di lubuk hatinya dan menggantinya dengan keihlasan yang tak pernah putus. Padahal jauh, jauh di dalam lubuk hati beliau, betapa ibu begitu merasa kehilangan bapak...

Surabaya, 4 Januari 2012

LN

Jumat, 17 Februari 2012

Malaria yang Bikin Gundah...

Siang ini Joko, salah satu 'lurah' SM-3T, menelepon saya. Dia mengabarkan kalau Okta, salah satu peserta SM-3T, sakit demam tinggi dan saat ini sedang dirawat di Karera. Sementara dokter yang merawat dia mengatakan kalau obat terbatas, termasuk cairan infus. Ambulans sedang diperbaiki di Waingapu karena gardannya patah. Joko bertanya, 'Bagaimana ini, ibu?'

Dua hari sebelumnya, saya menerima sms dari Arsyah. 'Ibu, Jasuli sakit. Ini sudah dibawa ke rumah sakit.' Saya balas, 'sakit apa, Arsyah?' 'Belum tahu, Ibu, hasil tes darahnya belum keluar, dia baru masuk jam setengah tiga tadi.' Kemudian beberapa jam setelah itu, saya menerima sms dari Joko. 'Jasuli kena malaria fativarum+4, Prof'. Setelah itu beberapa sms dari peserta SM-3T yang lain masuk, termasuk dari bu Nanik, teman kami di Tim SM-3T. Isinya sama: 'Mohon doa untuk kesembuhan teman kita Jasuli, dia terkena malaria fativarum+4'. Sms itu rupanya telah menjadi sms berantai, terkirim di antara mereka dan juga kami tim. 

Padahal sehari sebelumnya, sms dari Arsyah juga saya terima, yang mengabarkan Amrina sakit dan juga harus dirujuk di rumah sakit. Juga karena malaria. Jadi dalam waktu kurang dari seminggu, tiga orang harus dibawa ke rumah sakit di Waingapu, dari tempat tugas mereka yang jauh.

Ya, malaria. Penyakit ini begitu populer di Sumba Timur. Pada minggu-minggu pertama, peserta SM-3T keluar masuk ke RSUD, sebagian dari mereka harus opname. Saya hitung dari laporan Joko, ada 29 peserta yang memerlukan pemeriksaan karena demam, 10 di antaranya harus opname (belum termasuk Amrina, Jasuli, dan Okta). Dua kali kami monev, dua kali itu juga kami harus menyempatkan diri menengok mereka yang sedang opname dan bertemu dengan dokternya.

Malaria membuat kami semua risau. Pada monev yang kedua tempo hari kami membawakan obat penangkal malaria untuk semua peserta, yaitu chloroquin. Obat yang rasanya sangat pahit itu kami bagikan untuk seluruh peserta tanpa kecuali. Obat itu bisa mereka konsumsi selama 6 bulan. Memang tidak bisa sepenuhnya mencegah dari serangan malaria, tapi akan membuat daya tahan mereka menjadi jauh lebih baik. Kami semua juga meminum obat itu menjelang berangkat monev.

Kabar tentang kondisi kesehatan mereka membuat saya begitu gundah dan waswas, seperti seorang ibu yang mendengar anaknya sedang sakit, sementara jarak kami begitu jauh. Apalagi kalau sampai orang tua mereka tahu, dan kemudian berkali-kali telepon ke saya. 'Ibu, tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya, mohon bantuannya, Ibu. Kondisi anak kami belum juga stabil, mohon, Ibu....'. Kata seorang bapak dengan suara terbata. Sebagai seorang ibu, saya sangat bisa memahami kekhawatiran mereka......

Tidak ada pilihan lain, saya pantau mereka terus-menerus, berkomunikasi langsung dengan korcamnya, dengan teman-teman yang menjaganya, juga dengan dokter yang merawatnya. Ketika kabar tentang sakitnya Jasuli saya terima, saya langsung kontak dengan dokter Kris, direktur RSUD di Waingapu. Saya tanyakan, apa maksudnya malaria fativarum +4. Separah apakah? Bagaiman peluang sembuhnya? Jawaban dokter Kris melegakan saya: 'itu hanya menunjukkan jumlah parasit dalam lap pandang'. Sebenarnya saya tidak tahu  persis apa maksud penjelasan dokter Kris. Tapi kata 'hanya' di dalam kalimatnya menenangkan saya.

Kabar sakitnya Okta tak pelak juga membuat saya sangat risau. Okta, anak manis dan ceria itu, saya temui di RSUD ketika dia sedang menunggu temannya yang opname, saat supervisi pertama yang lalu. Pertemuan kedua terjadi ketika kami monev ke Pinupahar, dan dia tetap dengan keceriaannya. Anak itu sebenarnya sangat bersemangat, optimis, dan fisiknya juga bagus. Namun ternyata malaria melemahkannya juga. Kabar dari Ulfa, seorang temannya yang saya hubungi menyatakan kalau Okta sangat lemah, perutnya sakit dan dia muntah-muntah terus. Okta merasa tidak kuat kalau harus dibawa ke Waingapu, apalagi kalau harus menunggu oto atau ambulan besok paginya. Sementara di Karera, obat sangat terbatas.

Okta, anak kuat itu, bahkan merasa nyaris menyerah. Maka tanpa menunggu, saya langsung telepon lagi Ulfa, dan minta supaya saya bisa bicara langsung dengan dokter yang merawat Okta. Dokter itu bilang, sebenarnya dia ingin secepatnya membawa Okta ke Waingapu, namun tidak ada ambulans. 'Kondisinya separah apa, Dok?' Tanya saya. 'Sekarang sudah diinfus, ibu, ya, sepanjang tidak ada komplikasi, dia cukup aman. Tapi yang saya khawatirkan adalah hb-nya drop, di sini tidak cukup obat-obatan dan cairan infus untuk membantu supaya dia segera stabil.' 'Baik, Dok, saya akan segera upayakan mobil yang bisa menjemput Okta sekarang juga, nanti saya kabari lagi Dokter.' Saat itu, yang ada dalam pikiran saya adalah, jangan sampai terjadi sesuatu yang fatal, hanya karena saya telat mengambil keputusan untuk mereka.

Maka saya langsung telepon mas Oscar, salah satu driver langganan kami di Sumba Timur. Oscar ini ibarat koordinator transportasi kami di sana. Dia punya sebuah mobil, Panther touring, hanya sebuah. Tapi berapa pun mobil yang kami perlukan, sejauh ini, dia bisa mengupayakan. Dia akan mengkoordinasikan semua urusan transportasi dengan sangat rapi, dan hebatnya, dia tidak mengambil serupiah pun dari teman-teman driver lain yang ada di bawah koordinasinya itu. 'Mereka bawa mobil majikannya, ibu, mereka tidak dapat banyak dari majikannya kan, jadi saya tidak akan ambil dari mereka. Kalau saya kan mobil saya sendiri, ibu.'

Ketika saya tanyakan ke mas Oscar, apakah saat ini juga dia bisa bawa mobil ke Karera untuk menjemput Okta yang sakit, dia jawab, bisa. Lega saya. Okta akan segera dijemput, dan di tangan mas Oscar, dia akan nyaman sepanjang 4-5 jam perjalanan menuju RSUD Waingapu.

Satu hal yang sangat saya harapkan saat ini adalah malaria segera berlalu. Saya berharap selepas Maret, setelah melewati musim penghujan, nyamuk itu tidak terus-menerus meminta korban. Saya ingin anak-anak sekolah bisa lebih tenang belajar bersama guru-gurunya tanpa harus dihantui dengan malaria.  Namun penjelasan yang saya terima dari Joko dan beberapa orang membuat saya gundah. Kata mereka, malaria bukan penyakit musiman. Memang di Sumba Timur adalah endemik malaria, jadi kapan saja dan siapa saja bisa terkena malaria. Yang penting adalah jaga daya tahan tubuh, karena mungkin setiap orang di Sumba sudah terkena gigitan nyamuk malaria itu......

Wassalam,
LN