Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Senin, 22 Juli 2013

Kabar dari MBD

Ramadhan ini benar-benar berkah bagi para peserta SM-3T. Bersamaan dengan libur sekolah, karena ujian sekolah dan pembagian rapor sudah selesai, mereka memiliki waktu yang bebas untuk melakukan apa saja. Bahkan ketika sekolah sudah masuk lagi sejak tanggal 17 Juli yang lalu, aktivitas juga tidak terlalu padat, dan minggu berikutnya bahkan sudah diisi dengan kegiatan pondok Ramadhan. 

Sebagian besar peserta memanfaatkan waktu libur tersebut untuk melanglang dari satu pulau ke pulau yang lain. Tentu saja dengan tetap memperhitungkan kondisi laut. Kesempatan untuk melakukan petualangan dan menjelajah di seluruh pelosok kabupaten tempat tugas, belum tentu akan ada lagi pada waktu-waktu yang akan datang. September mereka sudah harus ditarik dari tempat tugas, dan libur sekolah yang panjang hanya mereka miliki pada saat ini.

Beberapa waktu yang lalu, Nanda, peserta yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD), mengirim SMS kalau dia dan beberapa temannya sedang berada di Kupang. Senyampang ada kapal berlayar dari Mdona Hyera menuju Kupang. Mereka mengambil beasiswa di rekening mereka atau sekedar mengecek (maklum, di Mdona Hyera tidak ada bank, apalagi ATM). Mereka juga berbelanja keperluan sehari-hari. Dan tentu saja, juga sekalian 'refreshing', cuci mata, mencari selingan setelah berbulan-bulan hanya bergelut dengan sekolah, laut, pantai, daun singkong, dan ikan laut.

Nanda juga menanyakan, kapan kira-kira peserta SM-3T MBD akan ditarik dari tempat tugas. Sehari sebelumnya, kami memang kedatangan tamu dari Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (PPO) MBD. Maksud kedatangan beliau selain untuk menandatangani MoU untuk penyelenggaraan Program SM-3T, juga untuk membahas rencana penarikan dan pengiriman peserta SM-3T yang ditugaskan di MBD. Nanda dan teman-temannya tahu akan hal itu, dan oleh sebab itu, dia menanyakan seperti apa hasil pertemuan tersebut.

Saya katakan ke Nanda, kalau menurut pak Kadis, untuk penarikan nanti, kita bisa menggunakan kapal Marsela (kapal tersebut milik Pemda MBD). Berangkat untuk mengantar peserta baru, dua minggu kemudian, menjemput peserta yang lama.

Tidak saya duga, balasan Nanda di luar dugaan. "Apa??? Hakakak... Ibu berarti kita pulang bukan sept bu... kalo angkatan 2013 berangkat nya kapan bu..? Kita pulang sendiri aja ya bu.. hakakaa". 

Saya kaget membaca respon Nanda. Sampai saya bertanya-tanya, apa salah ya SMS saya tadi. Maka saya segera meralatnya: "Alternatif lainnya, mengantar peserta baru, sambil menjemput peserta yang lama. Hayo....jok ngakak ya...".

"Maaf, bu. Itu tadi bukan saya yang jawab. Sudah deal seperti itu ya bu? Untuk jadwal penarikan berarti kita tergantung pemberangkatan angkatan 2013 bu?" Lanjut Nanda. Saya tidak menjawab pertanyaannya, malah balik bertanya: "Emangnya tadi siapa yang njawab? Nggak sopan....." Dalam pikiran saya, jawaban spontan yang dengan ngakak tadi bukan dari Nanda.

Ternyata Nanda malah telepon. Meminta maaf untuk SMS yang tidak sopan tadi. Dia bilang, yang menjawab tadi 'Nandut', bukan Nanda. Oh, ternyata dia ingin meralat jawaban tidak sopan tadi, yang ternyata itu jawaban spontan dia sendiri, dan dia merasa sangat kurang ajar, makanya merasa harus menelepon dan meminta maaf.

Saya sendiri rileks saja menanggapi permintaan maaf Nanda. Saya sangat memahami situasi hatinya. Kerinduannya untuk pulang, kejenuhannya setelah berbulan-bulan bergulat dengan rutinitas yang mungkin tak memberinya banyak pilihan, tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa TV, tanpa hiburan apa pun; kecuali masyarakat dan alam Mdona Hyera yang musti diakrabinya sepanjang waktu yang dimilikinya. Nanda nampak tenang setelah saya pastikan ke dia, tidak ada yang perlu saya maafkan, karena saya sangat memahami perasaan dia dan teman-teman.

Tiga hari setelah itu (14 Juli 2013), SMS nanda masuk berdesak-desakan. Inilah SMS-SMS itu:

"Assalamualaikum Wr. Wb. Ibu, sebelum saya kembali ke Sermata, saya sempatkan sms bu Luthfi mengenai penarikan. Mungkin memang tidak bisa dipungkiri kalau saya dan teman-teman sudah rindu pada keluarga dan semua yang ada di Jawa. Tapi untuk saya pribadi, setelah mengingat, menimbang dan memutuskan sayang jika tidak ada pertemuan antara peserta lama dengan peserta baru. Mengapa?
1. Kalau tidak ada pertemuan dan sharing sama saja kita mulai dari Nol lagi. Alias babat alas lagi.... jadi program kita mulai dari awal, mbangun pondasi baru lagi. 
2. Ada banyak hal yang kita alami yang sebelumnya juga tidak pernah terpikirkan ada menghadapi beberapa problem ini. Meskipun sepele namun jg cukup menghambat, dan jika ada sharing paling tidak bisa di hindari atau diminimalisir oleh teman-teman peserta baru. 
3. Perlunya tukar pikiran antara peserta lama dan baru tentang hal-hal yang perlu di perhatikan di tempat tgs. 
4. Membekali teman-teman peserta baru ttg pengalaman kami selama d tempat tgas. Segala hal tentang lingkungan setempat, karakter masyarakat dll...
5. Mungkin paling tidak kalau kita pulang ke Jawa saat sudah ada teman-teman baru yang siap meneruskan langkah kami, kami bisa lebih lilo ninggal anak-anak kami... biar gak terlalu sedih buuuu...hiks hiks. Maaf, ibu, smsnya puanjaangg sekali."

"Oke, Nanda. Sdh kuterima semua sms-mu. Aku perhatikan. Kapan kembali ke Sermata?" (Sermata adalah desa tempat Nanda bertugas, ada di Pulau Mdona Hyera).

"Enggeh bu, sayang nya saya tidak bisa menghubungi yang ada di sermata, karena mas noval dan mbak risna juga masih tertahan di sermata dari awal liburan bu, belum ada kapal.... 
Mungkin seperti itu ibu secara garis besarnya. Namun kalau bisa, agar sama2 'enak',  mohon diperhatikan masalah jadwal pengiriman teman-teman peserta baru yang bertugas di  MBD.. mungkin diusahakan bisa lebih awal atau tepat waktu, agar penarikan peserta lama juga tidak terlalu molor bu. InsyaAllah seperti itu bu untuk sementara yang ingin saya sampaikan... terimakasih ibu luthfi: )"

Saya pikir, itu adalah SMS Nanda yang terakhir sebelum dia dan kawan-kawannya bertolak kembali ke Sermata. Ternyata kapal tak kunjung berlayar, dan besoknya (15 Juli 2013), Nanda memenuhi ponsel saya dengan SMS-SMS-nya lagi. 

"Assalamualaikum. Ibu ada beberapa hal lagi yang mungkin menjadi masukan saya mewakili teman-teman khususnya yang ada di Mdona Hyera mengenai penempatan teman-teman peserta baru... (sebentar ibu smsnya panjang)". 

"Bercermin pada pengalaman angkatan saya, ada beberapa hal sepele tapi penting yang perlu diperhatikan. Kalau boleh saya tahu untuk daerah mdona hyera ada sekolah mana saja yang menjadi sasaran bu?"

"Sekedar masukan ibu...
1. Untuk keamanan dan keselamatan, mohon diusahakan untuk setiap penempatan ada laki-laki (jika memungkinkan).
2. Untuk desa Rumkisar, jika ada yang ditempatkan disana mungkin lebih dikhususkan lagi kareka karakter daerahnya yang 'lebih' dari pada lainnya. Mungkin jika memang harus ada yang ditempatkan di sana, paling tidak ada 3, harus ada laki-laki, atau lebih baik perbandingan laki-laki lebih banyak dari perempuan, misalnya 2:1".

"Tapi kapan hari saya bertemu dengan salah satu bapak pengawas, beliau bilang ke saya katanya, jikalau tahun ini rumkisar dapat guru sm3t lagi, maka kemungkinan besar akan dipindah ke desa lain. Yang jadi alasan Rumkisar 'istimewa':
- Ujung pulau
- Musim teduh atau gelombang, Rumkisar tetap akan gelombang.
- Jangkauan ke desa sebelah via darat medan susah dan masuk hutan (samun)
- Jangkauan via laut juga tidak mudah karena selalu gelombang. 
- Speed satu-satunya di rumkisar rusak.
- Hal-hal magic menurut penduduk pulau yg saya sendiri kurang paham.
Bahkan warga sebelah desa pun banyak yang dr kecil sampai tua belum pernah ke rumkisar karena beberapa alasan td".

"Jadi saya sendiri salut dengan perjuangan 3 saudara saya yang bertugas disana ibu, Romlah, Yuni dan mbak Vina... mereka sering sakit... 
Tapi mereka bersikeras untuk tahun ini harus ada penerus..kalau tidak sekolah tutup.
Karena selama ini saja jika ada guru yang asli dari sermata mendapat SK di rumkisar, baru 2 minggu mereka sudah pulang ke desanya dan tidak mau kembali lagi... tapi teman-teman saya ini bertahan demi kewajiban tugas dan anak-anak. Singkat cerita tentang rumkisar seperti itu ibu.... mungkin bisa jadi tambahan informasi dan semoga sedikit membantu. Berikutnya Luang...."

"Untuk luang, meskipun merupakan pulau kecil yang terpisah dari ibu kota kecamatan, namun sarana komunikasi masih lancar... masih ada telepon satelit. Dan ada kapal yang singgah di luang. Ikan banyak, tapi air tawar yang bisa dikatakan tidak ada... saya kurang info masalah luang dari pada tempat lainnya. Namun yang saya tahu relatif lebih nyaman dari desa yang sebelumnya. Karena jarang ada keluhan... tapi kalau bisa tetap ada laki-laki bu, meskipun satu.."

"Sementara itu ibu... sebenarnya saya ingin mengirim cerita lagi tentang gambaran dan karakter tempat di mdona hyera. Mungkin bisa memberi sedikit info untuk angkatan berikut. Cuma sayangnya FD saya sudah terkirim ke Jawa semua. Jadi disini sudah tidak pegang FD lagi bu..  untuk lelang, mahaleta dan elo relatif aman... meakipun ada masalah insyaAllah masih bisa diatasi... hehehe.. nggeh mpun bu... terima kasih.... wassalamualaikum".

Perasaan saya diliputi rasa bangga dan haru membaca SMS-SMS Nanda. Terbayang semuanya tentang dia dan teman-temannya. Ketegarannya, ketulusannya mengabdi, dan juga kekonyolannya. Anak manis itu telah merebut hati saya sejak surat pertama yang dikirimkannya beberapa waktu yang lalu. Surat yang dikirimnya dari Mdona Hyera, yang baru tiga bulan kemudian saya terima. 

Dan hati saya semakin terpikat pada kepribadiannya setelah selama seminggu saya bersamanya, sewaktu monev April yang lalu. Betapa pandainya Nanda, dan juga teman-temannya, menikmati keadaan mereka di tempat tugas. Semua keterbatasan yang ada menjadi sarana bagi mereka untuk selalu banyak bersyukur dan bersyukur. Juga semakin membulatkan tekad mereka untuk mengabdi, memberikan yang terbaik yang bisa mereka lakukan selama menjalankan tugas.

Semoga semangat juang dan jiwa penuh pengabdian itu tak lekang oleh zaman....

Surabaya, 22 Juli 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 19 Juli 2013

Menulis Bagi Saya... (1)

Saya agak lupa, entah sejak kapan saya mulai menulis. Seingat saya, saya mulai menulis sejak SD. 

Waktu itu, saya yang pada dasarnya suka membaca, terdorong untuk bisa juga menulis. Saya pembaca setia majalah Bobo dan Kawanku saat masih di SD, meningkat membaca Kuncup dan Kuncung ketika SMP, juga majalah Joyoboyo dan Penjebar Semangat. Saya juga membaca MPA (seingat saya kepanjangan dari Media Pendidikan Agama). MPA merupakan satu-satunya majalah langganan kami sekeluarga, karena bapak saya adalah guru madrasah tsanawiyah, jadi setiap bulan beliau mendapatkan kiriman majalah MPA. 

Majalah Bobo dan Kawanku, meskipun tidak berlangganan, tapi entah dari mana saya sering mendapatkannya. Seingat saya, di rumah selalu ada. Kadang-kadang dibawakan paklik dan bulik saya, kadang diberi saudara-saudara saya. Kisah Deni si Manusia Ikan, Oki dan Nirmala, adalah dua serial yang sampai saat ini masih lekat dalam ingatan saya. 

Untuk majalah Kuncup dan Kuncung, saya lebih sering meminjam di perpustakaan sekolah. Sekolah saya, di SDN Jenggolo, Jenu, Kabupaten Tuban, meskipun sekolah di desa, tapi punya perpustakaan kecil. Sedangkan Joyoboyo dan Penjebar Semangat saya baca bila saya bermain di rumah teman saya, putri seorang polisi, yang ibunya berlangganan kedua majalah berbahasa Jawa itu. Kebetulan rumah kami berhadapan dengan kantor polisi, sehingga bergaul dengan para polisi dan keluarganya mewarnai kehidupan masa kecil dan remaja saya (sampai pernah juga 'dilamar' sama polisi....haha).

Dari perpustakaan sekolah, saya membaca buku-buku karya sastra, seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Siti Nurbaya, Layar Terkembang, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan lain-lain. Saya juga membaca buku cerita Sepatu Cinderella, Putri Salju, Hercules, David and Golliath, Ali Baba, Lampu Alladin, dan sebagainya. Juga membaca banyak buku cerita rakyat yang saya ingat di antaranya Bawang Merah Bawang Putih, Keong Mas, Roro Jonggrang, Jaka Tarub, Sangkuriang, Malin Kundang, Si Pitung, Pak Sakerah, dan lain-lain. 

Sebagian besar cerita rakyat yang saya baca itu sudah pernah saya dengar ceritanya dari ibu saya, yang selalu mendongeng sebelum tidur. Ibu saya adalah seorang wanita yang cerdas, aktivis organisasi muslimah, beliau juga mengajar sebagai guru honorer di tempat bapak mengajar. Sempat juga menjadi anggota DPR di Kabupaten Tuban, sambil terus menekuni kegiatannya berdakwah (beliau mubalighoh sejak masih gadis, dan bercita-cita anak perempuannya akan jadi mubalighoh juga seperti beliau....sayang belum kesampaian, mudah-mudahan nanti cucunya ada yang mewujudkan cita-cita ibu). Namun di antara kesibukannya yang begitu padat, ibu selalu memastikan kami mengaji selepas maghrib, belajar, dan kemudian menghadiahi kami dongeng sebelum tidur. Dongengannya tidak hanya cerita rakyat seperti yang saya sebut di atas, namun, terutama, adalah kisah para nabi. 

Kebiasaan mendongeng itu sampai saat ini masih dilakukan ibu, tentu saja untuk cucu-cucunya, termasuk untuk Arga kecil dulu. Beruntunglah untuk para cucu yang kebetulan tinggal serumah, di rumah kami yang besar itu, atau yang tinggal satu kompleks dengan rumah induk itu. Saya sering terkenang masa kecil saya, saat menyaksikan ibu mendongeng, dan para cucu 'kemriyek' di kiri kanan ibu. Mereka mendengarkan ibu bercerita dengan penuh perhatian (karena ibu membawakan dongengannya dengan sangat menarik),  kadang membuat mereka tertawa berderai, kadang terpana dengan mulut 'mlongo' dan mata bulat 'plolang-plolong' (kami memang keluarga dengan salah satu ciri khas adalah bermata 'plolong', sudah dari sononya..hehe).

Kembali ke cerita tentang saya. Oya, saya juga suka membaca buku-buku biografi. Saya  membaca buku Raden Ajeng Kartini, Tjut Nya' Dien, Pangeran Diponegoro, Jenderal Sudirman, Ki Hajar Dewantara, Dewi Sartika, yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah.

Mungkin karena memang koleksi perpustakaan kecil di sekolah saya terbatas, sepertinya semua buku yang ada di perpustakaan itu sudah pernah saya baca. Maka saya menggasak bacaan apa saja di sekitar saya. Komik Donald Duck, Tin Tin Tin, Asterix dan Obelix, adalah beberapa yang saya baca dengan meminjam dari saudara-saudara saya. Bulik saya punya koleksi Khoo Ping Ho, tumpukannya sampai tinggi sekali, tapi sayang sekali saya tidak terlalu tertarik. Menghafalkan nama-nama pemerannya saja susah. Juga serial Api di Bukit Menoreh, hanya saya lahap beberapa buku. Entah kenapa saya tidak terlalu suka. Mungkin pada saat itu, buku-buku tersebut masih terlalu berat bagi saya yang memang masih SD.  

Selain itu, saya juga membaca kisah para nabi. Sebuah buku tebal, milik bapak, judulnya Rangkaian Kisah dalam Al Quran, saya 'keloni' setiap pulang sekolah, dan saya membacanya mulai dari halaman pertama sampai terakhir nyaris tanpa ada satu huruf pun yang terlewat. Mulai Nabi Adam sampai Muhammad.  

Di SMP dan SMA, saya mulai menjadi pelanggan sebuah perpustakaan yang ada di dekat sekolah saya. Perpustakaan mungil yang dikelola oleh seorang bapak sepuh (saya lupa namanya), saya membayangkan beliau adalah orang yang sangat mencintai buku. Hampir tiap dua atau tiga hari sekali saya mengunjungi perpustakaan itu, untuk meminjam dan mengembalikan buku. Saya membaca serial detektif Lima Sekawan (kalau tidak salah ingat, penulisnya Enid Blyton) dan banyak sekali buku dan novel, termasuk Motinggo Busye dan Marga T. Saya juga tidak kesulitan untuk mendapatkan majalah remaja seperti Anita Cemerlang, Gadis dan Hai. Saya sangat menyukai serial 'Kiki and Her Gang', yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto. Cerita yang konyol, kocak, lekat sekali dengan kehidupan remaja. Kelak, saya mulai membaca buku tentang bagaimana menulis, juga dari bukunya Arswendo, yang berjudul Menulis itu Gampang. Sebuah buku yang dihadiahkan kakak saya, mas Zen; rupanya dia tahu saya suka menulis dan dia melihat saya memiliki potensi untuk menjadi penulis. Meski bukan penulis 'beneran'.

Apa saja saya baca. Membaca menjadi hiburan paling menarik bagi saya. Saking menariknya, saya betah berjam-jam di dalam kamar, tak menghiraukan kegaduhan di luar kamar atau di luar rumah. Efek negatifnya, saya sering menarik diri dari obrolan orang-orang di sekitar saya yang saya anggap tidak menarik, dengan menenggelamkan diri dalam buku-buku bacaan. Sampai-sampai saya bolak-balik ditegur ibu saya supaya saya tidak membaca terus dan 'srawung' sama saudara-saudara.

Saya tumbuh dewasa dengan majalah-majalah wanita seperti Kartini, Femina dan Wanita; majalah-majalah ini saya pinjam dari bulik saya. Juga majalah Intisari, seingat saya sejak saya lahir, majalah itu sudah ada. Saya juga mengumpulkan majalah sastra seperti Horizon (sampai saat ini saya masih menyimpannya). Oya, dari majalah Tempo, saya sangat menyukai Goenawan Mohammad dengan Catatan Pinggir-nya, sampai saya meng-kliping-nya. Emha Ainun Nadjib, Musthofa Bisri, Budi Darma, Pramudya Ananta Toer, Kahlil Gibran, dan banyak penulis yang lain, saya kenal tentu saja dari membaca buku-bukunya. 

Kembali lagi ke awal mula saya menulis. Di majalah MPA ada satu kolom cerpen anak-anak. Ceritanya tentu saja berkisar tentang kehidupan anak-anak, dengan pesan moral dan agama yang kental. Salah satu teman saya, namanya Uswatun Hasanah, putri seorang guru agama yang notabene adalah teman bapak saya dan juga guru saya, namanya pak Hafash, beberapa kali mengirimkan cerpennya dan dimuat di MPA. Saya ingiiiinnn sekali bisa membuat cerpen seperti dia. Apa lagi kalau bisa dimuat di majalah seperti itu.

Teman saya itulah yang menginspirasi saya untuk mulai menulis. Maka cerpen pertama saya, saya masih ingat betul, judulnya 'Sebatang Kara', berkisah tentang seorang anak yang ditinggal mati oleh ayahnya, kemudian ibunya, dan dia membantu tetangganya untuk berjualan kue. Sebuah cerpen yang tidak pernah saya kirim ke mana-mana. Tidak pede. Saya simpan saja. Tapi setidaknya itulah cerpen pertama yang telah berhasil saya tulis dengan tuntas. Karena ada banyak cerita lain yang saya tulis, namun ceritanya tidak pernah tuntas.

Saya juga memiliki diary dan rajin berinteraksi dengan buku kecil itu. Sampai sekarang, diary masa kecil saya masih saya simpan, dan sesekali, saya suka membacanya (seringkali sambil senyum-senyum sendiri, kadang terharu, kadang bahkan bisa menangis). Diary, mungkin merupakan salah satu 'sosok' yang paling berjasa dalam melatih kemampuan saya menulis.

Saya mulai mengenal mesin tik sejak kelas 6 SD. Saya mengetik apa saja. Jadwal pelajaran, puisi, ringkasan pelajaran. Saya hobi 'cetak-cetok' sampai larut malam. 'Mbrebegi' bapak ibu dan kelima saudara saya. Mengenyahkan keheningan di setiap sudut rumah kami yang besar. Malam-malam, bapak sering menengok saya di kamar, meminta saya berhenti mengetik dan segera berangkat tidur.

Tapi ketika cerpen pertama saya dimuat di Anita Cemerlang (saya lupa apa judulnya), waktu itu saya kelas 1 SMA, bapak malah sering menemani saya 'melek' sampai larut malam. Beliau akan mengganti lampu petromax dengan lampu teplok besar dan didekatkan di meja tempat saya mengetik. Kemudian bapak duduk di kursi di ruang tamu, menunggui saya, sampai beliau tertidur (kenangan masa kecil yang begitu manis. Ya Allah, berikan tempat terbaik bagi bapak tercinta di sisi-Mu. Amin).

Bersambung......

Tanggulangin, 16 Juni 2013. 14.32 WIB (Di rumah Ibu Bapak, sepulang dari Workshop Kurikulum Jurusan PKK di Surya Hotel, Batu).

Wassalam,
LN

Rabu, 17 Juli 2013

Puisi: Dua Puluh Tiga Tahun Yang Lalu

Siang yang cerah
Langit bersih tanpa goresan awan
Wajah-wajah berhias senyum bahagia
Membaur dalam jalinan janur kuning dan pita aneka warna
Ditingkahi bunyi-bunyian musik rebana
Lengkap dengan beragam sajian sederhana nan mengundang selera

Sebuah pelaminan indah
Hasil karya para sahabat dan kerabat
Di situlah sepasang kekasih itu bersapa
Pada semua orang yang datang menghampirinya
Diapit ayah bunda tercinta
Mereka membagikan binar-binar penuh pesona
Peluk cium dan kehangatan sarat suka cita

Hari ini kurengkuh dirimu
Agar kita bisa saling memiliki
Saling memberi arti
Saling menjaga
Saling mencinta
Sampai kapan pun jua
Saat ajal memisahkan kita

Mari kita saling berbimbing tangan 
Bersama menuju satu tujuan
Merajut sejarah hidup dan kehidupan
Sekarang dan selamanya

Dua puluh tiga tahun yang lalu
Serasa baru kemarin
Saat kita saling menautkan hati
Berjanji untuk saling mengasihi
Semoga kan tetap abadi

Selamat ulang tahun, Sayang
Selamat ulang tahun untuk kita berdua

Surabaya, 17 Juli 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 14 Juli 2013

Puisi Buka Puasa untuk Bapak Ibu

Bapak Ibu,
Ini kami sedang melaju
Kami bertiga: anak lanangmu, diriku, dan cucumu
Di sore sebelum senja jatuh
Saat jalan cukup lengang dan teduh
untuk membawa kami kepadamu

Tidak perlu repot-repot, Bapak Ibu
Sengaja tak kukabarkan kepadamu
Tentang rencana bertandang ke rumahmu
Untuk menikmati buka bersama hari ini
Karena, seperti biasa
Kau akan menyiapkan semuanya
Masak besar untuk kami
Menyediakan semua makanan kesukaan kami
Dan itu akan membuatmu sibuk
Akan membuatmu lelah
Kami tidak ingin Bapak Ibu lelah

Tidak, Bapak Ibu, tidak perlu
Ini sudah kubawakan semuanya untuk kita berbuka nanti
Nasi putih, urap sayur, kothokan tahu tempe, ayam bumbu rujak, dan rempeyek kacang dan ebi
Juga ada pie susu dan roti bolu
Ada juga jadah kesukaanmu... 

Nasi putihnya masih panas
Kumasak sendiri sore ini
Urap sayur, kothokan tahu tempe, dan ayam bumbu rujak
Kumasak siang tadi dibantu Iyah

Iyah juga yang pagi tadi pergi ke pasar untuk berbelanja
Sementara mesin cuci berputar dan meja seterika sudah disiapkannya
Anak itu, memang luar biasa
Belasan tahun bersama kita
Apa pun akan dilakukannya untuk kita
Tak terbayangkan jika tak kumiliki dia....

Sambil menunggu Iyah datang dari pasar
Saya sempatkan potong rambut dan facial
Di rumah saja
Dengan beautician langganan 
Haha, tentu saja bukan untuk acara buka bersama ini
Semata karena itu sudah lama tak kulakukan
Karena didera oleh berbagai aktivitas dan kesibukan
Saat ini, mumpung ada kesempatan

Bapak Ibu,
Tadi siang tiba-tiba tetangga sebelah memberi sekotak pie susu
Ya, sepasang muda suami istri yang rupawan dan baik hati itu
Katanya, oleh-oleh dari Bali
Bukankah itu kue kesukaanmu
Bentuk tipis tartelette dengan isi susu kering itu legitnya menggigit
Padat gizi, dan tentu saja, empuk
Sangat cocok untuk kau nikmati berdua
Sambil duduk di beranda menunggu waktu tarawih tiba

Bapak Ibu, ini kami sudah mau sampai
Pasti kalian terkejut sekaligus senang bukan kepalang
Anak, mantu dan cucu tersayang tiba-tiba datang
Mencium tanganmu dan memberi pelukan sayang
Pasti rasanya seperti mendapatkan segenggam berlian

Bapak Ibu
Cukup kau buatkan kami teh manis saja
Rasanya itulah yang kami rindukan sejak lama
Oya, jangan terlalu banyak gula
Kasih dan sayangmu telah cukup untuk melepas dahaga...

Otw Tanggulangin, 14 Juli 2013. 16.20 WIB.

Wassalam,
LN

Minggu, 07 Juli 2013

Akhir Pekan Ini....

Akhir pekan ini menjadi hari-hari yang lumayan sibuk bagi saya. Sabtu pagi kemarin, setelah mengajar di pasca sampai pukul 10.00, saya meluncur ke Kampus PPPG di Lidah Wetan. Ada petugas dari Dikti yang akan membagikan uang transpor bagi para mahasiswa PPPG. Kami semua, direktur, pembantu direktur, staf PUMK, dan beberapa staf yang lain, musti mengawal kegiatan itu. Kalau sudah menyangkut 'perduitan', ada banyak hal yang musti diantisipasi dan diperjelas, supaya tidak sampai terjadi salah hitung dan salah paham.

Belum selesai acara yang digelar di lantai 9 PPPG itu, saya sudah ditelepon seorang teman. Teman saya itu, Anik namanya, adalah teman sekamar saya waktu kost di Semut Baru, di awal-awal saya kuliah di IKIP Surabaya dulu. Saya sempat satu semester merasakan kuliah di Kampus Pecindilan yang hiruk dan nge-kost di jalan Semut Baru yang pikuk, sebelum berpindah ke kampus Ketintang.

Anik datang bersama anak keduanya, Afif. Afif akan menempuh tes masuk di ATKP (Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan), dan perlu tempat untuk menumpang selama tes. Anik, yang guru di sebuah SMP negeri di Kediri, akan menemani anaknya selama sehari dua hari. 

Saya pun beranjak dari PPPG sekitar pukul 13.00, meluncur pulang, setelah memastikan segala sesuatunya running well (keminggris...), dan memastikan pak Sulaiman (Pembantu Direktur I PPPG) serta staf yang lain akan mengawal kegiatan itu sampai selesai. Sebelum melajukan mobil, saya sempatkan untuk telepon Iyah, penunggu rumah kami, agar menyiapkan makan siang untuk tamu-tamu saya.

Sepanjang siang sampai malam kemarin saya habiskan waktu untuk berkangen-kangenan dengan Anik. Alumnus Bimbingan Konseling IKIP Surabaya angkatan 85 itu, di mata saya, tidak banyak berubah. Tubuhnya yang kecil mungil, sama, ya seperti itulah dulu dia. Wajahnya, meski sudah seusia saya, tetap imut, dengan tahi lalat di atas bibirnya, melengkapi kecantikannya. 

Setelah puas bernostalgia dan saling mengejek karena kekonyolan-kekonyolan kami di masa lalu, kami berjalan-jalan ke Royal. Makan malam sekaligus (window) shopping. Mas Ayik menjadi driver sekaligus bos yang mentraktir makan malam kami. Kebetulan di Royal juga sedang ada pagelaran rancangan busana pengantin, maka acara itu pun menjadi acara selingan kami. Afif juga sempat ditemani mas Ayik untuk belanja keperluan ujiannya, sementara saya dan Anik ngobrol berlama-lama di Quali.

Minggu pagi ini, Afif menempuh tes kesehatan di ATKP (Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan). Jam 06.30 dia sudah rapi, sudah siap sarapan. 

Oya, mereka berdua tidur di rumah lama kami, rumah yang memang kami sediakan untuk siapa saja yang perlu singgah atau transit. Sehari sebelumnya, paklik saya dan temannya juga baru pulang kembali ke Rembang, setelah selama tiga hari menginap di rumah kami. Iyah sekeluarga, penunggu rumah lama itu, berperan sebagai nyonya rumah sekaligus seksi konsumsi dan seksi kebersihan.

Setelah melepas Afif berangkat ke tempat tesnya, kami bertiga bersiap nggowes ke car freeday di Taman Bungkul. Anik, yang dulu adalah anggota Pramuka ketika kuliah, sangat menikmati bersepeda. Meski dia gobyos, dia nampak gembira. 

Sampai sekitar pukul 08.00 kami berada di Taman Bungkul. Kalau ingin melihat 'tandak bedes' datanglah ke Taman Bungkul pada Minggu pagi seperti ini. Tontonan itu ada di beberapa titik, setidaknya pagi ini ada di tiga titik. Dengan atraksi dan kostum yang berbeda. Berbusana seperti badut, lengkap dengan topeng dan rambut palsunya; berbusana seperti laki-laki perlente yang sedang bersepeda motor dan memegang handphone; atau yang berbusana minimalis dengan membawa tabung plastik mondar-mandir untuk menerima rupiah dari para penonton. 

Anda akan terpingkal-pingkal sampai perut Anda sakit melihat atraksinya. Kecuali kalau Anda menyadari, bahwa dalam tontonan itu kental dengan unsur 'tidak berperi kebinatangan', memaksa para monyet tak berdaya itu untuk melawan kodratnya demi mendapatkan sesuap nasi (atau sepotong pisang dan segenggam kacang?) dari majikannya; tontonan itu akan membuat hati Anda teriris-iris. Pedih. Seperti itulah yang saya rasakan.

Di Taman Bungkul, kita juga bisa memilih mengikuti senam pagi dengan berbagai irama. Ndangdut ada. Reggae juga ada. Rock-ndut juga tersedia. Mulai dari gerakan dan goyangan yang super keras sampai yang sangat kalem, khusus untuk para manula. Tinggal pilih. Termasuk memilih instruktur yang macho, yang bahenol, atau yang singset langsing tapi belahan dadanya nampak dan, kelihatannya, sengaja dinampakkan....hehe.

Mau menikmati live music juga tersedia di beberapa titik. Dimainkan oleh sekelompok anak muda atau sekelompok laki-laki yang sudah mature. Dari musik yang keras sampai yang lembut. Semua tinggal pilih sesuai selera.

Kami bertiga menikmati semuanya sambil lalu. Kerumunan di mana-mana. Anak-anak bermain bola, badminton, skateboard. Penjual macam-macam makanan, mainan, perlengkapan bersepeda, koran, juga baju dan aksesoris, bertebaran di mana-mana. Namun, seperti biasa, kebiasaan saya sekeluarga bila nggowes di Taman Bungkul, selalu mengakirinya dengan satu dua buah lumpia Semarang sebelum beranjak pulang meninggalkan kegaduhan di tempat itu.

Pukul 10.00, saya meninggalkan Anik di rumah. Kebetulan karena dia suka membaca, dia melahap banyak buku di perpustakaan pribadi saya. Saya juga menghadiahinya tiga buah buku saya, dan dia sangat senang sekali menerimanya. Apalagi saya membubuhkan tanda tangan saya di buku-buku itu, dengan tulisan: buat sahabatku Anik. Semoga suka, semoga bermanfaat.

Saya pamit ke Anik kalau kami akan memenuhi undangan sunatan dari senior Himapala, mas Ahli Budi (biasanya dipanggil mas Dukun). Saya pesankan ke dia, jangan lupa makan siang, karena makanan sudah disiapkan di atas meja.

Akhirnya siang ini, saya dan mas Ayik berada di antara para senior Himapala. Benar-benar para senior, karena di Aula SMK 3, tempat acara itu dilaksankan, kami bertemu dengan mas Mulyono (biasa dipanggil mas Ambon), mas Zainal Arifin, dan mas Rudi (biasa dipanggil mas Embun). Beliau bertiga itulah beberapa di antara para pendiri Himapala, orang-orang pertama yang menancapkan bendera Himapala di puncak gunung Welirang puluhan tahun yang lalu. Bertemu mereka, bahagianya bukan kepalang. Dalam usianya yang pasti sudah tidak muda lagi, kehangatan, kebersamaan, dan semangat berjuang ternyata tak juga lekang.

Tentu saja juga ada para senior yang lain. Mbak Ninis (istri mas Ambon), mas Philip dan Mbak Ida (yang ini suami istri, anaknya saat ini menjadi mahasiswa saya di Tata Boga), dan banyak lagi yang saya tidak mungkin sebut semua namanya. Dasar himapala, kalau sudah ngumpul, yang ada adalah ger-geran, saling gojlok, foto-foto, menyedot perhatian banyak tamu yang lain.

Dari tempat sunatan, kami langsung menuju Tanggulangin, menengok bapak dan ibu. Kami sudah niatkan sehari ini akan menemani bapak ibu, dan baru nanti malam pulang. Arga akan menyusul sore nanti karena dia sangat tahu, eyang uti dan akungnya pasti menunggu-nunggu dia. 

Akhir pekan yang sibuk dan menyenangkan. Saatnya nge-charge rohani dengan melupakan semua beban rutinitas. 

Mohon maaf lahir dan batin.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga Allah SWT memudahkan ibadah kita demi meraih ridho-Nya. Amin YRA.

Tanggulangin, 7 Juli 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 05 Juli 2013

HUJAN DI SOETTA

Gerimis rapat 
Mendung gelap
Mengaburkan pandangan
Kaca bening tak tembus
Semuanya nampak tak berwujud

Pepohonan diam 
Deretan kotak-kotak putih 
Benda-benda hilir mudik 
Barisan besi-besi bersayap
Tak jelas bentuknya

Hanya genangan air
Jalan yang basah berkilauan
Lapangan rumput merawa
Berpadu dengan awan tebal
Menggantung
Menutupi keceriaan langit
Menelan keriangan mentari

Kenapa Jakarta hujan lagi? 

Garuda Lounge, Soetta, 4 Juli 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 30 Juni 2013

Gairah Hidup Prof. Djodjok Soepardjo

Pagi ini, saat sedang berdiri di barisan prosesi Senat Unesa, bersiap-siap untuk memasuki ruang wisuda, Prof. Djodjok Soepardjo, mengulurkan sebuah buku ke arah saya. 'Mau dibaca sekarang?' Tanyanya. Saya spontan mengangguk. Menerima buku mungil itu dan berucap terimakasih.

Buku itu berjudul Gairah Hidup. Buku mungil setebal 243 halaman. Diterbitkan oleh Penerbit Bintang Surabaya. Buku yang terbagi dalam 5 bab: Kita Harus Berpegang pada Apa atau Siapa?; Suara Hati Nurani dan Keberanian; Kewajiban Saling Mencintai; Hidup itu Perjuangan; dan Memahami Arti Kehidupan.

Buku ini, meski mungil, begitu kaya hikmah. Sepanjang membacanya, saya sambil membayangkan profil penulisnya. Prof. Djodjok yang tampan, berkulit bersih, ramah, hangat, humoris, kadang-kadang terkesan 'slengekan', ternyata menyimpan ribuan amunisi di dalam jiwa dan pikirannya.

Buku mungil ini mempresentasikan bagaimana dia menyikapi hidup dan kehidupan. 'Adakah yang lebih penting dalam hidup ini selain dari 'kehidupan?' Begitu tanyanya di awal tulisan. Kemudian untaian kalimat demi kalimat indahnya mengalir. Mulai dari hal yang sederhana tapi rumit: bagaimana mengatasi semburan tsunami hawa nafsu (hal 3-8). Di banyak bagian, Djodjok mengutip hadist dan ayat-ayat dalam Al-Quran. Namun dia juga melengkapinya dengan berbagai referensi, misalnya buku karangan Richard Lloyd Parry (2008) yang berjudul Zaman Edan, juga banyak referensi yang lain. Khas akademisi yang religius.

Sebagai guru besar bidang Linguistik (Jepang), serta cukup lama memperoleh pendidikan di Jepang baik dengan beasiswa dari The Japan Foundation dan Mombukagakusho, Djodjok banyak memberikan warna Jepang dalam tulisannya, terlihat dari referensi dan juga isi tulisan. Belajar dari Mushashi dalam menetapkan tujuan hidup, merupakan salah satu yang dia rekomendasikan. Menurutnya, contoh yang ditunjukkan Miyamoto Mushashi dalam kegiatan latihannya sebelum mencapai usia tiga belas tahun adalah salah satu cerita yang paling luar biasa dalam sejarah kelas samurai terkenal Jepang. Dia katakan, kisah tersebut masih sangat pantas ditiru sekali pun oleh orang-orang yang hidup di dunia modern sekarang ini (hal 49).

Djojok juga menyelipkan beberapa tulisan terkat dengan pemahaman lintas budaya, dua di antaranya adalah: 'Jangan Berhenti Belajar' dan 'Hari Ini Lebih Baik dari Hari Kemarin'. 

Pada tulisan pertama, Djodjok menyajikan 'malu' sebagai salah satu kekuatan budaya yang dimiliki bangsa Jepang. Sebuah konsep yang sering dikontraskan dengan budaya bangsa Amerika yaitu 'merasa bersalah' atau 'merasa berdosa'. Menurutnya, semua konsep tersebut dengan mudah dapat disembunyikan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tetapi, rasa takut atau malu, bagi bangsa Jepang, lebih dari apa pun.

Bangsa Jepang secara konstan selalu menuju jalan 'hanseikai' atau instropeksi diri sebagai upaya belajar dari kesalahan mereka. Semua itu dilakukan untuk menghindari rasa malu yang merupakan intisari obsesi orang Jepang yang terdapat dalam konsep 'kaizen' (perbaikan terus-menerus). Kaizen akan diaplikasikan dalam segala aspek kehidupan bangsa Jepang (hal 36).

Buku ini, seperti yang saya katakan, begitu kaya hikmah. Sangat layak dibaca. Buah pikiran yang ditulis 'ketika gelembung di aliran sungai meletup', begitu kata penulisnya; untuk menunjukkan kalau buku ini tidak ditulis secara terus-menerus. Meski begitu, sebagai buku keempat (setelah Jepang Masa Kini/1999, Frendly/2005, Linguistik Jepang/2013), sosok Djodjok bisa menjadi pemicu untuk terus menggelorakan semangat literasi. 


GOR Kampus Unesa Lidah Wetan, 30 Juni 2013.

Wassalam,
LN