Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Senin, 12 Desember 2011

Ke sumba lagi (1): Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia

Pagi pukul 05.30, saya sudah berada di Wisma PU. Diantar mas Ayik. Dua bus Unesa sudah parkir di halaman PU. Menunggu para penumpangnya, peserta SM-3T dari Sumba Timur, yang akan kembali ke Sumba Timur untuk menunaikan tugas. Selama 9 hari mereka, bersama-sama peserta yang lain, lulusan dari berbagai perguruan tinggi, telah dikarantina di Wisma PU untuk kegiatan prakondisi. Tiga hari yang lain mereka habiskan di bumi perkemahan Dlundung, Trawas, Mojokerto, utk menerima pelatihan ketahanmalangan dan berbagai aktivitas outdoor.

Saya sendirian sebagai pendamping di PU pagi ini. Dua teman saya, pak Wasis dan bu Luci, langsung ke Juanda dari rumah masing-masing. Pak Nardi yang mengurusi tiket, bahkan sudah sms saya jam 05.00 tadi, dia sedang men-check in-kan kami semua, 46 peserta dan 3 pendamping.

Daftar peserta sudah ada di tangan saya. Beberapa peserta sudah ada yang keluar dari kamar mereka, menuju bus yang menunggu, lengkap dengan bagasi mereka yang....bo-abooh....ngalah-ngalahi orang mau pergi haji. Dandanan mereka necis-necis. Beberapa malah dengan penampilan yang beda banget dengan ketika pertama kali mereka masuk ke wisma PU. Dengan baju dan celana panjang ketat, berkaca-mata hitam, dan sandal atau sepatu modis, serta rambut yang sudah di-rebounding (gara-gara rebounding ini panitia sampai harus menunggui mereka hingga pukul 22.00 malam!). Kemarin setelah upacara pelepasan di auditorium (dilepas oleh pak Rektor), dua bus Unesa memang kami sediakan khusus bagi mereka, untuk mengantar mereka berwisata kemana pun mereka inginkan, lapindo, jembatan suramadu, ITC, plaza...beberapa di antaranya menyempatkan diri ke salon (emaknya saja nggak sempat-sempat mau ke salon!).

Saya mulai memanggil satu per satu nama peserta, memastikan mereka masuk ke bus. Eryxon, ketua kelompok Sumba Timur, saya minta membagikan nasi dus, konsumsi sarapan pagi ini. Beberapa yang lain saya minta 'ngoprak-ngoprak' teman-temannya yang masih belum muncul. 'Sebentar, Ibu, Yuvent masih pasang sepatu...', itu salah satu laporan salah seorang dari mereka, setelah menengok temannya yang masih belum keluar kamar.

Kami berangkat tepat pukul 06.00 menuju Juanda. Dua bus penuh sesak. Di kursi belakang penuh bagasi. Kebek mencep. Peserta menyantap makan paginya. Sebelum sampai bandara, kuminta mereka sudah menyelesaikan sarapannya, dan memasukkan kotak-kotak nasi itu ke kantung plastik besar, sebelum mencapai Juanda.

Hari ini kami memberangkatkan 46 peserta SM-3T, yang semuanya berasal dari Sumba Timur. Mereka kami berangkatkan lebih dulu karena kalau tidak, kami harus terus menampungnya di wisma PU termasuk menanggung kebutuhan makannya selama di penginapan itu. Mereka tidak punya sanak saudara di sini, tidak seperti peserta yang lain, yang bisa pulang ke rumah masing-masing atau pulang ke kampong halamannya, selepas masa prakondisi. Sebanyak 99 peserta yang lain akan kami berangkatkan tanggal 9 Desember, sedangkan 92 yang lain kami berangkatkan tanggal 11 Desember. Sesuai jadwal penerbangan yang ada, yang memang tidak setiap hari tersedia.

Bu Luci dan pak Nardi menyambut kami di drop-zone begitu bus berhenti di keberangkatan domestik. Pak Nardi langsung bertindak cepat. Memanggil ketua-ketua kelompok, memastikan kesepuluh anggota mereka sudah pegang bagasi masing-masing, dan meminta ketua kelompok membagikan boarding pass. Ya, kami semua langsung menerima boarding pass, tiket sudah diamankan pak Nardi. Lantas, seperti iring-iringan kuda sumba, mereka mengekor di belakang saya, dan bu Luci di barisan paling belakang sebagai penyapu.

Kami melewati pintu masuk dengan tertib. Berbaris rapi di depan counter check-in yang ramai. Menimbang bagasi kami satu per satu. Salah seorang peserta tiba-tiba lapor ke kami, satu tas besar akan dibawanya masuk ke pesawat, karena timbangannya melebihi batas. Saya mencoba mengangkat tas itu. Buwerat banget. Saya perkirakan lebih dari 15 kg. Entah apa yang dibawanya. Di saat itu, muncullah pak Wasis. Maka tanpa pikir panjang, saya minta pak Wasis utk mengambil alih bagasi itu, menimbangnya sebagai bagasi dia. Dari awal memang sudah kami kondisikan, bagasi jangan sampai melebihi 20 kg/orang. Meskipun sebenarnya bisa ditimbang sebagai bagasi group, tapi kami tidak ingin peserta
'jor-joran' bagasi. Repot sendiri nanti panitianya.

Kami lantas menuju ruang tunggu di lantai 2. Beberapa peserta masih menenteng tas dan kantung-kantung plastik. Ada yang berisi roti boy, dunkin donut, ada yang berisi apel manalagi, ada juga yang isinya mainan anak-anak. Oleh-oleh untuk sanak saudara mereka. Seorang peserta, namanya Arifuddin, lulusan STKIP Bima, semalam sms saya, 'Ibu, saya ingin membawakan oleh-oleh utk ibu saya, apa yang sebaiknya saya beli?' Saya jawab, 'belikan saja baju, ibu biasanya suka sekali kalau dibelikan baju'. Maka pagi itu ketika saya tanya apa yang dia beli untuk ibunya, dia jawab, 'saya beli baju seperti saran ibu'. Sebagian besar dari mereka keranjingan shopping setelah siang hari sebelumnya menerima beasiswa
bulan pertama mereka, 2 juta rupiah dan bantuan biaya hidup 500 ribu.

Menunggu boarding ternyata mengasyikkan juga. Melihat tingkah polah mereka. Melihat gaya mereka yang tiba-tiba saja menjadi remaja-remaja metropolis. Seperti di sinetron-sinetron. Juga kepolosan mereka yang mengagumi begitu besar dan megahnya bandara Juanda. Dan keceriaan mereka, kekonyolan mereka, serta kebahagiaan karena akan segera bertemu dengan sanak saudara.

Akhirnya masuklah kami ke dalam Batavia Air. Kami akan terbang menuju Waingapu, ibukota Sumba Timur. Di hampir seluruh pelosoknya, kami akan saling bahu-membahu menabur benih-benih ketulusan, menanamkan cinta kasih dan kepedulian bagi sesama, bagi anak-anak bangsa di titik-titik terpencil di negeri ini. Seperti yel-yel yang selalu kami dengung-dengungkan: Maju Bersama Mencerdaskan
Indonesia!

Rabu, 7 Desember 2011
Wassalam,
LN

Minggu, 04 Desember 2011

Ultah di Dlundung

Pukul 08.30. Cuaca agak mendung. Tapi kami berangkat menuju Dlundung, menengok kegiatan pelatihan ketahanmalangan peserta SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Tertinggal, Terluar). Sebetulnya saya disediakan mobil Unesa, tapi karena kami masih ada tamu, dan mas Ayik menginginkan untuk mengantarkan saya, maka teman-teman panitia saya minta berangkat lebih dulu bersama driver kampus.

Dlundung mendung ketika kami datang pada pukul 10.30-an. Sejak dari pintu masuk camping ground, para peserta SM-3T sdh terlihat, dengan kaus abu-abu dan scarf oranye-nya. Bergerombol-gerombol. Di antara mereka ada sejumlah orang berkaus hitam kombinasi kuning, yang di punggungnya bertuliskan 'instruktur'. Merekalah para pelatih dan pendamping. Tim yang terdiri dari dosen FIK, dokter, anggota TNI, anggota Menwa, dan anggota Pramuka, serta belasan mahasiswa senior.

Kami turun dari mobil dan disambut dgn teriakan pak Tutur Jatmiko serta bu Nanik Indahwati. 'Selamat datang, Prof (Prof, panggilan yg tdk terlalu saya sukai). Mereka adalah dua orang dosen FIK, yang di mata saya, begitu luar biasa. Bu Nanik (sebentar lagi doktor, tinggal menunggu ujian terbuka), adalah coordinator prakondisi peserta SM-3T. Sedangkan pak Tutur adalah koordinator kegiatan outdoor, termasuk pelatihan ketahanmalangan. Pengalamannya dalam menangani kegiatan outbond begitu terlihat dari caranya mengemas kegiatan prakondisi ini menjadi begitu bermakna: penuh tantangan, kedisiplinan, kerjasama, tanggung jawab, kemandirian, sekaligus kegembiraan. Saya seperti menemukan kekuatan baru dengan adanya bu Nanik dan pak Tutur, dua di antara tim inti program SM-3T yang sangat bisa diandalkan.

Ternyata saya dan mas Ayik datang bersamaan dengan bu Trisakti (doktor Seni Rupa), yang juga tim inti program SM-3T. Dia adalah koordinator rekrutmen. Komitmennya sangat mengagumkan. Dia orang yang super cermat, pekerja keras, dan sangat menyenangkan karena begitu humoris. Kalau pekerjaannya tidak kunjung selesai sementara deadline semakin mengejar, atau bila ada salah satu teman melakukan kesalahan prosedur, maka yang dilakukannya adalah melempar joke segar sehingga suasana kerja tetap menyenangkan meski di bawah tekanan, sepanjang hari. Kegemarannya memotret  membuatnya cepat terpisah dari kami, menyelinap di antara tenda-tenda peserta, bergerak dari satu titik ke titik yang lain, memotret ke sana kemari. Seperti halnya bu Nanik dan pak Tutur, bagi saya, bu Trisakti bagai tiang utama dalam bangunan SM-3T. Kinerjanya sudah sangat teruji.

Kami berempat, saya, pak Tutur, bu Nanik, dan bu Trisakti, membaur dengan peserta. Mereka baru saja melakukan berbagai aktivitas outdoor, dan sekarang sedang bersiap utk makan siang. Konsumsi makan sehari-hari harus mereka adakan sendiri, dengan sejumlah uang belanja yang disediakan panitia, dan jenis serta jumlah bahan pangan yang juga ditentukan panitia. Beberapa bahan pangan yang harus mereka bawa adalah nasi jagung, sagu, ikan asin, dan mie instan. Bahan segar bisa belanja di tempat perkemahan. Jadi siang itu kami menikmati bubur sagu yang dimasak peserta, di salah satu tenda. Bubur kental berwarna coklat tua dengan kuah santan. Gurih dan manis. Di tenda lain, peserta menyiapkan nasi jagung, ikan asin, dan sambal terasi utk makan siang mereka. Ada juga yang makan nasi putih dengan osen-oseng tahu tempe saja. Apa pun menunya, mereka semua makan dengan lahap. Ada yang menggunakan piring plastik, kertas lilin, kom nasi, kom sayur, dan yang membuat kami terpingkal-pingkal, ada juga yang menggunakan tutup dandang sabluk sebagai piring makan. Wah....wah....

Saya dan mas Ayik menyempatkan diri bergabung di tenda panitia, bersantap makan siang dengan menu utama rawon. Mas Ayik bahkan mendapatkan bonus pijet dari pak Tutur, karena kemarin dia habis jatuh dan kaki kanannya agak njarem. Dasar tukang guyon, mijetnya sambil berkelakar dan penuh dengan saling lempar olok-olokan. Kami juga menikmati jagung bakar dan mie instan di sebuah warung tenda di dekat tenda panitia. Ada juga belasan butir durian yang, karena kami sudah kekenyangan, memilih tdk ikut pesta durian.

Siang itu adalah momen yang begitu menyenangkan. Menikmati kebersamaan bersama orang-orang hebat. Di alam bebas. Di bawah rintik-rintik gerimis. Di antara pepohonan hijau yang tinggi menjulang. Berbaur dengan anak-anak bangsa yang penuh cita-cita dan harapan.

Dan yang lebih membahagiakan hati saya adalah ketika mas Ayik berkomentar: ini adalah hadiah ulang tahun yang luar biasa....

Minggu, 4 Desember 2011
Wassalam,
LN

Jumat, 18 November 2011

Sumba (6): Oleh-Oleh Khas - the end

Selepas dari kantor dinas PPO, Aryanto mengantar kami membeli oleh2 dulu sebelum menuju bandara. Kami beli bagia. Sebenarnya mungkin bukan makanan khas Waingapu. Tetapi aku tdk melihat alternatif lain karena selebihnya adalah kacang, jagung, mente, bakpia....yang tidak terlalu menarik utk kubawa sebagai oleh-oleh. Bagia, setidaknya, di kemasannya yang lumayan bagus, ada tulisannya diproduksi di
Waingapu.

Kami juga diantar ke Kota Raja, Preliu. Suatu tempat yang di dalamnya terdapat kampung yang semua kerabatnya adalah pembuat kain tenun. Ada makam besar, makam raja mereka, yang dikelilingi oleh makam kerabat-kerabatnya. Ada pohon besar sekali, usianya sudah ratusan tahun, yang di dahan utamanya, terpasang kepala-kepala kerbau yang sudah mengering. Kerbau-kerbau yang disembelih untuk peristiwa-peristiwa khusus, kematian, perayaan kelahiran, pernikahan, dan sebagainya. Di dahan pohon itu, terjuntai dua lembar kain, selembar kain untuk perang (mereka punya tradisi perang antar suku setiap tahun, di bulan Februari atau Maret, bersenjata kayu, dan dalam perang itu akan jatuh korban luka dan bahkan meninggal, tapi hukum tidak berlaku, kecuali hukum adat); selembar lagi adalah kain yang menceritakan kehidupan raja, kesehariannya, sampai pada meninggalnya (ada gambar makam raja di ujung kain tersebut).

Saya membeli beberapa lembar kain utk lenan rumah tangga. Untuk oleh-oleh mas Ayik, penyuka barang-barang seni. Sebagian mungkin bisa utk saudara dan sahabat. Juga selembar sajadah (di komunitas Sumba yang mayoritas Kristen dan Protestan, kain tenun dgn motif sajadah sangat jarang). Beberapa lembar kubeli di satu penjual, beberapa lagi kubeli di penjual yang lain, supaya tdk hanya membagi rezeki di satu penjual. Begitu juga pak Pram, dia membeli beberapa lembar kain, juga dua buah kalung khas Sumba, untuk anak perempuannya. Kalung khas Sumba yang asli, kata mereka harganya bisa mencapai puluhan juta. Kalung itu akan diwariskan dari orang tua ke anak, dari adik ke kakak, dan seterusnya. Terbuat dari tanah liat, berwarna kuning oranye. Perempuan Sumba yang sudah menikah biasanya memakainya, sampai mereka sudah menjadi nenek-nenek. Juga gelang, dari bahan yang sama. Dua orang nenek-nenek yang sedang menenun, kulihat mengenakan gelang itu di tangannya.

Pukul 11.00, kami sampai di bandara. Karena belum makan dari pagi, kami bertiga makan di kafe jawa, di bandara itu. Yang jual perempuan dari Tulungagung. Sudah 7 tahun tinggal di Waingapu. Awalnya ke Waingapu untuk kulakan kulit kerbau, bahan kerupuk rambak. Dia punya usaha pembuatan kerupuk rambak di Tulungagung. Lantas ketemu jodoh di Waingapu, dan menetaplah dia di Waingapu. Dia menjual nasi campur: nasi putih, oseng-oseng  tahu tempe, mie, sambel goreng daun pepaya dan pare, ikan goreng dan ayam kare. Kalau makan di situ, jangan kaget, meskipun yang jual orang sesuku (Jawa), harganya terlalu mahal. Mungkin karena kafenya (sebenarnya itu warung biasa saja, sangat biasa), nempel di dinding bandara. Tapi tetap saja, menurutku, harganya tidak rasional.

Kami lantas diantar Aryanto masuk ke ruang check-in. Dia bebas saja masuk, semua petugas sepertinya sudah mengenalnya. Baru di pintu masuk saja, kami sdh ditanya KTP oleh petugas. Aryanto meminta tiket kami dan membatu men-check in-kan. Selesai, kami lantas dibawanya ke tempat ambil boarding pass, dan masuklah kami  ke ruang tunggu. Di situ, kami berpisah dengan Aryanto. Anak manis itu melepas kami dengan sangat simpatik.

Ternyata ruang tunggunya cukup nyaman dan sejuk. Toiletnya, yang tidak terpisah untuk laki-laki dan perempuan, juga lumayan bersih. Beda dengan toilet yang ada di ruang kedatangan.

Dan saat ini, kami ada di antara para penumpang yang menunggu boarding. Kuhitung tidak lebih dari 25 orang termasuk anak-anak. Hanya sekitar 8 orang di antaranya yang nampaknya bukan penduduk asli NTT, termasuk kami. Pesawat Transnusa yang akan membawa kami menuju Kupang belum nampak batang hidungnya. Menurut jadwal yang tertera di tiket, kami akan terbang pukul 12.50. Mestinya sebentar lagi boarding.

Tidak ada satu pun pesawat yang parkir. Sepi. Hanya ada kereta bagasi penuh barang, menunggu diangkut. Petugas mengumumkan pesawat akan landing pukul 12.50. Berarti hanya sebentar saja terlambatnya, sekitar 5-10 menit.

Begitu pesawat datang, bagasi dimasukkan, dan masuklah kami semua ke dalam pesawat. Tenang, lancar, tertib. Dan transnusa pun terbang membelah angkasa.

Sekitar 45 menit kemudian, kami mendarat di El Tari. Kembali ke 'peradaban'. Kembali ke kerumunan, hiruk pikuk, dan ketergesa2an. Saya mulai bertemu banyak orang berjilbab di bandara (berhari-lari di Sumba, sangat jarang ketemu orang berjilbab). Bertemu dengan orang-orang  'moderen', dengan penampilan yang sangat beda jauh dengan orang-orang yang baru saja kami tinggalkan di Waingapu atau yang bersama-sama kami di pesawat. Seperti saya, tampaknya mereka juga sedang bertolak kembali ke kota masing-masing seusai menunaikan tugas atau dinas.

Menunggu boarding. Sebentar lagi kami akan terbang dengan Batavia. Transit beberapa saat di Denpasar. Insyaallah pukul 18.00 landing di Juanda. Setumpuk pekerjaan sudah berderet di kepalaku. Besuk tes akademik utk SM-3T di kampus, ngajar di pasca, berangkat ke Tretes utk pelatihan karya tulis bagi mahasiswa bidik misi, menyiapkan materi utk hari Rabu di Jombang, email materi untuk hari Sabtu di Sidoarjo, rapat, masak, korah-korah, bersih-bersih rumah...
.
Begitu berwarnanya hidup.

Kamis, 17 November 2011
Wassalam,
LN

Sumba (5): Ketulusan dan Kepolosan

Pukul 08.00, aku dan pak Pram sdh tiba di kantor Dinas PPO Sumba Timur diantar Aryanto. Tujuan kami adalah mengambil data dari dewan pendidikan dan dinas pendidikan, serta mengambil surat dari dinas pendidikan dan bupati utk rektor. Surat utk rektor merupakan surat permohonan supaya tes dan  kegiatan prakondisi SM-3T untuk peserta dari Sumba Timur dan sekitarnya bisa dilaksanakan di Waingapu.

Kami langsung menuju ke ruang kasubag pendidikan dan Olah Raga. Ibu Rambu, kasubag umum dan kepegawaian (baru dua hari berdinas. Kasubag yang lama, ibu Naomy, dimutasi ke dinas pertambangan, bersamaan dengan kedatangan kami di Sumba Timur Senin lalu), menemui kami. Meskipun sebelumnya saya selalu kontak dengan bu Naomy (bahkan sampai kemarin bu Naomy masih terus membantu kami), bu Rambu langsung nyambung ketika kami tanyakan tentang persiapan tes dan prakondisi. Artinya bu Naomy pasti sudah mengkomunikasikan semuanya pada beliau.

Surat dan data sudah di tangan. Kami disilakan masuk ke ruang kepala dinas utk pamit. Laki-laki tegap dan ramah itu menyambut kami dengan senyumnya, juga, seperti biasa, dengan rokok yang tdk lepas dari tangannya. Ruangan yang seharusnya sejuk itu menjadi pengap karena asap. Kami berbincang-bincang  tentang teknis pelaksanaan tes, berapa banyak petugas yang akan kami kirim dari Unesa, di mana tempatnya, dan sebagainya. Beliau menyampaikan harapan supaya pemerintah tidak hanya setengah-setengah dalam memperhatikan masyarakat di wilayah 3T seperti Sumba Timur. Menurut beliau, program ini akan menjadi program yang seolah hanya menebar garam di laut. Perlu diketahui, peserta SM-3T akan ditugaskan di wilayah 3T utk mengabdi selama setahun, berbeasiswa 2 juta per bulan, dan selepas program mereka akan memiliki tiket utk langsung mengikuti Program Profesi Guru (PPG), sehingga mereka akan memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik, adalah menjadi tuntutan yang tidak bisa tidak bagi siapa pun guru. Program seperti ini dikatakan sebagai program yang menebar garam di laut?

Saya sampaikan ke bapak Kadis, bagaimana pun ini merupakan bukti komitmen dan kepedulian pemerintah untuk mengembangkan SDM di wilayah 3T, mempercepat pembangunan pendidikan di daerah terpencil, sekaligus utk menyiapkan guru-guru  yang profesional, serta memuliakan profesi guru. Di benakku, wajah-wajah polos para peserta SM-3T melintas-lintas, sosok-sosok yang merindukan perhatian dan kepedulian akan nasib mereka. Puluhan sms di ponsel saya terbayang-bayang (saya memang memberikan nomer ponsel saya ketika sosialisai tempo hari, supaya mereka bisa langsung menghubungi saya bila ingin bertanya apa pun tentang SM-3T). Sms yang berisi ungkapan harapan, keluhan, dan doa untuk saya: terimakasih ibu sudah datang, sudah memberikan penjelasan pada kami semua, sudah berbuat utk kami, kami berdoa semoga ibu diberikan kekuatan dan kesehatan oleh Tuhan. Dan puluhan sms yang lain. Hampir setiap sms mereka selalu diakhiri dengan kata-kata: semoga Tuhan memberkati.

Saya jatuh cinta pada kepolosan mereka, pada ketidakberdayaan mereka, pada kemiskinan mereka. Tadi malam beberapa dari mereka nyambangi saya di hotel, menunggu kami datang dari Waikabubak. Hujan deras tidak menghalangi mereka utk datang. Tidak sampai hati rasanya melukai harapan dan kerinduan mereka. Semoga ini tidak sekedar sebagai program yang menebar garam di laut. Saya janjikan pada bapak Kadis, saya akan sampaikan pada pemerintah (dalam hal ini Dikti), agar tindak lanjut program ini tidak hanya berhenti pada pendidikan profesi bagi mereka, namun juga pemberian prioritas bagi peserta utk bisa diangkat menjadi guru.

Kamis, 17 November 2011
Wassalam,
LN

Kamis, 17 November 2011

Sumba (4): Keadaan Sesungguhnya…

Rabu, 16 November 2011

Tidak semanis yang kami bayangkan. Koordinasi jauh-jauh hari, bahkan sampai tadi malam pun masih berkoordinasi dengan Kasubag Dinas PPO dan Ketua Dewan Pendidikan, pagi ini, sampai pukul 10.00, kami hanya dibuat menunggu di ruang kadis. Dua orang datang dari SMK 1 Loli, seorang waka dan seorang lagi orang tua siswa. Ketika saya tanya, mana yang lain, mereka malah balik bertanya, siapa
yang lain, bu? Guru, komite, dan wakil dari DU/DI, tanyaku. Ternyata mereka tidak diinformasikan kalau harus datang bersama mereka semua. Bahkan ditelepon saja juga baru tadi pagi, dan hanya diminta membawa ortu.

Hampir setengah jam kemudian, datanglah seorang lagi. Kepala Sekolah SMK Lamboya. Sama dengan yang tadi, beliau juga tidak tahu kalau harus dating bersama guru, komite, dan sebagainya. Beliau baru rapat di ruang bupati, ditelepon oleh petugas dari dinas, diminta datang ke kantor dinas, karena ada
pengisian data dari direktorat. Hampir setengah jam kemudian, tiga orang datang. Dari SMK  Waikabubak. Seorang guru, seorang lagi wakil dari DU/DI, dan seorang lagi sekretaris komite sekolah.
Ya sudah. Kami harus puas. Ada kepala sekolah, ada komite sekolah, ada guru, ada orang tua. Semua terwakili. Maka kami bagikan instrumen utk mereka isi. Menjelaskan maksud pengisiannya, dan menyilakan mereka bertanya bila tdk memahami maksud pertanyaan/pernyataan dalam instrumen.

Tidak semudah yang kami bayangkan. Bahkan memahami butir-butir instrumen pun tidak mudah bagi mereka. Kami coba menjelaskan, mereka masih saja bertanya. Kalau kami memberikan pertanyaan, harus dijelaskan maksudnya berkali-kali. Itu pun kadang-kadang, meminjam istilah pak Pram, ditakoni ngalor jawabe ngidul.

Ruangan yang sejuk jadi terasa 'sumuk'. AC tidak ada. Kipas angin juga tadak ada. Orang-orang yang awalnya kuandalkan ternyata tidak memenuhi harapan. Overestimate. Capek juga rasanya. Sekaligus membuat kami prihatin. Seperti inikah kualitas SDM di sini? Daerah yang subur, namun tak nampak kaya-kaya penduduknya. Tanah subur yang seharusnya bisa digarap dan memberikan hasil bumi yang melimpah. Nyaris tidak ada industri yang bisa digunakan sebagai tempat praktik siswa, kecuali hotel-hotel kecil.

Utk bidang lain, harus pergi ke Bima, Denpasar, Mataram, dan Surabaya (untungnya dibiayai oleh Pemda). Fasilitas praktek sangat minim. Bahkan ada salah satu SMK, yaitu SMK 1 Lamboya, 27 km dari Waikabubak, listrik belum masuk ke sana. Mereka memiliki belasan unit komputer, tapi karena listrik pakai genset, kamputer hanya bisa dioperasikan maksimal 5, sehingga prakteknya gantian. Inilah 'SMK Sastra' itu. SMK dgn minim sarana prasarana praktek, dgn kemampuan SDM yang terbatas baik jumlah maupun mutunya, dan dengan lingkungan yang kurang mendukung.

Pengisian instrumen selesai pukul 14.00. Sesiang itu, hanya segelas teh dan dua-tiga potong pisang goreng yang masuk perut kami. Di sini tidak ada 'suguh-gupuh' seperti kebiasaan kita di Jawa. Tidak ada tawaran makan siang. Bahkan sekadar barbasa-basi pun, tidak ada.

Kami pamit pulang dan tidak jadi mampir ke sekolah2. Hujan turun cukup deras, dan ketua dewan pendidikan tidak merekomendasikan kami utk ke sekolah2 karena jalannya tidak cukup aman dalam kondisi hujan seperti ini. Maka kami langsung menuju Sumba Timur, setelah makan di warung Padang. Sepiring nasi, sayur daun ketela dan nangka muda, paru goreng, udang goreng, lengkap dengan sambal merah dan hijau....cukup utk cadangan energi menuju Waingapu.

Wassalam,
LN

Rabu, 16 November 2011

Sumba (3): Masyarakat dan Alam Sumba Barat

Pukul 14.30 waktu Waingapu. Siang ini kami bergerak menuju Sumba Barat. Ditemani Ariyanto, pemuda kelahiran Kupang, yang namanya sama sekali tdk berbau Kupang. Pemuda lajang 28 tahun, jangkung, kulit sawo matang, wajahnya seperti kebanyakan orang Sumba, dan rambutnya ikal. Dia berkalung berbahan monel, berbandul salib, dengan gelang-gelang  besar dari bahan yang sama. Waktu saya tanya kenapa masih melajang, bukankah gadis Sumba cantik-cantik, dia bilang, ya betul, ibu, cantik-cantik, tapi
mahal. Saya harus mengumpulkan uang dulu untuk beli kuda dan kerbau untuk menebusnya. O o..... Ariyanto kami sewa bersama mobilnya utk mengantar kami ke Sumba Barat. Tujuan ke Sumba Barat semata-mata utk mengumpulkan data komite sekolah.

Jalan menuju Sumba Barat berkelok-kelok, naik-turun, dengan perbukitan kapur di sisi kanan-kirinya, berseling dengan lembah dan ngarai, serta jurang-jurang yang curam. Pada beberapa bagian mengingatkanku pada rute antara Ponorogo dan Pacitan, beberapa bagian mengingatkanku pada pelosok Tuban, Bojonegoro, Lamongan, yang gersang dan kekurangan air. Sempat kami melihat serombongan perempuan dan anak-anak  bergerombol dengan menenteng jurigen-jurigen, mereka sedang mengantri untuk mendapatkan air.

Beberapa kilometer sebelum memasuki Lewa, sekitar 50 km dari Waingapu, ada serombongan anak dan remaja membawa kom plastik di tangannya, berisi dagangan yang dijajakan pada para pengendara. Jagung rebus dengan kulitnya, kacang rebus, telur rebus, dan juga-yang khas-adalah buah sirih. Yang terakhir ini biasa dikunyah-kunyah dengan kapur (di Jawa namanya 'nginang'), oleh para wanita maupun
pria, sehingga melihat mulut mereka, gigi dan bibir yang merah kecoklatan adalah pemandangan biasa.

Aku membeli jagung rebus 10 ribu, dapat 6, yang 3 dari seorang gadis kecil berusia 8 tahunan, dan 3 lagi dari seorang gadis belasan tahun. Wajah manis mereka penuh peluh dan nampak lelah. Sekantung kacang rebus yang sepertinya sudah tidak segar lagi, kubeli dari seorang bocah lelaki belasan tahun yang
nafasnya ngos-ngosan karena memburu mobil kami.

Beberapa kali kulihat segerombolan kuda yang sedang merumput (mungkin kuda-kuda itulah yang menghasilkan susu kuda liar), kerbau yang beriringan, dan puluhan sapi menyeberang jalan. Rumah-rumah panggung beratap tinggi menjulang, atau rumah-rumah khas Sumba yang beratap jerami. Anak-anak  belasan tahun yang kulitnya hitam legam,  sedang bekerja bermandi peluh ikut melakukan pekerjaan memperbaiki jalan.

Jarak satu rumah dengan rumah yang lain sangat jauh, kadangkala puluhan kilometer. Saya membayangkan, apa yang mereka makan, di mana mereka membeli kebutuhan sehari-hari, dan apa yang dilakukan anak-anak mengisi waktu senggangnya, di mana mereka bersekolah. Sejauh perjalanan yang sudah kami tempuh, sekitar 2 jam dari Waingapu, aku hanya melihat 1 sekolah. Tepat di jalan
yang berkelok tajam, dan sekolah itu ada di bawah sana.

Semakin menjauh dari Sumba Timur, keadaan alamnya semakin subur. Pemandangan hijau dan rimbun di mana-mana, air melimpah di sawah dan rawa-rawa, beberapa rumah sedikit lebih modern, dengan parabola bertengger di salah satu sudut di halamannya. Aku baru tahu kalau mereka harus punya parabola utk bisa melihat TV. Menurut Ariyanto, hanya rumah-ramah yang ada parabolanya itulah yang punya TV. Wah, kalau begitu TV pasti masih menjadi barang mewah bagi mereka, karena kalau beli TV juga harus beli antene parabola. Dan memang tidak banyak rumah yang memiliki parabola; sampai menjelang masuk kabupaten Waikabubak, kuhitung hanya belasan.
Dan tentu saja, kemiskinan tetap mendominasi. Seringkali kulihat para wanita menyunggi jurigen berisi air di kepalanya, atau anak-anak usia sekolah yang bekerja di pinggir-pinggir jalan, dengan wajah lelah dan pakaian lusuh mereka.  Jam di tanganku menunjuk angka 17.00. Masih sekitar dua jam lagi kami mencapai Waikabubak, ibukota Sumba Barat. Nicky Astria mendayu-dayu melantunkan lagu-lagu yang kukenal tapi lupa judulnya. Ariyanto, driver kami, memegang kemudi menyusuri jalan yang meliuk-liuk. Kuperhatikan, kecepatan rata-ratanya cuma sekitar 60 km/jam. Aku senang caranya pegang kemudi. Rileks, fokus. Membuat kami merasa nyaman utk tetap beraktivitas. Aku mebuka laptop, mengecek berkas-berkas dari peserta SM-3T karena hasilnya harus segera kukirim ke Surabaya, melalui sms tentu saja, karena internet tdk bisa. Pak Pram sibuk mengabadikan hampir setiap jengkal pemandangan yang ditemuinya.

Tiba di Waikabubak, kami langsung ke hotel Kuranto. Menurutku lebih tepat disebut penginapan. Bu Titin Gah, kasubag Umum dinas PPO Sumba Barat, sudah menunggu kami. Orangnya cantik, khas Sumba, matanya bulat tajam, terkesan cerdas. Beliau memastikan besuk pagi kami bisa bertemu dengan kepala sekolah, komite sekolah, guru, DU/DI, dan orang tua siswa di kantor dinas. Tak berapa lama, ketua dewan pendidikan datang. Pensiunan pejabat dinas, sudah berumur, tapi masih enerjik. Senang kami merasakan sambutan hangatnya.

Kami membicarakan teknis kegiatan besok. Pengisian instrumen dilakukan di kantor dinas. Semua responden sdh dihubungi. Setelah itu, saya akan mampir ke sekolah-sekolah sebelum bertolak ke Sumba Timur. Ketua dewan pendidikan nampaknya berharap betul saya bisa ke sekolah-sekolah.

Tapi ada yang menggelisahkan saya. Pak Pram asam uratnya kumat. Kakinya diseret ketika turun dari mobil, dengan wajah meringis menahan sakit. Semper. Walah. Ini pasti gara-gara makan mie goreng semalam. Mie dengan minyak yang klomoh, pakai kol. Meskipun sebenarnya pak Pram sudah menyisihkan kol-nya supaya tidak 'katut' termakan, tapi tentu saja tidak mungkin menyisihkan minyaknya. Wah wah wah....bisa diprotes aku sama istrinya....

Wassalam,
LN

Selasa, 15 November 2011

Sumba (2): Ketemu Bupati, Misi Sukses

Pukul 7.30. Kami sudah di lobi, menunggu pak Minggus menjemput kami. Tujuan pertama pagi ini adalah ke kantor kabupaten. Saya akan mengantarkan surat dari rektor Unesa, surat pemberitahuan tentang program SM-3T dan menjajagi kerja sama dalam bentuk penandatanganan MoU. Tapi tentu saja, saya tidak bermaksud sekadar
mengantarkan, saya akan meminta langsung bertemu dengan Bupati. Sudah kuniatkan untuk bisa bertemu, tanggung, jarak sudah kutempuh sejauh ini, terlalu banyak sumberdaya yang dikorbankan kalau hanya sekedar mengantar surat.

Kantor kabupaten Sumba Timur sangat sederhana. Jauh lebih sederhana dibanding dengan kantor-kantor pemerintahan di daerah kabupaten di Pulau Jawa. Tidak ada kesan 'untouchable' seperti kantor-kantor kabupaten yang sering kulihat, dengan halaman luas dan berpagar, dengan satpam berjaga di pintu masuk.

Beberapa pegawai sedang berbincang-bincang di dekat pintu masuk kantor yang tampak dari luar masih sepi, namun ternyata di dalam ruangan sudah ramai. Kami melihat ada salah seorang pejabat yang mengenakan pakaian adat (katanya namanya malambung), kain khas Sumba yang dililitkan di bagian bawah sebagai pengganti celana
panjang, dengan ujung kain yang menjuntai ke bawah. Di pinggang mereka terselip golok. Kepala mengenakan kain yang sama, yang diikatkan, tidak menutup seluruh bagian kepala.

Setelah bertemu dengan sekretaris pribadi bapak bupati di lantai 2, kami dijanjikan bisa ketemu bupati pada sekitar pukul 11.00. Pagi ini, mulai pukul 09.00, akan ada acara pembukaan sidang DPR. Termasuk juga kepala dinas PPO, juga akan mengikuti acara. Maka meluncurlah kami ke kantor dinas PPO, supaya bisa bertemu dengan Kadis sebelum beliau mengikuti acara pembukaan sidang.

Beruntunglah kami. Pak Kadis sudah hadir, dan kami disilakan petugas untuk langsung menemui beliau. Masuklah kami ke ruangan kadis. Ruangan itu tidak terlalu luas, ber-AC, tapi penuh asap rokok. Aku langsung berasa pengap. Ruangan ber-AC yang penuh dengan asap rokok. Berapa banyak racun yang telah dihisap oleh sekretaris pak kadis yang cantik itu, dan beberapa staf di ruangan itu, mengingat mereka mungkin sudah bertahun-tahun di ruangan tersebut, dengan status sebagai perokok pasif.

Pak Kadis, posturnya tinggi besar, berkulit hitam, bermata tajam. Ramah. Beliau mengenakan busana adat juga, seperti yang kami lihat di kantor kabupaten tadi. Yang beliau ucapkan pertama kali adalah permohonan maaf karena kemarin tidak bisa menemui kami. Kemudian beliau meminta kami menjelaskan program SM-3T dan
bagaimana pelaksanaan seleksinya nanti. Saya kemukakan kronologis program tersebut, program dikti yang diluncurkan di penghujung tahun, dan betapa kami semua 'kepontal-pontal' untuk melaksanakannya. Saya kemukakan juga harapan peserta dari Sumba Timur yang ingin tes diadakan di Sumba Timur. Konsekuensi dari hal itu adalah Unesa harus mengirim petugas ke Sumba Timur. Dan itu berarti pemerintah kabupaten harus mengalokasikan sejumlah dana untuk transport, akomodasi, dan lumpsum.

Pembicaraan dengan pak Kadis terputus karena beliau harus segera ke kantor kabupaten untuk mengikuti acara pembukaan sidang DPR. Kami berjanji akan bertemu lagi jam 11 di ruang bapak bupati. Dinas tidak punya anggaran untuk memfasilitasi tes di Sumba Timur, dan akan mengajukan anggarannya ke bupati. Kebeneran, karena saya juga akan menyampaikan rencana MoU dengan bapak bupati.

Sejak pukul setengah sebelas, saya dan pak Pram sudah duduk di ruang tunggu kantor kabupaten di lantai 2. Sekitar pukul 12, pak bupati muncul. Lengkap dengan busana adatnya. Beliau menyapa kami, dan menyilakan kami untuk masuk ke ruangannya yang cukup luas. Lantas berbincanglah kami tentang program SM-3T. Saya katakan bahwa pimpinan Unesa memberikan prioritas untuk Sumba Timur. Oleh sebab itu, saya ditugaskan khusus ke Sumba Timur untuk keperluan mendiskusikan program tersebut.

Pak bupati bersedia mengupayakan dana untuk memfasilitasi tes bisa dilakukan di Sumba Timur. Beliau juga berkenan untuk menjalin kerja sama dengan Unesa dalam bentuk penandatanganan MoU. Alhamdulilah, misi berhasil.

Sebelum pamit, kami meminta izin untuk berfoto bersama. Bukan sekadar karena beliau adalah bupati dan kepala dinas PPO, orang-orang penting di Sumba Timur. Lebih dari itu, karena busana adat beliau yang unik. Sayang kalau dilewatkan. Jarang melihat orang berdasi dengan dasi menjuntai di bawah pusar....


Wassalam,
LN