Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 17 Mei 2012

Dari Ratu Gurih sampai Gogos


Empat hari di Makassar, dalam rangka mengikuti Konvensi Nasional Aptekindo dan International Seminar on TVET, kami dimanjakan dengan beragam makanan khas kota anging mamiri ini. Hari pertama, dari Bandara Sultan Hasanuddin, kami dijemput bus panitia, yang terdiri dari dosen dan mahasiswa UNM. UNM menjadi tuan rumah dalam kegiatan tahun ini. Panitia yang ramah, hangat, bersahabat. Jauh dari kesan brutal dan beringas yang sering ditayangkan di berbagai stasiun TV dan media cetak, ketika meliput para mahasiswa Makassar bertindak anarkis dalam tawuran antar mahasiswa atau dalam demo-demo menentang kebijakan kampus dan pemerintah.

Dari bandara, kami langsung dibawa menuju restoran Ratu Gurih. Ibu Juhrah, PD 2 FT, yang asli Bugis, ternyata sudah memesan sebelumnya, dibantu dengan saudara-saudaranya yang memang tinggal di Makassar. Hidangan sudah tertata di atas tiga deret meja panjang, di lantai dua restoran itu.  Hidangan serba hasil laut. Ada baronang, kerapu, kepiting, cumi-cumi, dan udang. Ada yang digoreng, dibumbu asam manis, digoreng krispi, dibakar tanpa bumbu dan berbumbu. Ada juga beberapa pinggan ayam goreng, tentu saja ayam kampung, yang digoreng empuk. Disediakan untuk kita yang tidak mengonsumsi ikan, atau tidak suka ikan.  Juga beberapa mangkuk sayur asam dan tumis kangkung yang menggugah selera. Dan, selalu, adalah otak-otak khas Makassar yang kenyal dengan sambalnya yang lezat.

Dari restoran Ratu Gurih, kami ke hotel, mandi, bersiap untuk mengikuti acara pembukaan. Pak Mendikbud, yang dijadwalkan membuka acara, ternyata tidak hadir. Beliau diwakili Wamendikbud. Acara berlangsung dengan lancar, dalam suasana yang meriah, hangat, dilengkapi dengan suguhan kesenian khas Makassar. Namun hidangan makan malamnya, yang sebenarnya sangat beragam, berlimpah dan mewah, standar hotel. Mulai dari appetizer, main course, sampai dessert, tidak ada yang spesial. Standar.

Hari kedua, sesi demi sesi kami lalui dengan baik. Prof. Muchlas datang setelah sesi pertama berakhir, langsung dari Surabaya. Setelah beramah-tamah sebentar dengan panitia dan para sahabat serta 'penggemar', beliau ngumpet di meja panitia. Rupanya beliau belum selesai mempersiapkan power point untuk presentasi di kelompok empat nanti sore. Ketika sesi pak Fasli Jalal, pak Muchlas sudah bergabung di ruang sidang pleno, dan beliau sempat sms saya, supaya saya bisa mendapatkan file power point materi pak Fasli, yang memang sangat bagus dan penting.

Malamnya, panitia membawa kami ke auditorium UNM. Hujan deras menyambut kedatangan kami di kampus yang dulunya bernama IKIP Ujungpandang itu. Banjir sampai di atas mata kaki memaksa kami harus melepas sepatu ketika turun dari bus, masuk ke teras auditorium. Setelah mencuci kaki dan mengenakan sepatu kami kembali, kami masuk ke ruang besar auditorium yang di dalamnya sudah penuh makanan khas Makassar. Coto Makasar, sop sodara, sop konro, mie titi, otak-otak, dan buras. Benar-benar 'sumbut' dengan hujan dan banjir yang harus kami terjang demi mencapai tempat ini. Sambil menikmati makan malam yang semuanya 'kelas berat' itu, kami dihibur dengan penyanyi-penyanyi dadakan yang diiringi musik electone.

Hari ketiga, setelah makan pagi dengan menu standar hotel, kami mengikuti acara yang dibagi dalam beberapa forum: jurusan, dekan, dan guru besar. Kami dimanjakan lagi dengan kue-kue khas Makassar yang legit: barongko, kue nangka, talam, dan banyak kue-kue manis yang lain. Benar-benar manis dan legit. Sebenarnya saya tidak terlalu suka manis, tetapi demi sebuah 'petualangan', saya mencoba hampir semua kue yang disajikan.
 

Selesai acara penutupan, dilanjutkan dengan acara rekreasi. Panitia menyediakan beberapa bus untuk mengangkut sekitar 300 orang peserta konvensi, untuk mengunjungi beberapa objek wisata di Makassar, dua di antaranya adalah Benteng Rotterdam dan Bantimurung. Karena kedua tempat wisata itu baru saja saya kunjungi tiga minggu yang lalu, saya memilih tidak ikut. Apalagi Prof. Ardi, ketua LPM UNM, menawari saya dengan 'setengah memaksa', supaya saya ikut saja dengan beliau. Maka melajulah saya dan Prof. Ardi, dengan mobil dinas beliau, dan pak Cung, driver LPM, menuju Lae-Lae. Kerapu, baronang, telur ikan, cumi-cumi, menjadi santap siang kami bertiga. Tentu saja, sebelum semua makanan yang kami pesan itu tiba, selalu, otak-otak menjadi makanan pembukanya. Kata Prof. Ardi, otak-otak harus dihabiskan dulu sebelum kami makan nasi, karena kalau sudah makan nasi, otak-otak sudah tidak lezat lagi.

Keluar dari Lae-Lae, sekali lagi, Prof. Ardi memaksa saya untuk membeli oleh-oleh. Sebotol minyak tawon, dua botol minyak kayu putih, beberapa snack khas Makassar, beliau hadiahkan untuk saya. Sebenarnya beliau meminta saya untuk mengambil apa yang saya suka, tapi saya menolaknya. Saya menyerahkan pada 'kebijaksanaan' beliau.

Selepas maghrib, Dr. Hazaruddin, dosen PGSD UNM, menelepon saya. Beliau, diantar putranya, sedang meluncur ke Adhyaksa, hotel tempat saya menginap. Pak Hazar adalah teman saya di S3 UM. Setelah ngobrol sebentar di Adhyaksa, kami memutuskan untuk meluncur ke hotel Panakukang. Ada teman S3 kami juga di sana, yaitu Dr. Ridwan, dari UNP.
 

Maka bertemulah kami sebagaimana teman lama bertemu. Kembali mengenang masa-masa kuliah dengan segala suka dukanya. Pak Hazar dan Pak Ridwan adalah mahasiswa paling rajin di kelas kami yang hanya terdiri dari tujuh orang. Ya, karena selama kuliah, mereka menetap di Malang, pulang ke kampung halaman hanya kalau penting saja, bahkan liburan semester pun lebih banyak mereka habiskan di Malang. Sementara kami berlima adalah penduduk Malang dan sekitarnya. Tiga dari Malang, satu dari Kediri, dan satu lagi adalah saya sendiri. Yang paling sering mbolos adalah saya. Tapi, kata pak Ridwan, meskipun saya tukang mbolos, saya tidak pernah telat mengumpulkan tugas, dan bersama pak Hazar, saya lulus paling cepat di antara teman-teman yang lain.  Bahkan untuk beberapa matakuliah yang menjadi momok, salah satunya adalah Psikologi Lanjut yang diajar Prof. Raka Joni, banyak yang tidak lulus, tapi saya mendapat nilai A. Sekarang, pengalaman-pengalaman itu menjadi cerita yang menggelikan untuk dikenang bersama.

Tidak puas hanya bercengkerama di lobi, kami meluncur dengan mobil pak Hazar menuju Pantai Losari. Apa lagi yang dicari kalau bukan pisang epek? Jajanan yang bagi saya tidak terlalu spesial itu memang menjadi makanan khas Pantai Losari, yang menurutku, pantainya juga tidak terlalu spesial. Kotor, kurang terawat, dan pengamennya itu....  Namun karena hati sedang bergembira, ditambah dengan semilir angin pantai yang sejuk, pisang epek rasa durian yang kami pesan terasa begitu nikmat. Putra pak Hazar, Adi namanya, begitu cekatan melayani kami, dan dia nampaknya ingin ayahnya benar-benar menikmati kebersamaan bersama teman-teman lamanya ini.   
 

Pagi harinya, saya kembali bergabung dengan teman-teman dari Unesa. Selepas shubuh, dipimpin oleh ibu Juhrah, kami sudah berkumpul di lobi. Tujuan kami pagi ini adalah Pantai Losari. Meskipun semalam saya sudah ke sana, tetapi demi kebersamaan, saya bergabung. Lagi pula, ada yang ingin saya cari. Gogos. Makanan ini  terbuat dari beras ketan hitam atau putih yang dimasak dan dikemas mirip lemper (tapi tanpa isi), dimakan dengan telur asin dan sambal. Yang spesial menurut saya adalah telur asinnya. Kuning telurnya berwarna oranye dan masir. Rasa asinnya pas sekali. Maka ketika pagi itu teman-teman sarapan bubur ayam atau nasi kuning, saya dan beberapa teman menikmati gogos.

Selepas dari Pantai Losari, meluncurlah kami ke pusat oleh-oleh, namanya toko Ibu Elly. Sasarannya adalah otak-otak, sirup markisa, dan sirup pisang (DHT). Tiga komoditi itu memang selalu menjadi oleh-oleh wajib kalau saya pergi ke Makassar. Arga hobi makan otak-otak, mas Ayik suka sirup markisa, dan saya memerlukan sirup pisang yang merah segar itu untuk membuat es palubutung. Es palubutung buatan saya sangat disukai Arga dan bapaknya. Suatu ketika, ada acara makan bersama di jurusan PKK, saya membuat es palubutung untuk hidangan penutupnya. Nampaknya, teman-teman juga menyukainya.
 

Empat hari di Makassar. Empat hari yang padat. Bertemu banyak orang hebat, mendulang banyak pengetahuan dan wawasan baru, dan membangun jaringan. Empat hari, dari Ratu Gurih, Lae-Lae, Pisang Epek, dan Gogos.

Makassar, 3-6 Mei 2012
   
 
LN

Minggu, 13 Mei 2012

SM-3T, Klimaks

Nampaknya saat ini adalah saat klimaks program SM-3T. Begitu banyak persoalan yang terjadi di lapangan. Mulai dari peserta yang diusir dari rumah tempat mereka tinggal selama ini, peserta yang melanggar nilai-nilai susila, peserta yang sakit (seperti biasanya), dan peserta yang terindikasi sedang menjalin hubungan dekat dengan perangkat kecamatan/desa, pemuda setempat, atau dengan sesama peserta SM-3T sehingga mengundang pandangan negatif.

Dua peserta yang diusir dari rumah tempat mereka tinggal itu, dituduh telah melakukan pencemaran nama baik atas seorang warga yang notabene adalah guru di sekolah tempat mereka mengajar. Guru itu sudah dianggap sebagai ibu mereka. Ketika mereka mendapatkan masalah, dengan maksud untuk berterus-terang, mereka mengungkapkannya pada guru tersebut. Tapi apa yang terjadi?

Entah karena caranya yang salah, atau karena hal lain, keterus-terangan mereka justeru membuat guru itu berang. Mereka dianggap mengada-ngada. Guru itu, yang juga adalah pemilik rumah yang mereka tinggali, marah besar, dan mengusir mereka dari sekolah, bahkan dari desa tersebut. Kebetulan suami guru itu adalah ketua komite sekolah, seorang pendeta, dan sangat berpengaruh di desa itu.  Kabarnya, kedua anak itu harus menyembelih babi untuk mengembalikan nama baik keluarga guru tersebut, namun tetap harus pergi dari desa dan sekolah. Sampai saat ini, kami masih terus berkoordinasi dengan dinas PPO untuk mengurai masalah tersebut.
    
Kondisi pelosok Sumba Timur yang sepi (namanya saja pelosok), jauh dari keramaian dan hiburan, kultur masyarakat tradisionalnya yang sulit diajak untuk melakukan sesuatu yang baru, yang mungkin berarti bagi kemajuan dan peningkatan taraf hidup mereka; membuat para peserta SM-3T ini seperti kurang kerjaan. Energi mereka yang berlebih menyebabkan mereka mulai berbuat aneh-aneh.  

Mereka pada umumnya berangkat dengan idealisme tinggi, dan terus memegang idealismenya. Bekerja dengan sepenuh hati untuk memajukan sekolah dan masyarakat tempat mereka mengabdi. Meskipun kepala sekolah tidak hadir karena jarak rumah dan sekolah yang sangat jauh dengan medan yang sangat sulit (sampai saat ini, ada satu sekolah, yang kepala sekolah hanya datang 6 kali; selama hampir 6 bulan), tidak ada pengawas, guru-guru PNS yang seringkali dihinggapi sakit M (Malas), peserta SM-3T tetap memegang teguh komitmen. Berbagi tugas mengisi kelas-kelas yang kosong karena guru yang seharusnya mengajar tidak masuk, memberi pelajaran tambahan bagi MPB (murid peringkat bawah) yang belum bisa baca tulis dan bagi siswa-siswa lain yang memerlukan, bergaul dengan masyarakat sekitar, bercocok tanam, dan melakukan aktifitas positif yang lain.

Namun bagi mereka yang tidak kuat memegang komitmen, hal-hal yang menjurus ke pelanggaran norma dan etika umum mulai dilakukan. Kultur di Sumba Timur, jujur saja, masih sangat kental dengan adat dan kebiasaan yang berlawanan dengan nilai-nilai luhur yang kita anut pada umumnya. Minuman keras menjadi minuman pembuka atau penutup di berbagai pertemuan resmi. Di situ, mulai dari pejabat dari kabupaten, perangkat kecamatan dan desa, kepala sekolah dan guru-guru, sangat leluasa minum-minuman; bahkan di depan murid-muridnya. Beberapa peserta SM-3T yang tidak 'kuat iman', terindikasi ketularan kebiasaan tidak terpuji itu.

Oleh karena setiap hari para peserta itu bergaulnya dengan teman yang itu-itu saja, maka berlakulah pepatah Jawa 'tresno jalaran soko kulino'. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa mereka adalah anak-anak muda yang sedang pada usia-usia 'masa kawin'. Beberapa pasang di antara mereka sudah 'jadian', mungkin puluhan. Ada yang dengan sesama peserta SM-3T Unesa, ada yang dengan peserta SM-3T universitas lain (di Sumba Timur, selain Unesa, juga ada UNM dan Unima). Yang bikin pusing dan perut mulas adalah kalau mereka jadian dengan orang-orang setempat, mulai dari pemuda desa, pegawai kecamatan, atau bahkan camat. Mereka selalu berusaha mencari kesempatan untuk plesir, kadang-kadang 'dibela-belain' meninggalkan tugas di sekolah. Tentu hal seperti ini sangat mengundang pandangan negatif, dan bisa merusak citra SM-3T dan sosok guru ideal yang sedang dipersiapkan melalui program ini. 

Bulan ini kami memulangkan tiga peserta karena melakukan pelanggaran berat. Tentu saja atas persetujuan Rektor dan Kepala Dinas PPO Sumba Timur. Prinsipnya, peraturan harus ditegakkan. Sekali kita membiarkan mereka melanggarnya, maka seterusnya mereka akan terus melakukan pelanggaran. Dikti memuji tindakan tegas kita, dan menyatakan hal itu juga akan diberlakukan di universitas lain penyelenggaran SM-3T.
Mereka ditugaskan sebagai 'agent of change', seharusnya menularkan hal-hal baik untuk membawa perubahan. Tidak justeru larut dan menjadi bagian dari tradisi negatif yang melanggar norma umum dan kesusilaan.

Puluhan peserta kami panggil atau kami beri peringatan keras, dan bila tidak ada perkembangan ke arah yang baik, maka tidak ada pilihan lain, mereka juga harus pulang. Pulang, tidak berarti hanya pulang saja. Namun juga harus mengembalikan seluruh biaya yang sudah mereka terima, mulai dari biaya tes, prakondisi, pemberangkatan, asrama, serta insentif dan bantuan biaya hidup. Sesuai kontrak yang mereka tandatangani, bila mereka melanggar perjanjian, misalnya karena melakukan tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai agama/moral/susila, apalagi kalau dinilai sebagai pelanggaran berat, maka mereka harus membuat surat pernyataan mengundurkan diri dari program SM-3T dengan segala konsekuensinya. Tiga peserta itu, telah melakukan penandatangan surat pengunduran diri dan kesanggupan untuk mengembalikan semua biaya yang sudah mereka gunakan/terima.

Inilah episode terberat SM-3T. Sebagai ibu mereka, sebenarnya hati saya teriris ketika melepas mereka. Bagaimana pun mereka telah menjadi bagian dari kami. Dalam waktu yang tidak singkat. Berbagi suka-duka bersama dalam segala situasi.
Apalagi semua dari mereka yang harus pulang itu adalah dari keluarga yang tidak berada. Mengembalikan semua biaya yang sudah mereka terima tentu akan menjadi beban berat tersendiri bagi mereka dan keluarganya.

Tapi kesempatan emas ini telah mereka sia-siakan. Hidup adalah pilihan. Dan setiap pilihan mengandung konsekuensi. Semua ini akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka, juga bagi teman-temannya yang lain, dan bagi kami semua.

Semoga
    
Umalulu dan Rindi, 9-12 Mei 2012

LN

Jumat, 04 Mei 2012

Simpati untuk SM-3T

Sekitar dua minggu yang lalu, saya menerima telepon dari seorang guru di Taman, Sidoarjo. Beliau memberitahukan bahwa beliau sedang menghimpun bantuan baju seragam sekolah dari siswa-siswa kelas 6 SD dan kelas 3 SMP yang sebentar lagi lulus. Ya, tentu saja baju seragam layak pakai. Baju seragam ini akan disumbangkan kepada anak-anak sekolah di Sumba Timur melalui Program SM-3T Unesa. Beliau, bapak itu, salah satu putrinya sedang mengikuti program SM-3T Unesa. Cerita tentang kondisi memprihatinkan anak-anak sekolah di Sumba Timur yang beliau dengar dari putrinya, mendorong beliau dan guru-guru yang lain berinisiatif untuk menggalang bantuan seragam sekolah layak pakai.

Sebelumnya, dua orang mahasiswa dari jurusan Psikologi dan Konseling FIP Unesa menemui saya. Mereka membawa proposal penggalangan bantuan untuk Sumba Timur. Di proposal itu, tertuang bahwa para mahasiswa yang bergabung dalam BEM Jurusan BK sedang melakukan penggalangan 10 ribu buku. Mereka merangkul semua BEM jurusan di lingkungan Unesa, bahkan juga dari perguruan tinggi di luar Unesa. Buku itu akan disumbangkan untuk sekolah-sekolah dan siswa-siswa di Sumba Timur, melalui program SM-3T. 

Kemarin, setelah upacara Hardiknas di rektorat, saya bertemu dengan Miftah, gadis manis yang menjadi koordinator kegiatan penggalangan buku itu. Dia mengabarkan, saat ini sudah terkumpul 1500 buku. Melalui upayanya dan teman-temannya, pertamina insyaallah juga akan memberikan sumbangan buku-buku baru dari berbagai penerbit, dan bahkan ada kemungkinan memberangkatkan beberapa mahasiswa ke Sumba Timur, untuk melakukan kegiatan penyerahan sumbangan buku tersebut.

Sampai saat ini, di kas SM-3T sudah terkumpul dana sekitar Rp. 10.000.000,- dari berbagai sumber: FIP, FMIPA, FBS, bahkan dari ISWI, dan dari berbagai sumber yang lain secara pribadi. Dana itu kami kumpulkan untuk membeli baju seragam anak sekolah. Kami telah memesan 1000 stel baju seragam, untuk siswa kelas 1 sampai dengan kelas 5 SD, seragam laki-laki dan perempuan. Tentu saja, jumlah 1000 seragan itu masih sangat-sangat jauh dari kebutuhan sesungguhnya. Harga seribu stel baju seragam itu mencapai sekitar 35 juta. Seiring dengan berjalannya waktu, kami yakin, dana akan terus mengalir dari mana-mana, dan biaya pemesanan baju seragam sekolah itu akan bisa terbayar, bahkan kami bisa melakukan pemesanan kedua dalam jumlah yang lebih banyak. Who knows? Bukankah Tuhan Maha Kaya?

Sumbangan barang juga terus mengalir: baju layak pakai, obat-obatan, buku-buku, dan alat-alat sekolah. Sebagian dari bapak ibu dosen FIP, FIS dan FMIPA. Beberapa dari orang-orang yang baru saya kenal, yang mengaku dirinya sebagai alumni. Ada juga dari mahasiswa, temannya mahasiswa, dan temannya teman mahasiswa. Senang dan bangga menyadari begitu banyaknya orang yang peduli, dan benar-benar menunjukkan bukti kepeduliannya.

Problem yang saat ini muncul adalah bagaimana mengirim semua bantuan itu. Dua hari yang lalu, kami sudah menjajagi kemungkinan pengiriman melalui jasa ekspedisi, ternyata biayanya sangat mahal. Tiga puluh lima ribu rupiah per kilo. Jauh lebih mahal dibanding dengan biaya kelebihan bagasi kalau kita naik pesawat, hanya 10 ribu per kilo. 

Alhamdulilah, Tuhan memang Maha Pengasih. Di tengah kebingungan kami, seseorang dikirimkan untuk membantu memberi jalan keluar.

Dialah mas Wahju. Sosok di belakang layar berbagai gerakan luar biasa yang telah dilakukan IKA Unesa. Laki-laki flamboyan yang tampan, baik hati, ramah, dan penuh perhatian. Juga, tentu saja, kaya. Kaya harta dan, yang lebih penting, kaya hati. Hanya dengan telepon sana telepon sini, insyaallah, masalah biaya pengiriman bantuan untuk anak-anak sekolah terpecahkan. 

Terimakasih, mas Wahju.... 

Betapa indahnya pertemanan. Betapa indahnya kepedulian. Betapa indahnya kebersamaan.

Wassalam,
LN

Kamis, 03 Mei 2012

Konvensi Aptekindo

Landing di Sultan Hasanuddin Airport pada 12.40 WIT. Ada 34 orang dalam rombongan Unesa. Dua orang dari Prodi S2 PTK (saya dan Dr. IGP Asto), selebihnya adalah pejabat di lingkungan FT, mulai dari dekan, semua pembantu dekan, kajur dan jajarannya. 

Hari ini sampai tanggal 6 Mei nanti, kami akan mengikuti Konvensi Nasional ke-6 Aptekindo (Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan) dan Temu Karya ke-17 FT/FPTK-JPTK se-Indonesia. Selain konvensi dan temu karya, kegiatan ini juga dipadukan dengan seminar internasional TVET (Technical and Vocational Education and Training). Konvensi Aptekindo dan Temu Karya ini merupakan kegiatan dua tahunan. Lokasi penyelenggaraanya bergiliran dari satu kota ke kota yang lain, dengan panitia gabungan dari berbagai perguruan tinggi yang menjadi anggotanya. 

Tadi, di pesawat, saya duduk berdampingan dengan bu Lusia Rahmawati, sekjur PTE,  masih muda dan manis. Sebelah kanan saya adalah Dr. Soerjanto, mas Kaha. Lama sekali saya tidak pernah ngobrol dengan mas Soer. Maka kesempatan tadi saya manfaatkan untuk saling berkabar. Terutama menanyakan kondisi kesehatan istri beliau, yang kabarnya sedang sakit. Dari cerita mas Soer, sakit istrinya nampaknya cukup serius. Doa saya, semoga ibu Soerjanto segera diberikan kesembuhan, kesehatannya membaik dan pulih, sehingga bisa terus mendampingi suami dan putra-putri tercinta.

Kembali ke konvensi Aptekindo.  Acara hari pertama ini nanti, tentu saja, adalah opening ceremony. Bertempat di Hall Clarion Hotel, kami akan beramah tamah dalam welcome party-gala dinner pada pukul 18.00. Diteruskan dengan sambutan-sambutan, mulai dari Dekan FT UNM selaku ketua panitia, Drs. Ganefri, P.hD selaku ketua panitia, rektor UNM, gubernur Sulawesi Selatan, dan ditutup dengan sambutan dari Mendikbud yang sekaligus akan membuka acara secara resmi. Tentu saja, diiringi dengan pagelaran seni, salah satunya adalah tari tonkonan dari Tana Toraja. Tonkonan adalah miniatur rumah Toraja. 

Besok, hari kedua, adalah sesi panel. Beberapa pembicaranya adalah Prof. Dr. Supriadi Rustad (Dir Ditendik, Dikti), Surya Dharma, M.Pd, P.hD (Direktur P2TK Dikmen), Prof. Ir. Illah Sailah (Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Dikti Kemdikkbud), dan Ir. Anang Tjahyono, M.T (Direktur Pembinaan SMK). Setelah makan siang, sesi panel dilanjutkan lagi, dengan pembicara meliputi Michio Horiguchi (Silver Expert JICA Japan), Prof. Dr. Nor Aisyah Buang (Universitas Kebangsaan Malaysia), Prof. Dr. Ruhizan (pakar IT dan Pendidikan Kejuruan Malaysia), dan Jack Brain (TVET Expert). 

Setelah sesi panel, masuklah sesi pararel. Ada lima kelompok pada sesi ini, tiap kelompok membahas subtema yang berbeda. Pada tiap kelompok ditampilkan 6 makalah terpilih. Makalah saya, berjudul 'The Teaching and Learning of Home Economics with Problem-Based and Character-Based Learning Models', terpilih untuk ditampilkan di kelompok tiga. Thanks, Mbak Sirikit, telah membantu menterjemahkan makalah saya.....

Makassar, 3 Mei 2012

Wassalam,  
LN

Minggu, 29 April 2012

Pengaduan tentang UN


Pagi tadi saya menerima email dari salah seorang peserta SM-3T. Tentang perang batinnya ketika harus menjadi bagian dari pelaksanaan UN. Pengaduan seperti ini bukan baru sekali ini saya terima sejak UN diselenggarakan tahun ini.

Prihatin, miris, sedih, kecewa, marah.....campur aduk jadi satu. Entah mau dibawa ke mana bangsa ini ke depan... Bangsa yang telah menimbun berbagai penyakit di seluruh urat nadinya, berakumulasi di semua organnya. Bangsa ini telah menderita sakit kronis, komplikasi berat, dan tinggal menunggu waktu untuk ambruk. Subhanallah.... Semoga Allah menyelamatkan Indonesia .

Inilah cuplikan pengaduan itu, dalam versi aslinya, tanpa melalui proses editing sama sekali. Ada bagian yang sengaja tidak saya tampilkan, bagian yang sungguh sangat tidak pantas untuk dibagikan. Bagian yang membuat hati kita, siapa pun kita, yang peduli akan pentingnya membangun karakter bangsa melalui pendidikan, menjadi sangat amat terluka.

Surabaya, 29 April 2012

Wassalam,
LN

PENGADUANKU TENTANG UN
Ibu, dulu saat aku memilih menjadi seorang guru. Karena aku ingin masuk surga. Kata guruku dulu, seorang guru akan menjadi penghuni surga yang pertama. Karena guru adalah orang berjasa. Bahkan banyak sajak yang mengagungkan jasa guru. Bahkan banyak anak yang ingin mengikuti jejakku menjadi guru. Namun, baru aku sadari jasa tersebut ternyata memiliki makna yang sangat luas.  
Ibu, sebelum UN berlangsung di sekolahku, di SMP N 2 Padang Ilalang, Ds. Gersang, Kec. Kerontang, Kab. Sumbang. Hari itu adalah hari sabtu, tanggal 21 April tepat dengan Hari Kartini. Kami mengadakan rapat. Rapat yang membahas pelaksanaan UN. Dari rapat itu, aku ketahui bahwa kami guru mata pelajaran UN diminta untuk mengerjakan soal UN. Maaf ibu, aku hanyalah orang yang tidak berkuasa. Aku hanyalah manusia kecil. Manusia yang baru ingin mengenal kehidupan. Anakmu ini hanya bisa diam saja dirapat itu. Anakmu ini hanya bisa menerima keputusan penguasa.
Ibu, masih teringat jelas pada ingatan ini. Tepatnya tanggal 21 Mei. Kami berdiri dan mengucap janji. Janji itu tertulis diatas kertas putih. Pakta Integritas Ujian Nasional.  Pakta yang harus kami taati. Pakta itu bertuliskan:
DALAM RANGKA PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2011/2012, MAKA KAMI YANG BERTANDA TANGAN DI BAWAH INI, BERKOMITMEN UNTUK MELAKSANAKANNYA  SECARA BAIK DAN BERTANGGUNG  JAWAB, DEMI PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI ….., DENGAN INI MENYATAKAN BAHWA:
1.      TIDAK AKAN MELAKUKAN  KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME,MELAKSANAKAN TUGAS SECARA BERSIH, TRANSPARAN, JUJUR, SELAMA DAN SESUDAH PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL.
2.      MENERAPKAN PRINSIP  OBJEKTIFITAS, AKUNTABILITAS, DAN PROFESIONALISME PADA SEMUA PROSES PENYELENGGARAAN UJIAN NASIONAL.
3.      MENJAGA KEAMANAN PENYELENGGARAAN UJIAN NASIONAL.
4.      MENJAGA KERAHASIAAN BAHAN UJIAN NASIONAL.
5.      MENGERAHKAN SEGALA KEMAMPUAN DAN SUMBER DAYA YANG ADA SECARA OPTIMAL UNTUK MEMBERIKAN HASIL YANG DIHARAPKAN.
6.      AKAN MELAPORKAN KEPADA PIHAK YANG BERWAJIB/BERWENANG APABILA MENGETAHUI ADANYA  INDIKASI KECURANGAN DALAM PENYELENGGARAAN UJIAN NASIONAL.
APABILA KAMI MELANGGAR HAL-HAL YANG TELAH KAMI NYATAKAN  DALAM PAKTA  INTEGRITAS  INI, MAKA KAMI BERSEDIA DIKENAKAN SANKSI MORAL DAN SANKSI ADMINISTRASI  SERTA  DITUNTUT  GANTI RUGI DAN PIDANA SESUAI  KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN  YANG BERLAKU.
Ibu, anakmu ini hanya manusia kecil. Anakmu ini takut terhadap hukuman. Anakmu ini juga masih tunduk terhadap penguasa karena aku tak berkuasa. Anakmu ini baru mengenal hidup. Ibu, sebenarnya aku ingin seperti penulis-penulis yang lain. Ingin menjadi seorang sastrawan yang melalui tulisannya dia siap mendekam dipenjara, siap menerima siksaan, dan siap dikucilkan demi mengungkap sebuah kebobrokan penguasa. Seorang sastrawan yang berani mengungkapkan kejujuran dan menuliskan ketidak setujuannya dengan penguasa, Tapi maaf, ibu, anakmu masih takut hukuman. Anakmu ini hanya bisa mengadu kepada engkau.
Ibu, cobalah engkau tengok pasal 1 dan pasal 5 pada pakta tersebut. Itulah yang memberanikan kami untuk ingkar pada janji itu. Pasal itu dianggap oleh penguasa ditempat ini sebagai pasal yang bertentangan. pasal 1 melarang kami melakukan kecurangan, tapi pasal 5 menuntut kami untuk membantu bahkan mengerahkan segala kekuatan kami untuk mencapai hasil yang optimal. Bahkan, aku selalu saja diingatkan oleh penguasa tentang pasal yang saling bersebrangan itu. Tapi Ibu, aku sebenarnya tahu pasal itu tidak bertentangan tapi sengaja untuk ditentangkan. Bukankan ini juga sudah menjadi permainan penguasa, sehingga kata-kata dalam janji itu pun bisa diputar balikkan dimaknai sesuai kehendak penguasa tersebut demi mencapai keinginannya.
Ibu, akhirnya UN dimulai.  Hati ini menjerit. Tapi jasmani ini tunduk terhadap penguasa.
Ibu, maafkan anakmu ini. Ternyata tidak hanya aku saja. Teman-temanku juga tunduk pada penguasa. Mereka juga seperti ku, ibu, baru ingin mengenal hidup. Baru menapaki sebuah jalan baru. Jalan yang sepertinya tidak berujung. UN tahun ini dinilai lebih berat. Lembar soal  terdiri atas lima paket yang berbeda antara soal satu dengan soal-soal yang lain. Terpaksa aku dan teman-teman harus berbagi dosa. Kami masing-masing mengerjakan satu paket. Setelah selesai, melalui via sms kami saling bertukar jawaban. Itu berlangsung selama empat hari berturut-turut. Selama UN. Guru-guru secara bergiliran mengerjakan UN sesuai dengan bidangnya masing-masing. Dan tahukan engkau, Ibu, semuanya aman dan lancar.
Ibu, hanya kepadamu aku berkata jujur karena engkaulah tempatku mengadu.
Ibu, mungkin ini sudah rencana penguasa. Jumlah soal UN ternyata sengaja dilebihkan. Setelah lima belas menit tanda bel dibunyikan seorang guru masuk ke kelas. Dan pengawas UN menyerahkan lembar soal kepada guru tersebut. Tidak ada kekhawatiran sama sekali diwajahnya karena ini sudah menjadi rahasia umun dan kehendak pengusa. Polisi juga ada di sini, ibu. Tapi polisi tersebut hanya duduk tanpa memeriksa apapun. Mereka hanya makan dan minum di sini. Sebenarnya kami dan mereka pun tahu ada ketidak beresan tapi lebih baik pura-pura tidak tahu. Menulikan telinga dan membutakan mata. Melalui jasa guru tersebut soal diantar ke tempat yang telah disiapkan. Di ruang perpustakaan. Aku mengerjakan satu paket dan dibantu satu guru lagi. Setelah selesai aku dan teman-teman disekolah yang berbeda saling bertukar jawaban. Melalui angin  kami bertukar jawaban. Jawaban yang telah terkumpul diserahkan lagi pada guru yang sama yang mengantarkan lembar soal. Jawaban tersebut lalu dia serahkan kepada pengawas. Dan pengawas dengan lantang membacakan jawaban tersebut. Tanpa ada kekhawatiran sedikit pun. Ibu, maafkan anakmu ini. Anakmuu ini masih takut dengan penguasa.
Apakah, ibu, tahu? Bagaimana siswa-siswaku sebelum dan saat pelaksanaan UN? Hari pertama saja mereka memegang buku, tapi setelah mereka tahu bahwa pasti akan dibantu, untuk hari berikutnya hingga mata pelajaran UN yang terakhir, mereka tidak belajar. Mereka bermain dengan senang hati. Tiada beban pikiran. Bahkan, saat pengerjaan soal UN aku lihat mereka dengan santai keluar masuk WC, tanpa ada takut waktu akan berkurang. Tanpa ada kekhawatiran waktu sangat berharga untuk menyelesaikan soal. Dan Rabu malam siswaku berjoged ria dengan iringan musik disko, tanpa memikirkan besok masih ada UN.
Ibu, ini adalah kehendak penguasa. Dan anakmu ini adalah anak yang lemah. Hanya mampu melihat bahkan bicara pun tidak mampu. Dulu sebelum pelaksanaan UN, para penguasa mengadakan worshop-workshop untuk membedah kisi-kisi SKL. Para guru UN diminta membuat soal-soal untuk diujicobakan pada siswa. Tapi baru kini aku sadari semua itu percuma, toh akhirnya guru yang mengerjakan soal UN. Dan hal itu dilakukan karena penguasa kebingungan menghabiskan dana, takut kalau dana tersebut hangus atau harus dikembalikan. Akhirnya terdapat data-data yang sengaja dimanipulasi. Bukankah ini juga sudah menjadi permainan penguasa juga, Ibu?
Penguasa tidak hanya korupsi uang saja, Ibu. Bahkan butir soal pun mereka korupsi. Ada salah satu pelajaran yaitu bahasa Indonesia  dua butir soalnya tidak ada yaitu pada paket E53 dan D41. Adakah unsur kesengajaan atas tidak adanya butir soal ini, Ibu? Aku juga pernah membuat soal untuk Try Out. bahkan dalam waktu yang cukup singkat, Ibu, H-1 sebelum Try Out.  Itu atas perintah penguasa, Ibu. Dan saya hanya bisa menerimanya. Tapi hasilnya tidak ada butir soal yang hilang. Karena soal tersebut aku cetak satu dulu, terus aku teliti, dan baru digandakan. Terus bagaiman butir soal UN bisa hilang, Ibu? Bukankah butir UN telah direncanakan selama setahun. Pembuatnya pun pasti orang-orang yang cendikiawan. Bahkan pasti ada panitia khusus untuk meneliti soal-soal UN tersebut. Bagaiman ini, ibu, kepada siapa lagi aku mengadu selain kepada engkau? Mungkin aduan ini pun hanya sekedar aduan. Budaya ini telah mewaris, Ibu. Mendarah daging. Seperti gosip artis. Jika sedang in-innya maka akan diputar terus, tapi setelah ada yang baru lagi dan lebih menarik, gosip itu pun hilang ikut terbawa angin. Seperti UN kali ini orang-orang berusaha mencari kecurangan UN, tapi tahun depan pun akan terulang lagi. Kecurangan pasti ada. Dan tak ada yang menginsyafi kesalahan masing-masing. Terulang dan terulang seperti jalan yang tak berujung. Aku tahu Ibu, di atas sana masih ada penguasa yang arif. Masih ada penguasa yang berusaha agar UN tahun depan tidak ada kecurangan atau jawaban soal yang beredar. Tapi sepertinya setan lebih licik dan para penguasa telah terlena oleh bujukan setan.

Sumbang, 27 April 2012

Minggu, 22 April 2012

Tana Toraja (3) Megalithicum, Sarcofagus, dan Makam Londa

Mas Ayi, aku, dan Arga anakku.
Ke rumah adat Ketekesu. Di sanalah menghampar belasan rumah adat suku Toraja. Etnik, artistik, unik. Indah sekali. Juga tersedia kedai-kedai yang menyediakan berbagai suvenir khas Toraja: miniatur rumah Toraja dengan berbagai ukuran, gantungan kunci, hiasan dinding, peralatan makan, T-shirt, aksesoris, sampai senjata tajam parang. Saya membeli banyak aksesoris untuk oleh-oleh teman-teman di jurusan PKK (yang mayoritas perempuan), beberapa T-shirt untuk keponakan-keponakan dan beberapa teman kantor mas Ayik, serta untuk yang jaga rumah. Arga membeli aksesoris dan gantungan kunci untuk teman-temannya dan untuk dirinya sendiri. Mas Ayik membeli dua buah parang, satu untuk oleh-oleh bapak, satu untuk dipakai sendiri. Bapak dan anak, dua-duanya hobi bersih-bersih halaman rumah, jadi parang adalah barang berharga, sampai-sampai 'dibelani' bawa dari Toraja.  

Kami melanjutkan perjalanan menuju Bori. Melihat batu-batu megalithicum yang tinggi besar, berbentuk silinder dengan diameter sekitar 1 meter dan tinggi mulai 1 m sampai 7 m. Utuh-utuh. Sangat mengagumkan.  Ada juga sarcofagus, yaitu makam-makam orang Toraja yang berada di bukit-bukit batu, yang di dalamnya disimpan puluhan bahkan mungkin ratusan mayat orang asli Toraja. Bukit batu itu pada beberapa bagian sisinya dilubangi, berbentuk kotak, dan dalam lubang itulah anggota keluarga mereka dimakamkan. Satu lubang bisa dimasuki empat puluh mayat, semua adalah anggota keluarga. Ya, satu lobang rame-rame. Salome. 

Pak Siella, orang asli Toraja, seorang pedagang kerbau, menceritakan, bahwa untuk membuat satu lubang di bukit-bukit itu, biaya bisa menghabiskan hampir seratus juta rupiah. Wow, banyak juga ya. Tentu saja tidak hanya untuk melubangi bukit itu, tetapi untuk biaya seluruh prosesinya, termasuk untuk menyembelih banyak hewan ternak dalam rangka merayakannya.

Di tempat ini juga, kami sempat melihat para warga setempat sedang makan siang ramai-ramai di sebuah rumah panggung. Mereka semua berkerabat. Kami menyapa mereka, dan mereka membalas sapa kami dengan sangat ramah. Saya bertanya, apa menu makan siang mereka? Nasi putih, sayur sawi, dan daging anjing. Hm.....aromanya sedap. Minumannya yang dituang di gelas-gelas bening, yaitu cairan berwarna merah muda, menyerupai sirup, adalah semacam toak yang bahannya berasal dari air pohon lontar yang difermentasikan. Kayaknya cocok sekali sebagai minuman penutup dengan menu anjing goreng berbumbu itu..... Nyam, nyam, nyam....  

Makan siang di rumah makan muslim 'Perdana'. Menunya ikan bakar dengan berbagai macam sambalnya. Termasuk sambal mentahan, yang pedesnya minta ampun. Semua makan dengan lahap karena waktunya pas banget, pas lapar-laparnya, sehingga menu apa pun disantap habis. Tapi, mungkin karena masih terbayang-bayang menu daging anjing tadi, saya merasa kurang berselera. Saya hanya makan nasi putih, tempe goreng dan sedikit sambal. Di Tana Toraja, musti hati-hati memilih tempat makan, khususnya bagi kita yang muslim.

Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan lagi. 'Ziarah'  ke makam Londa. Londa, nama sebuah kampung yang penduduknya merupakan suku asli Toraja. Di situlah ratusan tengkorak dan tulang- belulang manusia bertebaran di dua buah goa yang memang disiapkan untuk menyimpan siapa pun sanak keluarga mereka yang meninggal. Tengkorak-tengkorak itu bertumpuk-tumpuk, bertengger di sela-sela bebatuan sejak di pintu masuk dan di dalam goa, tersebar di dasar goa di, antara peti-peti mati yang dihiasi dengan berbagai ornamen khas Toraja serta salib. Ada sepasang tengkorak yang disebut tengkorak Romeo dan Juliet, konon mereka adalah sepasang kekasih yang tidak direstui oleh keluarga mereka, dan akhirnya menempuh jalan pintas dengan bunuh diri. Di dekat tengkorak-tengkorak yang lain, setumpuk rokok, mungkin ratusan batang, teronggok. Ada juga botol-botol berbagai merek minuman. Semua benda itu sengaja dipersembahkan oleh sanak keluarga, bagi mereka para tengkorak itu, yang semasa hidupnya menyukai barang-barang tersebut.    

Di bagian atas pintu masuk goa, terpajang puluhan replika orang-orang yang tengkoraknya ada di goa itu,  atau yang peti matinya tertanam di bukit-bukit di atas goa itu. Mulai dari replika balita sampai manula, laki maupun perempuan. Replika itu dalam bahasa Toraja disebut tao-tao. Peti-peti mati yang mungkin usianya sudah puluhan bahkan ratusan tahun, bertumpuk-tumpuk di ketinggian. Konon, semakin tinggi peti-peti itu bersemayam, semakin tinggi derajat orang yang meninggal tersebut. Konon juga, peletakan peti-peti mati yang berada nun tinggi di sana, karena orang yang di dalam peti tersebut disimpan bersama sebagian harta benda mereka yang berharga. Dengan demikian, mereka aman dari jangkauan tangan-tangan jahil para pencuri harta orang-orang yang semasa hidupnya kaya-raya tersebut.

Tongkonan, merupakan miniatur rumah khas Toraja, adalah keranda kaum bangsawan. Benda itu terpajang di depan pintu masuk goa. Hanya para bangsawan yang ketika meninggal mayatnya diangkut dengan tongkonan.

Setiap rombongan dari kami ditemani oleh seorang pemandu. Para pemandu itu adalah para kerabat orang-orang yang mayatnya disimpan di dalam goa tersebut.  Mereka menjelaskan semuanya, dan menjawab semua keingintahuan kita. Ketika memasuki goa, merekalah yang membawakan lampu untuk menerangi jalan menuju goa. Mereka juga menyilakan kita mengambil foto dan berfoto bersama tengkorak-tengkorak dan peti-peti mati itu. Hiii.....

Saya, mungkin juga semua dari kami, sangat kagum dengan pemandangan yang kami lihat hari ini. Semuanya adalah hal baru. Sesuatu yang selama ini hanya bisa kami nikmati di televisi, majalah, dan internet; atau mendengar saja dari teman-teman yang sudah pernah mengunjungi Tana Toraja.  Seorang teman bertanya ke saya, mau lihat apa di Tator, cuma makam-makam saja, katanya. Tapi setelah kami datang dan melihat dengan mata kepala kami sendiri, semuanya yang di Tana Toraja, begitu berbeda, begitu mengagumkan, begitu berkesan. Kata teman-teman, travelling kali ini sangat kerreeennnnn.......

Begitu kayanya Indonesia. Begitu indahnya keberagaman. Begitu Maha Besarnya Dia yang telah menciptakan. Begitu murah hati-Nya, telah memberikan kesempatan ini pada kami semua. Semata untuk membuat kami agar lebih pandai bersyukur....

Subhanallah, alhamdulillah, wa laailaaha illallaah, Allahu Akbar...... 

Sabtu, 7 April 2012 
Wassalam,
LN

Kamis, 19 April 2012

The Teaching And Learning Of Home Economics With Problem-Based And Character-Based Learning Models

Oleh Luthfiyah Nurlaela [1]
PKK-FT Unesa

Abstract: Home Economics is one of many courses taught at almost every university having Home Economics Education/HEE (Indonesian: PKK) Study Program, particularly at the Institute of Education for Teaching Professionals/IETP (Indonesia: LPTK). This is the basic knowledge of HEE/PKK that must be learned by all students of HEE; whether they concentrate on Food & Beverage, Clothing Management, or Make up science Science. Unfortunately, at present, Home Economics is considered as just an obligation. Students are obliged to take the course, and be done with it. As in most other courses, in learning Home Economics, students are positioned as listeners, absorbing lots of information, in a dull learning condition. This doesn’t encourage students to solve problems. Therefore, in learning Home Economics, a different learning model is needed as an alternative; a model that provides opportunities for the potential development of the students and the lecturer. One model being suggested here is Problem-Based Learning. This model has general characteristics: providing students with authentic and meaningful problems, which will enable students to conduct research and inquiry (Ibrahim and Nur, 2005; Sweller, 1988; Hmelo-Silver & Barrows, 2006 ). Besides this problem-based learning model, the learning of Home Economics can also be based on characters. Character education is a vital part of national character building. In addition to that, character education is also expected to become the main foundation in reaching Indonesia Emas 2025 (Golden Indonesia 2025). Character Education becomes the focus of education in all levels of education, including university level. The objectives of this paper are: (1) to describe the learning model of Home Economics that has been implemented so far at the Department of PKK FT Unesa; (2) to identify  the weakness and the obstacles of it; (3) to describe an idea of a possible implementation of problem-based and character-based learning model for Home Economics subject. 

Keywords: Home Economics, Problem-Based Learning, Character Building

Introduction
Home Economics is one of the subjects being taught at almost all universities having Department of Home Economics Education, especially at the Institute of Education for Teaching Professionals/IETP. Home Economics has become the main source of Home Economics Education, which must be thoroughly studied by students of related departments, either those who concetrate on the study of Foof & Beverage, Clothing management, or Makeup Sciences.

The teaching and learning of Home Economics becomes so crucial in this current globalization and technological era, becuase its main purpose is to provide strong bases for students about the importance of family unity and welfare. The philosophical bases about the significance of Home Economics subjects are: (1) democratic life of a family helps establish a democratic nation; (2) democratic life of a family emphasizes the importance of mutual cooperation among family members to build a satisfactory life; (3) satisfaction in life becomes a very important aspect in the development of an individual as either a member of a family or a community; (4) harmonious life among family members is very important to establish family happiness and welfare; (5) every family has different beliefs about social and economic values, becuase such beliefs depend very much on the intended purposes and mission of the family. Thus, the quality of family life depends relatively on the understanding about the values of life of the community where the family is living; and the family can do and perform the best with its own human resources to help develop the nation (Rifai, 1983; Nurlaela, 2010).

            However, Home Economics -which has been formally taught since play group level up to tertiary level of education, either integratedly with other subjects or on its own- is likely to have lost its essence. Home Economics being taught at tertiary education, particularly at the Department of Home Economics Education at universities, has been a mere compulsory subject, which must be programed by the students. As happens to all subjects, the teaching and learning of Home Economics does not facilitate students to perform collaborative learning with their peers to develop their ‘higher order thinking’ skill.

The importance of Home Economics, as a subject, is closely related to character building. Budirahayu (2001) states that formal education, which has so far been given at schools, is not oriented to character building, but rather to the heaps of knowledge that burden the students without reference to reality or real life. Minister of Education (in Daulay, 2002) states that education has paid little attention to the character building of the students. In line with the previous opinion, Madjid (in Parji, 2002) states that Indonesia is in danger because people are not used to applying and performing ethics in their daily life. The impact of attention-lacking to such morality is that some community members tend to become ill-tempered, malicious, dishonest, selfish, anarchic, provocative, job-madness, vandalis, vulgar, and behave negatively in the community (Sukaryono, 2004).

            To find solution for this phenomenon of serious moral cricis in Indonesian social life, the establishment of nation character and ethics education is very important. It must be developed as a medium to build the nation and its character (nation and character building). One way to develop nation character is through the teaching and learning of Home Economics.

The teaching and learning of Home Economics has been organized in such a way to focus on the students (student-centered) through the development of group discussions and assignments. However, lecturers-students’ activities are still monotonous and unchallenging, which, in turn, makes the teaching and learning of Home Economics fruitless and lose its intended targets. The skills that are expected as results of the teaching and learning of Home Economics are: students will have the understanding of Home Economics, they will be skillful in organizing individual and family resources, they will have professional attitude necessary if they become future manager of a family, and they will have knowledge and skills for relevant professions in Home Economics. In addition to that, Home Economics is also expected to help develop students as potential human resources, who can establish ethics and moral as the bases of their daily life.

Those goals cannot be reached with the current model of teaching and learning, which contains some weaknesses. The students’ presentations and discussions have become monotonous activities with no contributions in the development of students’ creativities. Teachers can motivate students to get involved maximally in students’ presentations and discussions, but the quality of students’ assignments, papers, and proposals are still quite low. Consequently, the students’ achievements are relatively poor and far from expectation.

Therefore, there must be substantial attempts to formulate and implement other alternative models of teaching and learning, which may facilitate students and teachers (lecturers) to develop themselves. One recommended model is the application of problem-based teaching and learning. This model is selected and recommended because it is considered suitable to the characteristics of the materials of Home Economics. In addition to that, the practical activities of teaching Home Economics are also suitable to the principles of the problem-based model. This will ease the designing of the teaching and learning activities of the subject.

 Problem-based learning model has general characterictics, among others is providing students with authentic and meaningful problems, which may help and ease them in developing research and inquiry skill (Ibrahim dan Nur, 2005; Sweller, 1988; Hmelo-Silver & Barrows, 2006 ). In addition to the general characteristics, this model also maintains its specific characteristics; such as the presentation of questions or problems for students to solve, the focus on the interrelatedness of various relevant knowledge, the authentic research, which produce learning products that can trigger students collaborations with their peers. The authentic problems are those that can be found in every day life, which solutions of them can be directly and practically applied. Authentic problems will attract students’ interests because such problems are related directly to their practical lives. This means, by promoting and integrating the authentic problems in Home Economics subjects, the teaching and learning activities will be interesting and fruitful.

Besides problem-based learning model, the teaching and learning of Home Economics is also designed to be character-based. Character building has been made as one of the purposes of national education program. Article I of the 2003 Regulation of the National Education Systems (Indonesian: UU Sisdiknas tahun 2003) states that one of the main purposes of national education program is to develop and maintain the potentials of students: their intellectuals, personality, and morals. Such an important message of the 2003 Regulation sparks an idea that education is designed and dedicated to create Indonesian people who are not only intellectually smart, but also have good characters. In shorts: a future generation with moral and religious values.

The integration of Characters into the Teaching and Learning of Home Economics
Home Economics, in Webster’s Encyclopedia, is defined as “A science and art dealing with home making and relation of home to community, theory and practice concerning to the selection and preparation of food and clothing, condition of living, the use of income, the care and training children etc., also the study of teaching at Home Economics Department concerned with this.” Soedarmo and Sediaoetama (1987) point out that Home Economics is a science focussing on the study of family life and factors affecting it, and finding out the ways to improve the quality of family life for the prosperity of the family. This opinion is in line with the definition put forward by the  American Home Economics Associations (AHEA) in which home economics is defined as the science and art which have close relation to the improvement of the quality of a family, which means that (1) it focuses on family, and (2) it matches and combines scientific and human approaches to help individuals face any possible changes and then utilize the existing technology to improve their lives (Parker, 1980).

Home Economics, as a part of science, is actually an integration of various sciences. Parker (1980) states that Home Economics cannot stand alone as a science, but it uses research findings from various different sciences, such as physics, chemistry, bacteriology, biology, anthropology, psychology, sociology, economics, medical science, nutrient, and education. In addition, Home Economics is also related to religion, ethics, and aesthetics. Thus, it can be said that Home Economics is an integrated subject. This subject (or science) can develop widely because of the view that all knowledges or sciences should be applied to get better and prosperous life (Winarni dan Luthfiyah Nurlaela, 1997; Nurlaela, 2010; Nurlaela, 2011).

Home Economics also provides some basic knowledge to obtain and develop a family skill or profession, which may be employed as a medium to generate income. This is in line with the definition of Home Economics provided by the International Federation for Home Economics (IFHE) that “Home economics is the profession and field of study that deals with the economics and management of the home and community”.

As part science and part skill, Home Economics supports the practice of family life to reach the goal of the family itself, that is, family welfare. It is believed that family welfare becomes the basis of the establishment of a prosperous community. A peaceful world also depends on the welfare of any individual member of the community, who –first of all- lives in the family. It can be said, then, that family is the foundation of a nation/country. A family unit has a great potential and contribution to the development of a nation/country. This is because home and family have great impacts on the development of ethics and moral of the children. So, family is far more contributive to the development of a nation/country than any other institution.
Home Economics, in any form of teaching and learning activity, is given to the children since their childhood to their adulthood, either in formal, informal, or non-formal setting. In formal education, Home Economics is taught since kindergarten or play group level. The teaching and learning of Home Economics is generally intended to build a good habit of life in the family and its surroundings. It is taught through games and relevant functional trainings, such as greetings, saying thank you, washing hands, and asking for permission to do something. In this context, education is focused on the development of ethics and the widenning of life experience, as well as developing life skills. This level of education becomes a bridge between education in the family and education at  elementary school.

At elementary education level, Home Economics helps children acquire basic knowledge and habit of how to live in the family and the community. This can be obtained through (1) development of good habits that have been taught at kindergarten or play group schools, (2) development of habit in cooperation among the peers on the basis of love and responsibility, and (3) development of behavior and understanding about the importance of beauty and cleanliness.

The teaching and learning of Home Economics at elementary school is conducted integratedly with other existing subjects at school. At this level of education, the teaching and learning of Home Economics gives students opportunity to develop their personality, to adapt with surrounding environment, to be physically and mentally healthy, and to appreciate and practice the best values of life. Home Economics teaches students to become family members, who can easily adapt with changing condition in the family and its surroundings. Through teaching and learning activities, students are expected to develop their sensitivity towards cooperation, and their relevant skills to face reality of every day life.

Home Economics at junior and senior high schools (Indonesian: SMP/SMA) functions as a medium to develop understanding about life and family life. Home Economics, at this level of education, facilitates students to develop themselves as useful members of the family and society. This subject can be presented as an individual subject, or be made as a part of a subject, or be integrated with other subjects; such as Religion, Nationality, Science, Social Science, and Language. Home Economics can also be presented in the forms of non-curricular activities, such as UKS, School Canteen; and  other extra-curricular activities, such as Boy-Scouting.  Home Economics is intended for both female and male students, either individually or in group. Home Enomics may be presented by integrating and matching it with current real condition at school; for instance, through the teaching of being responsible for classroom and schoolyard cleanliness. Students organizing certain school activities is also a way of teaching Home Economics.

Home Economics at Vocational School (Indonesian: SMK) is intented to help students develop their understanding and skills in family life that may be useful after they finish school. It is called life-skills. Home Economics, in this level of education, functions to facilitate students develop their capacity to work, maintain themselves in the work (job) that they have chosen, or to get better job.

Meanwhile, Home Economics at the tertiary level of education is presented more as the extention or elaboration of the previous materials presented at junior or senior high schools. Most activities in this subject are focussed on observation, research and indepth study of all aspects of family life. They are also integrated in a professional study as those performed at the Faculty of Professional Teachers, the Faculty of Medical Science, the Faculty of Agriculture, Faculty of Language and Arts.

Based on the previous explanantion, Home Economics has actually taught character in the implementation of its teaching and learning activities, right from the play group up to the tertiary levels of education. Characters that are developed through this subject, among others, are honesty, responsibility, self-confidence, competence of developing cooperation, communicative competence, and scientific attitude. However, the development of those characters is not more than as a nurturant effect, that is, it has not yet been designed as the instructional effect.

In character education, there is a substantial need to develop cores of ethical values, such as honesty, justice, care, responsibility, and self-esteem; together with other supporting values, such as seriousness, high work-ethics/ethos, and persistence. Therefore, schools should be responsible and be committed to develop students’ characters based on those values. They should also define those characters operationally in the forms of practical daily attitude and behaviour at schools, exemplify the values, discuss them, use them as the bases for developing human relations, and appreciate as well as apply the values in the community (Bashori, 2010).

The Teaching and Learning of Home Economics at the Home Economics Department of the Faculty of Engineering, the State University of Surabaya
            At university level, Home Economics belongs to the group of ‘skill’ subjects (Indonesia.: MKK). This subject is due to be programed at the even semester (first semester) at all study programs at the Department of Home Economics covering the study programs of Food Science, Clothing Management, and Makeup Science. Home Economics is taught at the first semester with the intention that new students (freshmen) can get the gist, coverage, and scientific methodology of their future study earlier. Another objective of the early presentation of this subject is that students would understand more comprehensively that Home Economics is a science, so that it has to be developed scientifically.

The number of freshmen who should program this subject at the first semester, for each study program, is usually about 50 students. The number can be bigger when students who failed the subject in previous semester and trasfering students (from D3 to S1) also join/take this subject again. Thus, to overcome problem of teaching a big class,  students are split into two groups or classes (class A and B).

The targeted competence in Home Economics, based on the current syllabus, are the mastery of the basics of Home Economics as the main source of Home Economics Education, the concept family and family life, and the introduction of research methods in the field of Home Economics Education. This subject is described to consist of: 1) Home Economics and the function of home economics; and 2) family and family life. Home Economics is further described as covering basic terminologies of Home Economics as a science, field or coverage of study, and the usefulness of Home Economics. The description of family and family life consists of: definition, the form and function of family; family welfare and family policy to achieve welfare; family unity, recourses and activities.

Based on the previous competence and description, the materials of Home Economics may be described as including: 1) basic terminologies of Home Economics; 2) background of Home Economics Department in various education institutions; 3) definition, form, and function of family; 4) definition of welfare and family welfare, and the factors affecting family welfare; 5) kinds and intencity of family needs; 6) definition, kinds and the development of family resources; 7) activities in family life; 8) family life in relation to nation life; 9) steps of conducting research and methods of collecting data of family problems; 10) compilation of research proposal; and 11) seminar of research proposal.

The lecturing activities consist of: 1) materials presentation and discussion; 2) compilation of simple research proposal; 3) and seminar of the research proposal. The evaluation for this subject covers: 1) class participation; 2) assignment; 3) mid-semester test; and 4) final semester test.

At the stage of materials presentation and discussion, students are split into nine groups, following the number of teaching materials. Each group gets one material (topic). The assignment of each of the group is writing a paper on the basis of the relevant material, prepare the presentation in the form of power point, present and discuss the material (topic) in the classroom. The quality of the paper and the power point is assessed as the score of assignment, and the students’ activities in the class discussion and presentation is assessed as the score of participation. In the activities of writing a research proposal, students are guided and supervised to formulate research questions in the field of Home Economics, particularly those related with the ten (10) family activities such as: inter- and intra- family relationship, looking after children, food and nutrient, clothing, housing, health, finance, home management, social security, and health planning. The main purpose of compiling and writing this simple research proposal is to uncover the students’ views about the authentic problems in the field of Home Economics. Furthermore, the seminar of the proposal is presented during the two last sessions in the semester. The main intention of this seminar presentation is to give students the opportunity to share and then learn how to solve problems through scientific study or research. The resolutions of problems raised in the proposal should be matched with the role and function of Home Economics as a subject in tertiary education, that is, to observe, to study in-depth, and to develop the understanding of all aspects of family life. This seminar is assessed as the component of the score of participation.

Identification of the Weaknesses and Problems in the Teaching and Learning of Home Economics
            Based on the implementation of the teaching and learning of Home Economics in the Home Economics Department, the Faculty of Engineering, the State University of Surabaya, it is found that the teaching and learning of the subject has been conducted using  student-centered model. The lecturers do not become the only resources of knowledge. The students are facilitated to develop their own knowledge and ideas, and to collaborate with their peers to use the learning resources. The students are also given the opportunity to express their ideas. So, they are not only trained to develop their communicative skills, but also their competence to solve existing problems, especially when they are supposed to answer questions put forward by their peers.

However, there is still a  problem, which is that such kind of teaching method has been implemented monotonously in every classroom session. No matter how sophisticated a learning method is, it could become conventional if performed monotonously in the classromm for the whole semester. This is likely to happen because the students get used to the same method of teaching throughout the semester. In turn, they will consider it and implement it as a boring routine. Consequently, such method will not be challenging anymore and will tend to be  monotonous.

Typically, a lecture starts with a short explanation about the nature and the importance of the materials. This is followed by the students’ presentations (in group) about various theoretical concepts in relevance with the existing materials by using LCD. Each group should appoint a moderator, a presenter, and a note-taker during the presentation. Everyone in the discussion has the same opportunity to present and put forward his/her ideas as well as to answer questions that might be raised by other students. Along the discussion session, the lecturer should act as a facilitator; but because of some problems, the lecturer very often takes part in answering the students’ questions, and thus he/she is no longer functioning as facilitator.

The problems appearing from the application of such method of teaching are: 1) the students of the presenting group play more role in the discussion, and it is very often that they do not master the presented materials well; 2) because of the little mastery of the materials by the presenters, the discussions do not run smoothly, because lots of time are spent by the presenting students to discuss the materials among themselves to find answers to the questions; 3) because the presenters are not completely prepared with the materials, other members of the class are reluctant to ask or raise questions.

The above problems have made the lectures monotonous and unchallenging, although they have been set up as student-centered lectures. The other implication is that the time for the discussion cannot be spent effectively. Consequently, it results in the little significance of the products of learning. More over, the assessments, which are so far based on paper and pencil test model, fail to motivate students to study Home Economics deeply. The students tend to just learn the materials by heart without focussing on the problem solving model.
           
The Application of Problem-Based and Charater Based Teaching and Learning of Home Economics
            The current teaching and learning of Home Economics still encounters many problems: it lacks of students’ active participations in classroom, the assessment is mostly done by using paper and pencil test model, and it is not oriented to problem solving model. Here is why another alternative and innovative model of teaching and learning of Home Economics is needed.

Research on the advantages of applying an innovative model of teaching and learning has previously been conducted and it is proved that such a model can improve the quality of learning achievement. Some characteristics of contextual method of teaching and learning are appreciating students’ experience in the teaching and learning processes and facilitating students’ competence to solve problems (Blanchard, 2001). It is proved to have contribution to the quality improvement of the teaching and learning of food and beverage management in the Tourism Department of Vocational School (Nurlaela, 2001). Method of material presentation with Competency Based Training (CBC) model, which is mostly oriented to the students’ competence and performance (Nurlaela, 2002), has a great impact towards students’ enterpreneurship competence (Marsudi dkk, 2003; Basuki dan Luthfiyah Nurlaela, 2004). It can also improve and increase the quality of the teaching and learning of ‘table-setting’ sub-competence and food and beverage services (Kamariyah, 2003).

The quality of the processes and the products of teaching and learning at elementary school level increase significantly with the application of the thematic model. It should be noted that the thematic model accomodate as much as possible the student variation or differences, giving a chance for the development of collaborative learning activities and the class-based assessment (Suryanti dkk, 2004; Nurlaela, 2007). The problem-based teaching and learning model is proven to give positive contribution to the quality improvement of the students’ cognitive, problem-solving, and collaborative competence (Koh et.al., 2008; Hmelo-Silver, 2004; Amstrong, 1999). The characteristics of teaching and learning models are oriented to students. Cooperative/collaborative activities, authentic assessment, and contextual problem-solving are among the characteristics of problem-based model. This model does not only give positive impacts towards the students’ knowledge and skills, but also to the development of their attitude and behavior.

For this purpose, the application of the problem-based model is then very crucial. It facilitates students to face and solve authentic problems, in which they are required to seek for alternative solutions to the problems. In performing these, the students are forced to apply their problem-solving, higher order thinking skills, and collaborative skills.

The problem-based model has general characteristics, that is, it offers students with authentic and meaningful problems, which provide them useful clues for conducting inquiry and research. In addition, this model also has some specific characteristics, such as: it constantly raises questions or problems, it focuses on the integration of various subjects, it enables authentic observation, and it produces certain relevant products of learning and collaboration. The authentic problems are those which may be found in daily life, and the solutions to the problems are useful for those who solve them (Ibrahim dan Nur, 2005). The syntax of the problem-based teaching and learning is as follows:

Table 1. The syntax of the problem-based teaching and learning model
Stages
Teachers’ Behavior
Stage 1
Students orientation to the problems
Lecturer explains the objective of the teaching and learning, explains the required logistics, motivates the students to actively involve in the problem solving activities of the problems they have chosen.
Stage 2
Organize the students to study
Lecturer helps the students to define and organize learning tasks regarding the above problems.
Stage 3
Supervise individual or group observation
Lecturer motivates the students to collect as much as relevant information, conduct experiment to obtain explanation and solutions to the relevant problems.
Stage 4
Develop and present the learning products
Lecturer helps students to plan and prepare the relevant learning products such as written report, video, and model; and helps them to distribute tasks to the peer students.
Stage 5
Analyze and evaluate problem-solving processes
Lecturer helps students do reflection or evalution of their observations and all the processes they go through when performing the observation.

The above stages or syntax ares applied in the teaching and learning of certain material of Home Economics, such as the material of family activities. Students are motivated to seek for relevant problems with family activities in order to fulfill family needs. In this context, the management of family resources becomes very crucial. Every problem is approached scientifically, starting from the formulation of the problems, the resolution of the related problems, up to the presentation of the students’ works/products. The teaching and learning activities are performed collaboratively. The lecturer designs the evaluation and the products of learning as well as possible so that the evaluation is not only based on paper and pencil test but also on portofolio. Through this teaching and learning model, the expected character can be designed and planned in such a comprehensive way, including the methods of observing and measuring the characters in the teaching and  learning activities.

Closing remarks
The conclusion of this paper is that: 1) the teaching and learning of Home Economics conducted in the Home Economics Department, the Faculty of Engineering, the State University of Surabaya has been attempted to be student-centered, but it still faces some problems; 2) the teaching and learning of Home Economics includes character building, but the characters themselves have not yet been designed as the instructional efffect; and 3) the problem-based teaching and learning of Home Economics is in line with the teaching materials of the subject and is relevant to the the teaching and learning models which are currently applied at the university.

            There have to be serious commitments from the lecturers to apply meaningful teaching and learning processes, which may increase students’ active involvement in class activities and deveop students’ collaborative and higher-order thinking  skills. A well-planned teaching and learning program can be the appropriate alternative to obtain that goal.

References
Armstrong E. 1991.  A hybrid model of problem-based learning. In: Boud D and Feletti G (editors): The challenge of problem-based learning, 137-149. London, Kogan Page, 1991.
Bashori, K. 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/15/129378/68/11/Menata-Ulang-Pendidikan-Karakter-Bangsa. Diakses 10 September 2010.
Basuki, I. dan Luthfiyah Nurlaela. 2003. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Kompetensi pada Sekolah Menengah Kejuruan Bidang Keahlian Pariwisata. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.
Blanchard, Alan. 2001. Contextual Learning. B.E.S.T.
Budirahayu, T. 2001. Kondisi Moralitas Bangsa Indonesia dalam Menghadapi Persaingan Global. Makalah Seminar Strategi Pendidikan Indonesia Menghadapi Persaingan Ekonomi Global. Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang.
Daulay, A.S. 2003. Pendidikan Humaniora untuk Mengembangkan Wawasan Kemanusiaan dan Kebangsaan. Jurnal Ilmu Pendidikan. Malang: LPTK dan ISPI.
Hmelo-Silver, C. E. 2004. Problem-based learning: What and how do students learn? Educational Psychology Review. 16(3), 235-266.
Hmelo-Silver, C. E. & Barrows, H. S. 2006. Goals and strategies of a problem-based learning facilitator. Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning. 1. 21-39.
Ibrahim, M., dan M. Nur, 2005, Pembelajaran Berdasarkan Masalah, Surabaya: PSMS UNESA.
International Federation for Home Economics (IFHE): Position Statement in: International Journal of Home Economics, Volume 1, Issue 1, available http://www.ifhe.org
Kamariah, N. 2003. Upaya Meningkatkan Kualitas KBM melalui Pendekatan Competency Based Training (CBT) pada Subkompetensi Penataan Meja dan Pelayanan Makanan dan Minuman. Skripsi. Universitas Negeri Surabaya.
Koh, Khoo, Wong, & Koh. 2008.  The effects of problem-based learning during medical school on physician competency: a systematic review, 2008, CMAJ 178(1).
Marsudi, Luthfiyah Nurlaela, dan Ismet Basuki. 2003. Peningkatan  Kemampuan  Berwirausaha melalui Metode Penyajian Berorientasi  CBT bagi Mahasiswa D3 Teknik Industri Boga FT unesa. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.
Nurlaela, L. 2001. Penyusunan Perangkat Pembelajaran Kontekstual Mata Pelajaran Teknik Pengolahan Makanan dan Minuman di SMK Kelompok Pariwisata. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.
Nurlaela, L. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implikasi. Jurnal Teknologi Pembelajaran Teori dan Praktek. Tahun 11/2, Oktober 2003. Malang: IPTPI bekerjasama dengan PPS Universitas Negeri Malang.
Nurlaela, L. 2007. Pengaruh Model Pembelajaran, Gaya Belajar, dan Kemampuan Membaca terhadap Hasil Belajar Siswa SD di Kota Surabaya. Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. 9 No. 1, Maret 2008, ISSN : 1411 – 285X.
Nurlaela, L. 2010. Peran Pendidikan Ilmu Kesejahteraan Keluarga (Home Economics) dalam Pembangunan Masyarakat. Pidato Pengukuhan disampaikan pada pengukuhan jabatan Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Ilmu Kesejahteraan Keluarga pada Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya, Kamis 7 Januari 2010.
Nurlaela, L. 2011. Pembelajaran karakter dalam Ilmu Kesejahteraan Keluarga. Dalam Rekonstruksi Pendidikan, Kumpulan Pemikiran tentang Perlunya Merekonstruksi Pendididikan di Indonesia. Editor: Syirikit Syah dan Martadi. University Press, Universitas Negeri Surabaya.
Parker, Frances J. 1980. Home Economics, An Introduction to A Dynamic Profession. New York: Macmillan Pub. Co. Inc.
Porwosoedarmo dan Djaeni Sediaoetama. 1987. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat.
Rifai, M. S. S. 1983. Garis Besar Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. PKK IKIP Bandung.
Samani, Muchlas. 1992. Jatidiri Keilmuan PTK. Makalah disampaikan pada Temu Karya V Forum Komunikasi FPTK IKIP se-Indonesia di IKIP Semarang.
Suryanti, Luthfiyah Nurlaela, Wahono Widodo. 2007. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Tematik untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di  Kelas Rendah SD. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.
Winarni, A. dan Luthfiyah Nurlaela.1997. Sosok Keilmuan IKK dan Program Perluasan Mandat. Makalah disampaikan pada Temu Karya V Forum Komunikasi FPTK dan JPTK IKIP se-Indonesia di IKIP Semarang.
Sukaryono. 2004. Sumbangan Pembangunan Karakter Bangsa dalam Pendidikan. Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Vol 27/1/2004. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Sweller, J. 1988. "Cognitive load during problem solving: Effects on learning". Cognitive Science 12 (2): 257–285. doi:10.1016/0364-0213(88)90023-7. 




[1] Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd, Professor in Home Economics Education, Lecturer at the Faculty of Engineering, State University of Surabaya.