Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 08 Juni 2013

Sumba Timur (2): Menuju Selura

Salah satu kondisi alam; anak-anak harus menyeberangi
sungai yang berbahaya bagi keselamatan mereka.
Selura. Nama pulau ini begitu memenuhi benak saya. Konon, adalah pulau yang indah. Termasuk dalam wilayah Kecamatan Karera. Bagian selatan Sumba Timur. Selama dua angkatan program SM-3T, kami belum pernah ke Selura. Mencocokkan waktu monev dengan kondisi laut tidaklah terlalu mudah. 

Pagi ini ada dua armada. Satu armada, dengan mobil double gardan, menuju Pinupahar, kecamatan terjauh di Sumba Timur. Bapak Rektor sudah pernah mencapai tempat itu pada monev tahun lalu. Armada ini terdiri dari Dr. Suyatno, Kahumas Unesa dan Dr. Suryanti, PD2 P3G Unesa. Dua pejabat itu didampingi (lebih tepatnya 'ditunuti') oleh tujuh peserta SM-3T. Mereka adalah para peserta dari Tabundung dan Pinupahar. Anak-anak itu merapat ke kota Waingapu beberapa hari ini dalam rangka seminar pendidikan yang kemarin telah sukses diselenggarakan. 

Armada yang lain adalah mobil panther touring dengan driver setianya, Oscar Adiyiwa, 'koordinator transportasi' kami di Sumba Timur. Saya bersama Drs. Abdurrahman Tuasikal, M.Pd ada di armada ini. Mantan dekan FIK itu begitu membuat kami kagum. Dalam kondisi apa pun, puasa daudnya terus bertahan. Hari ini beliau juga puasa, tak peduli sejauh dan seberat apa pun medan yang akan kami tempuh.

Oya, selain kami berdua, ada bapak Rasyid, guru SD Inpres Pulau Selura. Usianya 53 tahun. Mengajar di Selura sudah 37 tahun, sejak 1984. Aslinya dari Alor. Beliau kemarin turun ke kota dalam rangka mengikuti seminar. Menumpang perahu nelayan dari Selura ke Katundu dengan jarak tempuh sekitar satu jam, lanjut menumpang oto menuju Waingapu dengan jarak tempuh sekitar tujuh jam. Demi menimba pengetahuan dan wawasan.

Dengan pak Rahman dan pak Rasyid.
Selain Bapak Rasyid, ada Tamam, datang khusus untuk memandu kami menuju Selura. Dia memang ditugaskan di Selura. Juga ada Zia Zatul, lurah SM-3T. Yang lain adalah Lukman dan Sigit.

Kami berangkat dari Hotel Elvin pada 06.30 WITA. Baru kali ini kami melakukan monev dengan mobil penuh penumpang. Di rute Pinupahar ada sepuluh orang, sedang yang ke Selura ada delapan orang. Yang ke Pinupahar, lima peserta yang kebanyakan perempuan, terpaksa duduk di bak belakang, karena tempat duduk tentu saja tidak cukup. Namun bagaimana pun, itu masih jauh lebih nyaman, daripada naik oto. 

Cuaca tidak terlalu bagus hari ini. Heri yang di Selura mengabarkan Selura hujan deras dan dia berharap Waingapu tidak hujan. Karena kalau Waingapu hujan deras, sungai di Gongi bisa banjir dan itu artinya, kita tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Selura. 

Sebagaimana kondisi alam Sumba pada umumnya, bukit-bukit, padang sabana, hutan, lembah dan ngarai, mewarnai perjalanan kami. Gerombolan kuda yang sedang merumput dan berlarian di bukit-bukit. Sawah-sawah yang padinya mulai menguning menghampar indah di bawah sana. 

Namun gerimis yang rapat dan kabut tebal mengaburkan puncak-puncak bukit. Menyembunyikan kontur lembah-lembah. Dan, sejujurnya, memunculkan kegelisahan di hati kami. Kami hanya bisa berharap, Tuhan cukup mengirimkan gerimis, mendung dan kabut saja. Namun tidak sampai mengirimkan hujan deras apalagi sampai meluapkan air sungai Gongi. 

Izinkan kami mencapai Selura, ya Allah. Dengan sepenuh perlindungan dan ridho-Mu. Amin YRA.

Bersambung...

Tanarara, Matawai Lapau, Sumba Timur, 9 Juni, 2013. 09.30 WITA. 


Wassalam,
LN

Jumat, 07 Juni 2013

Sumba Timur (1): Seminar Pendidikan yang Membanggakan

Keharuan saya tumpah pagi ini begitu memasuki ruangan Gedung Nasional. Semua kursi di ruang itu penuh. Ada backdrop cukup besar terpampang di depan yang menjadi pusat perhatian. Ada banner besar di sisi kiri, warnanya merah muda. Dua layar LCD di sisi kanan kiri backdrop yang di depannya tertata meja panjang dan kursi-kursi.

Saya benar-benar terharu. Ternyata peserta seminar ini begitu banyak. Padahal tadi malam, ketika berkoordinasi dengan para panitia, peserta yang sudah memberikan konfirmasi kehadiran baru 49 orang. Tapi saya membesarkan hati panitia. Optimis saja. Empat puluh sembilan itu sudah bagus. Prediksi kasarnya, kalau 49 sudah positif, maka kemungkinan besar yang hadir lebih dari 49. Biasanya jumlah peserta seminar akan membludak justeru pada hari H. 

Mereka, para peserta seminar itu, adalah kepala sekolah dan guru dari seluruh pelosok Sumba Timur. Beberapa wajah saya kenal dengan sangat baik karena saya pernah berkunjung ke sekolah-sekolah. Mereka datang dari Pinupahar, Tabundung, Mahu, Matawai Lapau, Pahunga Lodu, dan dari kecamatan lainnya. Tidak tangung-tanggung, dua belas jam perjalanan mereka tempuh dengan menumpang oto (bus kayu/truk). Karena jauh dan sulit medan yang harus ditempuh, mereka berangkat kemarin. 

Pagi ini mereka semua ada di sini. Sekitar 250 orang. Semua kursi berpenghuni. Hebat. Luar biasa. Ini bukti mereka begitu haus akan informasi. Juga bukti bahwa publikasi panitia kegiatan berhasil dengan sukses. Membanggakan sekali.  
Semalam, sebenarnya saya agak pesimis acara bisa dimulai tepat waktu. Saya pikir akan molor barang setengah atau satu jam. Ternyata tiga puluh menit sebelum pukul 09.00 WITA, saya sudah ditelepon oleh panitia, kalau acara sudah siap, dan peserta sudah banyak yang datang. 

Tema seminar adalah 'Mendidik dengan Karakter untuk Meningkatkan Potensi Peserta Didik'. Pelaksanaannya di Gedung Nasional Umbu Tipuk Marisi (biasa disebut Gedung Nasional), Waingapu.
Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Peserta SM-3T Unesa, Program PPG Unesa, dan Dinas PPO Kabupaten Sumba Timur. Disponsori oleh Telkomsel dan Aquamor.

Perfect. Saya katakan, acara ini sangat sukses. Melampaui ekpektasi saya. Semalam, mereka konsultasi tentang bagaimana mengemas diskusi, apa peran moderator, apa yang harus dilaporkan oleh ketua panitia, dan sebagainya. Hari ini mereka melakukan semuanya dengan sangat baik. 
Acara demi acara pun berjalan dengan sangat lancar. Dimulai dengan menyanyikan lagi Indonesia Raya, pembacaan doa, sambutan dan pembukaan, acara inti, dan hiburan-hiburan. Sound system-nya sempurna. Perpindahan dari satu acara ke acara lainnya mengalir. Tidak ada jeda waktu yang terbuang.

Oya, ada yang unik. Pada saat mengantarkan acara, pembawa acara menyampaikan supaya selama acara berlangsung, peserta seminar tidak diperkenankan merokok atau mengunyah sirih pinang. Himbauan yang sangat khas dalam pertemuan-pertemuan formal di daerah NTT.

Acara dibuka oleh Kepala Dinas PPO, mewakili bupati yang tidak bisa hadir karena ada pejabat dari pusat. Sebelum sambutan kepala dinas, tari remo dibawakan dengan gemulai oleh salah seorang peserta SM-3T. Hiburan lainnya adalah pantomim dan paduan suara. Bagus, menarik, rancak.
Sangat menghibur dan mengundang kekaguman. Aplaus panjang seringkali mewarnai rangkaian acara tersebut. 
  
Keynote speaker pada seminar ini adalah Ruben Nggulindima, S.Sos., M.Pd, Sekretaris Dinas PPO Sumba Timur. Materinya adalah kebijakan Dinas PPO dalam pengembangan karakter melalui pendidikan. Saya sendiri menyampaikan materi hakekat guru, dan Dr. Suryanti (PD 2 Program PPG) memberikan materi inmplementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran.  
Peserta mengikuti materi demi materi dengan begitu penuh perhatian. Mengingat siapa audience, saya mempresentasikan banyak gambar dalam tayangan saya. Foto anak-anak sekolah di Sumba Timur dengan berbagai aktivitas mereka (mengambil air, mencari sayuran di kebun, bermain di sekolah, dan sebagainya), kondisi sekolah, aktivitas guru-guru (baik guru asli Sumba Timur maupun guru-guru SM-3T), kondisi alam dan masyarakat Sumba Timur, dan seterusnya. Saya juga menayangkan foto-foto yang menggambarkan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, dan betapa jauh ketertinggalan Sumba Timur dengan dunia luar. Oleh sebab itu, Sumba Timur, terutama dalam bidang pendidikannya harus memacu diri supaya tidak semakin jauh tertinggal. Guru-guru merupakan ujung tombak dalam mengejar ketertinggalan itu. Maka guru harus memiliki pengetahuan, keterampilan, jejaring, dan di atas semua itu, guru harus berkarakter. Saya tampilkan berbagai bukti hasil penelitian dan survey, betapa karakter menjadi tuntutan dan faktor utama agar mampu bertahan dalam perkembangan dunia seperti apa pun. 

Setelah sesi saya, bu Yanti menyampaikan materinya dengan cara yang tak kalah menarik. Dia memperagakan dengan sangat gamblang bagaimana karakter diintegrasikan dalam pembelajaran. Dia mendemonstrasikan pembelajaran yang mengaktifkan siswa dengan media kertas, botol air mineral, gelas, dan beberapa alat yang ada di sekitarnya. Beberapa guru dipanggilnya untuk memperagakan percobaan-percobaan sederhana seolah mereka adalah siswa sekolah. Menyenangkan dan sangat mencerahkan sekali.

Pada sesi tanya jawab, tidak terduga, guru-guru dari pedalaman itu begitu antusias mengangkat tangannya untuk mengambil kesempatan tersebut. Namun karena waktu sangat terbatas, hanya lima orang saja yang diberi kesempatan bertanya. Beberapa buku kami serahkan sebagai apresiasi pada mereka yang telah bertanya dan memperagakan percobaan, termasuk buku 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca', buku hasil tulisan para peserta SM-3T, yang dikompilasi oleh wartawan senior Jawa Pos, Rukin Firda.

Hari ini begitu menyenangkan. Bukan hanya karena suksesnya acara seminar. Namun nilai-nilai yang terbangun di balik kesuksesan itu. Ini adalah bukti kerja keras dan kerja cerdas dari anak-anak kami ini. Mereka telah menorehkan satu catatan indah di benak para guru di Sumba Timur. Mereka telah melakukan tindakan nyata untuk membawa mereka pada peradaban yang lebih terbuka, saling menghargai, dan menempatkan pendidikan dan anak didik sebagai titik sentral pembangunan di semua bidang. 

Gedung Nasional, Waingapu, Sumba Timur. 8 Juni 2013.

Wassalam,
LN

Double Gardan

Menjelang subuh. Saya bangun dari tidur. Menggeliat sambil melafalkan rasa syukur karena hari ini saya masih bisa melihat pagi. Sehat wal afiat. Alhamdulilah. Meski ada sedikit pegal-pegal yang saya rasakan di punggung dan pundak. Sisa kelelahan semalam. Biasa, terbiasa tidur larut malam menjelang pagi, membuat tubuh sering merasa seperti masuk angin. Tapi rasa itu akan segera hilang begitu saya mulai melakukan aktivitas. Tak perlu dihiraukan. Biar tidak manja. 

Seperti biasa, saya mendahului bangun. Mas Ayik masih pulas. Arga tidur di sofa di depan TV ditemani cello dan perangkat fotografinya. Anak itu lagi gila kamera beberapa waktu belakangan ini. 

Sambil menunggu adzan, saya memanaskan nasi. Membuat jus buah. Pagi ini saya hanya menyajikan bandeng presto, bawang goreng dan sambal pecel akas (sambal pecel yang tidak dicampur air). Cukup. Kami terbiasa makan pagi dengan menu sederhana dan tidak ribet. Kadang hanya tempe goreng dan sambal bawang. Kadang telur ceplok atau omelette dengan sambal kecap. Sering juga hanya roti dengan isi coklat miesis atau keju dan sosis. Atau ayam goreng dan saus botol. 

Alhamdulilah, kedua laki-laki pujaan saya, Mas Ayik dan Arga, tidak pernah rewel soal makanan. Apa saja yang disajikan di atas meja, nyaris selalu dinikmatinya.

Selesai semua, saya membangunkan para lelaki. Sholat shubuh. Mas Ayik lantas memulai aktivitasnya. Membersihkan halaman, mencuci mobil. Arga bantu-bantu. Saya sendiri mulai bersiap-siap, mandi dan mengecek bagasi. 

Pagi ini saya akan berangkat ke Sumba Timur. Ada seminar nasional tentang hakekat guru dan pendidikan karakter yang diselenggarakan oleh para peserta SM-3T. Kami, saya dan bu Yanti, diminta untuk menjadi narasumbernya. Juga kepala dinas PPO Sumba Timur. 

Kesempatan ini akhirnya kami gunakan untuk sekalian monev SM-3T kedua. 'Ngiras-ngirus'. Biar ngirit. Panitia, yang notabene adalah anak-anak kami itu, tidak mungkin menyediakan transpor dan akomodasi kami sebagai narasumber. Bila mungkin pun, kami tidak akan menerima.

Bagaimana pun, dana mereka terbatas. Tidak mudah mencari sponsor di Sumba Timur ini. Ditambah lagi, acara seminar dan sejenisnya belum menjadi acara favorit. Panitia musti 'door to door' untuk mempublikasikan, untuk memastikan para kepala sekolah dan guru akan hadir sebagai peserta seminar. Anak-anak muda itu datang langsung ke sekolah-sekolah, bertemu dengan kepala sekolah dan guru-guru, dan menghimbau mereka untuk menghadiri seminar. 

Dari sekitar 300 undangan yang mereka siapkan, hanya bisa didistribusikan sekitar 200. Kendala utamanya adalah medan yang terlalu sulit untuk dijangkau, saking pelosoknya, dan akses menuju daerah tersebut sangat susah. 

Untuk masalah dana, sebanyak 78 peserta itu patungan, Rp. 250.000 per orang. Dana itu dialokasikan untuk seluruh keperluan seminar, mulai dari kesekretariatan, sewa gedung, konsumsi, narasumber lokal, dan sebagainya. Makanya tidak bijak kalau transpor dan akomodasi kami harus mereka atasi juga. 

Seminar ini adalah salah satu wahana mereka untuk mengembangkan keterampilan mengelola event forum ilmiah, mengembangkan kerja sama, dan, juga yang tidak kalah pentingnya, adalah wahana untuk pencitraan diri. Pencitraan bagi mereka sebagai guru-guru pengabdi, pencitraan bagi Unesa, dan pencitraan bagi dunia pendidikan pada umumnya.

Oh ya, kembali ke cerita tentang diri saya sendiri. Biar nyambung dengan judul tulisan ini. Ha ha...

Semalam, ketika semua sudah tidur, saya masih bekerja. Mereviu beberapa artikel yang akan dimuat di sebuah jurnal ilmiah. Kebetulan saya anggota mitra bestari di beberapa jurnal. Karena besok pagi harus bertugas di Sumba, maka pekerjaan ini harus rampung dulu. Di Sumba sudah banyak pekerjaan lain yang menunggu. Jadi, semalam saya seperti dikejar deadline. Ya, ternyata tidak hanya wartawan yang dikejar-kejar deadline. 

Dalam kesendirian saya (karena yang lain sudah pada tidur), kadang-kadang saya 'mikir-mikir dewe', betapa setiap perempuan itu diciptakan untuk menjadi kuat. Ya, di balik kelemah lembutannya. Begitu bangun tidur dan menjelang tidur lagi, seorang ibu nyaris tidak pernah berhenti memikirkan rumah. 

Pagi hari, begitu bangun, yang ada di pikirannya adalah menyiapkan makanan, membersihkan rumah, memastikan kalau dia bekerja di luar rumah nanti, ada makanan untuk yang di rumah dan yang nanti pulang. Memastikan baju-baju yang akan dikenakan setiap anggota keluarga sudah siap, dan seterusnya. 

Malam hari, ketika setiap anggota keluarga sudah lelap, mungkin si ibu masih juga bekerja. Memastikan tidak ada satu sendok pun yang belum dibersihkan, memastikan besok paginya sudah ada bahan makanan yang akan diolah menjadi menu sarapan maupun untuk bekal anak dan suami ke sekolah dan ke tempat kerja. Baru dia mengerjakan pekerjaan kantornya. Setelah urusan rumah beres. Saat semua anggota keluarga sudah lelap.

Meski ada pembantu di rumah, ibu adalah manajer yang tetap harus bekerja. Pembantu itu bukan siapa-siapa tanpa kita yang mengarahkan harus seperti apa dia. 

Setiap kali saya akan tugas keluar kota, saya memenuhi kulkas dengan logistik. Memasang daftar susunan menu di dapur. Mengingatkan pembantu untuk melakukan apa saja agar rumah tetap bersih, makanan aman, dan baju-baju selalu siap. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Saya membayangkan Tiwik yang sedang studi di Aussie dengan dua anaknya. Mbak Sirikit dengan seabreg kegiatannya. Teman-teman perempuan saya yang lain yang sering menjadi partner bekerja di luar kota. Mereka selalu mengawali pagi dengan menyapa suami dan anak-anaknya. Menjelang tidur, setelah seharian lelah beraktivitas, kembali menyapa keluarga dan memastikan mereka semua baik-baik saja meski ibu tidak sedang di rumah. 

Saya pikir, betapa setiap perempuan diciptakan untuk menjadi sosok dengan double gardan. Roda depan dan belakang harus jalan semua. Urusan karir dan tugas-tugas domestik musti beres semua. Betapa setiap perempuan menjadi sosok yang begitu penting dengan berbagai perannya tersebut.

Berbahagialah kalian, wahai para perempuan.....  

Cukup dulu. OTW Juanda, ngejar waktu. Bagasi banyak, jadi tidak boleh telat check in.....

Surabaya, 7 Juni 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 06 Juni 2013

Mbak Marni Mantu

Mbak Marni adalah teman SMP saya. Anaknya tiga. Seperti ibunya, anak pertamanya, perempuan, juga lulusan Unesa. Nah, anak perempuannya itulah yang saat ini sedang dimantu.

Kami bertiga, saya, mas Ayik dan Arga, berangkat dari Surabaya menuju Tuban kemarin sore selepas maghrib. Mas Ayik dan saya mengendarai Espass, mobil yang akan kami hadiahkan untuk ibu Tuban. Mobil keluaran tahun 2006 berwarna hitam itu masih sangat mulus. Kilometernya baru 55 ribu meski mobil sudah beroperasi selama tujuh tahunan. Beberapa bagian bahkan masih belum dilepas plastiknya. Mulus. Mesinnya juga. Meski mungkin ada yang perlu distel-stel, begitu kata Mas Ayik. Mobil yang cukup lumayan untuk membawa Ibu ke tempat-tempat pengajian dan ke tempat saudara-saudara. Ibu hobi silaturahim dan ngaji, dan mobil tua yang selama ini mengantar beliau ke mana-mana itu sudah waktunya dicarikan teman. Meski temannya tidak terlalu muda, tapi lumayanlah...hehe.

Oya, Arga mengendarai mobil kecil kami, sendirian. Meski sendirian, di mobilnya sudah saya siapkan cukup bekal. Minuman dan kletikan. Tapi Arga biasanya cukup puas dengan mendengarkan lagu-lagu kesayangannya. Menemani dia melek sepanjang perjalanan.

Pagi tadi selepas shubuh, seperti biasa, saya dan mas Ayik berburu nasi uduk. Belasan nasi uduk bungkus kami bawa pulang untuk sarapan. Tapi tidak sebanyak biasanya. Banyak yang puasa hari ini, puasa Sya'ban. Hampir semua orang dewasa di tiga rumah dalam kompleks rumah keluarga besar kami sedang berpuasa. Kecuali orang dewasa perempuan yang lagi ada udzur atau lelaki dewasa yang sedang M. 
Maksudnya....mmmmMales... Hehe.

Setelah sarapan, kami dan ibu beserta beberapa keponakan pergi ke saudara yang seminggu lalu baru saja 'kesripahan'. Sekalian 'nganyari' mobil lawas. Ibu sangat 'marem' dengan mobil barunya itu.

Saudara kami itu memiliki empat anak, masih kecil-kecil. Beberapa tahun yang lalu ibunya anak-anak itu meninggal. Seminggu yang lalu, ayah mereka yang meninggal. Empat orang anak yatim piatu itu membuat hati kami trenyuh pagi ini. Wajah-wajah polosnya membuat kami larut dalam kedukaan. Benar-benar yatim piatu. Keempatnya belum ada yang berusia baligh. Betapa luar biasa ganjaran Allah yang musti diterima oleh keluarga ini. Menguji kesabaran dengan ganjaran demi ganjaran. Sekaligus membuka pintu-pintu surga dari segala penjuru bagi siapa pun yang berkenan menyantuni anak-anak itu. Demi meraih ridho-Nya. 

Kembali ke mantunya Mbak Marni. Resepsi dilaksanakan di Gedung KSPKP (saya lupa kepanjangannya, panjang sekali sih). Kami datang sekitar pukul 11.20. Sejak di bagian penerima tamu, sudah ada yang menyapa saya, termasuk perempuan-perempuan cantik yang menunggu buku tamu dan suvenir. Ternyata saya cukup populer di sini....wakak...

Kami langsung menuju panggung pelaminan, menyalami Mbak Marni dan pendampingnya. Pendamping Mbak Marni adalah anak keduanya, si jangkung yang tampan. Suami Mbak Marni sudah berpulang beberapa tahun yang lalu, jadilah si sulung sebagai pengganti bapaknya. 

Saya dan Mbak Marni berpelukan, haru. Kami memang sangat dekat. Bersahabat sejak lama. Setiap kali kami pulang kampung, Mbak Marni selalu menghadiahi kami legen asli. Kadang-kadang pisang dan belimbing hasil kebunnya sendiri. Mbak Marni juga beberapa kali main ke rumah kami di Surabaya, seingat saya waktu kami mau berangkat dan pulang haji, juga pada kesempatan yang lain. Saking dekatnya, anak-anaknya sudah sangat mengenal kami. Maka saya pun memeluk putri tunggalnya yang lagi dimantu itu, menjabat erat tangan lelaki muda di sisinya yang ngganteng dan santun, dengan penuh haru dan bahagia.

Begitu kami turun, seorang ibu yang kelihatannya sudah sangat mengenal saya, menyambut kami dan menyilakan kami di sisi yang nampaknya sudah disiapkan khusus untuk para keluarga dan sahabat. Meja-meja prasmanan dengan meja kursi makan yang sudah diatur melingkar. Cocok untuk menikmati hidangan sambil mengobrol dengan kawan-kawan lama.

Tak pelak. Reuni dadakan pun terjadilah. Ada puluhan teman SMP beserta keluarganya yang akhirnya 'ngumpul' di sudut itu. Senangnya bertemu mereka. Kami pun seperti jadi pusat perhatian kedua setelah pengantin. Berkali-kali tukang foto dan tukang video mengarahkan sorotnya ke kami yang lagi ramai. Rupanya Mbak Marni memang meminta para awak dokumentasi itu untuk merekam kami sesering mungkin (haha, ge er). Arga pun juga mengabadikan hampir setiap momen kebersamaan kami.

Lebih dari satu jam kami ada di tempat itu. Beberapa kali saya nyeletuk, 'eh, nggak buyar tah?'. Teman-teman tertawa saja. Sampai akhirnya salah satu dari mereka bilang, 'lek sampeyan pamit, ngko kabeh lak buyar...' Haha, rupanya saya jadi tamu kehormatan siang ini. Dan benar. Begitu saya berdiri dan bilang, 'ayo buyar, rek, wis awan', mereka berdiri. 

Kami tidak langsung menuju pintu keluar. Tapi menuju pelaminan lagi, bermaksud pamit ke Mbak Marni, dan tentu saja, foto bersama. Ramailah kami di panggung penganten. Pengantennya sampai seolah tersisih. Mbak Marni nampak bahagia sekali. Awak dokumentasi sibuk mengabadikan kami. 

Ada banyak tawaran untuk singgah di rumah kawan-kawan. Selalu begitu. Kalau pulang ke Tuban, kami bisa memperoleh banyak 'properti'. Legen, belimbing Tasikmadu, pepaya, mangga, apa saja sesuai musimnya. Minimal makan gratis lontong tahu yang sedap, garang asem, mangut pe,  atau cumi, rajungan dan konco-konconya.

Tapi kami tidak punya waktu banyak. Siang ini juga kami harus segera meluncur kembali ke Surabaya. Sore dan malam ini saya harus packing. 

Besok pagi berangkat ke Sumba.

Selura, I'm coming.....

Tuban, 6 Juni 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 31 Mei 2013

Siti Rodhiyah dan Sanggar Alang-Alang

Gadis itu langsung tersenyum begitu melihat saya. "Ibu, ketemu lagi", katanya. Saya tersenyum dan mengatakan bahwa kebetulan kami sedang belanja, dan sengaja menyempatkan diri mampir di konter Sanggar Alang-Alang ini.

Siti Rodhiyah, anak manis itu, menemani saya dan Mas Ayik melihat-lihat barang-barang kerajinan yang dibeber di stand yang ditunggunya. Masih seperti yang dulu, item-itemnya tidak berubah. Bunga-bunga dari kertas, vas dan ornamen lain dari terakota, kain-kain jumputan, kain-kain sablonan, dan mainan anak-anak dari bambu. Nyaris tidak ada perubahan, tetap seperti saat saya mengunjunginya beberapa waktu yang lalu.

Rodhiyah sedang sendirian. Mama sedang di rumah menunggu cucunya. Bapak, yaitu Bapak Didit Hape, sedang berkunjung di kios sebelah. 

Rodhiyah dengan ramah melayani seorang ibu yang memilih-milih mainan bambu bersama anaknya. Saya memperhatikan bagaimana dia membawakan tas plastik dan menyilakan ibu itu memasukkan barang-barang yang dipilihnya ke dalam tas plastik itu.

Rodhiyah bergabung di Sanggar Alang-Alang sejak kelas empat SD. Dia merupakan anak tunggal dari seorang ayah yang tinggal di Kenjeran, dan ibu yang tinggal di Pulo Wonokromo. Ayahnya sudah menikah lagi, punya dua anak. Ibunya juga sudah menikah lagi, punya lima orang anak. Setahunya, kedua orang tuanya sudah berpisah seperti itu sejak dia masih sangat kecil.

Waktu kecil, Rodhiyah sering ikut pakliknya 'ngamen' di daerah Wonokromo. Oleh karena pakliknya bergabung di Sanggar Alang-Alang, Rodhiyah akhirnya mengenal sanggar itu. Tempat puluhan bahkan ratusan anak jalanan menitipkan hidupnya.

Akhirnya, lama-lama, Rodhiyah terseret bergabung di Sanggar Alang-Alang. Belajar berbagai hal bersama teman-temannya senasib, di bawah bimbingan Bapak dan Ibu Didit Hape. Mungkin karena dia merasa sanggar tersebut cukup menjanjikan baginya, terutama dalam hal memenuhi kebutuhannya akan kasih sayang keluarga dan juga sebagai tempat dia mengembangkan bakatnya. Rodhiyah pun akhirnya resmi menjadi penghuni Sanggar Alang-Alang. Tak terasa, sampai saat ini, dia sudah sembilan tahun menjadi anggota keluarga sanggar itu.
  
Saat ini, Rodhiyah yang suka menari itu sudah duduk di semester dua Prodi Pendidikan Luar Biasa (PLB) FIP Unesa. Syukurlah dia mendapat beasiswa dari Terminal Peti Kemas (TPK). Beasiswa itu sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan kuliah dan kebutuhan hidupnya. Saat saya tanya, apa cita-citanya, dia ingin kelak bisa mengabdikan dirinya untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Saya dan mas Ayik pamit setelah kami membeli sebuah kain jumputan, lagi. Bapak Didit Hape tiba-tiba muncul. Beliau mengucapkan terimakasih untuk kunjungan kami. Pria tinggi besar yang masih nampak gagah dalam usianya yang sudah senja itu berbusana putih dan, tentu saja, bertopi, ciri khasnya. Rambut ikalnya, meski panjang, terurai rapi.
  
Kami menuju food court yang letaknya persis di depan konter Sanggar Alang-Alang. Suara musiknya sudah sedari tadi mengundang kami. Di depan sebuah panggung kecil, kami menikmati live music yang bertema 'Friday Sweet Rock'. Lima cowok memainkan alat musik dan seorang di antaranya menyanyi. Suaranya bagus. Lagunya juga enak-anak. Love of My Life dari The Scorpions, We are The Champion milik Queen, dan beberapa lagunya Slank. 

Kami hanya memesan jus buah untuk menghabiskan sisa waktu menjelang Goci Mall  tutup. Dari kejauhan, saya melihat Siti Rodhiyah mulai mengemasi barang-barang dagangannya. Senyum manisnya membayang di mata saya. Betapa indahnya melihat anak tabah itu menikmati kehidupannya....

Golden City Mall, Surabaya, Akhir Mei 2013.

Wassalam,
LN

Makan Soto Kudus

Pagi ini, pukul 10.00, saya sudah di Kedai Taman, di Taman Gayungsari Timur Nomor 7 Surabaya. Bermaksud nyahur hutang. Beberapa waktu yang lalu, saya janji ke anak-anak, mahasiswa S1 Pendidikan Tata Boga angkatan 2011, kalau kegiatan Gelar Kewirausahaan mereka bagus, saya akan traktir mereka makan soto kudus di dekat Masjid Al Akbar. Nah, karena kegiatan Gelar Kewirausahaan mereka relatif bagus, maka saya harus memenuhi janji saya.

Jadilah Kedai Taman ini mirip pasar tiban. Ramai sekali dengan celoteh ceria mahasiswa yang mayoritas cewek ini. Sekitar lima puluh mahasiswa. Sebenarnya saya memesan enam puluh lima porsi, sesuai jumlah mahasiswa yang sekitar enam puluh. Namun beberapa mahasiswa tidak turut serta karena ada kegiatan lain. Ada yang masih harus ikut kuliah terakhir, ada yang lagi praktek, ada juga yang lagi membantu panitia Seminar Nasional Bosaris IV. Mereka sms ke salah satu temannya untuk memintakan izin ke saya, dan minta dibungkuskan. Hehe. Dasar anak-anak. Untuk urusan makan gratis, mereka tidak akan melewatkan. Meski tidak datang pun mereka tetap minta dibungkuskan.

Berbagai minuman, sesuai pesanan, keluar dan tersaji di atas meja. Es teler, es jeruk, es cao, es susu soda, es teh, es jus, dan berbagai minuman panas. Minuman itu langsung 'disruput' sama anak-anak muda yang lagi semangat-semangatnya itu. Saya sendiri memilih jeruk panas. Cocok untuk hidung saya yang lagi mampet.

Yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang. Tersaji indah menggoda di depan setiap wajah. Semangkuk kecil soto kudus yang asapnya mengepul karena panas. Kepulannya menyebarkan aroma wangi ayam dan rempah. Kecap manis, jeruk nipis dan sambal pun berpindah ke mangkuk-mangkuk kecil itu. 

Ajaib. Suasana yang tadi ramai tiba-tiba hening. Begitulah. Kalau lagi makan, mereka diam. Kalau tidak ada makanan, mereka ramai. Haha. Menyenangkan betul bersama anak-anak lucu itu.

Dua toples krupuk uyel nyaris habis. Padahal per toplesnya berisi lima puluh biji. Saya minta ke pelayan untuk mengeluarkan satu toples lagi. Tidak pakai lama, mangkuk-mangkuk mungil itu pun kosong. 

Saya menawari mereka supaya 'nambah'. Tidak ada yang mau, hanya ada satu-dua, itu pun dengan malu-malu. Saya meminta pelayan untuk menyorongkan saja tiga mangkuk soto di setiap meja. Eh, ternyata anak-anak itu memang malu-malu kucing. Begitu mangkuk-mangkuk itu diletakkan di atas meja, mereka pun menikmatinya dengan tertib dan lancar. 

Setelah semua kenyang, saya meminta pelayan untuk membungkuskan sepuluh porsi. Untuk anak-anak yang tidak bisa hadir dan mereka sedang ada di kampus. 

Setelah' itung-itungan' sama kasir, saya bersorak. 'Horee....masih susuk'. Tangan saya melambai-lambaikan dua lembar ratusan, kembalian dari uang muka yang saya titipkan ke kasir. Anak-anak itu ikut-ikutan teriak 'horeeee...'. Ya, mereka ramai lagi, mungkin karena makanan mereka sudah habis. Haha.

Kami pun berpisah setelah berfoto bersama di depan kedai. Saya bersiap langsung meluncur menuju kampus Lidah Wetan, ke Gedung PPG. Ditunggu untuk tiga rapat hari ini. Rapat dengan kaprodi penyelenggaran S1 KKT untuk penentuan kelulusan, rapat persiapan monev dengan internal tim pengelola PPG dan pengelola asrama, sore nanti rapat dengan perwakilan mahasiswa untuk persiapan monev juga. 

Saya melajukan mobil membelah siang yang panas dengan penuh semangat. Hari ini tunai sudah satu hutang saya.....

Surabaya, 29 Mei 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 29 Mei 2013

BULAN DI ATAS GEDUNG

Bulan di atas gedung
Membisu dan murung
Pagi tak mungkin terus beku
Detik demi detik berlalu
Matahari kian memburu
Dan semuanya hanya menunggu waktu
Bulan dengan cepat akan jatuh layu

Bulan di atas gedung
Senyumnya cemas
Gedung-gedung itu akan menggilas
Memipihkan bentuk bulatnya
Meremuknya menjadi serpihan-serpihan
Tak bermakna
Bulan hanya tinggal puing

Bulan di atas gedung
Dialah saksi
Saat ribuan orang menjerit-jerit
Terjerembab dan terbirit
Menyelamatkan sanak keluarga
Menggapai apa saja
Melolong-lolong menyaksikan rumah-rumah mereka hancur
Sekolah dan tempat ibadah terhempas
Tenggelam dalam gulungan lumpur

Pada saat itu
Di bagian bumi yang lain
Mesin-mesin berputar pagi siang malam sampai pagi lagi
Ratusan orang bermandi peluh Memasang tiang-tiang pancang
Besi cor, beton-beton bertulang
Menata bata demi bata hingga tinggi menjulang
Memastikan bangunan akan tegak menantang

Bangunan-bangunan itu
Adalah gedung-gedung pencakar langit
Fondasinya dari tulang-belulang rakyat jelata
Dindingnya terbuat dari lelehan peluh dan air mata
Atapnya adalah kumpulan rintih dan tangis mereka

Meski kokoh
Gedung-gedung itu berdiri di atas kubangan lumpur
Lumpur lapindo

Hai para konglomerat, wakil rakyat, dan para penjilat
Cukuplah sudah
Kau buat gedung-gedung bertingkat
Tidakkah kau dengar
Jutaan orang menjerit
Menanti Tuhan membuka hatimu sedikit
Biar tidak terus kau buat orang sakit semakin sakit
Karena janjimu terus berbeli-belit

Hai para konglomerat
Sampai kapan hatimu akan terus bebal?
Masihkah kantong-kantongmu kurang tebal
Ke manakah sebenarnya kau akan menuju
Tidakkah kau tahu
Bahkan sekeping bata pun tak kan mampu kau buru
Saat sang sakaratul maut menjemputmu.....
  
Kawasan Epicentrum, Jakarta, 25 Mei 2013. 05.00 WIB.

(Catatan kecil untuk tujuh tahun Peringatan Lumpur Lapindo, 29 Mei 2013)

Wassalam,
LN