Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Senin, 10 Juni 2013

Sumba Timur (5): Bersama Anak-Anak Pantai

Salura di sore hari. Penuh dengan nelayan di pantai yang sedang menyiapkan perahu untuk mencari cumi malam nanti. Suaranya ramai ditingkahi dengan deburan ombak yang bersusulan. 

Menurut Heri dan kawan-kawan, pada bulan-bulan ketika laut tenang (mulai April-Desember), ratusan perahu akan memenuhi laut. Mereka kebanyakan adalah para nelayan dari Lombok. Perahu-perahu besar yang menjadi pengepul, parkir agak ke tengah. Perahu-perahu besar itu juga milik nelayan dari Lombok.

Bila musimnya, cumi memang sangat berlimpah di laut ini. Setiap nelayan bisa memperoleh ratusan kilogram cumi setiap hari. Laut akan diterangi cahaya lampu petromak dari ratusan kapal. Cumi memang peka pada cahaya, sehingga secara naluriah rombongan hewan laut berdaging lunak itu akan berebut mendekati cahaya. Para nelayan berlomba menangkapnya.

Cumi basah di sini dijual dengan harga Rp. 10.000,- per kilogram. Bila dalam keadaan kering, harganya bisa mencapai Rp. 70.000,-. Cumi itu akan di bawa ke Lombok oleh para pengepul, untuk dilempar ke pasar yang lebih luas.

Bila musim angin tiba (bulan Januari-Maret), laut sepi. Nyaris tidak ada satu pun perahu yang parkir. Begitu juga tenda-tenda, bersih. Bahkan sebagian penduduk Salura juga eksodus ke tempat lain, untuk mencari laut yang lebih memberi harapan.

Sore itu selepas mandi dan sholat ashar, kami keluar dari tempat kami. Oya, saya disediakan tempat di mess ibu bidan. Kebetulan ibu bidan sedang mudik ke Melolo, sehingga kamarnya bisa saya pakai. Pak Rahman juga di situ, tapi di ruang kantornya. Sementara tempat tinggal anak-anak adalah di mess. Sebenarnya bukan mess. Itu adalah salah satu rumah dari sekitar tiga puluh rumah yang dibuatkan pemerintah untuk masyarakat Salura. Sebagai salah satu bentuk perhatian pemerintah pada wilayah terluar ini. Tapi entah kenapa, justeru orang Selura asli tidak banyak yang menempati tumah-rumah itu.

Kebetulan rumah-rumah itu ada di dekat sekolah. Jadilah rumah anak-anak itu merangkap sebagai kantor sekolah, karena di sekolah tidak ada kantornya. Bendera merah putih dipasang di dinding depan. Dinding berbahan dasar bambu kombinasi batu putih di bagian bawahnya. 

Sore itu kami ke masjid. Mengajar iqro dan Al Quran. Siswa TPA ada lebih dari 50 anak laki dan perempuan. Ramai sekali. Salura ternyata dipenuhi dengan anak-anak. Anak-anak berkulit hitam, kebanyakan berambut ikal. Khas anak pantai dari NTT. 

Sebelum ada peserta SM-3T, di Salura sudah pernah ada TPA (Taman Pendidikan Al Quran). Namun itu sudah berhenti sekitar lima tahun yang lalu. Kehadiran Heri dan kawan-kawan menjadi oase bagi anak-anak dan orang tua, di tengah kelangkaan guru mengaji. Keempat anak itu kebetulan pandai mengaji, dan memiliki komitmen tinggi untuk meramaikan masjid, sehingga bisa menghidupkan kembali TPA setiap sore hari.

Dengan 138 KK dan 600-an jiwa, Salura yang luas wilayah berpenghuninya hanya sekitar dua kilometer persegi ini memang cukup ramai. Ramai dan agamis. Bila waktunya sholat, di mana-mana orang berkain sarung dan berkopiah. Adzan menggema dari masjid yang baru selesai dibangun, memanggil masyarakat sekitar untuk berjamaah. Berada di Salura, seperti sedang berada di desa santri. 

Setelah mengaji di masjid, kami beramai-ramai bermain di pantai, menunggu adzan maghrib. Senja yang berawan menyembunyikan sinar matahari yang siap tenggelam. Meski begitu, suasana syahdu tak pelak tetap terasa kental. Puluhan anak pantai, ratusan perahu, laut yang biru, senja yang temaram, dan bukit-bukit yang diliputi kabut, menyajikan keindahan yang tak terkatakan.

Begitu adzan maghrib, kami ke masjid. Listrik tidak menyala sejak tiga hari ini karena genset kehabisan minyak. Entah kapan minyak kiriman dari Waingapu akan tiba. Maka sholat berjamaah dilaksanakan dalam kegelapan. Di masjid yang cukup besar namun masih setengah jadi. Masjid yang halamannya dipenuhi dengan kambing dan kotorannya. 

Ya, kotoran kambing dan sapi memang ada di mana-mana di Salura ini. Mereka dibiarkan begitu saja di kebun-kebun, di jalan, di pekarangan-pekarangan. Bila musim hujan tiba, mereka berteduh di sekolah, di kantor desa, di teras-teras rumah. Maka aroma kotoran sapi menjadi aroma khas di Salura, berbaur dengan aroma pantai yang tertiup angin.

Setelah sholat, kami dijamu makan malam di rumah bapak Rasyid. Menunya nasi putih, kare ayam dan oseng cumi. Kami semua makan dengan menyenangkan. Lahap. Makanan habis tandas.

Pohon signal di Katunda.
Selama melakukan semua aktivitas itu, HP saya gantung di dinding di rumah anak-anak.  Sinyal hanya ada di dinding itu, di atas pintu mess ibu bidan, dan di bawah sebuah pohon di pantai. Bila ingin mengirim sms, pesan kita tulis dulu, kemudian HP digantung. Menunggu sinyal sehingga sms kita terkirim dan sekaligus menunggu jawaban. Jadi percuma membawa-bawa HP, karena sinyal tidak tersebar di sembarang tempat. 

Kami semua juga heran dengan perilaku sinyal di Salura dan di wilayah-wayah 3T yang lain. Sinyal hanya ada di titik-titik tertentu, sehingga dikenal ada pohon sinyal, bukit sinyal, dan dinding sinyal. Ada juga sinyal yang munculnya ketika malam hari sampai pagi, seperti di MBD. Seringkali sinyal seolah penuh, namun tidak bisa digunakan untuk mengirim sms atau bertelepon. Hanya bisa menerima. 

Malam ini kami habiskan dengan berbagai aktivitas. Mengobrol dengan beberapa tokoh masyarakat dan mendengarkan harapan-harapan mereka. Salah satunya adalah supaya Salura tetap digunakan sebagai tempat penugasan program SM-3T. Kalau bisa, jumlah pesertanya ditambah, dan syarat yang khusus, pesertanya bisa mengaji seperti peserta yang sekarang ini.

Sementara itu, Zia dan kawan-kawan mencari jengkerik di sekitar mess. Berbaur dengan anak-anak kampung yang sedang melakukan aktivitas yang sama. 

Oya, Zia, Lukman dan Sigit, tadi sore sempat dikerjain oleh Heri dan kawan-kawan. Menurut Heri, siapa pun yang masuk ke Pulau Salura ini, kalau yang bersangkutan belum menikah, dia harus berjalan mundur mulai dari pantai sampai ke sumur alam. Entah karena takutnya pada isu swanggi di tempat ini, atau karena saking bodohnya, ketiga anak itu pun berjalan mundur. Tiba di sumur, mereka masih diharuskan mengitarinya sampai tujuh kali, kemudian membaca adzan.

Sebenarnya dari awal ketiga anak itu sudah ragu dan curiga mereka hanya dikerjain saja, namun nampaknya mereka memilih tetap melakukan karena ada rasa ragu juga, jangan-jangan memang inilah adat Salura yang harus mereka penuhi. Wajah Heri, Andi dan Tamam memang menunjukkan muka serius. Namun begitu pak Rasyid meminta mereka untuk mengambil kerikil dan melemparkannya mengarah ke sebuah dinding, tak pelak, tawa pun pecah karena  mereka sadar jelas-jelas sedang dikerjain.  

Menjelang tengah malam, saat saya masih juga belum lelap, Heri mengetuk pintu kamar saya dan membawakan teh panas. Rupanya dia mendengar saya batuk-batuk dan dia memastikan saya memerlukan minuman itu.

Debur ombak, desis angin, dan suara binatang malam meramaikan malam yang telah larut. Para lelaki ada di luar kamar yang saya tempati. Mereka semua sudah pulas. Dengkurannya bersahut-sahutan. 

Ternyata binatang malam tidak hanya ada di luar kamar, tapi juga ada di dalam kamar. Beberapa jengkerik dan binatang kecil menemani saya sepanjang malam itu.

Salura, Karera, 9 Juni 2013. 24.30 WITA.

Wassalam,
LN

Sumba Timur (4): Mengarungi Samudra Hindia

Pada sekitar pukul 13.00, akhirnya kami tiba di tempat ini, Desa Katundu, Kecamatan Karera. Setelah menempuh lebih dari lima jam perjalanan dari Waingapu. Lima jam yang diliputi gerimis, kabut dan mendung tebal. Membuat wiper mobil nyaris tidak berhenti bergerak sepanjang perjalanan. Juga membuat perasaan jadi agak ciut karena khawatir cuaca tersebut akan berpengaruh pada  kondisi laut.  

Dari desa ini kami akan menyeberang menuju Salura. Kami berhenti dulu di sebuah rumah singgah di tepi pantai. Rumah singgah yang hanya seperti warung kecil semi permanen. Terasnya disekat dan diberi alas tikar. Di situlah orang-orang singgah sambil menunggu perahu. Minum kopi dan main kartu untuk membunuh waktu. 

Pada hari-hari biasa, perahu beroperasi setiap hari Selasa, bertepatan dengan hari pasar. Sejak pagi pukul 07.00 perahu-perahu bertolak dari Salura, membawa para penumpang yang akan menjual hasil tangkapan ikannya atau orang-orang yang akan berbelanja ke Katundu. Pukul 10.00, perahu bergerak pulang ke Salura, membawa orang-orang itu juga. 

Rutinitas itu bisa terjadi bila laut bersahabat. Bila tidak, mereka harus menunggu satu dua hari sampai seminggu untuk bisa kembali ke Salura. Heri dan teman-temannya pernah berangkat belanja berbagai kebutuhan bahan makanan, termasuk sayur-sayuran. Bertolak pada hari Selasa pagi dari Salura menuju pasar di Katundu. Sesampainya di Katundu, ternyata laut tiba-tiba bergejolak dan perahu baru berani menyeberang seminggu kemudian. Jadilah sayur-sayuran yang dibeli Heri layu dan terbuang percuma.

Begitu Oscar menghentikan mobil di depan rumah singgah itu, kami semua turun. Acara pertama adalah makan siang. Menunya nasi dan ayam goreng lalap yang kami beli dari Mr Cafe tadi pagi. Sebetulnya saya sudah menambahkan porsi melebihi jumlah penumpang mobil. Heri dan Andi yang menjemput kami di Katundu sudah saya perhitungkan. Namun ternyata di situ ada lima orang, termasuk murid Heri, yang juga sedang menjemput kami. Untunglah Heri dan Andi sudah memasak mi instan rebus, sehingga bekal yang ada disantap bersama-sama dengan mi rebus itu. 

Saya sendiri, seperti biasa setiap waktu makan, sibuk mencari recycle bin. Porsi nasi dan ayam yang terlalu besar tidak mungkin saya bereskan. Maka berpindahlah separo porsi saya ke piring Zia.

Gerimis ternyata semakin rapat, namun kami harus terus bersiap. Pak Rahman sudah berganti mengenakan kaus dan celana pendek. Semua tas sudah dibungkus plastik. Anak-anak sibuk mengganti sepatunya dengan sandal jepit.  Pak Rahman memastikan saya mengenakan jas hujan. Semua bawaan saya dicek, apakah sudah aman atau belum. Sebuah tas plastik besar ditutupkannya di ransel saya dan ditentengnya ransel itu.

Kami berarak menuju dua perahu yang kami sewa, yang sudah menunggu di bibir pantai. Satu perahu ternyata milik pak Rasyid, dan satu perahu milik Heri. Ya, Heri telah merintis usaha dengan menyewakan perahunya, baik untuk transportasi maupun untuk mencari cumi.  

Perahu. Bukan kapal. Pantas saja Heri dan kawan-kawan selalu meralat kalau saya bilang kapal. 'Perahu, Ibu, bukan kapal', begitu katanya. Ternyata memang kendaraan laut kecil itu benar-benar perahu. Perahu nelayan yang menggunakan motor. Yang terbuka tanpa atap sama sekali. Dengan suara mesin yang meraung-raung. Asap hitam keluar dari cerobong kecilnya dan membuat hidung terasa berjelaga. Itulah kendaraan yang akan kami gunakan untuk mengarungi Samudra Hindia menuju Salura. 

Entah kenapa, pada akhirnya saya memutuskan untuk menempuh perjalanan berisiko ini. Salura merupakan satu-satunya desa pulau di Sumba Timur dengan mayoritas penduduknya adalah muslim. Beberapa waktu yang lalu, Heri mengirim kabar via FB kalau sekolah di Salura terancam tutup karena tidak ada gurunya. Saat ini Salura yang sudah pernah mengancam untuk bergabung dengan Australia ini,  digunakan sebagai tempat penugasan peserta SM-3T untuk yang kedua kalinya. Hal-hal itulah yang mendorong saya akhirnya berada di sini. Tidak sekedar demi menunaikan tugas melakukan monev, tapi yang lebih penting adalah demi sebuah silaturahim. Juga, senyampang laut sedang relatif tenang.

Perjalanan berperahu mengarungi Samudra Hindia dari Katundu menuju Salura itu memerlukan waktu sekitar satu jam. Hampir separo perjalanan kami lalui di bawah guyuran gerimis yang rapat. Airnya asin. Ombak laut yang berwarna hitam seperti bekerjaran berlomba mendatangi kapal. Seolah siap menggulung. Ya, kami sedang berperahu melawan arus. Kapal menerjangnya, membuat kapal terhempas, oleng sebentar ke kanan dan ke kiri, dan ombak memercik menerpa wajah-wajah kami. 

Saya seperti tidak percaya, saya sedang berada di atas Samudra Hindia, berlayar dengan perahu nelayan. Tidak jauh di depan sana adalah laut lepas. Pulau Salura, Pulau Kambing dan Pulau Mengkudu nampak seperti gundukan bukit berwarna kecoklatan. Di seberang Pulau Mengkudu adalah Australia. Menurut Tamam, seorang peserta yang bertugas di Salura, bila kita menaiki bukit di malam hari, lampu-lampu di Benua Kanguru itu terlihat dari kejauhan.

Pada separo perjalanan berikutnya, gerimis reda. Meski matahari tak menampakkan diri sama sekali, dan kabut serta mendung tebal terus menyelimuti, tapi setidaknya kami tidak terus-menerus diguyur air hujan yang rasanya sangat asin itu.

Semakin dekat dengan Salura, ombak semakin tinggi dan disertai angin. Saya sangat merasakan goyangannya dan tiupan angin. Perahu terpaksa agak memutar untuk menghindari ombak besar menjelang merapat ke pantai. 

Setiap kali saya merasa agak cemas, saya melihat wajah-wajah di perahu itu, terutama dua orang awaknya. Mereka bergantian menjaga mesin dan membuang air di bagian dasar kapal dengan sebuah timba. Meski ombak menghempas-hempaskan perahu dengan cukup keras, wajah-wajah mereka sangat tenang. So, tidak ada alasan bagi saya untuk merasa cemas dan panik. Namun begitu, doa yang diajarkan ibu saat saya berlayar dengan Kapal Marsela di atas Laut Banda terus saya gumamkan. Bismillaahi majreeha wamur saaha inna robbi laghofuu rurrohiim.  

Akhirnya....saya pun tercengang penuh takjub. Subhanallah....indahnya. Salura ternyata begitu eksotis. Puluhan perahu nelayan berjajar di bagian tepi laut. Garis pantai yang putih bersih membentang dari arah kiri ke arah kanan saya. Pohon-pohon kelapa berjajar, dan di bawah pepohonan itulah rumah-rumah nelayan bersisian. Juga puluhan tenda-tenda.

Tenda-tenda itu adalah milik para nelayan yang eksodus dari Lombok untuk mencari cumi di laut ini. Tenda, pantai, perahu dan laut. Tempat ini menjadi begitu eksotis bukan hanya karena laut birunya dan gundukan bukit-bukit yang mengitarinya. Puluhan bahkan mungkin ratusan perahu yang sedang parkir di tepian laut itu membuatnya menjadi semakin eksotis. 

Begitu turun dari perahu, saya pun spontan membongkar tas saya untuk mencari apa pun yang bisa saya gunakan untuk mengabadikan pemadangan alam yang luar biasa ini. Sejak naik ke perahu tadi, tak ada seorang pun yang memotret karena semua barang elektronik diamankan dalam tas plastik untuk menghindari air hujan yang mengandung garam. Hanya saya saja yang nekad mengeluarkan BB dan sempat mengabadikan momen menjelang menaiki kapal. Saat ini, saya mengabadikan semua yang menghampar di depan saya dengan kamera pocket saya dan BB. Anak-anak pantai yang berlarian di atas pasir. Para nelayan yang sedang menyiapkan perahu-perahu. Dan laut, pantai, kabut, mendung tebal, pulau-pulau...semuanya telah saya rekam. Ya, meski hasil rekamannya tidaklah sebagus hasil jepretan fotografer profesional, tapi setidaknya, saya tidak terlalu banyak kehilangan momen.

Salura
Akhirnya
Kesentuh nadimu
Kuhirup aromamu
Kucumbui keindahanmu


Pulau Salura, Karera, Sumba Timur, 9 Juni 2013. 15.30 WITA.

Wassalam,
LN 

Minggu, 09 Juni 2013

Sumba Timur (3): Kawin Adat Sumba

Salah satu pengantin khas Sumba.
Setelah berjalan sekitar empat jam, kami mencapai Kananggar. Mobil berhenti. Oscar membuka kap depan mobil dan mengeceknya. Dia bilang, mobil masuk angin karena kemarin telat mengisi solar.

Di tempat kami berhenti, ada beberapa warung kecil yang menjual berbagai makanan dan minuman. Mi instan, biskuit, wafer, air mineral, permen, dan beberapa jenis makanan kecil yang lain. 

Di sebelah warung itu, ada kantor koramil yang sekaligus menjadi rumah danramilnya. Bangunan yang sangat sederhana untuk disebut kantor. Satu-satunya tanda yang menunjukkan kalau bangunan itu kantor adalah papan nama terbuat dari kayu yang juga sangat-sangat sederhana. Juga bendera merah putih yang jahitan tepinya sudah koyak dan menjuntai. Seorang perempuan tengah menurunkan bendera itu dan mengibarkannya setengah tiang. Bela sungkawa untuk Taufiq Kiemas.

Sembari menunggu teman-teman di toilet kantor koramil, saya mengobrol dengan Oscar dan pak Rasyid. Salah satu bahan obrolan adalah tentang nikah adat Sumba. Obrolan itu terus berlanjut di perjalanan menuju Selura karena ternyata yang tertarik untuk mengetahui adat yang unik itu tidak hanya saya, tetapi juga pak Rahman dan anak-anak. 

Menurut dua narasumber saya ini, sampai saat ini, seorang pemuda Sumba yang ingin melamar seorang gadis Sumba, harus menyediakan sejumlah kuda sebagai belis (mas kawin). Jumlah kuda berkisar dari satu ekor sampai ratusan, sangat bergantung dari status sosial laki-laki dan perempuannya. Semakin tinggi tingkat status sosial seseorang, semakin banyak kuda dan harta (anahita atau kalung Sumba dan kain-kain Sumba) yang harus disediakan. Namun kuda-kuda itu tidak dibayar putus. Artinya, dibayar secara bertahap, sesuai dengan aturan adat.

Bila sebuah keluarga sudah menyetujui hubungan antara anak perempuannya dengan seorang laki-laki, maka keluarga perempuan tersebut akan mengundang keluarga besarnya untuk menyampaikan bahwa ada laki-laki yang menginkan anak perempuan mereka. Bila keluarga besar pihak perempuan sudah menyetujui, maka pihak laki-laki mulai mempersiapkan diri. 

Persiapan dari pihak laki-laki berupa sedikitnya dua ekor kuda, satu jantan dan satu betina. Selain itu juga mamoli (bandul kalung, di sini disebut mainan) dan luluamah (tali yg dianyam dari kawat monel, perlambang tali kuda).

Keluarga perempuan akan mengutus seorang wunang (juru bicara) dari pihak perempuan ke pihak laki-laki. Wunang dari pihak perempuan akan bertemu dengan wunang pihak laki-laki. Bila kedua wunang sudah bersepakat, keduanya akan merundingkan waktu untuk berkenalan.  

Pada tahap perkenalan, pihak laki-laki akan datang kepada pihak perempuan. Pada saat itu, kuda harus sudah dibawa, juga maloli dan luluamah. Inilah tahap awal pihak lelaki harus mulai menyerahkan hewan sebagai belis. Pada tahap ini pula, kedua pihak sudah mulai 'bicara adat'. Pembicaraan bisa cepat bisa lama, bisa mulai pagi sampai tengah malam. Bergantung dari 'nego-nego' dan tercapainya kesepakatan di antara kedua belah pihak. Bila sudah tercapai kesepakatan, laki-laki akan diterima oleh pihak keluarga perempuan. Konon, pada acara tersebut, makanan tidak akan disuguhkan sebelum kesepakatan tercapai. 

Selanjutnya, beberapa waktu berikutnya, pihak laki-laki akan datang lagi kepada pihak keluarga perempuan untuk menyatakan bahwa dia punya tanggung jawab. Pada tahap ini, pihak laki-laki membawa hewan lagi. Sedikitnya delapan ekor kuda untuk kalangan biasa. Untuk kalangan bangsawan bisa mencapai puluhan, misalnya dua puluh atau tiga puluh. 

Bila pihak perempuan sudah bisa menerima, kedua sejoli ini sudah boleh tinggal bersama, punya anak, tetapi belum menikah. Tahap ini bisa terjadi bertahun-tahun sampai kedua belah pihak siap untuk menuju jenjang adat berikutnya. 

Bila mereka mau menikah di gereja, kedua keluarga pihak laki-laki dan perempuan, harus bertemu lagi. Lagi-lagi, pihak keluarga laki-laki harus membawa hewan lagi. Uniknya, meskipun mereka sudah menikah sah di gereja,  perempuan belum menjadi hak sepenuhnya laki-laki tersebut. Masih ada satu tahap lagi bila laki-laki ingin si perempuan tersebut menjadi hak dia sepenuhnya. 

Tahap itu adalah tahap di mana laki-laki meminta hak sepenuhnya atas perempuan tersebut untuk dibawa ke rumah keluarganya. Lagi-lagi, dia harus bawa hewan lagi. Sekitar dua puluh ekor minimal utk orang biasa, dan enam puluh ekor untuk kalangan bangsawan. Bila tahap ini sudah dipenuhi, barulah si perempuan bisa dibawa dan menjadi hak sepenuhnya laki-laki tersebut. Pada tahap ini, bila jumlah total hewan yang diserahkan oleh pihak laki-kaki sampai mencapai seratus ekor, yang dibawanya tidak hanya perempuan istrinya itu, namun juga dua-tiga orang pembantu istrinya. Selesailah nikah adat. 

Waktu yang diperlukan mulai dari perkenalan sampai tuntas nikah adat, bisa mencapai puluhan tahun. Seringkali sampai kedua sejoli telah bercucu. Oscar, yang saat ini sudah memiliki anak berusia sembilan tahun, belum selesai nikah adatnya. Dua tahun yang lalu dia baru melaksanakan nikah gereja. Meski mereka sudah memiliki rumah sendiri, namun, istilah Oscar, istrinya masih dalam kawasan keluarga besarnya.

Unik. Begitulah.

Karera, Sumba Timur. 9 Juni 2013. 12.05 WITA.

Wassalam,
LN

Sabtu, 08 Juni 2013

Sumba Timur (2): Menuju Selura

Salah satu kondisi alam; anak-anak harus menyeberangi
sungai yang berbahaya bagi keselamatan mereka.
Selura. Nama pulau ini begitu memenuhi benak saya. Konon, adalah pulau yang indah. Termasuk dalam wilayah Kecamatan Karera. Bagian selatan Sumba Timur. Selama dua angkatan program SM-3T, kami belum pernah ke Selura. Mencocokkan waktu monev dengan kondisi laut tidaklah terlalu mudah. 

Pagi ini ada dua armada. Satu armada, dengan mobil double gardan, menuju Pinupahar, kecamatan terjauh di Sumba Timur. Bapak Rektor sudah pernah mencapai tempat itu pada monev tahun lalu. Armada ini terdiri dari Dr. Suyatno, Kahumas Unesa dan Dr. Suryanti, PD2 P3G Unesa. Dua pejabat itu didampingi (lebih tepatnya 'ditunuti') oleh tujuh peserta SM-3T. Mereka adalah para peserta dari Tabundung dan Pinupahar. Anak-anak itu merapat ke kota Waingapu beberapa hari ini dalam rangka seminar pendidikan yang kemarin telah sukses diselenggarakan. 

Armada yang lain adalah mobil panther touring dengan driver setianya, Oscar Adiyiwa, 'koordinator transportasi' kami di Sumba Timur. Saya bersama Drs. Abdurrahman Tuasikal, M.Pd ada di armada ini. Mantan dekan FIK itu begitu membuat kami kagum. Dalam kondisi apa pun, puasa daudnya terus bertahan. Hari ini beliau juga puasa, tak peduli sejauh dan seberat apa pun medan yang akan kami tempuh.

Oya, selain kami berdua, ada bapak Rasyid, guru SD Inpres Pulau Selura. Usianya 53 tahun. Mengajar di Selura sudah 37 tahun, sejak 1984. Aslinya dari Alor. Beliau kemarin turun ke kota dalam rangka mengikuti seminar. Menumpang perahu nelayan dari Selura ke Katundu dengan jarak tempuh sekitar satu jam, lanjut menumpang oto menuju Waingapu dengan jarak tempuh sekitar tujuh jam. Demi menimba pengetahuan dan wawasan.

Dengan pak Rahman dan pak Rasyid.
Selain Bapak Rasyid, ada Tamam, datang khusus untuk memandu kami menuju Selura. Dia memang ditugaskan di Selura. Juga ada Zia Zatul, lurah SM-3T. Yang lain adalah Lukman dan Sigit.

Kami berangkat dari Hotel Elvin pada 06.30 WITA. Baru kali ini kami melakukan monev dengan mobil penuh penumpang. Di rute Pinupahar ada sepuluh orang, sedang yang ke Selura ada delapan orang. Yang ke Pinupahar, lima peserta yang kebanyakan perempuan, terpaksa duduk di bak belakang, karena tempat duduk tentu saja tidak cukup. Namun bagaimana pun, itu masih jauh lebih nyaman, daripada naik oto. 

Cuaca tidak terlalu bagus hari ini. Heri yang di Selura mengabarkan Selura hujan deras dan dia berharap Waingapu tidak hujan. Karena kalau Waingapu hujan deras, sungai di Gongi bisa banjir dan itu artinya, kita tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Selura. 

Sebagaimana kondisi alam Sumba pada umumnya, bukit-bukit, padang sabana, hutan, lembah dan ngarai, mewarnai perjalanan kami. Gerombolan kuda yang sedang merumput dan berlarian di bukit-bukit. Sawah-sawah yang padinya mulai menguning menghampar indah di bawah sana. 

Namun gerimis yang rapat dan kabut tebal mengaburkan puncak-puncak bukit. Menyembunyikan kontur lembah-lembah. Dan, sejujurnya, memunculkan kegelisahan di hati kami. Kami hanya bisa berharap, Tuhan cukup mengirimkan gerimis, mendung dan kabut saja. Namun tidak sampai mengirimkan hujan deras apalagi sampai meluapkan air sungai Gongi. 

Izinkan kami mencapai Selura, ya Allah. Dengan sepenuh perlindungan dan ridho-Mu. Amin YRA.

Bersambung...

Tanarara, Matawai Lapau, Sumba Timur, 9 Juni, 2013. 09.30 WITA. 


Wassalam,
LN

Jumat, 07 Juni 2013

Sumba Timur (1): Seminar Pendidikan yang Membanggakan

Keharuan saya tumpah pagi ini begitu memasuki ruangan Gedung Nasional. Semua kursi di ruang itu penuh. Ada backdrop cukup besar terpampang di depan yang menjadi pusat perhatian. Ada banner besar di sisi kiri, warnanya merah muda. Dua layar LCD di sisi kanan kiri backdrop yang di depannya tertata meja panjang dan kursi-kursi.

Saya benar-benar terharu. Ternyata peserta seminar ini begitu banyak. Padahal tadi malam, ketika berkoordinasi dengan para panitia, peserta yang sudah memberikan konfirmasi kehadiran baru 49 orang. Tapi saya membesarkan hati panitia. Optimis saja. Empat puluh sembilan itu sudah bagus. Prediksi kasarnya, kalau 49 sudah positif, maka kemungkinan besar yang hadir lebih dari 49. Biasanya jumlah peserta seminar akan membludak justeru pada hari H. 

Mereka, para peserta seminar itu, adalah kepala sekolah dan guru dari seluruh pelosok Sumba Timur. Beberapa wajah saya kenal dengan sangat baik karena saya pernah berkunjung ke sekolah-sekolah. Mereka datang dari Pinupahar, Tabundung, Mahu, Matawai Lapau, Pahunga Lodu, dan dari kecamatan lainnya. Tidak tangung-tanggung, dua belas jam perjalanan mereka tempuh dengan menumpang oto (bus kayu/truk). Karena jauh dan sulit medan yang harus ditempuh, mereka berangkat kemarin. 

Pagi ini mereka semua ada di sini. Sekitar 250 orang. Semua kursi berpenghuni. Hebat. Luar biasa. Ini bukti mereka begitu haus akan informasi. Juga bukti bahwa publikasi panitia kegiatan berhasil dengan sukses. Membanggakan sekali.  
Semalam, sebenarnya saya agak pesimis acara bisa dimulai tepat waktu. Saya pikir akan molor barang setengah atau satu jam. Ternyata tiga puluh menit sebelum pukul 09.00 WITA, saya sudah ditelepon oleh panitia, kalau acara sudah siap, dan peserta sudah banyak yang datang. 

Tema seminar adalah 'Mendidik dengan Karakter untuk Meningkatkan Potensi Peserta Didik'. Pelaksanaannya di Gedung Nasional Umbu Tipuk Marisi (biasa disebut Gedung Nasional), Waingapu.
Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Peserta SM-3T Unesa, Program PPG Unesa, dan Dinas PPO Kabupaten Sumba Timur. Disponsori oleh Telkomsel dan Aquamor.

Perfect. Saya katakan, acara ini sangat sukses. Melampaui ekpektasi saya. Semalam, mereka konsultasi tentang bagaimana mengemas diskusi, apa peran moderator, apa yang harus dilaporkan oleh ketua panitia, dan sebagainya. Hari ini mereka melakukan semuanya dengan sangat baik. 
Acara demi acara pun berjalan dengan sangat lancar. Dimulai dengan menyanyikan lagi Indonesia Raya, pembacaan doa, sambutan dan pembukaan, acara inti, dan hiburan-hiburan. Sound system-nya sempurna. Perpindahan dari satu acara ke acara lainnya mengalir. Tidak ada jeda waktu yang terbuang.

Oya, ada yang unik. Pada saat mengantarkan acara, pembawa acara menyampaikan supaya selama acara berlangsung, peserta seminar tidak diperkenankan merokok atau mengunyah sirih pinang. Himbauan yang sangat khas dalam pertemuan-pertemuan formal di daerah NTT.

Acara dibuka oleh Kepala Dinas PPO, mewakili bupati yang tidak bisa hadir karena ada pejabat dari pusat. Sebelum sambutan kepala dinas, tari remo dibawakan dengan gemulai oleh salah seorang peserta SM-3T. Hiburan lainnya adalah pantomim dan paduan suara. Bagus, menarik, rancak.
Sangat menghibur dan mengundang kekaguman. Aplaus panjang seringkali mewarnai rangkaian acara tersebut. 
  
Keynote speaker pada seminar ini adalah Ruben Nggulindima, S.Sos., M.Pd, Sekretaris Dinas PPO Sumba Timur. Materinya adalah kebijakan Dinas PPO dalam pengembangan karakter melalui pendidikan. Saya sendiri menyampaikan materi hakekat guru, dan Dr. Suryanti (PD 2 Program PPG) memberikan materi inmplementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran.  
Peserta mengikuti materi demi materi dengan begitu penuh perhatian. Mengingat siapa audience, saya mempresentasikan banyak gambar dalam tayangan saya. Foto anak-anak sekolah di Sumba Timur dengan berbagai aktivitas mereka (mengambil air, mencari sayuran di kebun, bermain di sekolah, dan sebagainya), kondisi sekolah, aktivitas guru-guru (baik guru asli Sumba Timur maupun guru-guru SM-3T), kondisi alam dan masyarakat Sumba Timur, dan seterusnya. Saya juga menayangkan foto-foto yang menggambarkan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, dan betapa jauh ketertinggalan Sumba Timur dengan dunia luar. Oleh sebab itu, Sumba Timur, terutama dalam bidang pendidikannya harus memacu diri supaya tidak semakin jauh tertinggal. Guru-guru merupakan ujung tombak dalam mengejar ketertinggalan itu. Maka guru harus memiliki pengetahuan, keterampilan, jejaring, dan di atas semua itu, guru harus berkarakter. Saya tampilkan berbagai bukti hasil penelitian dan survey, betapa karakter menjadi tuntutan dan faktor utama agar mampu bertahan dalam perkembangan dunia seperti apa pun. 

Setelah sesi saya, bu Yanti menyampaikan materinya dengan cara yang tak kalah menarik. Dia memperagakan dengan sangat gamblang bagaimana karakter diintegrasikan dalam pembelajaran. Dia mendemonstrasikan pembelajaran yang mengaktifkan siswa dengan media kertas, botol air mineral, gelas, dan beberapa alat yang ada di sekitarnya. Beberapa guru dipanggilnya untuk memperagakan percobaan-percobaan sederhana seolah mereka adalah siswa sekolah. Menyenangkan dan sangat mencerahkan sekali.

Pada sesi tanya jawab, tidak terduga, guru-guru dari pedalaman itu begitu antusias mengangkat tangannya untuk mengambil kesempatan tersebut. Namun karena waktu sangat terbatas, hanya lima orang saja yang diberi kesempatan bertanya. Beberapa buku kami serahkan sebagai apresiasi pada mereka yang telah bertanya dan memperagakan percobaan, termasuk buku 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca', buku hasil tulisan para peserta SM-3T, yang dikompilasi oleh wartawan senior Jawa Pos, Rukin Firda.

Hari ini begitu menyenangkan. Bukan hanya karena suksesnya acara seminar. Namun nilai-nilai yang terbangun di balik kesuksesan itu. Ini adalah bukti kerja keras dan kerja cerdas dari anak-anak kami ini. Mereka telah menorehkan satu catatan indah di benak para guru di Sumba Timur. Mereka telah melakukan tindakan nyata untuk membawa mereka pada peradaban yang lebih terbuka, saling menghargai, dan menempatkan pendidikan dan anak didik sebagai titik sentral pembangunan di semua bidang. 

Gedung Nasional, Waingapu, Sumba Timur. 8 Juni 2013.

Wassalam,
LN

Double Gardan

Menjelang subuh. Saya bangun dari tidur. Menggeliat sambil melafalkan rasa syukur karena hari ini saya masih bisa melihat pagi. Sehat wal afiat. Alhamdulilah. Meski ada sedikit pegal-pegal yang saya rasakan di punggung dan pundak. Sisa kelelahan semalam. Biasa, terbiasa tidur larut malam menjelang pagi, membuat tubuh sering merasa seperti masuk angin. Tapi rasa itu akan segera hilang begitu saya mulai melakukan aktivitas. Tak perlu dihiraukan. Biar tidak manja. 

Seperti biasa, saya mendahului bangun. Mas Ayik masih pulas. Arga tidur di sofa di depan TV ditemani cello dan perangkat fotografinya. Anak itu lagi gila kamera beberapa waktu belakangan ini. 

Sambil menunggu adzan, saya memanaskan nasi. Membuat jus buah. Pagi ini saya hanya menyajikan bandeng presto, bawang goreng dan sambal pecel akas (sambal pecel yang tidak dicampur air). Cukup. Kami terbiasa makan pagi dengan menu sederhana dan tidak ribet. Kadang hanya tempe goreng dan sambal bawang. Kadang telur ceplok atau omelette dengan sambal kecap. Sering juga hanya roti dengan isi coklat miesis atau keju dan sosis. Atau ayam goreng dan saus botol. 

Alhamdulilah, kedua laki-laki pujaan saya, Mas Ayik dan Arga, tidak pernah rewel soal makanan. Apa saja yang disajikan di atas meja, nyaris selalu dinikmatinya.

Selesai semua, saya membangunkan para lelaki. Sholat shubuh. Mas Ayik lantas memulai aktivitasnya. Membersihkan halaman, mencuci mobil. Arga bantu-bantu. Saya sendiri mulai bersiap-siap, mandi dan mengecek bagasi. 

Pagi ini saya akan berangkat ke Sumba Timur. Ada seminar nasional tentang hakekat guru dan pendidikan karakter yang diselenggarakan oleh para peserta SM-3T. Kami, saya dan bu Yanti, diminta untuk menjadi narasumbernya. Juga kepala dinas PPO Sumba Timur. 

Kesempatan ini akhirnya kami gunakan untuk sekalian monev SM-3T kedua. 'Ngiras-ngirus'. Biar ngirit. Panitia, yang notabene adalah anak-anak kami itu, tidak mungkin menyediakan transpor dan akomodasi kami sebagai narasumber. Bila mungkin pun, kami tidak akan menerima.

Bagaimana pun, dana mereka terbatas. Tidak mudah mencari sponsor di Sumba Timur ini. Ditambah lagi, acara seminar dan sejenisnya belum menjadi acara favorit. Panitia musti 'door to door' untuk mempublikasikan, untuk memastikan para kepala sekolah dan guru akan hadir sebagai peserta seminar. Anak-anak muda itu datang langsung ke sekolah-sekolah, bertemu dengan kepala sekolah dan guru-guru, dan menghimbau mereka untuk menghadiri seminar. 

Dari sekitar 300 undangan yang mereka siapkan, hanya bisa didistribusikan sekitar 200. Kendala utamanya adalah medan yang terlalu sulit untuk dijangkau, saking pelosoknya, dan akses menuju daerah tersebut sangat susah. 

Untuk masalah dana, sebanyak 78 peserta itu patungan, Rp. 250.000 per orang. Dana itu dialokasikan untuk seluruh keperluan seminar, mulai dari kesekretariatan, sewa gedung, konsumsi, narasumber lokal, dan sebagainya. Makanya tidak bijak kalau transpor dan akomodasi kami harus mereka atasi juga. 

Seminar ini adalah salah satu wahana mereka untuk mengembangkan keterampilan mengelola event forum ilmiah, mengembangkan kerja sama, dan, juga yang tidak kalah pentingnya, adalah wahana untuk pencitraan diri. Pencitraan bagi mereka sebagai guru-guru pengabdi, pencitraan bagi Unesa, dan pencitraan bagi dunia pendidikan pada umumnya.

Oh ya, kembali ke cerita tentang diri saya sendiri. Biar nyambung dengan judul tulisan ini. Ha ha...

Semalam, ketika semua sudah tidur, saya masih bekerja. Mereviu beberapa artikel yang akan dimuat di sebuah jurnal ilmiah. Kebetulan saya anggota mitra bestari di beberapa jurnal. Karena besok pagi harus bertugas di Sumba, maka pekerjaan ini harus rampung dulu. Di Sumba sudah banyak pekerjaan lain yang menunggu. Jadi, semalam saya seperti dikejar deadline. Ya, ternyata tidak hanya wartawan yang dikejar-kejar deadline. 

Dalam kesendirian saya (karena yang lain sudah pada tidur), kadang-kadang saya 'mikir-mikir dewe', betapa setiap perempuan itu diciptakan untuk menjadi kuat. Ya, di balik kelemah lembutannya. Begitu bangun tidur dan menjelang tidur lagi, seorang ibu nyaris tidak pernah berhenti memikirkan rumah. 

Pagi hari, begitu bangun, yang ada di pikirannya adalah menyiapkan makanan, membersihkan rumah, memastikan kalau dia bekerja di luar rumah nanti, ada makanan untuk yang di rumah dan yang nanti pulang. Memastikan baju-baju yang akan dikenakan setiap anggota keluarga sudah siap, dan seterusnya. 

Malam hari, ketika setiap anggota keluarga sudah lelap, mungkin si ibu masih juga bekerja. Memastikan tidak ada satu sendok pun yang belum dibersihkan, memastikan besok paginya sudah ada bahan makanan yang akan diolah menjadi menu sarapan maupun untuk bekal anak dan suami ke sekolah dan ke tempat kerja. Baru dia mengerjakan pekerjaan kantornya. Setelah urusan rumah beres. Saat semua anggota keluarga sudah lelap.

Meski ada pembantu di rumah, ibu adalah manajer yang tetap harus bekerja. Pembantu itu bukan siapa-siapa tanpa kita yang mengarahkan harus seperti apa dia. 

Setiap kali saya akan tugas keluar kota, saya memenuhi kulkas dengan logistik. Memasang daftar susunan menu di dapur. Mengingatkan pembantu untuk melakukan apa saja agar rumah tetap bersih, makanan aman, dan baju-baju selalu siap. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Saya membayangkan Tiwik yang sedang studi di Aussie dengan dua anaknya. Mbak Sirikit dengan seabreg kegiatannya. Teman-teman perempuan saya yang lain yang sering menjadi partner bekerja di luar kota. Mereka selalu mengawali pagi dengan menyapa suami dan anak-anaknya. Menjelang tidur, setelah seharian lelah beraktivitas, kembali menyapa keluarga dan memastikan mereka semua baik-baik saja meski ibu tidak sedang di rumah. 

Saya pikir, betapa setiap perempuan diciptakan untuk menjadi sosok dengan double gardan. Roda depan dan belakang harus jalan semua. Urusan karir dan tugas-tugas domestik musti beres semua. Betapa setiap perempuan menjadi sosok yang begitu penting dengan berbagai perannya tersebut.

Berbahagialah kalian, wahai para perempuan.....  

Cukup dulu. OTW Juanda, ngejar waktu. Bagasi banyak, jadi tidak boleh telat check in.....

Surabaya, 7 Juni 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 06 Juni 2013

Mbak Marni Mantu

Mbak Marni adalah teman SMP saya. Anaknya tiga. Seperti ibunya, anak pertamanya, perempuan, juga lulusan Unesa. Nah, anak perempuannya itulah yang saat ini sedang dimantu.

Kami bertiga, saya, mas Ayik dan Arga, berangkat dari Surabaya menuju Tuban kemarin sore selepas maghrib. Mas Ayik dan saya mengendarai Espass, mobil yang akan kami hadiahkan untuk ibu Tuban. Mobil keluaran tahun 2006 berwarna hitam itu masih sangat mulus. Kilometernya baru 55 ribu meski mobil sudah beroperasi selama tujuh tahunan. Beberapa bagian bahkan masih belum dilepas plastiknya. Mulus. Mesinnya juga. Meski mungkin ada yang perlu distel-stel, begitu kata Mas Ayik. Mobil yang cukup lumayan untuk membawa Ibu ke tempat-tempat pengajian dan ke tempat saudara-saudara. Ibu hobi silaturahim dan ngaji, dan mobil tua yang selama ini mengantar beliau ke mana-mana itu sudah waktunya dicarikan teman. Meski temannya tidak terlalu muda, tapi lumayanlah...hehe.

Oya, Arga mengendarai mobil kecil kami, sendirian. Meski sendirian, di mobilnya sudah saya siapkan cukup bekal. Minuman dan kletikan. Tapi Arga biasanya cukup puas dengan mendengarkan lagu-lagu kesayangannya. Menemani dia melek sepanjang perjalanan.

Pagi tadi selepas shubuh, seperti biasa, saya dan mas Ayik berburu nasi uduk. Belasan nasi uduk bungkus kami bawa pulang untuk sarapan. Tapi tidak sebanyak biasanya. Banyak yang puasa hari ini, puasa Sya'ban. Hampir semua orang dewasa di tiga rumah dalam kompleks rumah keluarga besar kami sedang berpuasa. Kecuali orang dewasa perempuan yang lagi ada udzur atau lelaki dewasa yang sedang M. 
Maksudnya....mmmmMales... Hehe.

Setelah sarapan, kami dan ibu beserta beberapa keponakan pergi ke saudara yang seminggu lalu baru saja 'kesripahan'. Sekalian 'nganyari' mobil lawas. Ibu sangat 'marem' dengan mobil barunya itu.

Saudara kami itu memiliki empat anak, masih kecil-kecil. Beberapa tahun yang lalu ibunya anak-anak itu meninggal. Seminggu yang lalu, ayah mereka yang meninggal. Empat orang anak yatim piatu itu membuat hati kami trenyuh pagi ini. Wajah-wajah polosnya membuat kami larut dalam kedukaan. Benar-benar yatim piatu. Keempatnya belum ada yang berusia baligh. Betapa luar biasa ganjaran Allah yang musti diterima oleh keluarga ini. Menguji kesabaran dengan ganjaran demi ganjaran. Sekaligus membuka pintu-pintu surga dari segala penjuru bagi siapa pun yang berkenan menyantuni anak-anak itu. Demi meraih ridho-Nya. 

Kembali ke mantunya Mbak Marni. Resepsi dilaksanakan di Gedung KSPKP (saya lupa kepanjangannya, panjang sekali sih). Kami datang sekitar pukul 11.20. Sejak di bagian penerima tamu, sudah ada yang menyapa saya, termasuk perempuan-perempuan cantik yang menunggu buku tamu dan suvenir. Ternyata saya cukup populer di sini....wakak...

Kami langsung menuju panggung pelaminan, menyalami Mbak Marni dan pendampingnya. Pendamping Mbak Marni adalah anak keduanya, si jangkung yang tampan. Suami Mbak Marni sudah berpulang beberapa tahun yang lalu, jadilah si sulung sebagai pengganti bapaknya. 

Saya dan Mbak Marni berpelukan, haru. Kami memang sangat dekat. Bersahabat sejak lama. Setiap kali kami pulang kampung, Mbak Marni selalu menghadiahi kami legen asli. Kadang-kadang pisang dan belimbing hasil kebunnya sendiri. Mbak Marni juga beberapa kali main ke rumah kami di Surabaya, seingat saya waktu kami mau berangkat dan pulang haji, juga pada kesempatan yang lain. Saking dekatnya, anak-anaknya sudah sangat mengenal kami. Maka saya pun memeluk putri tunggalnya yang lagi dimantu itu, menjabat erat tangan lelaki muda di sisinya yang ngganteng dan santun, dengan penuh haru dan bahagia.

Begitu kami turun, seorang ibu yang kelihatannya sudah sangat mengenal saya, menyambut kami dan menyilakan kami di sisi yang nampaknya sudah disiapkan khusus untuk para keluarga dan sahabat. Meja-meja prasmanan dengan meja kursi makan yang sudah diatur melingkar. Cocok untuk menikmati hidangan sambil mengobrol dengan kawan-kawan lama.

Tak pelak. Reuni dadakan pun terjadilah. Ada puluhan teman SMP beserta keluarganya yang akhirnya 'ngumpul' di sudut itu. Senangnya bertemu mereka. Kami pun seperti jadi pusat perhatian kedua setelah pengantin. Berkali-kali tukang foto dan tukang video mengarahkan sorotnya ke kami yang lagi ramai. Rupanya Mbak Marni memang meminta para awak dokumentasi itu untuk merekam kami sesering mungkin (haha, ge er). Arga pun juga mengabadikan hampir setiap momen kebersamaan kami.

Lebih dari satu jam kami ada di tempat itu. Beberapa kali saya nyeletuk, 'eh, nggak buyar tah?'. Teman-teman tertawa saja. Sampai akhirnya salah satu dari mereka bilang, 'lek sampeyan pamit, ngko kabeh lak buyar...' Haha, rupanya saya jadi tamu kehormatan siang ini. Dan benar. Begitu saya berdiri dan bilang, 'ayo buyar, rek, wis awan', mereka berdiri. 

Kami tidak langsung menuju pintu keluar. Tapi menuju pelaminan lagi, bermaksud pamit ke Mbak Marni, dan tentu saja, foto bersama. Ramailah kami di panggung penganten. Pengantennya sampai seolah tersisih. Mbak Marni nampak bahagia sekali. Awak dokumentasi sibuk mengabadikan kami. 

Ada banyak tawaran untuk singgah di rumah kawan-kawan. Selalu begitu. Kalau pulang ke Tuban, kami bisa memperoleh banyak 'properti'. Legen, belimbing Tasikmadu, pepaya, mangga, apa saja sesuai musimnya. Minimal makan gratis lontong tahu yang sedap, garang asem, mangut pe,  atau cumi, rajungan dan konco-konconya.

Tapi kami tidak punya waktu banyak. Siang ini juga kami harus segera meluncur kembali ke Surabaya. Sore dan malam ini saya harus packing. 

Besok pagi berangkat ke Sumba.

Selura, I'm coming.....

Tuban, 6 Juni 2013

Wassalam,
LN