Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 13 Oktober 2013

Wisata Edukasi

Akhirnya kami, saya dan suami, sampai di tempat ini. Di SDN Jatipandak. Sekolah di tengah perkampungan. Di sebuah desa bernama Jatipandak, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Sore hari, saat senja siap jatuh. 

Tak pelak, kekaguman saya tak terbendung. Hampir tidak percaya saya menatap empat bangunan itu. Sebuah bangunan bercat oranye, terdiri dari empat ruang. Itulah bangunan yang paling indah di antara tiga bangunan yang lain. Satu bangunan dengan ukuran yang sama, melintang di ujungnya, membentuk huruf L, namun kondisinya bertolak belakang. Bangunan itu tak bercat, tak berpintu, banyak bagian temboknya yang retak, rangkanya melengkung, atapnya koyak, siap ambruk. Satu lagi, bangunan rumah sederhana, lumayan layak meski tembok depannya retak besar. Itulah mes guru. Jauh lebih layak dibandingkan dengan satu bangunan di depannya, yang terdiri dari tiga petak. Tiga petak itu, juga mes guru. Tak terawat, tak layak huni. Temboknya kusam, pintu tripleknya nyaris hancur. 

Beberapa anak sedang bermain di sebuah luncuran dan ayunan, di depan mes itu. Seorang ibu menemani mereka. Tawa ceria mereka, bertolak belakang dengan suasana kusam dan sungup yang melingkupi sekitarnya.

Kami berjalan melihat sekeliling. Mas Ayik sibuk mengambil gambar. Saya melongok ke bagian dalam bangunan bercat oranye, bangunan yang paling indah itu. Dari terali kawat yang sudah berkarat, saya bisa melihat bangku-bangku, papan tulis dan dinding-dinding yang kusam, lantai tanah yang kotor, dan debu di mana-mana. Beberapa hiasan dinding, lukisan di atas kertas, sepertinya karya siswa, bahkan tak mampu memberikan sentuhan keindahan. Kekaguman saya semakin menjadi-jadi. Betapa mungkin anak bisa betah belajar di kelas yang 'senyaman' ini?

Saya menjauh dari bangunan itu. Mendekati bangunan koyak di dekatnya. Hanya melihat-lihat dari teras. Tak berani masuk. Bangunan ini sepertinya siap menimpa siapa saja begitu ada kaki yang menginjak lantai tanahnya. Saya ngeri sendiri membayangkan hal itu.

Saya menjauh dari kelas-kelas yang rusak itu. Menyapa gadis-gadis kecil di halaman sekolah. "Halo adik-adik, siapa yang sekolah di sini?" Dua gadis manis mendekat. Malu-malu menyebutkan namanya saat saya tanya.  

Nama anak itu cukup panjang, Leli Tri Wahyuni Ainur Rochimah, siswa kelas empat (seingat saya, Ainur Rochimah adalah nama asli Inul Daratista, mungkin orang tua Leli, nama panggilan anak itu, penggemar berat Inul...hehe). Yang satunya lagi, namanya Fatazilun Dwi Saskia, kelas empat juga. Panggilannya Ilun.

Sambil menunggu Anas, peserta Jatim Mengajar yang bertugas di Jatipandak ini, saya mengobrol dengan dua anak itu. Selama mengobrol, teman-teman mereka satu per satu datang, bergabung. Jadilah kami mebentuk forum kecil dengan topik seputar sekolah mereka. 

Tidak perlu bertanya ke kepala sekolah atau guru untuk bisa mendapatkan beberapa informasi tentang sekolah ini. Leli dan Ilun saja sudah cukup paham. Jumlah siswa seluruhnya ada 20. Rinciannya: kelas I tidak ada siswanya, kelas II ada 9 siswa, kelas III ada 3, kelas IV ada 5, kelas V ada 1, dan kelas VI ada 2. Bahkan kedua anak itu bisa menyebut semua nama siswa di sekolah itu. Juga siswa Taman Kanak-Kanak. Oya, di sekolah itu, satu kelas untuk TK, satu kelas untuk kelas II dan III, dan satu kelas untuk kelas IV, V dan VI.

Menurut Leli dan Ilun, gurunya ada enam, yaitu bu Wiwin, bu Utami, pak Ma'un, pak Yogi, pak Saidi, pak Matlan. Pak Ma'un mengajar agama, pak Saidi mengajar olah raga. Pak Matlan adalah kepala sekolah. Dua guru yang lain, adalah guru kelas, tentu saja mengajar semuanya. Saat saya tanya, apakah mereka kenal dengan pak Anas, guru baru di sekolah itu, mereka menggeleng.

Jumlah siswa TK ada 9 orang, dengan dua orang guru, namanya bu Issa dan bu Sus. Saat saya minta Leli dan Ilun menyebutkan nama-nama siswa TK, mereka juga hafal semua.

Sekolah setiap hari masuk jam 7.30, pulang jam 11.30. Selama jadi siswa di sekolah itu, Leli dan Ilun belum pernah melaksanakan upacara bendera. Mereka juga tidak hafal lagu Indonesia Raya. Teks Pancasila juga tidak hafal. Beberapa lagu seperti Satu Nusa Bangsa, Padamu Negeri, dan Garuda Pancasila diajarkan oleh guru olah raga. Namun mereka juga tidak hafal saat saya ajak bernyanyi bersama.

Di tengah perbincangan kami, Anas datang, bersepeda motor. Mengenakan jaket almamater, bersarung dan berkopiah. Anas, lulusan STKIP Trenggalek tahun 2012, jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia itu, adalah salah satu peserta Jatim Mengajar. Sebuah program kerja sama antara Unesa dan Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF). Tahun ini merupakan angkatan pertama. Dari 26 calon peserta, hanya 7 yang lolos. Ketujuh peserta itu kami tugasnya di Lamongan 2 orang, Madiun 2 orang, dan Ponorogo 3 orang. 

Program Jatim Mengajar kami kemas persis seperti program SM-3T, mulai dari persyaratan peserta, seleksi, prakondisi, dan tugas-tugasnya selama di tempat pengabdian. Prakondisinya juga sama, yaitu di Kodikmar. Bedanya, peserta Jatim Mengajar harus bisa mengaji, karena ada muatan dakwahnya, dan sementara ini hanya khusus untuk laki-laki. Bedanya lagi, usai mereka melaksanakan tugas pengabdian, tidak ada 'reward' untuk mengikuti PPG (Program Profesi Guru), meski saat ini kami sedang berupaya ke kemdikbud, supaya peserta Jatim Mengajar bisa menempuh PPG juga usai masa pengabdian mereka. Ya, harus ada apresiasi bagi fihak-fihak yang berinisiatif untuk berpartisipasi membantu percepatan pembangunan pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Pemerintah belum, atau tidak akan mampu mengatasi semuanya, maka gerakan-gerakan besar maupun kecil dari fihak mana pun yang secara konsisten ikut membantu menyelesaikan berbagai persoalan pendidikan khususnya di daerah-daerah tertinggal, musti diapresiasi.

Ternyata Anas tidak mengajar di sekolah ini. Pantas saja tadi Leli dan Ilun tidak mengenalnya. Ternyata ada SDN Jatipandak yang lain, sekitar dua kilometer dari tempat ini. "Baiklah, kalau begitu, mari ke sekolahmu",
kata saya.

Kalau tadi untuk mencapai tempat ini saya membonceng mas Ayik (dengan meminjam sepeda motor orang kampung, tempat kami memarkir mobil di ujung jembatan), maka saya sekarang membonceng Anas. Sepeda motor yang dikendarai mas Ayik sepertinya sudah cukup tua, dan terlalu berat untuk kami bebani berdua. Selain itu, dengan membonceng Anas, saya bisa mengobrol sepanjang perjalanan menuju sekolahnya. 
Tidak terlalu sulit mencapai sekolah tempat Anas bertugas. Meski harus menembus hutan jati, dengan kondisi jalan terbuat dari rabat semen yang sudah pecah-pecah dan rusak di mana-mana, naik-turun, sangat curam, namun tidak  ada jurang di kanan-kiri jalan, tidak seperti di Sumba Timur. Meski begitu, kita harus tetap ekstra hati-hati dan pandai-pandai memilih jalan kalau tidak ingin jatuh terjerembab atau tergelincir di jalan-jalan yang menanjak dan menurun dengan tingkat ketinggian dan kecuraman yang lumayan ekstrim.

Kondisi SDN Jatipandak 2 jauh lebih baik dibanding SDN Jatipandak 1. Ada sepetak halaman, memang lebih kecil, namun lebih bersih. Dari luar, bangunannya yang juga bercat oranye, nampak lebih terawat. Namun saat saya melongok ke bagian dalamnya melalui jendela kaca, kondisinya tidak berbeda jauh dengan sekolah yang kami lihat tadi. Beralas tanah, dengan papan tulis dan dinding-dinding yang kusam. Debu di mana-mana. Anas bilang, setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, anak-anak harus menyirami kelasnya dulu, agar selama pelajaran, debu tidak beterbangan.

Sekolah itu memiliki tiga kelas, dengan 22 siswa, dan 6 guru, termasuk kepala sekolah dan Anas. Kepala sekolahnya sama dengan kepala sekolah SDN Jatipandak 1, yaitu pak Matlan. Tiga guru sudah PNS, sudah senior semua, salah satunya bahkan menderita asma. Seorang guru yang lain, pak Ma'un, tiga hari bertugas di sekolah tersebut, tiga hari yang lain di sekolah satunya. Dua yang lain guru GTT. Satu lagi, adalah Anas.

Sama dengan SDN Jatipandak 1, sekolah yang berdiri sejak 1983 ini, juga menerapkan kelas rangkap. Kelas I dan II bergabung. Selebihnya, kelas IV, V dan VI, bergabung. Kelas III tidak ada siswanya. Kelas I siswanya ada 6 orang, kelas II ada 3 orang, kelas IV ada 5, kelas V ada 6, dan kelas VI ada 3 orang. 

Setiap pagi, Anas datang ke sekolah paling pagi. Mengkondisikan kelas-kelas dan siswa. Jam 07.00 tepat, dia  memukul lonceng sekolah. Sambil menunggu kepala sekolah dan guru-guru datang, dia mengisi kelas-kelas. 

Saya sempat bertanya-tanya, kenapa SDN Jatipandak 1 dan 2 tidak dimerger saja. Tapi pertanyaan itu saya jawab sendiri. Dengan jarak tempuh yang cukup jauh, dan medan yang tidak terlalu mudah, mungkin inilah jalan terbaik. 

Senja semakin gelap. Adzan maghrib berkumandang. Kami singgah di tempat tinggal Anas, di dekat sekolah itu. Dia menumpang di rumah pak Ponaji, seorang guru juga. Masih muda, baru empat tahun PNS. Istrinya, ibu rumah tangga, aslinya dari Lawang. Putranya satu, masih kecil. Pak Ponaji adalah putra daerah, asli Jatipandak. 

Kami tidak lama di rumah itu, karena kami harus segera melanjutkan perjalanan kembali ke desa Kandangan, tempat mobil kami parkir di ujung jembatan, di depan rumah penduduk. Sebelum gelap benar-benar jatuh, dan menyulitkan pandangan kami berkendara membelah hutan yang gulita.
  
Di tengah menempuh perjalanan yang terjal itu, pikiran saya melayang-layang. Kami hanya perlu waktu sekitar 3,5 jam untuk menjangkau tempat ini.
Dari Surabaya, lewat Menganti, Balungpanggang, Mantup, Sambeng. Dengan mengandalkan google map di tab saya. GPS di mobil lupa tidak di-charge baterainya, jadi mati di tengah jalan menjelang masuk Balungpanggang. Tiga setengah jam, bukan waktu yang lama. Ini Lamongan, kabupaten yang masih berdekatan dengan Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur. Bukan di NTT, Maluku atau Papua. Namun sensasinya tidak kalah dengan tempat-tempat yang disebut 3T itu. Kondisi sekolahnya, juga kondisi medannya. Bedanya, kami melewati beberapa perkampungan yang padat. Namun hutan-hutan dan jalan-jalan yang terjal dan curam menjadi suguhan yang tak kalah menantangnya.

Wisata edukasi sore ini tuntas. Diteruskan besok saja. Sudah terlalu malam untuk mencapai tempat Arif, salah satu peserta Jatim Mengajar juga, meski di kecamatan yang sama. Tempat tugasnya, di SDN Kedungbanjar, masih lebih dari satu jam waktu tempuh untuk menjangkaunya. Kami hanya bertemu Arif dan temannya, seorang guru honorer di sekolah yang sama, di depan UPT Kecamatan Sambeng. Mengobrol di pinggir jalan.

Kemudian kami berpisah. Saya berjanji untuk mengabarinya besok jika kami akan datang mengunjunginya. Melanjutkan wisata edukasi kami. Mengisi satu dua hari di akhir pekan ini.

Selamat menjalankan puasa arafah. Selamat berkurban. Semoga Allah SWT meridhoi ibadah kita. Amin Ya Rabbal Alamin.

Lamongan, 12 Oktober 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 11 Oktober 2013

Duka untuk Romkisar

Saya termangu-mangu membaca status FB Restika Okatavina. Bunyi status itu seperti ini:  

"9 Oktober 2013"
Satu sms masuk ke hpku. Tak kusangka sms itu datangnya dari Saumlaki (ibu kota kab. Maluku Tenggara Barat) yang isinya aku disuruh telpon.
ku pencet nomor tersebut dan tersambung.
"Halo, selamat pagi, ibu guru ada bikin apa disana" suara seorang perempuan menyapaku. Itu suara mama tua Glen, kak Eti namanya.
"Ibu, Glen ada mau bicara deng ibu" lanjutnya.
"Halo, ibu Vina, ibu ada buat apa di Jawa?" suara mungil menyapaku. 
Itu suara Glen, salah satu muridku di SDN Romkisar, Maluku Barat Daya.
"Ibu baru selesai bacuci baju, Glen" jawabku.
"Glen, pi (pergi) Saumlaki ada buat apa? seng (tidak) sekolah kah?" tanyaku penasaran.
"Ibu, beta seng sekolah. Sekolah ada TUTUP. seng ada guru yang ajar" jawabnya ringan.

"Sekolah TUTUP." 
Ya Alloh, ingin rasanya aku kembali kesana. Mengajar, mendidik dan merangkul mereka. Menemani mereka menggapai cita-cita tertinggi. 
Semoga kata-kata itu tak ku dengar lagi. 
Ingin ku melihat senyum lebar mereka lagi."

Tak terasa, air mata saya meleleh. Saya tak mampu menahan kesedihan  mendengar kabar sebuah sekolah tutup karena tidak ada gurunya. Dan sekolah itu ada di Romkisar, Maluku Barat Daya (MBD). Tempat tugas Romlah, Vina dan Yuni, para peserta SM-3T Unesa angkatan kedua, yang baru meninggalkan tempat itu sekitar sebulan yang lalu.  

Padahal, dalam surat yang pernah dikirimkan ke saya, Romlah sudah memohon-mohon supaya sepeninggal dia dan teman-temannya, SDN Romkisar tetap mendapatkan guru SM-3T sebagai penggantinya. Bahkan dia juga sudah pesan, kalau bisa, guru yang ditugaskan di sana, adalah laki-laki. Romkisar adalah sebuah tempat yang sangat sulit dicapai, musti menyeberangi laut yang  gelombangnya hampir selalu tinggi. Jalan darat harus menembus hutan samun selama berjam-jam dan sangat berbahaya. Belum lagi hal-hal lain seperti masih kentalnya unsur magic dan berbagai keyakinan masyarakatnya yang masih sangat tradisional.

Saya seketika diliputi rasa bersalah. Ya, saya menjadi orang yang paling bersalah. Saya seharusnya memastikan, dengan sebenar-benarnya, bahwa Romkisar dan sekolah-sekolah lain yang sudah pernah ditempati guru-guru SM-3T, akan mendapatkan guru-guru lagi. Tidak sekedar percaya dan pasrah pada kebijakan dinas Dikpora. 

Meski saat rapat koordinasi dengan kepala dikpora di Jakarta, saya sudah meminta supaya sekolah-sekolah yang sudah pernah ditempati guru-guru SM-3T agar diberi guru SM-3T lagi, namun rasa bersalah itu sangat membebani saya. Juga, saat di kegiatan prakondisi di Kodikmar, saya sudah kembali mengingatkan staf dikpora yang waktu itu hadir, untuk tetap menugaskan para guru SM-3T di sekolah-sekolah yang sudah pernah ditempati.

"Ya, ibu. Nanti yang dari UNP akan kami tugaskan di Mdona Hyera dan beberapa tempat yang dulu ditempati guru-guru dari Unesa. Sedangkan Unesa kami tempatkan di Pulau Babar dan sekitarnya." Begitu kata pak Victor, staf dikporaMBD waktu itu.

Maka saya pun tenang. Namun status di FB Vina malam ini membuat hati saya pedih. Ditambah lagi dengan komentar kawan-kawan Vina yang menambah kesedihan di hati. Salah satunya dari Romlah sendiri.

"Sy dan tmn2, bsrta warga Romksar sdh brusaha smampu kami. Mulai dr menyurati ibu lutfi, memohon k kepala UPTD Mdona Hyera, sampai sdikit mgompori peserta dr LPTK Padang (sarjana Pgsd, tapi realitanya dtmpatkan d SMP), namun memang, gusti Allah msh blum mengiyakan. Peserta dr LPTK Unesa mengabdi d wilayah babar n skitarx. Sdgkan LPTK univ. Padang k daerah LeMoLa (leti-moa-lakor) + Mdona Hyera yg rasanya memang ditmptkan untk sekolah menengah. Kepsek kami jg msh smpat menahan 1 guru bntu untk brthan d Romksar sampai kepsek pulang (dr kuliah d Kisar). Namun trxta, sang guru bantu yg sdh punya SK mutasi k Luang sjak bulan Juli pun sepertix tak mampu menepati janjix k kepsek shg hrus buru2 pindah krn alasan administrasi d SD yg bru.. d Tiakur (ibu kota kabupaten) dpt guru SM3T. Memang lbh merata penyebranx drpda yg dlu. Tapi pemerataan ini malah hrus mengorbankan 1 sekolah yg mmg bth guru. DEMI PEMERATAAN. Pengambil kbjakan dari Dikpora MBD sudah ketuk palu.. *saya hanya bs mengelus dada"

Ketika Mustofa Kamal, teman Romlah berkomentar, "inilah potret pendidikan di luar jawa", Romlah menanggapi:  "La mau biking bgaimana, dong bilang lbh baik pi Tual jual kambing deng papa dari pada d kampung seng biking apa2. Ibu guru balik bole..", "bu guru e, Romkisar seng dpat guru dr jawa lai. Kami su krim surat k bupati par minta guru, tapi seng ad jwban. Skolah su tutup, bu guru Leha yg dpasrahi tinggal oleh kepala sekolah su pi d sekolah baru,seng tunggu ibu kepsek dtang lai", (ketakutanku slama ini, takut klau Angga, Andres, Mersi, Erdin, Monalisa, smua murid2 yg su mulai brharap kmbli mengubur asa mereka) *brtanya-tanya ttg jln kluar. "bu guru su senang d jawa, su lupa katong kapa? d Romkisar su seng ada guru lai. Bu guru balik do, la katong belajar" (haaaaa rasanya ingin kmbli...)"

Malam ini pun, saya langsung ber-SMS ke kepala Dikpora. "Bapak, sedih mendengar cerita Romkisar. Kenapa tdk ada guru yg dikirimkan ke sana utk menggantikan guru2 SM3T yang bertugas di Romkisar? Saya dengar sekolah tutup karena tdk ada guru? Mohon, bapak, ada perhatian utk SDN Romkisar. Terima kasih."

Saya tidak tahu entah kapan SMS saya akan dibaca dan dibalas. Besok saya akan mencoba menghubungi pak kadis via telepon. Meski keterbatasan sinyal telepon di MBD membuat hati saya ciut, tapi saya akan tetap berusaha. Saya juga berkoordinasi dengan Bapen (bapak pendeta) Abraham Beresaby melalui FB message meski beliau jelas-jelas tidak sedang online. Tapi saya berharap, SMS saya ke kadis dan message saya ke bapen, entah besok, entah lusa, akan terbaca oleh beliau-beliau, dan semoga segera ditanggapi. Tentu saja, yang saya harapkan, semoga ada jalan keluar untuk Romkisar.

Malam ini saya tidak bersemangat untuk ngapa-ngapain. Tumpukan berkas skripsi dan tesis mahasiswa tidak saya sentuh sama sekali. Tak berselera. Wajah Romlah dan kawan-kawan berkelebat-kelebat di kepala saya. Senyum anak-anak sekolah berkulit hitam yang terpampang di status FB Vina serasa mengiris-iris ulu hati. Sekolah tutup karena guru tidak ada. Anak-anak seperti itik kehilangan induk. Seperti layang-layang yang putus talinya. Tak punya siapa-siapa lagi untuk sekedar mengajari menulis dan membaca. Adakah yang lebih menyedihkan dari ini semua? 

Seperti inikah potret pendidikan di MBD, dan juga di banyak tempat lain di Indonesia ini? Setelah lebih dari enam puluh tahun merdeka? Betapa memprihatinkan.

Duka saya untuk Romkisar. Duka kami semua untuk dunia pendidikan.

Surabaya, dini hari, 12 Oktober 2013.

Wassalam,
LN

Minggu, 06 Oktober 2013

Kelebihan Iman

Pagi, pukul 07.00. Saya memencet bel rumah di jalan Kutisari 5A itu. Seketika saya njomblak. Gonggongan anjing membalas dering bel yang saya pencet tadi. bersahut-sahutan. Saya membayangkan ada lebih dari seekor anjing yang sedang meraung-raung di dalam. Meski pintu rumah yang mirip toko itu tertutup rapat-rapat dan anjing nggak bakalan mencolot keluar, saya beringsut menarik kaki menjauh, sambil tetap menatap pintu. Berharap seseorang menenangkan gonggongan anjing dan membuka pintu bercat biru itu.

Karena tidak kunjung ada tanda-tanda penyambutan, saya mengangkat telepon. Seseorang meresponnya. 'Halo...' Suara tua itu terdengar ramah. 'Ya, bapak. Saya ada di depan rumah bapak.' Kata saya. 'O...ya ya....saya buka'i....". Sejurus kemudian gonggongan anjing itu hilang lenyap, berganti suara klotek-klotek di pintu. 

Dan laki-laki tua itu, pak Wahyudi, keluar dengan T-shirt merah tua bertuliskan 'Saigon'. Di belakangnya, seorang perempuan, cantikkk sekali, adalah istrinya. Tentu saja namanya bu Wahyudi. Hehe.

Saya betul-betul tidak menyangka, mereka berdua China. Waktu bertelepon dengan bu Wahyudi tadi, logat beliau sama sekali gak mambu Cino blas. Malah cenderung seperti bahasa orang kulonan. Dengan selingan kromo inggil di sana-sini.

Ceritanya, beberapa hari yang lalu, bulik saya, bulik Muchsinah, minta tolong saya dan mas Ayik untuk mencarikan alamat rumah pak Wahyudi. Bulik saya itu, pak Wahyudi menyebutnya Ibu Nyai Cholil Bisri, adalah pasien pak Wahyudi. Nanti siang bulik akan rawuh dari Rembang ke rumah saya, dan besok pagi akan ke tempat pak Wahyudi. Bisa di rumahnya di jalan Kutisari, atau di Klinik Bethany Care di Nginden Intan. Maka, supaya kami besok tidak pakai golek-golek sewaktu nderekke bulik, pagi ini kami survei tempatnya dulu, sambil bikin janji untuk besok.

Saya sebenarnya agak heran juga, kok bulik berobat ke Bethany Care, klinik yang sekompleks dengan gereja Bethany itu. Gak salah tah? Sempat terpikir juga, opo wis gak onok tabib liyane tah? 

Saya dan mas Ayik disilakan duduk di ruang kerja pak Wahyudi. Sebuah ruang yang penuh dengan barang-barang untuk terapi. Termasuk kursi listrik, bed untuk periksa, dan juga buku-buku. Di antara buku-buku itu, ada banyak buku untuk pelayanan umat Kristen, Al-Kitab, dan juga....Al-Qur'an.

Akhirnya saya jadi paham kenapa bulik saya itu, yang notabene adalah istrinya pak kyai, berobat pada pak Wahyudi, yang seratus persen nonmuslim. Orang itu, pak Wahyudi, mengisi hidupnya dengan pelayanan dan pelayanan. Kebahagiaannya adalah melayani. Kepuasannya adalah ketika orang lain sehat dan bahagia karena bantuannya. Dia membagi-bagikan obat-obatan asli Cina untuk membantu penyembuhan berbagai penyakit. Dia membawa kursi listrik ke mana pun untuk membantu orang-orang sakit. 

Perkenalan bulik dengan pak Wahyudi itu, adalah juga saat pak Wahyudi melakukan pelayanan di Rembang. Ternyata ada banyak kyai yang jadi langganan pak Wahyudi. Di ruang kerjanya, saya melihat foto pak Wahyudi dan bu Wahyudi, semeja dengan Gus Mus (Musthofa Bisri) dan istrinya. Kata pak Wahyudi, itu foto dari Gus Mus, beliau memberikannya saat pak Wahyudi berulang tahun. Pak Wahyudi juga langganannya bu Nyai Masyhuri Rembang, serta beberapa kyai dan bu nyai yang lain. Kata pak Wahyudi, melayani kyai baginya seperti kewajiban. Karena kyai adalah milik ummat. Kalau pak kyai sakit, kasihan ummatnya. Maka kyai harus sehat, supaya bisa menyehatkan ummatnya. 

Kami jadi terlibat dalam obrolan yang lumayan gayeng pagi itu. Pak Wahyudi bertanya, "apa sebenarnya tujuan orang beragama? Saya jawab, "ya.....intinya, untuk kebagahagiaan di dunia dan akhirat". Beliau mengejar lagi, "di mana sih kebahagiaan itu? Di mana tempatnya?" Saya berfikir, diam sebentar, terus dengan pasti saya menjawab. "Di hati". Beliau langsung mengacungkan jempolnya. "Bagus. Di sinilah...." Beliau menjelaskan panjang lebar, kenapa kebahagiaan itu tempatnya ada di hati. 

Terus beliau bicara tentang surga. "Surga itu ada di langit ke tujuh menurut Islam, dan ada di langit ke tiga menurut Kristen. Menurut ibu, surga di dunia ini, ada di mana?" Saya spontan menjawab, "di rumah." Sekali lagi beliau menyodorkan jempolnya. "Ya. Baiti jannati." Katanya, hampir bersamaan dengan istrinya.

Selain bersahabat dengan banyak kyai, pak Wahyudi ternyata juga memiliki pengalaman-pengalaman buruk dengan para kyai yang menurut istilahnya adalah kyai yang kelebihan iman. "Orang itu harus beriman. Tapi iman jangan membuatnya sombong, egois, dan merasa paling benar. Apa lagi sampai menganggap orang yang tidak seagama itu najis." Beliau bercerita kalau beliau pernah diusir-usir bahkan diancam akan dibunuh oleh kyai tertentu. "Itulah kalau kelebihan iman. Padahal surat Al Hujurat ayat 10 sudah jelas. Tentang kerukunan ummat. Rahmat Allah tidak akan datang pada kaum yang tidak rukun". Tambahnya. "Saya datang menawarkan kebaikan. Saya tidak sedang mengajak orang untuk masuk ke agama saya, meskipun kalau mau, saya bisa lakukan itu. Tidak baik berprasangka. Islam sudah menjelaskan, lakum diinukum waliyadiin." 

Pak Wahyudi mengistilahkan apa yang sedang dilakukannya adalah jihad. "Saya berjihad dengan harta saya, dengan tenaga saya". Beliau mendedikasikan hidupnya untuk melayani, terutama melayani orang miskin. Lantas dia bertanya, "apa jihad yang paling berat? Adalah jihad memerangi hawa nafsu..." Dijawabnya sendiri pertanyaannya. 

Saya jadi ingat sahabat-sahabat nonmuslim saya. Orang-orang baik yang bertebaran di sekitar saya. Juga para pemuka gereja dan pendeta di Maluku dan Papua yang sering mengundang kami untuk makan malam di rumahnya. Di mana-mana, saat semangat saling menghargai dan menghormati itu dikibarkan, kedamaian senantiasa ada di sekitar kita.


Kami berpamit untuk mengakhiri diskusi yang bernas pagi ini. Tiba-tiba saya ingat harus pergi ke pasar, karena siang nanti tamu saya dari Rembang rawuh. Bulik Muchsinah, dua putra-putrinya, dua santrinya, dan ibu saya tercinta. Sayur asam, dadar jagung, pepes, sambal trasi, dan es garbis, kayaknya cocok.

Surabaya, 6 Oktober 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 29 September 2013

Tentang Toilet Dan Standar Kebersihan

Sewaktu saya lulus dari S2 pada akhir tahun 1995 dulu, awal 1996 saya ditugasi untuk menjadi sekretaris Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT) IKIP Surabaya (waktu itu belum berubah menjadi Unesa). Berlangsung selama satu periode (4 tahun), dan kemudian pada tahun 2000, saya ditugasi sebagai Kepala PKMT Unesa. Saat itu saya sempat merangkap jabatan sebagai sekretaris jurusan PKK. Saya berhenti tidak menjabat saat tahun 2003, karena saya mengambil program S3. Sepulang dari S3 pada akhir 2007, saya diamanahi untuk menjadi sekretaris Pusat Jaminan Mutu (PJM) Unesa. Sampai 2012, tiga amanah sempat saya emban secara berbarengan, karena selain sebagai sekretaris PJM, saya juga sebagai Kepala Program Studi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK) dan sebagai Ketua PPG Unesa. 

Begitu memasuki tahun 2013, saya hanya ditugasi untuk mengurus PPG, yang waktu itu sudah harus menempati gedung PPPG, di Kampus Lidah Wetan. Gedung berlantai sembilan, dengan kondisi yang luar biasa amburadul. Belum siap dihuni. Di mana-mana bekakas pating blesah. Debu menjadi aroma yang mendominasi. Perabot belum mapan pada tempat yang seharusnya. Hanya saya, bu Yanti dan pak Sulaiman. Staf belum ada, maka pasukan bodrek pun akhirnya mesti kami himpun sendiri. 

Dalam posisi apa pun, menjabat atau tidak, standar kebersihan menjadi prioritas bagi saya, tentu saja di samping prioritas yang lain terkait dengan tupoksi saya. Front office menjadi tolok ukur pertama. Karena orang harus jatuh cinta pada pandangan pertama. Setelah itu, ruang kerja adalah prioritas yang utama, karena orang yang kerja di situ harus merasa nyaman dan betah. Kemudian, ruang kelas, ruang baca, koridor, hall, menjadi prioritas pertama, karena itu semua adalah pusat layanan pada mahasiswa dan dosen pengajar. Proritas pertama yang lain adalah urusan makan, karena di PPG ini jauh dari mana-mana, maka makan siang, meski dengan menu sederhana, musti disediakan, supaya pimpinan, staf, dan dosen, konsentrasi pada tugas dan tidak perlu dirisaukan dengan urusan makan siang. 

Bagaimana dengan toilet? Dari semua yang prioritas itu, maka toilet adalah urusan yang sangat amat prioritas sekali.

Di PPPG, ada 20 orang tenaga cleaning service yang kami openi. Setiap lantai harus ada dua orang. Selebihnya mengurus taman, baik di dalam gedung maupun di halaman. Sehari mereka minimal bekerja tiga kali, pagi, siang, dan sore. Kalau ada kegiatan insidental yang melibatkan banyak orang, seperti yang sekarang digunakan untuk PLPG dan KKT, maka petugas cleaning service harus sepanjang hari berjaga selama kegiatan berlangsung. Entah gimana ngaturnya mereka, yang jelas, sepanjang hari itu toilet harus dipastikan dalam keadaan bersih. 

Saya sering sengaja masuk ke toilet di luar ruangan saya, hanya untuk memastikan, toilet terjaga kebersihannya. Kalau ada tisu kotor ketinggalan di dalam toilet, atau closet yang tidak bersih, saya akan segera tahu. Petugas cleaning service-pun harus terpaksa menjaga terus kebersihannya.

Ya, semuanya harus bersih. Lantai, jendela, kaca-kaca, meja-meja, tangga, semuanya....terutama....toilet. 
Dan tahukah Anda? Minggu yang lalu, saat saya pulang dari Papua, bu Suryanti, Pembantu Direktur 2 PPG, mengabari, ada tagihan sebesar Rp. 400.000.000,- untuk membayar cleaning service. Untuk layanan setahun ini (2013). Glek. Duit dari mana lagi?

Maka Jumat yang lalu, kami, direktur PPPG, PD 1, PD 2, kabag keuangan dan staf, kabag perlengkapan, rapat di ruang PR 2, atas undangan PR 2. Agendanya adalah untuk membahas pengelolaan PPPG, supaya PPPG bisa menghidupi diri sendiri dan menjadi income generating unit bagi Unesa. Termasuk mengatasi tingginya dana kebersihan dan perawatan.

Pucuk dicinta ulam tiba. Kesempatan dipanggil untuk diajak rapat seperti ini, sudah saya tunggu sejak lama. Selama ini, sejak saya ditugasi untuk ngurusi PPPG, saya hanya lapor saja untuk berbagai persoalan, baik fisik maupun nonfisik. Laporan dalam bentuk lesan, sms, surat, semua sudah. Dikirim ke rektor, ditembuskan ke PR 2, ke kabag perlengkapan, dan ke UPT ULP. Semua yang bisa kami atasi, kami atasi langsung. Plavon jebol, saluran air bocor, lantai retak, lift ngadat, wifi, telepon, dan banyak sekali urusan lain, sepanjang kami bisa, kami atasi sendiri, dan kami tinggal laporkan kepada pimpinan.

Belum lagi urusan asrama untuk menampung mahasiswa PPG. Bo abboohh... Tak terbayangkan oleh saya sebelumnya, saya dan tim akan menangani begitu banyak warisan ketidakberesan. Tahu nggak yang namanya Asrama PGSD? Ampuuuuun. Saya melihatnya bukan seperti asrama. Dengan penampungan TKW aja mungkin lebih baik (waks....maaf, kalau yang ini berlebihan kayaknya). 

Baru memasuki halamannya saja, bau selokan sudah naudzubillah, tanda saluran tidak beres. Masuk ke lantai satu dan dua, ke kamar-kamar, walahhh.... Saya gedek-gedek tok, tak bisa komentar. Kasur-kasur mblegadus, sofa koyak dan jebol, bed pada sengkleh, tembok berwarna-warni mangkak di sana-sini. 

Belum lagi toiletnya. Saya tak habis pikir. Lihat toilet seperti itu kok yo tegaaa gitu. Ya mahasiswanya, ya pengelolanya (maaf, mudah-mudahan tidak menyinggung siapa pun). Toilet yang kotor, pintu banyak yang semplah, bau... Dan halaman di sekitar toilet, rumput-rumput tumbuh sak karepe dewe, tanaman tak terurus, ada tempat yang seharusnya menjadi tempat mahasiswa belajar, malah jadi gudang, penuh dengan tumpukan kayu-kayu dan jemuran-jemuran. Bo abboohh....

Padahal, di PPG SM-3T ini, mahasiswanya dari seluruh Indonesia, tidak hanya dari Unesa tok. Dari UNG, Unima, UNP, Undiksha, UM, UNY, dll.  Mereka ditampung di asrama, karena memang judulnya adalah PPG berasrama-berbeasiswa. 

Dengan kondisi asrama yang seperti itu? Mati awak.... Ini urusan pencitraan... Tidak main-main.... Citra Unesa dipertaruhkan di sini, di asrama ini, juga di gedung PPPG ini.

Maka setelah hitung sana hitung sini, dengan menerapkan sistem pengelolaan keuangan biaya pendidikan sesuai dengan aturan Unesa, serta fleksibilitas penggunaan dana kehidupan berasrama, kami bekerja cepat. Pengadaan untuk bed, kasur, ngecat tembok, rehab toilet, benahi saluran, dan buwanyak lagi... 

Maka saat rapat, ketika bapak PR 2 menanyakan seperti apa kami mengelola PPG dan asrama, beliau malah mengucapkan terima kasih, karena pimpinan telah diringankan pekerjaannya. Tahukah, berapa dana yang sudah kami keluarkan untuk asrama dan perbaikan fisik gedung PPPG (ya, gedung yang masih baru itu, ternyata plavonnya banyak yang jebol, toiletnya banyak yang salurannya tidak beres, lantainya banyak yang mengkap, dan lift-nya ngadat melulu). Lebih dari Rp. 800.000.000,- belum yang ngrentil kecil-kecil... Bisa-bisa tembus 1M....

Maka, biaya cleaning service yang Rp. 400.000.000,- itu pun akhirnya ditangani oleh PR 2, karena setelah dihitung-hitung, pemasukan PPPG ke Unesa dari pemotongan biaya pendidikan, sudah lebih dari cukup untuk membayar cleaning service. Ya, baru nanti di tahun-tahun yang akan datang, biaya itu akan ditangani oleh PPPG sendiri, setelah persoalan-persoalan yang prioritas seperti tahun pertama ini, sudah teratasi semua.

Begitulah saudara-saudara. Ngopeni cleaning service, dengan tuntutan standar kebersihan yang sesuai dengan keinginan kita, ternyata tidak murah. Kalau cuma asal ada petugas saja sih gampang. Tapi ya itu, pagi dibersihkan, nanti sore lagi. Sepanjang hari, kita yang musti jaga kebersihan itu.

Ya, kita. 

Di industri, kita mengenal ada prinsip 5R. Singkatan dari Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin. Itu konsep aslinya dari Jepang, 5S: Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke. 

Singkatnya, Seiri adalah pengorganisasian. Terorganisir berarti menjaga barang yang diperlukan serta memisahkan barang yang tidak diperlukan dalam pekerjaan. Seiton adalah kerapian. Kerapian menentukan secepat apa kita meletakkan barang dan mendapatkannya kembali pada saat diperlukan. Seiso berarti resik. Kebersihan harus dilaksanakan dan dibiasakan oleh setiap orang, dari pimpinan sampai staf terendah. Seiketsu adalah standar. Kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan 3S yang pertama harus distandarisasi. S yang terakhir adalah Shitsuke, yang diartikan sebagai disiplin. Dimaksudkan untuk menerapkan kemampuan melakukan sesuatu dengan yang seharusnya. Kebiasaan buruk dapat dihilangkan dengan mengajari staf mengenai apa yang seharusnya dilakukan, dan membiasakan mereka untuk melakukan hal-hal baik.

Kalau disingkat, 5S bermuara pada: 1) ringkas biaya/cost, 2) rapi proses dan delivery-nya, 3) resik dalam hal kualitas dan keamanannya, 4) terawat sistem dan standarnya, serta 5) rajin budaya dan sikapnya.

Namun, tentu saja,  pelaksanaan 5S tanpa disertai komitmen dapat menyebabkan 5S tidak efektif, mungkin hanya bertahan beberapa hari atau minggu, atau bulan saja, kemudian lingkungan kerja kembali pada kondisi seperti sebelumnya.

Maka, apa yang terpenting untuk menjaga kebersihan? Nomor satu, komitmen. Nomor dua, komitmen. Nomor tiga, komitmen.

Komitmen siapa? Komitmen kita semua.

Catatan: kalau teman-teman masih menemukan toilet yang kotor dan tidak layak di Gedung PPPG, langsung beri tahu saya ya? Hitung-hitung, ikut membantu menjaga kebersihan. Itu kan tanggung jawab kita semua. Komitmen bersama. Oke? Oke?


Surabaya, 29 September 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 22 September 2013

Selamat Jalan, Syahrul...

Siang ini, pukul 14.10, SMS itu saya terima dari Nanda. 

"Assalamualaikum. Ibu saya sekarang dengan mas Zia,menuju BOJONEGORO. Baru ada kabar mas syahrul pgsd sm3t sumba 2012 kecelakaan. Menurut info dari teman2, mas Syahrul meninggal."

Saya tentu saja terkejut sekali. Berharap kabar itu tidak benar. Meski dalam hati kecil, saya yakin. Karena tidak mungkin Nanda ber-SMS seperti itu kalau dia sendiri belum yakin tentang kabar duka itu.

SMS-SMS berikutnya semakin meyakinkan saya. "Assalamuallaikum
Prof. Ada peserta dari SM3T 2012 a.n. syahrur romadhon meninggal dunia karena kecelakaan dari bojonegoro ke mojokerto." Ini SMS dari Juliar, staf SM-3T. Disusul SMS dari Ela Oktavianti, rekan Syahrul di Sumba. "Assalamualaikum..
Innalillahi wainnalillahi roji'un..
Telah berpulang kehadirat Allah SWT. Teman, rekan, saudara, keluarga kami tercinta di sm3t.. Mas syahruL Romadhon pgsd, telah berpulang ke Rahmatullah td pagi karena lakalantas, atas segala kerendahan hati, mohon dimaafkan atas segala kesalahan, smoga dilapangkan jalannya.."

Maka saya pun langsung berkoordinasi secepatnya dengan teman-teman tim. Juga dengan Nanda dan Ela. 

Dan sore ini, saya dan bu Lucia meluncur ke Bojonegoro, diantar Anang, driver PPPG. Meski sebenarnya kondisi kami berdua kurang fit, sama-sama flu, dan kelelahan setelah mengantar para peserta SM-3T belum juga tuntas, keinginan untuk bertemu keluarga Syahrul tak bisa dibendung. Semoga perjalanan kami lancar.

Syahrul, anak baik itu, sangat kami kenal. Waktu mahasiswa, dia adalah ketua BEM. Saat seminar nasional di Sumba kemarin, dialah motor kepanitiaannya. Saat memetakan distribusi sekolah untuk peserta SM-3T angkatan ketiga, dia juga yang termasuk motornya. Bahkan saat acara pelepasan dan penerimaan peserta SM-3T tempo hari, dia juga yang mengurus banyak hal, termasuk sebagian besar berkas-berkas laporan pertanggungjawaban.

Syahrul baru dua hari yang lalu pulang dari Sumba Timur, setelah selama setahun melaksanakan tugas pengabdiannya. Pagi tadi, dia berencana menghadiri undangan Erwan, rekan seperjuangannya di Sumba, yang mengadakan syukuran karena sudah kembali ke Jawa dengan selamat. Acara itu diadakan di rumah Erwan, di Mojokerto. Syahrul berangkat pagi dari rumahnya di Kalitidu, Bojonegoro, bermaksud mampir ke Surabaya dulu untuk menjemput temannya, namun saat di perjalanan, dia mengalami kecelakaan. Seperti apa kejadian kecelakaan itu, belum ada kejelasan.

Saat ini, kami dan para peserta SM-3T angkatan kedua, sedang bergerak menuju Kalitidu, Bojonegoro. Ada yang berangkat dari Mojokerto, Surabaya, Lamongan, dan beberapa tempat lain. Semuanya bertujuan sama. Memberi penghormatan terakhir bagi Syahrul Romadhon.

Ya Allah, ampuni semua dosa Syahrul Romadhon, berikan tenpat terbaik di sisi-Mu. Amin Ya Rabbal alamin.

Selamat jalan, Syahrul.....

OTW ke Kalitidu, Bojonegoro, 22 September 2013

Wassalam,
LN  

Jumat, 20 September 2013

Mamberamo (9): Bersama Pilatus Membelah Angkasa

Pagi hari, pukul 07.30, kami meninggalkan rumah dinas Bapak Isak Torobi, Kepala Dinas Dikpora. Setelah menikmati makan pagi nasi putih dan mi instan rebus. Selama dua hari dua malam kami tinggal di rumah papan berukuran sekitar 7 x 13 meter itu. Rumah itu letaknya berhadapan dengan kantor dinas dikpora, hanya di seberang jalan saja.

Rumah dinas pak kadis itu memiliki satu ruang tamu, dua kamar, sebuah ruang makan, dapur dan kamar mandi. Tanpa televisi, tanpa lemari es, tanpa AC. Tidak ada mobil dinas atau mobil pribadi. Jangan bayangkan sofa besar di ruang tamu, atau meja makan besar di ruang makan. Juga jangan bayangkan kompor gas dan kitchen set di dapurnya. Itu semua tidak ada. Kecuali perabot dan peralatan yang sederhana. Tempat tidur pun berupa kasur busa yang langsung digelar di atas karpet plastik. Kendaraan satu-satunya adalah sebuah sepeda motor yang tidak lagi baru.

Itulah profil kepala dinas pendidikan di Mamberamo Raya. Tidak bergelimang harta dan barang-barang mewah. Kepala sekolah, guru, sama. Bahkan saat kami baru turun dari speedboat kemarin sore, para kepala sekolah ikut menjemput kami dengan sepeda motornya, dan membantu mengangkat barang-barang kami. Tak terfikir bahwa mereka adalah para kepala sekolah, saking sederhana dan 'mau soro'nya mereka.

Di rumah pak kadis, saya dan Ferry tidur di kamar belakang. Dua kasur busa dihamparkan di kedua sisinya. Sedangkan mas Rukin, mas Joko, pak Julianto, bergabung jadi satu dengan pak kadis di kamar depan. Semua tidur di bawah, ditemani sebuah kipas angin untuk menghalau panas dan nyamuk.
Anak-anak kami para peserta SM-3T, sementara ditampung di sebuah bangunan dalam kompleks kantor diknas, sebelum mereka dijemput kepala sekolah masing-masing untuk dibawa ke tempat tugas. Sebuah rumah dengan tiga kamar, ruang keluarga, dan teras. Tanpa perabot. Bahkan selembar tikar pun tidak ada. Latihan awal untuk hidup serba kekurangan, sebelum mereka mencapai tempat tugas yang mungkin kondisinya akan jauh lebih memprihatinkan.

Para peserta SM-3T nantinya ditugaskan di beberapa distrik. Dari sembilan distrik, hampir semua menjadi tempat tugas. Tempat tugas terdekat dari Kasonaweja adalah Burmeso, tempat yang kemarin kami kunjungi, termasuk distrik Maberamo Hilir. Hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 10 menit dengan speedboat. Tempat tugas yang lain, tersebar di distrik Rufaer, Benuki, Sawai, Iwaso, Mamberamo Hulu, dan Mamberamo Tengah Timur serta Waropen Atas. 

Tidak ada yang mudah untuk mencapai tempat-tempat itu. Hampir semua tempat mengandung risiko untuk mencapainya. Semua harus menumpang speedboat. Di beberapa tempat, speedboat harus melintasi jeram-jeram berbahaya dengan tingkat kemiringan 60 derajat. Saya sesungguhnya ketir-ketir dan ngeri dengan kondisi tersebut. Tapi bismillah, saya harus yakin Allah SWT akan melindungi perjalanan mereka dan memudahkan mereka dalam melaksankan tugas pengabdian mulia itu.
Mamberamo Raya terkenal dengan nyamuk malarianya yang ganas-ganas. Oleh sebab itu, selain obat malaria, para peserta juga kami bekali dengan kelambu. Selain itu, banjir juga menjadi langganan tahunan. Sekali hujan, seluruh negeri tergenang, begitulah kata pak kadis. Maka para peserta juga kami bekali dengan sepatu boot untuk mengantisipasi medan dan banjir.

Pak Kadis juga bilang, nyamuk di Mamberamo Raya adalah teman cerita yang setia. Saking setianya, waktu kita sedang menikmati makan pun, mereka maunya ikut menikmati, sehingga suatu ketika kita harus makan di dalam kelambu. 

Selain malaria, penyakit kaki gajah juga menjadi ancaman serius. Maka kemarin para peserta sudah ke puskesmas setempat untuk mendapatkan vaksin filaria. Gratis, tidak bayar. Keberadaan puskesmas pembantu di setiap distrik sangat menolong masyarakat dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit, termasuk malaria dan kaki gajah yang merupakan penyakit endemik. Sayang kesadaran mereka untuk memanfaatkan keberadaan puskesmas belum optimal. Ditambah lagi dengan kebiasaan hidup dan kebersihan lingkungan yang masih jauh dari standar kesehatan, membuat malaria dan kaki gajah, juga penyakit kulit, seperti menjadi penyakit langganan. 

Adat-istiadat di Mamberamo Raya masih sangat kuat. Adat kematian, disebut kon, merupakan tradisi penduduk asli, yaitu menanam mayat anggota keluarganya di para-para, di atas panggung rumah khusus. Mayat itu akan diletakkan di situ selama sekitar 4-6 bulan, sampai dagingnya hilang. Sementara itu, pihak keluarga akan mengumpulkan biaya untuk melaksanakan prosesi penguburannya. Setelah penguburan, pesta kematian (kon) akan diselenggarakan dengan acara pokok makan dan berdansa selama dua malam, dengan diiringi alat musik tifa dan suling.  

Adat yang lain adalah pesta adat perkawinan (henem). Pada pesta adat henem, keluarga perempuan mengantar makanan seperti sagu, babi dan makanan lain yang biasa dimakan. Makanan ini dinikmati dalam pesta lajang, dilengkapi dengan dansa, sebagai tanda perpisahan dengan teman-teman yang lajang. Saatnya untuk memenuhi kewajiban, berbakti pada keluarga.

Masih banyak adat istiadat yang lain, termasuk kawin tukar dan kawin masuk. Apa pun, setiap pendatang, termasuk para guru SM-3T, harus menyesuaikan diri. Tidak harus larut dalam tradisi yang menurut pandangan mereka kurang baik, namun pepatah 'di mana bumi dipijak, langit dijunjung', harus mereka maknai sebijaksana mungkin.

Air juga tidak tersedia dengan mudah. Tentu saja tidak ada air PAM. Mereka menampung air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Setiap hari, Papua nyaris tidak pernah tidak hujan. Air itulah yang mereka manfaatkan, selain air sungai yang dijernihkan. 

Ada ungkapan khas di Mamberamo Raya: 'hujan sungguh mati, panas sungguh mati'. Menandakan hujan yang tak pernah absen setiap hari dan bahkan hampir selalu mengakibatkan banjir tahunan. Sekaligus, karena Mamberamo Raya menghampar di atas batubara, maka panasnya luar biasa. Pagi sekitar pukul 07.00 sudah membuat orang berkeringat kepanasan.

Bank hanya ada di Kasonaweja, itu pun hanya Bank Papua. Jadi para peserta SM-3T mau tidak mau harus membawa sejumlah uang dalam bentuk tunai, karena di tempat mereka ditugaskan tidak ada bank atau ATM. 

Harapan kami, para guru muda itu mampu bertahan hidup dalam kondisi serba kekurangan. Seperti kata pak kadis sewaktu presentasi di Kodikmar: "nikmati apa yang ada dengan segenap hati. Kalau sudah sampai di medan, pasti kalian bisa. Bukankah kalian datang untuk mencerdaskan orang lain? Kalau kalian mau orang lain cerdas, kenapa kalian tidak bisa membahagiakan diri sendiri?" Beliau juga mengatakan: "sebagai seorang guru, keberhasilan siswa akan menjadi kebanggaan kita seumur hidup. Jadi jangan takut susah. Lagi pula, siapa suruh kalian jadi guru?"

Yang menghibur hati dari sekian banyak 'kemalangan' adalah, Mamberamo Raya bukanlah wilayah yang rawan konflik. Tidak seperti di Timika. Kehadiran guru di sana sangat dibutuhkan untuk mengatasi kekurangan. Guru, mendapat tempat khusus di hati masyarakat, karena mereka datang untuk mencerdaskan anak-anak Papua sebagai anak-anak bangsa.

Baiklah, kembali ke rencana pulang hari ini. Siang terik, panas sekali. Pukul 11.30. Saat pesawat kecil itu terbang rendah siap mendarat. Akhirnya, setelah menunggu sejak pukul 07.30, ada pesawat yang akan menerbangkan kami menuju Jayapura.

Sebenarnya kami dijadwalkan  menumpang Suzie air. Namun kabar yang diterima oleh pihak penerbangan, pesawat itu masih ada di Wamena, bersiap terbang ke Sentani, baru kemudian lanjut ke Kasonawaja. Wow, berapa lama lagi kami harus menunggu? Sementara tiket Garuda Jayapura-Surabaya kami sudah ok, dijadwalkan terbang pukul 14.20.

Kami tadi sudah kebat-kebit kalau pesawat kecil mungil itu tidak kunjung datang. Mas Nardi, petugas tiket kami mengabarkan, tiket dari Jayapura ke Surabaya untuk semua penerbangan sudah full-booked hari ini. Artinya, kalau kami ketinggalan Garuda siang ini, maka kami terpaksa harus pulang besok pagi.
Alhamdulilah, pada detik-detik kritis, pesawat kecil itu mendarat. Pesawat yang bernama Pilatus itu. Warna putih kombinasi biru. Saya belum pernah melihat pesawat yang lebih kecil daripada pesawat yang sekarang ada di depan mata saya ini, kecuali pesawat-pesawatan. Hehe...

Pilatus berpenumpang sepuluh orang plus seorang pilot. Dia memerlukan waktu sekitar 80 menit untuk mencapai Jayapura. Benar-benar pas waktunya. Begitu turun dari Pilatus nanti, kami musti bekerjaran dengan waktu untuk check in supaya tidak ketinggalan Garuda menuju Surabaya.

Beberapa jam sebelumnya, kami dan semua bagasi ditimbang sebelum naik pesawat. Mungkin karena kami dikawal terus dari dinas pendidikan, maka dengan pesawat apa pun, kami dijadwalkan terbang pertama. Maka menggeser-geser penumpang dan barang adalah pekerjaan yang memerlukan waktu cukup lama. 

Setelah semua barang ditata di bagian belakang badan pesawat dan di sayap-sayapnya, kami dipanggil satu per satu. Tempat duduk kami diatur sedemikian rupa supaya tetap menjaga keseimbangan pesawat selama terbang. Siapa duduk di mana, tidak bisa memilih tempat duduk. Pak Julianto, betapa beruntung dia, karena berat badannya paling berat, dia mendapat kehormatan duduk di sebelah pilot.

Siang itu, akhirnya, Pilatus mengudara. Membawa kami berlima bersama lima orang Papua. Aroma sirih pinang berbaur dengan dinginnya AC dalam pesawat. Melengkapi keindahan hutan belantara Papua dan sungai Mamberamo yang mengular, yang bisa kami nikmati dari atas. Papua memang luar biasa. Sebuah mutiara indah di ujung timur Nusantara. Tidak bisa tidak, apa pun harus dilakukan untuk tetap bisa memilikinya. 

Dan Pilatus pun terus membubung tinggi, membelah angkasa, melintasi mega-mega, menuju Jayapura. Membawa kami semua kembali kepada 'peradaban', kembali kepada rutinitas, kembali kepada perjuangan yang lain.....

Selesai...
Jayapura, 19 September 2013
Wassalam,

LN

Mamberamo (8): Ibu Kota Di Tengah Hutan

Burmeso. Kota inilah ibukota Mamberamo Raya yang lain, selain Kasonaweja. Berjarak sekitar 10 menit naik speedboat dari Kasonaweja. Karena berada di dua tempat, ibukota Mamberamo Raya sering disebut Kasomeso (Kasonaweja-Burmeso). 

Hari ini, setelah serah terima para peserta SM-3T kepada Bupati, dilanjutkan dengan pendatanganan MoU, serta sosialisasi kurikulum 2013 di mana saya sebagai pembicaranya; kami bergerak dengan speedboat menuju Burmeso. Tujuannya adalah mengantarkan dua peserta SM-3T yang ditugaskan ke SMP I Burmeso. Kedua peserta itu adalah Brian dan Fariz. Brian dari prodi pendidikan geografi, dan Fariz dari pendidikan matematika.

Cerita tentang bupati dulu. Orang kelahiran Kabupaten Sarmi itu, tinggi besar. Tentu saja, kulitnya hitam, rambut ikal, khas Papua. Namanya Demianus Kyeuw Kyeuw. Beliau adalah kakaknya bapak Julius, orang yang mengundang kami makan malam dengan menu papeda waktu transit di Sarmi tempo hari.

Hari ini, rasa penasaran saya terjawab. Saya jadi faham, kenapa para pejabat di Mamberamo Raya ini begitu takzim pada beliau. Orang itu tidak hanya ukuran bodi dan penampilannya saja yang membuatnya punya kharisma. Ketika beliau bicara tentang kondisi dan potensi Mamberamo Raya, tentang visinya terkait pendidikan nasional khususnya untuk Papua, dan kesan serta harapannya atas program SM-3T, meski berbicara dalam waktu yang cukup lama, kalimatnya sangat runtut, dan isinya sangat bermutu. Pantas saja beliau sangat disegani oleh para pejabat pemda. Intelek, berwawasan. 

Acara serah terima itu, selain dihadiri oleh bupati, juga dihadiri oleh ketua dewan adat, wakapolres, sekda 1 dan 2, pimpinan SKPD, sekretaris DPRD, dan tentu saja para kepala sekolah dan para guru. Mereka mengikuti acara demi acara dengan penuh perhatian dan  keceriaan. Acara sesekali dipenuhi dengan applaus dan tepuk tangan, mencerminkan suka cita mereka.  

Ketua Dewan Adat, laki-laki tua itu, begitu emosional saat menyampaikan sambutannya. Sambil mengepal-ngepalkan tangannya, beliau berteriak, namun dengan air mata berlinang: "Mamberamo Raya harus maju pendidikannya, sama dengan wilayah lain di Tanah Air. Guru-guru yang datang akan membatu torang punya sekolah-sekolah. Terima kasih karena Tuhan boleh mengirimkan guru-guru untuk membantu torang"  

Di Tanah di mana keberadaan hukum adat seringkali lebih dominan daripada hukum negara dan pemerintahan ini, maka kedudukan ketua dewan adat begitu disegani. Apa lagi para tetua adat pada umumnya adalah mereka yang turut berjuang demi berdirinya Mamberamo Raya sebagai kabupaten.
    
Mamberamo Raya menjadi kabupaten yang berdiri sendiri sejak 13 September 2007. Enam tahun yang lalu.  Merupakan pemekaran dari Kabupaten Sarmi dan Waropen. Infrastrukturnya masih jauh dari layak. Belum ada jalan beraspal. Bangunan-bangunan perkantoran masih sangat sederhana dan banyak yang masih pada tahap pembangunan. Lapangan terbang berlandas pacu jalan tanah yang dikeraskan dan bertabur kerikil. Rumah sakit, namanya Rumah Sakit Bergerak, nampak kalau masih baru. Mushola berukuran kecil yang ada di dekat lapter, sangat sederhana. Begitu juga bangunan-bangunan gereja. Satu-satunya BTS hanya telkomsel, itu pun tidak sepanjang hari lancar sinyal. Sinyal hanya ada di Kasonaweja dan Burmeso, di pusat kota. Sedikit saja keluar dari pusat kota, sinyal hilang lenyap tak berjejak. Listrik juga hanya ada di malam hari, sejak pukul 17.00 sampai pukul 05.30. Lumayan, dua belas jam bertabur terang. Tapi jangan tanya di luar kedua kota itu. Gelap gulita.  

Untuk menempuh perjalanan ke Burmeso, kami menggunakan dua speedboat. Speedboat yang satu tertutup, yang satu terbuka. Speedboat itu milik pemda sendiri. Saya, pak kadis, mas Rukin, pak Julianto, beberapa pejabat, dan dua peserta SM-3T yang akan ditugaskan di Burmeso, naik di speedboat tertutup. Kru JTV dan yang lain, di speedboat terbuka, supaya kru JTV leluasa mengambil gambar. Entah mengapa, ada dua polisi juga di speedboat kami, satu di belakang, satu di depan. Lengkap dengan senjata laras panjangnya.  

Di Mamberamo Raya ini, semua kepala dinas memiliki kendaraan dinas berupa speedboat, kecuali kepala dinas pendidikan. Padahal untuk menunjang kinerjanya, speedboat itu sangat sangat penting. Selama ini, pak kadis dikpora memanfaatkan speedboat kepala dinas yang lain atau naik ojek (speedboat juga) untuk aktivitasnya. Transportasi air memang menjadi andalan di Mamberamo Raya. Hanya sungai satu-satunya sarana jalan untuk mencapai satu titik ke titik yang lain.

Titik terdekat dari Kasonaweja adalah Burmeso. Kompleks kabupaten dan perkantoran lain ada di tempat ini. Juga rumah dinas para pejabat eselon. Hanya dinas dikpora dan dinas kesehatan saja yang tetap tinggal di Kasonaweja. 

Burmeso. Tempat yang penuh dengan hutan belantara dan bukit-bukit. Jalan-jalan yang baru dirintis memanjang mengikuti kontur tanah. Meski ini adalah ibukota Mamberamo Raya, sebagaimana Kasonaweja, tidak ada jalan beraspal. Semua jalan walaupun cukup lebar, masih berupa tanah dan batu yang dikeraskan. 

Setelah upacara penyerahan Brian dan Faris di SMP 1 Burmeso yang sekolahnya belum jadi, kami diajak berkeliling melihat Burmeso. Mengendarai dua mobil double gardan, kami melanggar dua sungai besar, jalan yang menanjak menaiki perbukitan, menurun ke lereng-lerengnya. Hanya mobil jenis ini yang layak untuk medan seperti ini. Selain kami berlima dan pak Kadis, asisten 1, asisten 2, dan beberapa pejabat ikut dalam rombongan tersebut.

Semua bangunan, mulai dari kompleks rumah dinas pejabat eselon, kantor DPR, kantor bupati, adalah bangunan baru yang semuanya beratap biru. Ya, biru memang warna khas Mamberamo Raya. Semua genteng bangunan perkantoran, masjid, rumah sakit, dan rumah-rumah penduduk, hampir semua bergenteng biru. Seragam batik pegawai kantor juga biru.

Kantor bupati masih belum selesai dibangun. Saya diajak pak kadis memasuki bangunan berlantai tiga itu. Meski belum jadi, bangunan ini sudah nampak kemegahannya, dan pasti akan menjadi gedung yang megah. 

Dalam pandangan saya, gedung ini terlalu megah untuk Mamberamo Raya yang baru memulai segala sesuatunya. Pembangunan SDM melalui pendidikan, infrastruktur transportasi dan komunikasi, nampaknya akan jauh lebih bermakna dibanding dengan pembangunan fisik gedung untuk para petinggi kabupaten. Entahlah. Mungkin gedung-gedung ini akan menjadi simbol kemakmuran Mamberamo Raya. Semoga tidak sekadar menjadi simbol, namun benar-benar mencerminkan kemakmuran di segala lapisan masyarakatnya yang sebagian besar masih sangat primitif dan tradisional.

Satu hal lagi yang agak mengganggu saya, kemegahan gedung di tengan hutan belantara ini mengkhawatirkan saya atas keberadaan hutan-hutan itu sendiri. Berapa ratus bahkan ribu pohon yang harus ditebang demi membangun infrastruktur dan gedung-gedung itu. Berapa hektar tanah ulayat yang musti dikorbankan. Ya, kota memang harus berbenah, harus berkembang, harus punya kantor, harus memiliki jalan, fasilitas umum dan pusat-pusat perekonomian. Namun demi itu semua....begitu mahal harga yang harus dibayar. Saya hanya bisa berharap, semoga hutan tetap dipertahankan sebisa mungkin, sehingga Burmeso akan menjadi ibukota yang berada di tengah hutan belantara. Betapa indahnya. Apa lagi kalau bangunan-bangunannya, dibuat dengan konsep yang menyatu dengan alam sekitar. Bukan gedung-gedung tinggi yang pongah menyaingi menjulangnya hutan belantara di sekitarnya. 

Burmeso, Mamra, Papua, 18 September 2013

Wassalam,
LN