Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 20 April 2014

Mamteng 6: Papua, Mari Maju Bersama (4)

Masyarakat Ilugwa adalah orang-orang yang ramah. Keramahan mereka membuat para guru SM-3T merasa betah dan nyaman. Kekhawatiran pada kondisi keamanan di Ilugwa, ternyata tidak beralasan. Mamteng bukan wilayah konflik. Konflik yang terjadi lebih banyak secara internal dalam wilayah Mamteng sendiri. Baku tarik politik yang tak kunjung selesai. Wajar, mengingat Mamteng adalah kabupaten yang baru. Baku tarik juga terjadi antara Mamteng dan Mamra (Mamberamo Raya), khususnya terkait dengan batas wilayah. Namun baku tarik ini hanya terjadi di dalam ruang rapat, dan tidak pernah memicu persoalan dan kekacauan di masyarakat. 

Dukungan masyarakat yang tulus tercermin pada cerita para guru SM-3T. "Bapak guru jangan takut-takut main ke rumah kami. Bapak guru kami lindungi." Begitu kata penduduk setempat untuk meyakinkan para guru SM-3T tentang kondisi keamanan.

Setiap sore, Faishol dan kawan-kawannya, bermain bola dengan anak-anak sekolah. Dasar anak-anak. Bola voli dialihfungsikan jadi bola kaki. Karuan saja, bola voli itu cepat rusak. 

Jumlah siswa SMP Illugwa sebanyak 51 orang. Siswa SMA ada 8 orang, 2 di antaranya sudah punya anak, tapi belum berkeluarga. Artinya, anak tersebut dihasilkan dari hubungan di luar nikah. Meski sudah ada seorang anak dari hubungan itu pun, mereka tetap tidak menikah. Mas kawin yang sangat mahal dan syarat-syarat lain membuat pernikahan menjadi hal yang rumit di Papua. 

Uniknya, sepasang 'suami isteri' itu, adalah siswa di SMA Ilugwa. Yang perempuan duduk di kelas X, dan yang laki-laki duduk di kelas XI. Anak mereka dirawat oleh orang tua pihak perempuan.  

Hal semacam itu bisa dikatakan lazim terjadi di wilayah-wilayah seperti Papua, dan, setahu saya, juga di Sumba Timur. Di Sumba Timur, saya menemukan ada seorang guru yang mempunyai dua anak, dari dua orang laki-laki, namun tidak punya suami. Hamil di luar nikah juga banyak terjadi. Sebenarnya hal seperti itu juga pasti ada di tempat lain, di wilayah perkotaan. Bedanya, di wilayah yang lebih maju, di Jawa misalnya, hal itu dianggap aib yang harus ditutupi karena melanggar aturan agama dan moral. Dianggap sebagai sesuatu yang sangat memalukan. Di Papua dan di beberapa wilayah pelosok, hal semacam itu lebih berterima. Itulah yang saya katakan, batasan moral, norma dan etika di daerah pelosok seringkali berbeda jauh dengan masyarakat di perkotaan pada umumnya. Termasuk budaya minum minuman beralkohol, yang juga lebih berterima di kelompok masyarakat tersebut.  

Guru di SMP Ilugwa jumlahnya ada 15 orang, 9 di antaranya PNS. Selebihnya adalah guru honorer, baik honorer provinsi maupun honorer kabupaten. Dari 9 guru PNS, yang hadir rutin sebanyak 2 orang. Yang lainnya, dalam satu bulan, hanya datang sekali dua kali. Sebagian besar keluarga para guru itu ada di Wamena, hal itulah yang dijadikan alasan untuk mangkir dari tugas, dan menyebabkan tingkat kehadiran guru sangat rendah. 

Tingkat kehadiran guru yang sangat rendah ini lazim terjadi di daerah 3T. Pada umumnya, kendala geografis dan medan berat yang menjadi alasan. Kepala sekolah yang hanya datang ke sekolah sebulan sekali, merupakan hal yang biasa. Guru-guru yang datang ke sekolah hanya untuk mengambil gaji, juga sangat lumrah. Kelas dibiarkan kosong tanpa rasa bersalah. Siswa yang terlambat, dipukul,  sudah menjadi budaya, meski pun guru-gurunya sendiri kerap datang seenaknya. 

Saya sempat mempertanyakan hal tersebut kepada staf Dinas Pendidikan yang mendampingi kami. Petugas itu membenarkan hal tersebut. Sudah berkali-kali guru-guru yang suka mangkir dari tugas itu diperingatkan, tetapi tidak mempan. Pernah diberi sanksi gaji tidak diberikan, malah mengancam dengan parang, meneror keluarga bendahara dinas, atau bahkan mengancam akan membakar rumah. Seperti itulah perilaku buruk itu berkembang dan terus-menerus berulang, sulit diperbaiki. Kondisi tersebut semakin rumit karena sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang masih terhitung kerabat dekat para petinggi. Ya, nepotisme yang begitu kental membuat situasi semakin tidak kondusif. 

Sebenarnya kalau pemda turun tangan langsung, mungkin hal seperti itu bisa dikurangi. Namun itulah, tidak terlalu mudah untuk mendapatkan komitmen Pemda dalam urusan mengendalikan perilaku guru. Apa lagi kalau sudah menjelang Pemilu dan Pilkada. Urusan yang lain jadi terabaikan, termasuk urusan pendidikan dengan segala ikutannya.

Prihatin. Itulah selalu yang saya rasakan setiap kali mendengar cerita tentang etos kerja guru di wilayah 3T. Tidak di Sumba Timur, Talaud, Maluku Barat Daya, Aceh Singkil, dan di Papua, etos kerja sebagian besar guru sangat mengenaskan. Entah bagaimana mengubah perilaku buruk itu. Guru-guru SM-3T pun tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanya berusaha menampilkan kinerja terbaik, agar bisa menjadi motivasi dan contoh bagi guru-guru yang lain. Kalau pun itu tidak berhasil, setidaknya, kelas tidak sering kosong, anak-anak selalu ada yang mengajar, dan semangat belajar bisa dibangun. 

"Kami tidak peduli lagi, ibu, guru-guru itu mau datang atau tidak. Yang penting kami mengajar, melaksanakan tugas sebaik-baiknya." Begitu kata guru-guru muda itu. "Kasihan anak-anak yang sudah datang ke sekolah, padahal mereka dari segala penjuru, yang jaraknya tidak dekat. Medannya sulit lagi..."

Sering terpikir di benak saya, kapan daerah 3T bisa maju, kalau orang-orangnya sulit dan bahkan resisten untuk diajak berubah? Menurut data, pada tahun 2012, secara Nasional, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua Barat berada di peringkat 29, dan IPM Provinsi Papua menempati urutan 33 dari 33 provinsi di Indonesia. Melihat permasalahan Papua sebagai provinsi dengan status otonomi khusus yang dimilikinya, harus ada program khusus juga untuk orang asli Papua agar memperoleh peluang dalam mencapai derajat yang sama dengan masyarakat di provinsi yang lain. Program khusus tersebut saat ini sudah bergulir, yang disebut sebagai Program Afirmasi. Tujuan program ini adalah  untuk mengurangi kesenjangan antara Jawa dan Papua. Nama program tersebut adalah Program Afirmasi Pendidkan Menengah (ADEM) dan Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK). Program-program semacam ini, tentu saja akan sangat membantu percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat, dan diharapkan akan terus berlanjut. Namun tetap saja, etos kerja para pelaku pendidikan di sanalah yang menjadi kuncinya. 

Kehadiran para guru SM-3T  hanyalah setahun, dan akan diperpanjang lagi dengan kehadiran para penggantinya bila program berlanjut. Ibarat sapuan kuas di atas kanvas, warna-warna yang mereka goreskan pada jiwa anak-anak didik, lama-lama akan pudar ditelan waktu, tanpa adanya penguatan dari guru-guru asli Papua. Transformasi kultur yang mereka sudah lakukan, akan hilang karena tidak mendapatkan dukungan. Sepulangnya mereka dari sana, anak didik akan kembali pada dunia yang sama sebelumnya. Dunia yang tidak memberi cukup keleluasaan bagi mereka untuk mengembangkan potensi, tidak memberikan ruang untuk berkreasi, dan bahkan tidak memberikan peluang bagi mereka untuk menjadi diri sendiri. Dunia yang penuh dengan tekanan, miskin figur panutan, dan kurang menghargai pendidikan.

Papua, mari maju bersama, demi generasi yang lebih berdaya....

Ilugwa, Mamteng, Papua, 2 April 2014

Kurikulum 2013 (3): Tentang UN

Ketika itu, 13 April 2014, bertempat di Hotel Garden Palace Surabaya, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP) Kemendikbud, Prof. Dr. Syawal Gultom, memberikan materi tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013. Pada sesi tanya jawab, ada seorang peserta yang bertanya, bagaimana mungkin tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan dalam Kurikulum 2013 itu bisa tercapai, kalau akhirnya kelulusan siswa tetap ditentukan melalui Ujian Nasional (UN)?

Jawaban Prof. Syawal, begitu mencengangkan saya. Jawaban yang sangat di luar dugaan. Menurut mantan Rektor Unimed itu, kenapa UN harus dipersoalkan? Apa karena UN hanya mengukur kemampuan kognitif? Bukankah Ujian Sekolah (US) juga hanya menilai kemampuan kognitif? Kenapa US tidak pernah dipersoalkan? Kalau kemudian UN dijadikan sebagai alat untuk pemetaan mutu pendidikan, juga sebagai alat untuk menentukan kelulusan siswa, apa yang salah? US juga hanya untuk menilai kognitif juga, tapi tidak pernah disalahkan?

Saya termangu-mangu mencerna jawaban Prof. Syawal. Memang benar, US maupun UN mempunyai tujuan utama yang sama, antara lain untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik; mengukur mutu pendidikan;  mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah kepada masyarakat. Tujuan utamanya sama. Namun pernak-perniknya jauh, jauh berbeda.

UN baru saja berlalu beberapa hari yang lewat. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, UN memunculkan banyak persoalan. Banyak kontroversi. Sudah berbusa-busa orang mengkritisi UN, menunjukkan berbagai kecurangan dan ketidakjujuran yang mengikutinya. Kebobrokan moral seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari UN itu sendiri. Banyak guru baik yang awalnya taat pada UN, satu per satu masuk ke barisan menolak UN. Bertahun-tahun mereka berkhusnudzon pada UN, namun akhirnya harus menyerah, tidak berdaya. UN tak kunjung bermuara pada esensinya. Saat UN digelar, maka saat itulah pelajaran hidup bernama kecurangan, ketidakjujuran, kebohongan, juga tergelar. Anak didik menyaksikan sebuah tontonan tentang figur panutan, adalah kepala sekolah dan guru-guru mereka, yang sedang mencurangi UN. Bahkan anak didik tidak hanya jadi penonton, namun ikut bermain dalam drama pendidikan satu babak itu. Menghapus deretan babak pelajaran hidup yang sebenarnya, yang telah mereka jalani selama enam, sembilan, atau dua belas tahun. Menepiskan sikap religius, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, bertanggung jawab, yang mungkin sudah ditanamkan dari hari ke hari. 

Lihat pernyataan seorang guru di bawah ini: "Semalaman saya menangis hingga pagi ini mata saya mbendhul. Selama ini saya masih berpikir positif dan berharap UN akan lebih baik. Simple saja pemikiran saya, tanpa penilaian berskala nasional bagaimana menilai keberhasilan pendidikan nasional. Nyatanya? Tetap saja para pengkhianat itu menodai UN. Sebagai guru saya merasa diinjak-injak dan diludahi wajah saya oleh siapa pun yang terlibat pembocoran kunci jawaban UN. Tak ada lagi harapan untuk menyelamatkan moral anak bangsa. Bismillah, saya hijrah. Mulai semalam saya ikut barisan yang meneriakkan "HAPUSKAN UN!"  Mohon terimalah saya yang datang dengan tangis darah."

UN tidak akan menjadi sebegitu kontroversi kalau dia tidak memiliki peran yang demikian menentukan nasib seorang siswa, kredibilitas sekolah, pertaruhan dinas pendidikan, dan bahkan reputasi kepala daerah. UN tidak sesederhana sebagaimana Ujian Sekolah (US). Jelas beda. Sangat tidak rasional menyandingkan UN dengan US. Bahwa keduanya sama-sama mengukur aspek kognitif, ya. Tapi risiko karena tidak lulus US, jelas tidak sebesar risiko bila tidak lulus UN. Tidak ada satu tahap pun di sekolah yang menyebabkan siswa stres, frustasi, bahkan gantung diri, orang tua mengalami kecemasan tingkat dewa, kepala sekolah dan guru-guru tertekan sedemikian rupa, kecuali hanya UN. Proses untuk mendapatkan akreditasi sekolah saja tidak seberat itu bebannya. Upaya untuk memperoleh gelar sebagai sekolah unggulan, sekolah adiwiyata, sekolah bertaraf internasional, pun, tidak sehebat itu tekanan batinnya. Hanya UN, yang menyita begitu banyak perhatian dan energi, yang bahkan tak tertanggungkan kecuali dengan tebusan kecurangan dan ketidakjujuran.

Tentu saja tidak semua sekolah menempuh jalan pintas semacam itu. Banyak sekolah, misalnya sekolah alam, sekolah unggulan, yang tetap mengedepankan kejujuran dalam menempuh UN. Sekolah menyiapkan anak didik secara fisik dan mental. Tidak hanya dengan serangkaian kegiatan ujicoba mengerjakan soal-soal dan latihan-latihan, namun juga dalam bentuk istighosah, salat malam bersama,  membaca Kitab Suci Al-Quran, meminta maaf dan doa restu pada guru dan orang tua, dan kegiatan-kegiatan positif yang lain. Tujuannya jelas, selain untuk menyiapkan akademik mereka, juga untuk mempertebal keimanan dan kedekatan pada Yang Maha Menentukan. Usaha lahir dilakukan terus tanpa kenal lelah, namun dibarengi dengan usaha batin. Anak disiapkan untuk berhasil sekaligus gagal. Guru dan siswa berkomitmen tidak akan terpengaruh oleh bocoran jawaban soal-soal UN, dan menempuh UN dengan jujur, usaha keras dan tawakal.

Seperti itulah seharusnya. UN boleh terus. Namun jangan jadikan dia sebagai momentum untuk merusak pendidikan itu sendiri. Kembalikan UN pada esensinya, lebih sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan. Bukan sebagai alat untuk menentukan nasib anak didik.

Lebih-lebih dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 yang warna religiusitas, kesalehan sosial, pengembangan pengetahuan dan keterampilan, begitu kental. Peran guru amatlah sentral. Sekali lagi, hanya ada satu pilihan supaya Kurikulum 2013 bisa diimplementasikan dengan sebaik-baiknya: guru harus menginspirasi. Untuk bisa menjadi guru yang menginspirasi, maka dia harus mempu menjadi sosok panutan, menjadi uswatun hasanah.

Tentu saja tidak cukup hanya dari guru. Kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, kepala daerah, semuanya harus sama komitmennya. Menjadi sosok panutan. Siapa pun, harus menunjukkan sikap bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, mandiri, dan bertanggung jawab. 

Bila itu yang terjadi, maka tak akan ada lagi kecurangan dalam UN. Tak akan lagi terjadi bocoran jawaban soal-soal yang mengacaukan 'kesakralan' UN. Kalau pun ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi UN untuk keuntungan pribadi, misalnya dengan menyebarkan bocoran jawaban soal UN, hal itu tak berarti apa pun. Tidak laku. Dengan keteguhan hati semua pihak, maka apa pun upaya yang bertujuan untuk mengacaukan UN, tak akan ada pengaruhnya karena semuanya itu dianggap sepi.

Tanpa itu semua, UN akan tetap menjadi babak paling menyedihkan dan memprihatinkan dalam sistem pendidikan. Bukan tahap yang menantang bagi setiap anak didik untuk melaluinya dengan keberanian, keteguhan hati dan penuh daya juang. 

Inilah salah satu hal yang harus menjadi perhatian serius dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Sehebat apa pun kurikulumnya, namun kalau para aktor yang mengimplementasikannya tidak memiliki komitmen yang sungguh-sungguh, maka Kurikulum 2013 hanyalah sekedar nama. 

Hotel Grand Candi, 19 April 2014

Wassalam,
LN

Jumat, 18 April 2014

Kurikulum 2013 (2): Yang Manis-Manis dari Kurikulum 2013

Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013 yang dihelat di Hotel Garden Palace Surabaya, dilaksanakan selama empat hari, 13-16 April 2014 yang lalu. Peserta pelatihan sebanyak 246 orang, terdiri dari dosen, guru dan widyaiswara dari Indonesia bagian Timur dan Tengah. Mereka dari Jawa Timur, Kalimantan Selatan, NTT, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Papua, Papua Barat, Bali, dan NTB. Para peserta itu mewakili mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, Bahasa Inggris, Seni Budaya, PJOK, Prakarya, dan BK.

Tujuan pelatihan ini adalah menyiapkan para narasumber nasional yang nantinya akan bertugas untuk melakukan pelatihan Kurikulum 2013 kepada para instruktur nasional. Selanjutnya para instruktur nasional akan melakukan pelatihan pada guru sasaran. Karena berjenjang seperti itu, maka yang harus dipikirkan bagi para narasumber nasional adalah tidak hanya pada bagaimana menguasai Kurikulum 2013, namun yang terpenting adalah, bagaimana Kurikulum 2013 itu bisa dikuasai oleh para guru sasaran di lapangan.

Wakil Mendikbud, Prof. Dr. Musliar Kasim, membuka dan memberi penguatan implementasi Kurikulum 2013 pada acara pembukaan. Dalam presentasinya, Musliar menayangkan gambar sekolah-sekolah yang sudah menerapkan Kurikulum 2013 dan testimoni dari kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua. Sebagian besar sekolah itu ada di pelosok, seperti di Papua dan NTT.

Banyak orang berpendapat, bahwa persiapan Kurikulum 2013 terbirit-birit. Begitu juga dengan implementasinya dan sosialisasi serta pelatihan untuk para narasumber nasional, instruktur nasional, dan guru sasaran. Buku siswa dan buku guru juga masih banyak kekurangan. Semua terkesan serba dipaksanakan (atau memang faktanya dipaksakan?). 

Menurut Musliar, meski pun begitu tajam kritik pedas pada Kurikulum 2013, namun apresiasi dari banyak kalangan juga luar biasa. Pengalaman mengunjungi banyak sekolah di daerah-daerah menunjukkan bahwa Kurikulum 2013 diterima dengan sangat baik, serta memberikan pengaruh yang hebat pada perkembangan anak didik. Siswa kelas IV SD mampu menunjukkan kebisaannya dalam mempelajari buku-buku siswa. Mereka mengaku sangat menyukai Kurikulum 2013, karena kurikulum ini membuat mereka bisa belajar dengan gembira.

Dalam sebuah talkshow di  stasiun TV, seorang guru juga menyampaikan testimoni secara live, yang kurang lebih bunyinya seperti ini: "Saya sudah lebih dari 30 tahun mengajar, namun baru kali ini saya merasa senang pada kurikulum." Kemudian terkait dengan pelatihan Kurikulum 2013 tersebut, guru itu juga menegaskan bahwa waktu pelatihan selama lima hari menurutnya lebih dari cukup untuk memahami secara utuh Kurikulum 2013.

Dalam hati, saya berkata, betapa luar biasanya guru tersebut. Andai semua guru seperti itu, tak akan ada cerita bagaiman compang-campingnya pemahaman para guru di sekolah sasaran terkait dengan implementasi Kurikulum 2013 ini.

Musliar juga menampilkan sebuah tayangan tentang implementasi kurikulum di Kupang, NTT, yang luar biasa. Anak-anak jadi lebih aktif dan betah belajar serta penuh kegembiraan. Menurutnya, kondisi seperti ini tak akan ditemui pada waktu yang lalu saat Kurikulum 2013 belum diterapkan. Begitu juga di Sentani, setting sekolah sudah secara kooperatif, banyak karya siswa dipajang di dinding-dinding kelas, anak belajar dengan semangat, dan guru membimbing dengan menyenangkan. Menurut Musliar, sekali lagi, hal ini tak akan dijumpai pada waktu sebelumnya. Pernyataan semacam ini yang diulang-ulang, mengesankan seolah-olah kurikulum yang lalu tak ada bagus-bagusnya.

Tentu saja kita semua yakin, Musliar menceritakan hal yang sebenarnya. Tidak mungkin wamen yang sudah sangat berpengalaman ini mengada-ada. Ya, di sekolah-sekolah yang dikunjunginya itu, itulah yang terjadi. Anak-anak yang aktif, kelas-kelas yang hidup, dan guru-guru yang menginspirasi.

Tapi cobalah tengok, di mana sekolah-sekolah itu? Tengok jugalah sekolah-sekolah di banyak pelosok yang lain, di mana anak-anak kelas VI SD, bahkan yang sudah SMP pun belum bisa membaca dan menulis. Tengoklah seperti apa kinerja kepala sekolah dan guru-gurunya. Bukan rahasia lagi, betapa sungguh memprihatinkannya etos kerja kepala sekolah dan guru-guru itu, kendati pun mereka sudah PNS. Mangkir dari tugas dengan berbagai alasan adalah hal yang sangat berterima. Mengajar semaunya sudah menjadi budaya. Memukuli peserta didik yang dianggap salah bahkan menjadi aturan yang terus dipertahankan. 

Pada kondisi seperti itu, bagaimana mungkin kita bisa berharap pada terbentuknya sikap religius, sikap sosial, dan perolehan pengetahuan serta terbentuknya berbagai keterampilan peserta didik seperti yang diharapkan kurikulum? Sedangkan mereka tidak menemukan figur tauladan di sekitar mereka? Tidak ada model yang mampu mengilhami mereka? Tahu apa mereka tentang 'beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab", kecuali hanya sebatas hafalan yang tanpa makna? Guru-guru mereka tidak mampu menerjemahkan itu semua dalam kehidupan sehari-hari. Jangankan menjadi sosok-sosok panutan. Bahkan apa tujuan sebuah proses bernama pendidikan pun, para ujung tombak pendidikan itu sangat mungkin tak peduli.  


Sebagai narasumber nasional, saya sadar, saya harus yakin akan 'keampuhan' Kurikulum 2013. Saya juga yakin, hal-hal manis yang disampaikan oleh wamen bukanlah isapan jempol. Kurikulum baru itu memang membawa implikasi pada perubahan banyak hal, termasuk proses pembelajaran dan penilaian. Proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan saintifik dan mengembangkan kreativitas, serta penilaian yang otentik. Kurikulum itu, bila benar mengimplementasikannya, sangat mungkin akan menghasilkan anak didik dengan kualitas sebagaimana dituangkan dalam UUSPN.

Namun fakta yang kita lihat di lapangan juga menyadarkan kita, tidak mudah mewujudkannya. Tidak perlu jauh-jauh ke daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang tersebar jauh di luar Pulau Jawa sana. Di Jawa Timur saja, yang notabene menjadi barometer keberhasilan pembangunan di segala bidang, masih banyak ditemukan kendala. Berbagai persoalan mulai dari keterbatasan SDM guru, kepala sekolah, fasilitas sekolah, dan kendala geografis, tidak semudah itu bisa diatasi. 

Kita memang tidak boleh pesimis terhadap implementasi Kurikulum 2013. Kita harus optimis. Tapi kita harus sadar, apa yang disampaikan Musliar Kasim adalah bagian yang manis-manis saja. Bagian yang pahit-pahit, kita yakin, jumlahnya jauh lebih banyak. 

Justeru dengan kesadaran itu, kita harus memikirkan strategi yang lebih tepat, bagaimana supaya Kurikulum 2013 mampu menjangkau yang tak terjangkau itu. Tidak cukup rasanya dengan melatih narasumber nasional dan instruktur nasional. Bahwa guru yang akan menjadi sasaran mungkin tak terbatas, namun tanpa pendampingan yang relatif intens, Kurikulum 2013 itu akan sangat beragam terjemahannya. Jangankan pada level guru sasaran, pada level instruktur nasional dan narasumber nasional pun, tidak mudah menerjemahkan Kurikulum 2013 menjadi satu bahasa.

Bagaimana pun, genderang telah ditabuh. Kurikulum 2013 tak mungkin ditarik mundur dari kancah pembangunan pendidikan di negeri ini. Tugas kita adalah menyiapkan dan menyelamatkan generasi mendatang. Dan ini saatnya. Suka tidak suka, Kurikulum 2013 menjadi salah satu kendaraannya. Sudah bukan saatnya mempersoalkan konsep kurikulum baru ini. Yang lebih penting adalah bagaimana mengambil peran dalam mengimplementasikannya secara benar.

Surabaya, 17 April 2014

Wassalam,
LN  

Minggu, 13 April 2014

Kurikulum 2013 (1): Semua Bermula dari Kelas

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP) Kemendikbud, Prof. Dr. Syawal Gultom, malam ini memberikan materi pada acara Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013. Acara yang dihelat di Hotel Garden Palace Surabaya ini diikuti oleh 246 peserta, terdiri dari dosen, guru dan widyaiswara, dari Indonesia bagian Timur dan Tengah. 

Acara dibuka oleh Wakil Mendikbud, Prof. Dr. Musliar Kasim. Selain membuka acara, wamen juga memberikan pengarahan dan penguatan pentingnya implementasi Kurikulum 2013. Uraian tentang pengarahan wamen ini saya tuangkan dalam tulisan "Yang Manis-Manis dari Kurikulum 2013".

Setelah Prof. Musliar Kasim menyampaikan pengarahan dan penguatannya, acara dilanjutkan dengan presentasi dari Prof. Syawal. Materinya adalah Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013.

Prof. Syawal, seperti biasa, begitu bersemangat  menyampaikan materinya. Harus diakui, mantan Rektor Unimed ini memiliki kepiawaian berorasi. Suaranya yang lantang, dengan logat Bataknya yang kental, ditambah dengan wawasan dan pengetahuannya yang luas, dilengkapi dengan bumbu-bumbu humor, membuat topik apa pun yang dibawakannya selalu hidup. 

Banyak hal yang perlu dicatat dalam presentasi Prof. Syawal. Bukan hanya materi tentang kerangka dasar dan struktur Kurikulum 2013 itu sendiri. Namun pernyataan-pernyataannya yang lebih bermakna filosofis dan perlu penghayatan.

Semua berawal dari kelas. Begitulah kata Prof. Syawal. Negara yang hebat itu karena pendidikan di kelas itu hebat. Pendidikan itu adalah mengembangkan potensi anak. Pendidikan itu tidak hanya mentransfer pengetahuan dan keterampilan dari guru ke siswa. Pendidikan berbeda dengan pengajaran. Kalau guru hanya berpikir bagaimana supaya materi yang diajarkannya dipahami anak, dia tidak sedang melakukan pendidikan, namun sekadar melakukan pengajaran. Dia tidak mendidik, tetapi mengajar. 

Begitu pentingnya peran guru, sehingga semuanya bergantung dari guru. Mau jadi apa pun anak itu, terserah apa kata guru. Karena begitu pintu kelas ditutup, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di kelas. Hanya guru itu yang tahu, siswa, dan Tuhan. Kepala sekolah pun banyak yang tidak tahu apa yang dilakukan guru di kelas. Pengawas, kepala dinas, kepala badan, pun tidak tahu. Hanya guru, siswa dan Tuhan. Bahkan yang membuat kurikulum pun, tidak banyak tahu apa yang terjadi di kelas. Apa yang diperankan guru di depan siswa-siswanya, hanya guru itu sendiri, siswa-siswa, dan Tuhan yang tahu.

Kurikulum 2013 dinilai  revolusioner. Salah satunya bila dikaitkan dengan peran guru. Betapa tidak. Guru tidak hanya menilai pengetahuan dan keterampilan anak. Dia harus mengamati sikap spiritual dan sosial anak. Bagaimana ketakwaannya pada Tuhan, apakah dia melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya, apakah dia menghargai makhluk ciptaan Tuhan, dan sebagainya. Guru juga harus melihat bagaimana sikap anak terhadap temannya dan orang-orang lain di sekitarnya, apakah siswa jujur, tanggung jawab, peduli, apakah dia menghargai lingkungannya. Semua harus diamati dan dicatat. Ya, dalam Kurikulum 2013 ini, dicetak guru setengah malaikat. Bukankah mengamati dan mencatat sikap dan perilaku yang religius dan sikap sosial itu pekerjaan malaikat? Dan guru harus melakukan itu. Maka guru harus menjadi manusia setengah malaikat. Sangat revolusioner. 

Kesalehan individu seseorang yang luar biasa, belum tentu dibarengi dengan kesalehan sosial. Bila seorang anak hanya rajin beribadah, namun kurang peduli pada sesama, tidak bisa bekerja sama dengan temannya, kurang memiliki kepekaan sosial, berarti dia kurang memiliki kesalehan sosial. Maka gurulah yang harus membentuk kesalehan sosial itu, karena kesalehan individu seharusnya membangun kesalehan sosial. 

Persoalan sikap, adalah persoalan merebut hati anak. Untuk bisa merebut hati anak, maka guru harus inspiratif. Untuk bisa menjadi guru yang inspiratif, hanya satu caranya:  dia harus menjadi contoh, secara konsisten menjadi model bagi siswa-siswanya.

Kalau dari kelas, kita membangun karakter secara optimal, maka negara ini akan hebat, karena diurus oleh orang-orang yang hebat, yang berkarakter. Karakter tidak bisa dibentuk secara instan. Dia harus dibentuk sedini mungkin pada diri anak. Kurikulum 2013 memungkinkan pembentukan karakter itu sedini mungkin.

Lepas dari pro kontra terkait Kurikulum 2013, kehadiran saya di Garden Palace ini bukan sekadar untuk memenuhi undangan BPSDMPK-PMP dan tergiur dengan 'jabatan' sebagai narasumber nasional. Tujuan saya yang utama adalah untuk lebih menyelami seperti apa Kurikulum 2013, bagaimana implementasinya, apa kendala-kendala implementasinya, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang masih memenuhi benak saya. Saya termasuk orang yang skeptis terhadap Kurikulum 2013, kendati pun saya sudah beberapa kali menerima pelatihan dan bahkan sudah diminta berkali-kali untuk menjadi narasumber pelatihan Kurikulum 2013. Saya ingin mengeliminir skeptis saya ini dengan datang ke acara ini. Saya sedang berusaha untuk menjadi orang yang lebih bersahabat dengan Kurikulum 2013. Saya sedang berusaha meyakinkan diri saya tentang 'kesaktian' Kurikulum 2013 ini untuk membangun generasi masa depan, karena setelah ini saya harus bisa meyakinkan orang lain, yaitu para instruktur nasional. Bagaimana saya bisa meyakinkan orang lain kalau saya sendiri tidak yakin? 

Masih ada banyak catatan penting dari hasil Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013 ini, yang mudah-mudahan bisa saya tuangkan dalam bentuk tulisan. 

Yang jelas, saya sedang berusaha untuk bermetamorfosis...

Hotel Garden Palace Surabaya, 13 April 2014

Jumat, 11 April 2014

Aarne Saluveer

Yogya mendung sore ini. Adzan maghrib baru saja berlalu. Saya keluar dari kamar Hotel Grand Quality, menarik tas koper kecil saya, turun ke lobi.

"Check out, mas." Saya menyerahkan kunci kamar ke resepsionis. "Masih ada teman di kamar, pulang besok".
"Baik, bu."
"Bisa pesan taksi ke bandara, mas?"
"Bisa, bu."

Tidak berapa lama, mobil tiba. Alphard hitam. Oh, ternyata saya tidak sendirian. Ada pria bule tinggi besar berambut panjang yang akan bersama saya.

"Pak, saya mau mampir sebentar ke Gudeg Yu Djum, hanya mbungkus saja, saget?" Tanya saya pada supir. Saya merasa perlu bertanya karena saya bukan penumpang satu-satunya di dalam mobil itu.
"Saget bu, tidak apa-apa. Kan kelewatan"

Maka mobil pun melaju. Meninggalkan hotel yang asri itu. Si bule ada di sebelah kanan saya. Begitu tiba di Gudeg Yu Djum, saya minta izin ke abang bule itu.

"Excuse me, I will buy gudeg. It only takes a minute."
Dia menatap saya.
"Okay..."
"Thank you."
"Sorry, what would you buy?" Dia bertanya, persis ketika saya mau turun.
"Gudeg."
"What is it?"
"Gudeg is traditional food of Yogyakarta."
Dia manggut-manggut.
Ternyata dia penasaran, dan mengikuti saya turun.
Di depan etalase, saya menjelaskan kepadanya makanan yang berjejer, ayam, telur, tahu, tempe, nangka muda, yang semua rasanya manis.

Saya memesan satu paket gudeg. Sepuluh butir telur, ayam bagian dada dan paha, sambal goreng krecek. Si bule mengamati mbak bakul menyiapkan pesanan saya. Dia juga bertanya, apakah saya akan membawa pulang gudeg itu, ke mana saya akan terbang, dan menanyakan berapa jam waktu yang diperlukan sampai tiba di Surabaya. Saya katakan kalau saya akan terbang dengan waktu tidak lebih dari tiga puluh menit, dan oleh sebab itu, gudeg akan aman selama dalam perjalanan.

Karena dia sepertinya ingin mencicipi gudeg, saya menawarinya.
"Do yo want some? For yor dinner?"
"No no no, thank you."

Tentu saja saya tidak akan  memaksa. Tapi sejenak, dia bilang kalau dia tidak punya rupiah, dan apakah dia bisa membayar gudeg dengan Dollar Singapura. Spontan saya jawab, dia tidak perlu membayar, saya akan mentraktirnya. Dia menolak mentah-mentah. Maka saya tanyakan ke mbak bakul, apa bisa membayar dengan Dollar Singapura. Tentu saja, seperti yang saya duga, jawabnya tidak bisa. Kata mbak bakul, kalkulatornya tidak bisa ngitung.

Si bule pergi. Benar-benar tidak mau saya traktir. Bodohnya saya, harusnya saya menukar uang dollarnya dengan rupiah saya. Tak terpikir. Saya hanya berpikir, saya harus cepat-cepat, supaya tidak tertinggal pesawat. 

Tapi saya coba membelikan si Bule sekotak nasi gudeg. Dengan sedikit nasi dan paha ayam serta sebutir telur. Lengkap dengan sendok plastiknya. Spekulasi. Kalau dia tetap tidak mau, saya akan makan sendiri gudeg itu. Tidak masalah.

Di mobil, begitu saya duduk, si Bule menjelaskan, kalau dia punya cukup uang, tapi dalam bentuk Dollar Singapura. Dia tadi akan membeli gudeg dengan uangnya sendiri, dan dia katakan, saya tidak perlu membelikan gudeg untuk dia.

Saya lihat dia mungkin agak tersinggung, atau khawatir saya menganggapnya tidak punya uang. Saya segera menyadari, spontanitas saya untuk mentraktirnya tadi mungkin tidak berkenan. Beda budaya. 

"Of course you have money. Sorry, it was a spontaneity. We used to do that..." Saya mencoba menjelaskan, sebelepotan apa pun kata-kata saya. Tapi nampaknya dia paham. Mengangguk-angguk tanda mengerti. 

Lantas saya mengeluarkan sekotak gudeg. 

"It's for you."
"No no no...." Dia menolak lagi.  Tangannya mobat-mabit lagi.  "Yo don't have to do it for me."

Saya tetap menyorongkan gudeg itu di depannya. Kepalang tanggung. Kalau dia tetap tidak mau, saya akan berikan gudeg itu ke pak supir. 

"Come on, I bought this for you. Not because you have no money, of course you have a lot of money. It just a form of our kindness, Indonesian people, for you..."

Dia ragu-ragu.
"Come on..." Saya mulai main paksa. "Please...?"
Dia masih tetap ragu.

"The food is good. It's delicious. You may not like it because it tastes too sweet, but at least, you have ever tasted gudeg, traditional food of Yogyakarta. Please....?"

Dia menatap saya. Mungkin menyelidik ketulusan saya.

"Okay." Akhirnya diterimanya gudeg itu. "Thank you."
"You're welcome"
Lantas dia membuka dompetnya. Mencari-cari sesuatu. Sambil mengatakan kalau dia ingin memberikan sesuatu ke saya. Oh, ternyata dia mengambil sebuah kartu nama. Diserahkannya kartu nama itu ke saya.

Kami meneruskan ngobrol. Dia menceritakan tujuan kedatangannya ke Yogyakarta selama dua hari ini. Juga rencananya untuk meneruskan perjalannya besok ke Singapura. Ternyata dia pemusik. Dua hari ada event di Yogya, dua hari ada event di Singapura.
"So, you are a musician?" Tanya saya senang. Ingat Arga, anak saya,  yang suka musik.

Dia juga menanyakan tentang diri saya. Saya katakan kalau saya dosen, dan ke Yogyakarta dalam rangka menghadiri rapat. Dia tanya apa bidang saya. Waktu saya katakan 'food', dia jawab, pantas saya beli gudeg banyak. Saya jelaskan ke dia, "Ya, because, my husband and my son like gudeg very much."

"How many son do you have?" Tanyanya.
"One. Twenty two years old."
"Twenty two?" Dia seperti tidak percaya. Dia bilang, saya nampak terlalu muda untuk punya anak usia 22 tahun. 
"Really? Thank you."
Dia mengangguk-angguk sambil tertawa. Senang melihat tawanya.

Sayang waktu kami untuk mengobrol tidak banyak. Mobil sudah memasuki bandara. Saya harus bersiap turun. Si bule tidak ikut turun. Ternyata dia hanya ingin kota-kota saja, memanfaatkan waktunya sebelum besok terbang ke Singapura. 

Di ruang tunggu, saya membaca kartu nama si Bule. Namanya Aarne Saluveer. Oh, ternyata dia kepala sekolah sebuah sekolah musik. Principal of the Tallinn Music College. Alamat sekolah musik tersebut juga tertulis di kartu nama itu, di Estonia. Sekali lagi, saya ingat Arga. Entah kenapa, saya punya firasat, pertemuan saya dengan si Bule ini tidak akan berhenti sampai di sini. Siapa tahu Arga bisa belajar musik pada dia. Entahlah. Mungkin itu harapan saya saja. Tapi, ya, siapa tahu? 

Yogyakarta, 11 April 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 09 April 2014

Mamteng 5: Merawat NKRI

Ilugwa. Distrik ini merupakan salah satu dari lima distrik (kecamatan) di Mamteng. Empat kecamatan yang lain adalah Eragayam, Kelila, Kobakma, dan Megambilis. Kobakma adalah ibukota kabupaten. Dari kelima distrik tersebut, hanya Megambilis yang tidak digunakan sebagai wilayah pengabdian peserta SM-3T.

Mamteng sendiri merupakan pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya. Dibentuk pada tanggal 4 Januari 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008, bersama-sama dengan pembentukan 5 kabupaten lainnya di Papua. Peresmian Kabupaten Mamteng dilakukan oleh Mendagri Mardiyanto pada tanggal 21 Juni 2008.

Kami tiba di SMPN Ilugwa pada sekitar 14.20 WIT. Disambut oleh lima sekawan: Faishol, Muslimin, Fuad, Udin, Nurhasan. Anak-anak muda itu begitu ceria. Melihat keceriaan mereka, kelelahan sepanjang perjalanan seperti menguap seketika. Dengan sepenuh hati kami bersalaman, sarat kerinduan. Keharuan menyeruak di dada saya. Sekitar tujuh bulan yang lalu kami melepas mereka untuk mengemban tugas ini, menjadi guru pengabdi di pedalaman Papua. Saat ini, kami bertemu lagi, dan semua dalam keadaan baik, sehat, penuh semangat. Orang tua mana yang tidak bahagia melihat anak-anaknya sehat dan bersemangat?

Karena kami belum salat, kami minta izin untuk salat dulu. Di sebuah mes sekolah tempat tinggal mereka, kami bertiga, tanpa bu Lucia, salat berjamaah di salah satu kamar. Jama' takdim dhuhur dan ashar. Pak Prapto sebagai imamnya.

Selepas salat, setelah pak Prapto dan pak Beni keluar kamar, saya masih berlama-lama bersimpuh di atas sajadah. Saya mengamati isi kamar seluas sekitar 3x3 meter itu. Sebuah karpet yang mulai lusuh tergelar untuk menutupi lantainya. Di sisi kanan, kardus-kardus isi pakaian berjajar. Di sisi kiri, kardus-kardus isi bahan makanan dan buku-buku. Mi instan, minuman instan kemasan sachet seperti kopi dan teh, saus dan sambal botol, dan telur ayam. Tiga buah kasur busa tipis disandarkan di dinding kayu di samping jendela yang berkelambu lusuh. Di beberapa bagian dinding ada tulisan-tulisan penyemangat.

"Terima kasih Dikti, SM-3T, Unesa, Papua, Kab. Mamberamo T, Ilugwa." Itu bunyi salah satu tulisan. Di sisinya, berjajar tulisan bulan, mulai September 2013 sampai Agustus 2014. Tujuh bulan yang pertama sudah dicoret dengan spidol warna, menandakan tujuh bulan masa pengabdian yang sudah mereka lalui. Dengan demikian masih ada lima bulan lagi yang tersisa. Di sisi lain, tertulis: "Maju bersama membangun Ilugwa. 5 sahabat SM3T 2013".

Saya melipat mukena saya, memasukkannya ke tas. Mata saya berkabut. Di kamar yang sempit ini, mereka tidur bertiga. Jadi satu dengan bahan makanan, pakaian, dan buku-buku. Dua orang yang lain, tidur di kamar sebelah, kamar yang lebih sempit. 

Saya tidak sedang meratapi keadaan mereka. Tidak. Keadaan yang seperti ini masih terhitung jauh lebih baik dibanding dengan keadaan banyak kawan mereka yang pernah saya lihat di Sumba Timur. Saya sedang diliputi rasa haru, bangga, dan bersyukur, karena anak-anak muda itu telah mengambil keputusan yang tepat dalam hidup mereka. Menjalani masa pengabdian sebagai guru-guru yang ditugaskan di daerah terpencil seperti ini. Kesempatan ini akan memberinya banyak pengalaman lahir dan batin, membantu menempa dan mendewasakan jiwa mereka, melatih ketahanmalangan mereka. Tidak semua anak muda memiliki kesempatan emas semacam ini. Setidaknya, merekalah yang terpilih di antara ribuan anak muda yang menginginkan program tersebut. Hal itu dikarenakan mereka mampu menunjukkan kecerdasan, ketangguhan, dan komitmen. Selain itu, tentu saja, adalah takdir yang telah membawa mereka sampai di tempat ini.

Ya, Sang Takdir yang telah melukis hidup mereka. Siapa sangka, dalam usia muda mereka, ada kesempatan emas untuk terbang jauh dari tempat mana mereka berasal. Menyeberangi samudera luas, menembus hutan belantara, menuju titik paling timur Indonesia. Melihat Tanah Air yang begitu indah dan luas. Mengakrabi masyarakat dan budayanya yang begitu beragam. Menimba pengetahuan dan pemahaman akan arti indahnya keberagaman. Menghayati apa makna kebhinekaan. Membangun ke-Indonesiaan.

Dalam nuansa keberagaman seperti ini, saya jadi teringat salah satu istilah dalam pendidikan multikultural, yaitu melting pot. Dalam konsep ini, masing-masing kelompok etnis dengan budayanya sendiri menyadari adanya perbedaan antara sesamanya, namun justeru karena adanya kesadaran tersebut, mereka dapat membina kerukunan hidup bersama. Meskipun masing-masing kelompok mempertahankan bahasa serta unsur-unsur budayanya, tapi bila perlu, unsur-unsur budaya yang berbeda-beda tersebut ditinggalkan, demi menciptakan persatuan dan kesatuan. 

Anak-anak muda itu tidak hanya membawa misi sebagai pendidik. Mereka, lebih jauh, sedang melakukan sebuah gerakan merawat NKRI. Wilayah-wilayah dengan masyarakat termarginalkan itu, yang nyaris tak tersentuh oleh pembangunan dalam segala bidang itu, adalah bagian dari NKRI. Namun kemiskinan dan keterbelakangan telah membodohkan mereka, dan kehadiran para guru muda itu adalah lentera-lentera yang akan memerangi kebodohan itu. 

Saya keluar kamar. Bergabung dengan para guru dan kepala sekolah yang sudah ada di halaman sekolah. Sayang sekali kami tidak bisa melihat proses pembelajaran, karena sekolah sudah tutup. Meski begitu, berdialog dengan PJS kepala sekolah, yaitu ibu Yapina, dan beberapa guru, serta beberapa siswa, cukup melegakan kami. Juga bertemu dengan kepala suku, bapak Iyoglogo, yang juga sebagai ketua LMA (Lembaga Masyarakat Adat). Semua menyampaikan kebahagiaannya karena kehadiran para guru SM-3T. Semua menginginkan supaya program ini terus berlanjut, dan SMPN Ilugwa tetap digunakan sebagai sekolah penugasan. 

Bapak Iyoglogo, juga menyampaikan kata-katanya. Selama sekitar tujuh menit dia berbicara, dan karena dia menggunakan bahasa setempat, saya hanya bisa menangkap dua kata saja dari kalimat-kalimatnya yang panjang, yaitu: guru dan sekolah. Selebihnya, saya dan tim monev yang lain, tidak paham. Namun Ibu Yapina berbaik hati untuk menerjemahkan kalimat-kalimat panjang itu. Intinya, bapak kepala suku sangat bangga pada guru-guru SM-3T. Menurutnya, banyak guru asli Papua yang ditugaskan di sekolah ini, namun mereka datang semaunya, bahkan ada yang tidak pernah hadir, tidak peduli pada anak-anak dan sekolah. Oleh sebab itu, bapak kepala suku merasa sangat sayang pada guru-guru muda itu, karena justeru merekalah yang menyayangi dan mencintai para siswa dan sekolah. Mereka juga bergaul baik dengan masyarakat, serta siap membantu melakukan apa saja. 

"Kami sayang pada guru-guru SM-3T, karena justeru merekalah yang mencintai anak-anak kami, lebih dari guru-guru asli di sini". Begitu penjelasan bu Yapina.

Saya mengangguk-angguk tanda mengerti. Sangat mengerti. Etos kerja para guru di daerah 3T, saya sudah sangat paham. Saya sudah menjelajah di banyak pelosok 3T, dan seperti apa kinerja para guru, terutama guru putra daerah, yang bahkan sudah PNS pun, betapa sangat amat memprihatinkan. Seperti penyakit, ketidakpedulian mereka sudah pada level kronis sekaligus akut. 

Saya mengangguk-anggukkan kepala kepada kepala suku, dan mengungkapkan rasa terima kasih saya lewat mata dan bahasa tubuh. Dia memahami ketulusan saya, ketulusan kami. Dia berkata, "wah, wah, wah...."

Ilugwa, 2 April 2014. 15.00 WIT

Wassalam,
LN

Adikku Ingin Jadi Penulis

Adikku, Mariyatul Qibthiyah, adalah alumus Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Surabaya/Unesa. Tubuhnya kecil mungil, kulitnya bersih, pendiam tapi ramah, dan sangat halus budi pekertinya. 

Dia sekitar tiga tahun di bawah saya. Sejak menikah, dia tinggal di Bojonegoro bersama keluarganya. Saat ini, dia memiliki tiga anak. Anak pertama, perempuan, sekarang sedang menempuh pendidikan di sebuah pondok pesantren di Nganjuk, kelas 2 SMP. Anak keduanya, laki-laki, masih kelas 3 SD. Sedang yang terkecil, Aliya, perempuan, masih balita, 2 tahun.

Suaminya adalah seorang guru PNS di sebuah SMP Negeri di Bojonegoro. Juga alumnus IKIP Surabaya/Unesa, jurusan Pendidikan Sejarah. Keduanya bertemu saat sama-sama aktif di organisasi UKKI. 

Dik Utik, begitu saya memanggil adik saya itu, adalah orang yang tekun dan pintar. Pada awal-awal pernikahannya dulu, meskipun dia tidak bekerja di luar rumah, dia mengajar mengaji dan les Bahasa Inggris di rumah kontrakannya, di Bojonegoro. Namun setelah lahir anak pertamanya, dia fokus mengurus anak. Apa lagi setelah lahir anak kedua dan ketiga, waktu dan tenaganya didedikasikan sepenuhnya untuk mengurus suami dan anak-anaknya, serta mengikuti organisasi yang telah mempertemukannya dengan dik Antok, suaminya.

Beberapa waktu yang lalu, Dik Utik menyampaikan keinginannya untuk belajar menulis. Dia terinspirasi, salah satunya, dengan buku-buku yang saya tulis. Saya pun mendorongnya untuk mulai menulis. 

Tulisan pertamanya, sempat saya lemparkan ke mailing list keluarga Unesa. Ternyata responnya sangat positif. Karena dia dari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, respon positif dari para suhunya, antara lain dari Pratiwi Retnaningdyah dan M. Khoiri, begitu memotivasiya. 

Saya katakan ke Dik Utik, dia harus menulis karena dia punya potensi dan kemampuan untuk itu. Allah SWT sudah memberikan kemampuan, dan kita akan berdosa kalau kita tidak memanfaatkan kemampuan itu. Selain itu, dengan menulis, kita sedang menyiapkan sesuatu yang mungkin berguna untuk anak cucu kita, bahkan untuk agama, nusa dan bangsa. Menulis juga akan membuat kita selalu mengembangkan wawasan, karena tanpa wawasan yang baik, kita tidak akan bisa menulis dengan baik. Setidaknya, dengan menulis, kita tidak menyia-nyiakan apa yang sudah kita pelajari selama ini, yaitu keterampilan berbahasa.

Saat ini, di Utik sudah mengirimkan delapan tulisannya ke saya. Tulisan tentang kisah sehari-harinya, tentang renungan-renungannya. Tulisannya, menurut saya, cukup bagus, dan penuh hikmah. Bahasanya lancar, rapi, halus, sehalus pembawaannya. 

Kadang-kadang kalau dia lama tidak mengirimkan tulisannya, saya akan menagihnya. Seperti malam ini, karena sudah sekitar tiga minggu dia tidak setor tulisan, saya menanyakannya melalui SMS. "Endi tulisanmu yg lain, Nduk? Oktober diterbitkan. Jadi agustus kudu wis rampung, utk diedit, dilayout, diurus ISBN-nya, diterbitkan Oktober." Lantas ini jawabannya: "Sepuntene mandek dangu. Sakjane wonten ide tp dereng saget ngetik. Aliya nek ono wong mbukak laptop melu2 nyedak. Trs laptope ora entuk didemek utawa ditutal-tutul. Mbuh piye maksute. Mugi2 enggal saget nulis malih. Pangestune nggih.."

Saya memang menjanjikan ke Dik Utik, akan membukukan tulisan-tulisannya. Ya, kami sedang menyiapkan sebuah buku yang akan kami tulis berdua. Buku itu insyaallah akan kami terbitkan pada bulan Oktober tahun ini. Kebetulan, Dik Utik dan saya, samai-sama lahir di bulan Oktober. Jadi buku itu akan menandai ulang tahun kami berdua.

Buku yang kami belum tahu entah apa judulnya itu, akan menjadi kado kecil untuk keluarga besar kami. Kebetulan keluarga besar kami pada umumnya suka membaca, sehingga memberi hadiah buku, tentulah hal yang sangat berarti. Apa lagi kalau itu ditulis sendiri oleh kami berdua. Juga kado untuk para sahabat dan teman kami. 

Saya senang, meski Dik Utik adalah ibu rumah tangga yang begitu disibukkan oleh tiga anaknya yang masih kecil-kecil, tapi dia mempunyai komitmen untuk menyempatkan diri menulis. Saya bermimpi, suatu saat, adik saya yang manis itu benar-benar menekuni bidang tulis-menulis. Ketika anak-anaknya sudah besar, dia akan lebih banyak punya waktu untuk menulis. Tulisannya adalah tulisan yang penuh hikmah, sesuai dengan kapasitasnya sebagai ibu rumah tangga yang religius dan aktivis sebuah organisasi yang memberinya banyak pengalaman berharga. Saya tahu, dia bisa. Setidaknya sampai saat ini, dia sudah menunjukkan dia bisa menulis dengan baik.  

Semoga.

Surabaya, 6 April 2014

Wassalam,
LN