Pages

Sabtu, 08 Februari 2014

Saya Hanya Seorang Ibu

Saya memulai pagi ini dengan perasaan yang gundah gulana. Tidur saya semalam adalah tidur yang gelisah. Beban pikiran usai rapat penentuan kelulusan PPG Prajabatan Pasca SM-3T tadi malam membuat benak saya dipenuhi dengan kepedihan.

Tapi saya memacu pagi dengan semangat yang masih tersisa. Menghimpunnya untuk menerobos dinginnya Jakarta yang diliputi mendung pekat. Di bawah guyuran gerimis rapat, saya menumpang taksi menuju Cengkareng, meninggalkan Hotel Atlet Century. Pagi ini saya akan menumpang Garuda pulang menuju Surabaya. Mendung gelap dan gerimis pekat seperti mewakili suasana hati saya.

Begitu mendarat di Bandara Juanda, belasan SMS masuk ke ponsel saya. Sudah saya duga sebelumnya. Tadi malam, pengumuman kelulusan PPG Prajabatan Pasca SM-3T sudah diunggah di website SM-3T Dikti, dan pagi ini adalah reaksi para peserta PPG atas informasi itu.

Sejak tadi malam juga, saya sudah menginformasikan ke beberapa orang kunci PPG Unesa, pimpinan dan para peserta, bahwa ada 22 peserta yang dinyatakan belum lulus. Saya meminta kepada Pembantu Direktur I, Dr. Sulaiman, untuk mengundang 22 peserta tersebut bertemu saya di ruang Direktur PPG.

"Ibu..." Ini salah satu SMS. Tidak ada kalimat selanjutnya. Entah dari mana, karena yang terbaca di layar ponsel hanya nomor telepon. Saya tidak mungkin menyimpan nomor telepon seluruh peserta PPG dan SM-3T. Memori ponsel saya tidak mungkin cukup. Tapi kata "Ibu..." itu, meski hanya satu kata, serasa pisau yang menghunjam ulu hati saya. Saya membacanya bukan sebagai sebuah sapaan, tapi lebih sebagai erangan kesakitan. 

Sepanjang perjalanan dari Bandara Juanda menuju kampus, perasaan saya semakin pedih. Kesedihan seperti meningkat di setiap detik yang saya lalui. Sambil terus menghimpun kekuatan, saya membalas puluhan email itu satu per satu. Saya juga mengirim sebuah SMS yang khusus saya tujukan kepada semua peserta yang belum lulus.

"Teman-teman yang baik,
kalian yang BELUM LULUS, pasti sedih, kecewa, marah. Mohon tenangkan, endapkan kesedihan dan kekecewaan kalian. Jangan mengambil keputusan apa pun, jgn mengambil tindakan apa pun. Ini kesedihan dan kekecewaan kita semua, mari hadapi bersama-sama. Masih ada kesempatan utk kalian. Yakinlah TUHAN selalu mempunyai rencana yang indah utk menata perjalanan hidup kita. Yakin, tetap tenang, jaga kesabaran, jaga optimisme. Doa kami selalu utk kalian.... (Luthfiyah N)"

Mata saya nanar melihat keluar melalui kaca mobil. Wajah-wajah itu memenuhi pandangan saya. Wajah-wajah ceria mereka....yang saat ini pasti sedang bersedih dan berurai air mata. Pedih sekali perasaan saya membayangkannya.

Anak-anak itu, sudah menjadi bagian dalam hidup saya. Setidaknya selama satu sampai dua tahun saya bersama mereka. Hari-hari saya dipenuhi dengan suka duka, canda-tawa, kekonyolan, bahkan kejengkelan dan kemarahan mereka.
Saya mencintai mereka semua. Kebahagiaan saya untuk mereka yang berhasil lulus, seperti tertutup dengan  kenyataan yang harus saya terima, bahwa masih ada yang belum lulus. Sebanyak 22 dari 276 peserta. Sedih, kecewa, tapi inilah yang harus saya hadapi.

Sesampainya di Gedung W1, gedung PPG, saya langsung menuju lantai dua. Langkah kaki seperti menyeret diri ini memasuki lorong waktu. Flash back ke masa-masa ketika gedung ini masih porak poranda. Debu di mana-mana, mebeler kotor bertumpuk-tumpuk, material bangunan memenuhi setiap sudutnya. Lantas sejengkal demi sejengkal kami membersihkannya, menatanya, memberinya nyawa, menghidupkannya. Bersama anak-anak itu. Anak-anak yang setiap kali memasuki gedung ini harus mengenakan masker. Sampai akhirnya tibalah pada titik ini. Hampir semuanya sudah tertata rapi. Tapi mereka harus meninggalkan segala kenangan di gedung ini dengan segunung kekecewaan. Oh Tuhan....

Saya setengah berlari naik tangga menuju lantai dua. Sepi. Semua seperti menyiratkan duka. Bahkan kelengangan ini adalah lengang yang penuh duka. Saya memasuki ruangan PUMK, hanya menemukan Juliar.

"Di mana yang lain, Jul?"
"Mbak Evi ke Keuangan Ketintang, Andra tidak masuk, Prof."
"Jul...."
"Ya Prof?"
"Anak-anak tadi ke sini?"
"Ya Prof."
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Satu pingsan, Prof. Beberapa mendesak minta tiket pulang hari ini. Katanya buat apa saya lama-lama di sini. Begitu, Prof."

Saya menelan ludah. Tenggorokan saya sakit. Dada saya sesak.

"Thanks, Jul..." Saya tinggalkan Juliar, bergegas menuju ruangan saya. Di ruangan yang besar dan sepi itu, saya terpekur, berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan hati kosong. Berkali-kali menghela nafas panjang. Mata saya basah. Tangis saya pecah. 

Anak-anak itu, setahun sudah mengabdikan diri mereka mengajar di daerah 3T. Dengan berbagai suka dukanya. Dalam kondisi serba terbatas, serba kekurangan, serba memprihatinkan. Meninggalkan kehidupannya yang menyenangkan, meninggalkan kehangatan keluarga, bahkan melepaskan kekasih tercinta. Demi sebuah perjuangan membangun Indonesia. Dalam wujudnya yang mungkin kecil, namun betapa dalam maknanya bagi anak-anak negeri di pelosok Bumi Pertiwi. Mereka bersakit-sakit, berdarah-darah, berjuang memberi warna indah pada negeri ini meski diri mereka sendiri harus beberapa kali jatuh dan terhempas-hempas, berdiri, berjuang lagi, jatuh, bangkit, begitu terus berulang. Sampai akhirnya kaki mereka menjadi kuat, jiwa mereka tegar, dan semangat mereka membara. Malaria, swanggi, nai, dicemooh, dihinakan, semua sudah mereka alami. 

Lantas, selama setahun pula mereka mengikuti Program PPG berasrama dan berbeasiswa. Mengisi hampir sepanjang waktunya dengan workshop, mengembangkan perangkat pembelajaran, peer teaching, microteaching, PPL, PTK, ujian kinerja, ujian tulis lokal, dan ujian tulis nasional. Kehidupan mereka di asrama dipantau dari sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Kedisiplinan mereka terbentuk, kesetiakawanan mereka terbangun, dan kejujuran, ketangguhan, kecerdasan mereka terasah. 

Tapi kenyataan yang terjadi saat ini seperti telah memporak-porandakan semuanya. Bangunan yang ditata bata demi bata itu ambruk. Keringat dan air mata yang menyertai kerja keras mereka seperti tak ada guna. Semuanya itu ternyata tidak menjamin mereka otomatis mendapatkan apa yang mereka mimpikan selama ini: selembar sertifikat.

Selembar sertifikat yang bernama sertifikat guru profesional. Sertifikat yang akan membuat mereka pulang kembali ke kampung halaman masing-masing dengan rasa bangga. Sertifikat yang akan mereka persembahkan pada ayah ibu, saudara, kerabat, kekasih tercinta. Hanya sekedar selembar kertas. Namun untuk selembar kertas itulah mereka rela melalui serangkaian proses panjang, selain demi memberikan sumbangsihnya, memajukan pembangunan pendidikan di ujung-ujung negeri.

Saya mengangkat ponsel. Menelepon beberapa peserta yang belum lulus, yang kebetulan nomornya saya simpan. Suara mereka parau. 
"Saya tidak lulus lagi, Bunda..." Suara di seberang begitu parau dan bergetar. 
"Ya....saya tahu...." Suara saya mungkin sama paraunya. "Tapi kamu harus sabar. Masih ada satu kesempatan lagi. Insyaallah kesempatan itu milik kamu."
Lantas saya panggil namanya.
"Kamu harus kuat ya. Saya ingin, kamu bisa menguatkan teman-teman yang lain."
"Iya, Bunda..."
"Nanti ketemu saya ya?"
"Insyaallah, Bunda."
"Sekarang kamu lagi ngapain?"
"Mau salat, Bunda..."
"Baik, ingat pesan saya ya? Kamu harus kuat, dan harus bisa menguatkan teman-teman yang lain. Sampai ketemu nanti jam satu ya?"
"Ya, Bunda." Suaranya semakin parau. "Terima kasih..."

Ada beberapa peserta yang saya telepon tapi tidak mau mengangkat. Ada juga yang nomornya tidak aktif. Sebagai gantinya, saya menerima SMS.

"Bunda ku yg sya hormati, btpa phitnya ku mengingat pengorbnan ku utk glar s.pd ku bu... Bahkn jdi pumulung dsaat ku kuliah sudah prnah sya lakukan apa lg bruh kuli dah mendarah dging bu. Mhn maf ku ga bisa trma tlpon."

Saya semakin merasa terluka. 

Saya juga menelepon beberapa peserta yang menjadi pengurus PPG. Kebetulan sebagian besar dari mereka lulus. Ternyata mereka sudah berniat untuk mendampingi teman-temannya tanpa saya minta. Mereka sedang berada di antara teman-teman yang kurang beruntung itu. Dan akan bersama-sama menemui saya pada pukul 13.00 nanti.
  
Saya mengambil air wudhu. Membenamkan diri saya dalam sujud yang dalam dan panjang. Membiarkan air mata meleleh membasahi sajadah. Saya merasa sangat rapuh. Saya tidak tahan melihat kesedihan anak-anak saya. Tapi saya harus menguatkan diri. Beberapa saat lagi anak-anak itu akan datang menemui saya. Tangis akan pecah di ruangan ini. Wajah-wajah yang biasanya ceria itu akan layu. Ungkapan kesedihan, kekecewaan dan kemarahan, pasti akan berhamburan.

Ya Allah, saya hanyalah seorang ibu. Saya hanyalah seorang ibu, yang sedang menghayati kepedihan dan kekecewaan hati anak-anak saya. Beri mereka ketabahan dan kekuatan. Mudahkan urusan mereka. Lapangkan jalan mereka untuk mencapai cita-cita luhur mereka... Mudahkan, ya Allah. Kuatkan mereka, Ya Tuhan.... 

Surabaya, 6 Februari 2014

Wassalam,
LN

10 komentar

Unknown 8 Februari 2014 pukul 14.41

jalan yang indah selalu ada

Anonim

rencana ALLAH pasti lebih indah

Unknown 8 Februari 2014 pukul 19.26

semoga Allah SWT, selalu memberikan kekuatan untuk teman2ku, do'a kami selalu menyertai kalian, aminnn

Anonim

semoga yg 22 org t nantinya akan lulus dksmptn k'2.

Yeni Delmi Elmala 8 Februari 2014 pukul 19.35

terimaksih Bunda
Allh sudah mnyediakan rencana yang indah buat kita smua

Perubahan Itu Pasti 8 Februari 2014 pukul 20.16

Tidak ada yang tidak mungkin.
Semangat temen-temanku

UCUP 8 Februari 2014 pukul 20.18

kalian adalah paahlawan kawan.... cukup ingat itu..

Anonim

Jika smua yg kita inginkan hrus
kita miliki,, lantas dr mana kita
bs blajr ikhlas.. (Aq prnh ngmg kalo ikhlas itu susah n butuh proses utk akhirnya qt bs bnr2 ikhlas)

Slmt datang di universitas kehidupan yg sesungguhnya (mengutip kata pak Muchlas)

-qqL-

Unknown 13 Februari 2014 pukul 05.34

Air mata ini menetes stlh mmbaca ini, Begitu luar biasa hati seorg ibu..

semangatt teruss buat temen2 yg kurang beruntung...
smga postingan ini bisa bermanfaat utk smuanya", agar tdk akn terjdi lagi ditahun2 berikutnya...Aminnn...

Prof. Lutfi "anda adlh sosok ibu yg sangat Luar biasa buat ank-anaknya" :)

Anonim

Terima kasih untuk semua komentar....
(Luthfiyah N)

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...