Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 28-29 Oktober, saya ke Ranupane. Mendampingi Gus Menteri Desa PDTT dan Ibu Menteri dalam rangka pengambilan video untuk kampanye SDGs Desa. Kegiatan yang didanai oleh World Bank ini memang cukup panjang rangkaiannya. Setidaknya saya sudah mendampingi Gus Menteri yang menjadi aktor utama ini di Bali beberapa hari yang lalu, lanjut di Lumajang yang mengambil spot di Ranupane. Besok saya akan terbang ke Yogyakarta, untuk tugas yang sama, yang akan mengambil spot di Klaten dan Magelang. Minggu depannya diagendakan ke Banjarmasin, dan minggu depannya lagi di Jambi. Untuk Jambi, ada kemungkinan saya yang akan jadi aktor, eh, aktris.
Ranupane
selalu menarik dan memberi kesan khusus pada saya. Tahun 1987, ya saya masih
sangat ingat betul, tepatnya 17 Agustus 1987. Waktu itu kami, saya dan Mas Ayik
Baskoro Adjie dan beberapa teman,
sepertinya termasuk sohib saya Septi Rodiyani , baru saja melaksanakan upacara
17 Agustus di Puncak Semeru. Kami berjalan menuju Bromo, saya lupa nama
tempatnya dan lewat sisi mana (saya
termasuk tidak lihai mengingat nama tempat). Saat kami berjalan, di kejauhan, jauh
di depan kami, kami lihat ada kebakaran. Ya, kemarau yang panjang membuat
ilalang mengering. Gesekannnya menimbulkan percikan api dan terjadilah
kebakaran yang cukup besar. Kami tenang saja dan terus berjalan. Lokasi
kebakaran terlalu jauh dari tempat kami dan kami akan tiba di tempat aman tanpa
harus berhadapan dengan api. Begitulah pikir kami semua.
Tapi
ternyata apa yang terjadi, Saudara-saudara? Masyaallah. Tiba-tiba angin
berbalik arah dan api yang awalnya menjauh dari kami begitu saja mendekat ke
arah kami sesuai dengan gerakan angin. Tentu saja kami berlari. Mas Ayik dan
para cowok mengomando kami para cewek untuk tetap tenang tapi harus berlali
sekencang mungkin. Dan ketika kami menengok ke segala arah, ya Allah, ternyata
tidak ada tempat bagi kami untuk menghindar dari kejaran api. Kami semua
berhenti dengan nafas ngos-ngosan dan kepanikan yang luar biasa. Saya sendiri
sudah menangis, beristighfar, bershalawat, bersyahadat, dan berpikir, benarkah
saya akan berakhir di sini? Ya Allah, maafkan hamba. Bapak, Ibu, ampuni anakmu.
Saya sudah sangat nanar menatap api yang semakin mendekat.
"Semua
diam di tempat, tenang, atur nafas. Tenang. Tenang!" Mas Ayik berteriak
memimpin kami semua. " Tidak ada gunanya kita berlari. Sekarang semua
tenang. Pakai semua jaket. Lindungi badan sebisa mungkin. Basahi dengan sisa
air. Kita menunggu api datang. Begitu api mendekat, kita lompat. Ilalang yang
terbakar akan cepat padam. Kalau kita berhasil melompat dan melewati api,
insyaallah kita selamat. Mari kita berdoa semua."
Kami
berdoa sambil berurai air mata. Api semakin mendekat. Suaranya yang membakar
ilalang begitu mengerikan. Ilalang di depan kami tingginya melebihi tinggi
tubuh kami, dan api yang merah padam itu begitu tinggi menjulang. Kami
menunggunya dengan kepasrahan total. Tak ada yang bisa menyelamatkan kami
kecuali Allah, Tuhan Yang Maha Melindungi. Ya Allah, selamatkan kami.
Begitu
api mendekat, kami semua bergandeng tangan saling menguatkan. Dan....
"Allaahu Akbar..." Saya masih mendengar takbir itu, masih meneriakkan
takbir itu, sebelum saya merasakan tubuh saya begitu ringan, seperti melayang,
dan tiba-tiba saya tersadar dengan bagian paha dan kaki saya terasa sangat
panas. Masyaalah. Saya diseret oleh Mas Ayik dan entah oleh siapa, di atas bara
panas ilalang. Rupanya setelah melompat tadi, saya pingsan.
Allahu
Akbar. Saya menangis sejadinya. Seperti tidak percaya saya masih hidup.
Seketika saya sujud syukur. Juga beristighfar, bertasbih, bertahmid,
berkali-kali sambil sesenggukan. Kami semua. Kami juga saling berpelukan sambil
terisak-isak. Tangis haru dan bahagia karena Allah telah melindungi kami, anak-anak
yang sok petualang ini.
Begitu
kami sudah mulai tenang kembali dan sailing melihat, tawa kami pecah dan kami
terbahak-bahak sampai perut sakit. Masyaallah. Wajah kami, tubuh kami, baru
kami sadari, nggak karu-karuan. Maaf, sampai mirip munyuk. Debu dan jelaga
tebal membalut tubuh kami sampai warna kami semua sama. Kelabu kehitaman.
Bahkan separo bulu alis saya hilang dan bulu mata keriting karena panas api.
Ya,
kejadian puluhan tahun yang lalu, tiga puluh empat tahun yang lalu.
Wah,
lama juga ya? Berarti saya sudah tua ya? Hehe.
Kejadian
puluhan tahun yang lalu, namun setiap kali teringat Ranupane, Bromo, Semeru,
Ranugumbolo, maka peristiwa dramatis itu berkelebat lagi. Begitu jelas,
bercampur-baur dengan kepanikan yang masih membekas berbalut rasa nyukur yang
tiada tara. Begitu murah hatinya Dia Sang Maha
Penyayang yang masih memberi saya kesempatan untuk melanjutkan hidup.
Juga, rasa syukur saya tak terukur karena ternyata orang yang menemani saya
untuk melanjutkan hidup adalah dia yang dulu menyeret saya di atas bara api
panas ilalang terbakar. Ya. Itulah dia. Mas Ayik, suami tercintrong. Cieeee,
cieeee....
Dan
saya kembali menginjakkan kaki ke Ranupane. Dengan kondisi Ranupane yang sudah
jauh berbeda. Rumah sudah banyak, homestay sudah ada, warung di mana-mana.
Masyarakat sudah jauh lebih makmur karena hasil alam dan kemampuan
masyarakatnya dalam mengolah alam sangat mendukung. Bahkan ada yang juga
berubah pada danau itu, sepertinya ukurannya agak mengecil, konon katanya
karena ada pendangkalan. Namun dalam benak saya, kenangan episode puluhan tahun
silam itu masih sangat lekat. Masih sangat membekas. Seperti kemurnian Ranupane
yang masih sangat kental meski waktu menggerusnya habis-habisan.
Tidak
hanya kondisi Ranupane saja yang sudah berubah. Kondisi saya juga tentu saja
sudah sangat banyak berubah. Berat badan meningkat dengan sangat signifikan.
Sudah ada anak cucu yang menyenangkan, Barrock Argashabri Adji , Yoan Lita ,
dan Kai Kusumoadjie. Insyaallah sebentar lagi nambah cucu lagi.
Meski
begitu, saya masih tetap langsing, ilang singgetane... Kik kik....
Jakarta, 3 November 2021
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...