Pages

Rabu, 03 November 2021

Satu Episode di Ranupane


Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 28-29 Oktober, saya ke Ranupane. Mendampingi Gus Menteri Desa PDTT dan Ibu Menteri dalam rangka pengambilan video untuk kampanye SDGs Desa. Kegiatan yang didanai oleh World Bank ini memang cukup panjang rangkaiannya. Setidaknya saya sudah mendampingi Gus Menteri yang menjadi aktor utama ini di Bali beberapa hari yang lalu, lanjut di Lumajang yang mengambil spot di Ranupane. Besok saya akan terbang ke Yogyakarta, untuk tugas yang sama, yang akan mengambil spot di Klaten dan Magelang. Minggu depannya diagendakan ke Banjarmasin, dan minggu depannya lagi di Jambi. Untuk Jambi, ada kemungkinan saya yang akan jadi aktor, eh, aktris.

 

Ranupane selalu menarik dan memberi kesan khusus pada saya. Tahun 1987, ya saya masih sangat ingat betul, tepatnya 17 Agustus 1987. Waktu itu kami, saya dan Mas Ayik Baskoro Adjie  dan beberapa teman, sepertinya termasuk sohib saya Septi Rodiyani , baru saja melaksanakan upacara 17 Agustus di Puncak Semeru. Kami berjalan menuju Bromo, saya lupa nama tempatnya dan lewat sisi mana  (saya termasuk tidak lihai mengingat nama tempat). Saat kami berjalan, di kejauhan, jauh di depan kami, kami lihat ada kebakaran. Ya, kemarau yang panjang membuat ilalang mengering. Gesekannnya menimbulkan percikan api dan terjadilah kebakaran yang cukup besar. Kami tenang saja dan terus berjalan. Lokasi kebakaran terlalu jauh dari tempat kami dan kami akan tiba di tempat aman tanpa harus berhadapan dengan api. Begitulah pikir kami semua.

 

Tapi ternyata apa yang terjadi, Saudara-saudara? Masyaallah. Tiba-tiba angin berbalik arah dan api yang awalnya menjauh dari kami begitu saja mendekat ke arah kami sesuai dengan gerakan angin. Tentu saja kami berlari. Mas Ayik dan para cowok mengomando kami para cewek untuk tetap tenang tapi harus berlali sekencang mungkin. Dan ketika kami menengok ke segala arah, ya Allah, ternyata tidak ada tempat bagi kami untuk menghindar dari kejaran api. Kami semua berhenti dengan nafas ngos-ngosan dan kepanikan yang luar biasa. Saya sendiri sudah menangis, beristighfar, bershalawat, bersyahadat, dan berpikir, benarkah saya akan berakhir di sini? Ya Allah, maafkan hamba. Bapak, Ibu, ampuni anakmu. Saya sudah sangat nanar menatap api yang semakin mendekat.

 

"Semua diam di tempat, tenang, atur nafas. Tenang. Tenang!" Mas Ayik berteriak memimpin kami semua. " Tidak ada gunanya kita berlari. Sekarang semua tenang. Pakai semua jaket. Lindungi badan sebisa mungkin. Basahi dengan sisa air. Kita menunggu api datang. Begitu api mendekat, kita lompat. Ilalang yang terbakar akan cepat padam. Kalau kita berhasil melompat dan melewati api, insyaallah kita selamat. Mari kita berdoa semua."

 

Kami berdoa sambil berurai air mata. Api semakin mendekat. Suaranya yang membakar ilalang begitu mengerikan. Ilalang di depan kami tingginya melebihi tinggi tubuh kami, dan api yang merah padam itu begitu tinggi menjulang. Kami menunggunya dengan kepasrahan total. Tak ada yang bisa menyelamatkan kami kecuali Allah, Tuhan Yang Maha Melindungi. Ya Allah, selamatkan kami.

 

Begitu api mendekat, kami semua bergandeng tangan saling menguatkan. Dan.... "Allaahu Akbar..." Saya masih mendengar takbir itu, masih meneriakkan takbir itu, sebelum saya merasakan tubuh saya begitu ringan, seperti melayang, dan tiba-tiba saya tersadar dengan bagian paha dan kaki saya terasa sangat panas. Masyaalah. Saya diseret oleh Mas Ayik dan entah oleh siapa, di atas bara panas ilalang. Rupanya setelah melompat tadi, saya pingsan.

 

Allahu Akbar. Saya menangis sejadinya. Seperti tidak percaya saya masih hidup. Seketika saya sujud syukur. Juga beristighfar, bertasbih, bertahmid, berkali-kali sambil sesenggukan. Kami semua. Kami juga saling berpelukan sambil terisak-isak. Tangis haru dan bahagia karena Allah telah melindungi kami, anak-anak yang sok petualang ini.

 

Begitu kami sudah mulai tenang kembali dan sailing melihat, tawa kami pecah dan kami terbahak-bahak sampai perut sakit. Masyaallah. Wajah kami, tubuh kami, baru kami sadari, nggak karu-karuan. Maaf, sampai mirip munyuk. Debu dan jelaga tebal membalut tubuh kami sampai warna kami semua sama. Kelabu kehitaman. Bahkan separo bulu alis saya hilang dan bulu mata keriting karena panas api.

 

Ya, kejadian puluhan tahun yang lalu, tiga puluh empat tahun yang lalu.

 

Wah, lama juga ya? Berarti saya sudah tua ya? Hehe.

 

Kejadian puluhan tahun yang lalu, namun setiap kali teringat Ranupane, Bromo, Semeru, Ranugumbolo, maka peristiwa dramatis itu berkelebat lagi. Begitu jelas, bercampur-baur dengan kepanikan yang masih membekas berbalut rasa nyukur yang tiada tara. Begitu murah hatinya Dia Sang Maha  Penyayang yang masih memberi saya kesempatan untuk melanjutkan hidup. Juga, rasa syukur saya tak terukur karena ternyata orang yang menemani saya untuk melanjutkan hidup adalah dia yang dulu menyeret saya di atas bara api panas ilalang terbakar. Ya. Itulah dia. Mas Ayik, suami tercintrong. Cieeee, cieeee....

 

Dan saya kembali menginjakkan kaki ke Ranupane. Dengan kondisi Ranupane yang sudah jauh berbeda. Rumah sudah banyak, homestay sudah ada, warung di mana-mana. Masyarakat sudah jauh lebih makmur karena hasil alam dan kemampuan masyarakatnya dalam mengolah alam sangat mendukung. Bahkan ada yang juga berubah pada danau itu, sepertinya ukurannya agak mengecil, konon katanya karena ada pendangkalan. Namun dalam benak saya, kenangan episode puluhan tahun silam itu masih sangat lekat. Masih sangat membekas. Seperti kemurnian Ranupane yang masih sangat kental meski waktu menggerusnya habis-habisan.

 

Tidak hanya kondisi Ranupane saja yang sudah berubah. Kondisi saya juga tentu saja sudah sangat banyak berubah. Berat badan meningkat dengan sangat signifikan. Sudah ada anak cucu yang menyenangkan, Barrock Argashabri Adji , Yoan Lita , dan Kai Kusumoadjie. Insyaallah sebentar lagi nambah cucu lagi.

 

Meski begitu, saya masih tetap langsing, ilang singgetane... Kik kik....

 

Jakarta, 3 November 2021

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...