Solo menjadi salah satu kota yang banyak menyimpan kenangan masa kecil saya. Leluhur saya berasal dari Solo. Kami sekeluarga sering berkunjung ke Solo untuk sowan Mbah Kakung dan Mbah Putri. Setidaknya, minimal sekali setahun kami berombongan pergi ke Solo, dari Jenu, Tuban, naik bus Indonesia atau bus Adam. Tujuan kami adalah ngguyubi khol Mbah Siroj, buyut kami.
Saya
sendiri sering memilih Solo sebagai tempat berlibur bila masa liburan sekolah
tiba. Seingat saya, saya pernah hampir sebulan berlibur di Solo. Kalau pagi,
saya diajak Mbah Putri ke pasar. Kalau malam, saya sering diajak Mbah Kakung
jalan-jalan lihat lampu. Ya, lampu-lampu di sepanjang jalan, di toko-toko. Di
desa saya, saat itu listrik belum masuk, sehingga melihat lampu-lampu listrik
di kota Solo adalah hiburan yang menyenangkan. Apa lagi sambil menggelayut di
lengan Mbah Kakung yang penyayang.
Selain
Solo, Boyolali dan Sragen juga menyimpan kenangan masa kecil saya. Beberapa
kali juga menjadi tempat liburan saya waktu saya masih SD. Di Boyolali ada
pakdhe dan budhe kami yang juga penyayang, dengan putra-putrinya yang baik
hati, Mbak Anisah Tamam , Mbak Siti Halimah Nurullaili , Mas Agus, Mbak Umi,
Mbak Umi Faiqoh , Mbak Nur Fauziah Tamam , yang semuanya sekarang sudah pada
beranak-pinak. Yang sepantaran dengan saya juga ada, sehingga kami selalu
bermain bersama. Halo, Mbak Umi Tamam.
Kalau
di Sragen, bahkan sampai SMA dan mahasiswa, Sragen sering menjadi tempat berlibur
juga. Alamnya yang indah dan sejuk menginspirasi beberapa cerpen saya. Bahkan
ada satu cerpen yang saya jelas-jelas menyebut Desa Sine, desanya Bulik dan
Paklik saya yang di Sragen itu. Saudara sepupu saya, putra-putrinya Paklik dan
Bulik saya, hampir semua orangnya rame. Bahkan main catur pun sambil
teriak-teriak. Semua suka usil dan selalu bahagia kalau berhasil membuli siapa
pun. Untunglah saya sejenis itu juga. Klop. Dik Gus Muhammad Thohir , dik Yusuf
Wahab , dik Arif, Dik Muhammad Irfan Fauzi , dik Ni'mah Afifah , haloooo......
Oh
ya, judul tulisan ini Selat Solo ya? Nah, ini adalah salah satu makanan favorit
saya. Bistik Jawa, begitu sih menurut saya. Terkenang suatu saat, kami
sekeluarga dan Ibu ngandok makan selat solo di warung kaki lima, di Solo, tentu
saja. Tapi saya lupa di jalan apa. Yang jelas di pinggir jalan. Ya dong, mosok
di tengah jalan.
Selat
Solo yang ini, saya temukan di sebuah tempat di Solo juga. Namanya Selat Mbak
Lies. Begitu tiba di rumah makan ini, saya langsung komentar, iki dodolan
keramik opo dodolan selat yo. Semua sudut dipenuhi keramik. Bahkan tempat duduk
pun dari keramik. Unik.
Selain
tempatnya yang unik, selat solonya juga enak. Ada juga sih makanan yang lain,
termasuk gado-gado. Tapi saya memang nawaitunya makan selat solo, jadi makanan
yang lain lewat.
Oya,
ada juga snack yang bikin kita terkenang masa kecil. Kalau saya menamainya
arumanis. Teman lain bilang namanya rambut nenek. Ada juga yang bilang kembang
gula. Ya, betul, gula yang diputer dengan sebuah alat yang kemudian
menghasilkan serabut-serabut gula itu. Manisss, tentu saja, kayak saya kalau
lagi mringis.....
Jakarta, 11 November 2021
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...