Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Senin, 17 Juni 2013

Ekspedisi Rafting Lawe Alas Himapala 2013

Siang tadi (Senin, 17 Juni 2013)pukul 13.30, bertempat di Gedung G4.01.05 FE Unesa Kampus Ketintang, telah dilaksanakan upacara pemberangkatan Tim Ekpedisi Rafting Lawe Alas Himapala 2013. Acara tersebut dihadiri oleh Pembantu Rektor III (Prof. Dr. Warsono, M.S), Pembina Himapala (Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M. Pd), Dekan FMIPA (Prof. Dr. Suyono, M. Pd), serta para ketua unit kegiatan mahasiswa (UKM) di lingkungan Unesa.

Dalam laporannya, ketua panitia, Mar'atus Sulistyo (Atus), yang juga sebagai anggota tim, menyampaikan bahwa kegiatan ekspedisi dimulai sejak pembentukan panitia pada 22 Januari 2013. Selanjutnya dibuka pendaftaran bagi para calon peserta tim, termasuk tes wawancara, terus berproses dengan berbagai materi, baik materi ruang, lapang, sungai, serta try out. Try out yang pertama dilakukan di Sungai Pekalen, Probolinggo, dan try out kedua dilakukan di Sungai Serayu, Jawa Barat.

Pada awal pengajuan kegiatan dulu, menurut Pembina Himapala, yang biasa dipanggal Mbak Ella oleh para anggota aktif, PR III sempat menyampaikan keberatannya karena pertimbangan keselamatan. Pada saat itu baru saja ada kejadian kecelakaan yang merenggut nyawa, yang menimpa tim ekspedisi rafting dari perguruan tinggi lain, juga di Aceh. Namun melihat kesungguhan hati tim ekspedisi Himapala, Pembina Himapala menyarankan supaya tim melakukan audiensi lagi dengan PR III, untuk meyakinkan beliau. Kekhawatiran beliau merupakan kekhawatiran seorang bapak sekaligus penanggung jawab bidang kemahasiswaan. 

Hal tersebut dibenarkan oleh PR III. Dalam sambutannya, Prof. Warsono mengemukakan bahwa memang awalnya beliau penuh dengan kekhawatiran. Namun melihat tekad tim ekpedisi dan komitmennya, akhirnya beliau memberikan izin dan mendukung sepenuhnya. 

Tim yang terdiri dari 14 orang itu (11 putra dan 3 putri) akan berangkat dalam dua tahap. Tahap pertama, tiga orang, merupakan tim pionir, berangkat tanggal 19 Juni 2013. Selanjutnya tahap kedua berangkat pada 22 Juni 2013. Mereka akan menumpang kereta api dari Surabaya ke Jakarta, dan melanjutkan perjalanan menuju Medan dengan menumpang pesawat.  Dari Medan, tim akan menempuh perjalanan darat selama sekitar 8 jam untuk mencapai Kutacane, Aceh Tenggara. Di sinilah ekspedisi akan dimulai.

Ekspedisi pertama akan  mengarungi Sungai Bingge, sebagai appetizer-nya. Selanjutnya selama tujuh hari, tim akan mengarungi sungai Lawe Alas, inilah main course-nya. Selanjutnya, sebagai dessert-nya, tim akan mengarungi Sungai Laekombe. Jadi tiga sungai akan diarungi dalam ekspedisi yang memakan waktu selama 21 hari tersebut (mulai 19 Juni sampai dengan 10 Juli 2013).
  
Sejak beberapa periode ini, divisi rafting Himapala belum berhasil melakukan satu ekspedisi pun, selalu gagal di tengah jalan. Sementara divisi yang lain (Gunung Hutan, Susur Pantai, Panjat, dan Konservasi) setiap tahunnya selalu melakukan ekspedisi. Begitu tutur Ketua Umum Himapala, Ardhan.

Namun saat ini, semua divisi bersatu dalam rangka menyukseskan ekspedisi rafting. Latar belakang mereka yang pada dasarnya bukan rafter, tidak menjadi masalah karena mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang ada untuk membekali diri sebaik-baiknya dengan berbagai keterampilan fisik maupun mental.

Prof. Warsono menyampaikan kebanggaannya pada Tim Ekspedisi Rafting Lawe Alas ini. Mereka tidak sekedar menghadapai tantangan, tetapi menciptakan tantangan dan berjuang keras untuk  menghadapinya. Tantangan luar biasa yang telah mereka ciptakan, akan membuat mereka menjadi pribadi-pribadi yang cerdas, tangguh, trengginas dan tanggap. 

Menjelang menutup sambutannya, Prof. Warsono berpesan, supaya tim tidak  terlalu jumawa. Jangan pernah bersombong utk menundukkan alam, tetapi bagaimana kita beradaptasi dengan alam, dengan segala upaya dan doa. Alam tdk bisa kita lawan, tetapi kita harus hidup serasi dan selaras dengannya, dengan berusaha untuk beradaptasi. Harapan beliau, semoga apa yang dilakukan Himapala ini mampu memberikan inspirasi bagi banyak pihak, khususnya para mahasiswa, agar selalu berani menciptakan tantangan dan menghadapinya dengan cerdas.

Selamat untuk Tim Ekspedisi Lawe Alas Himapala 2013. Semoga perjalanannya lancar, semoga ekspedisinya lancar dan sukses, seluruh anggota tim selamat, kembali ke kampus tanpa halangan suatu apa pun.

Amin YRA.

RSAL, Surabaya, 17 Juni 2013. 20.30 WIB.
(Menunggu Nizar Wahono di ruang operasi).

Rabu, 12 Juni 2013

Puisi Untuk Para Guru di Sumba

Sementara itu
Kita masih berkutat di sini
Dengan oto yang jalannya terseok-seok
Penuh dengan manusia
Hasil bumi, anjing, babi dan ayam bahkan kuda
Bergerak terguncang-guncang di jalan-jalan berlubang
Melanggar sungai sampai puluhan kali

Di sinilah kita
Di sekolah-sekolah berlantai tanah
Beratap seng
Berdinding kayu
Anak-anak bertelanjang kaki 
Menunggu bapak dan ibu guru menghampiri

Merekalah anak-anak zaman
Yang akan menentukan masa depan
Lihatlah mata polos
Wajah-wajah lugu
Senyum sayu
Saat mereka menunggui jurigen-jurigen air terisi
atau menghalau sapi dan kuda pulang ke rumah menjelang senja
Sambil menyunggi ember-ember penuh sayuran di atas kepala

Mereka sedang belajar sesuatu
Tentang kerja keras
Berjuang demi hidup
Tentang tanggung jawab
Tentang kepedulian
Segala yang penting untuk bekalnya di masa depan

Biarkan mereka terus belajar semua itu
Namun jangan renggut keindahan masa kecil
Jangan cabut 
Keceriaan saat di sekolah
Ajari mereka memegang pena
Mengeja kata 
Sejatinya mereka sedang melengkapi bekal hidupnya

Mereka membutuhkan sentuhan
Mereka membutuhkan kepedulian
Mereka membutuhkan sosok panutan
Mereka membutuhkan guru-guru yang tak lekang oleh zaman

Rengkuhlah mereka 
Antarkan menuju masa depan
Menempuh jalan panjang membentang
Agar bintang mereka terang dan indah
Seindah kuda-kuda Sumba nan menawan                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Seindah bukit-bukit yang tinggi menjulang
Seindah padang sabana yang luas menghampar

Aku mungkin tidak sedang di Tanah Marapu
Namun hati dan jiwaku ada selalu untukmu...

Gedung Nasional,  Umbu Tipuk Marisi, Waingapu. 8 Juni 2013. 

Wassalam,
LN

Senin, 10 Juni 2013

Sumba Timur (7): Bertarung dengan Ombak

Kami meninggalkan mess pada pukul 10.00 WITA. Tidak seperti kemarin, cuaca hari ini panas sekali. Saya pikir, laut akan lebih aman dalam cuaca seperti ini. Dugaan saya salah. Heri yang datang dari mengecek laut  menggelengkan kepala. Air laut naik dan tidak ada satu perahu pun yang berani menyeberang, sampai nanti setelah pukul 13.00.

Saya menatap pak Rahman. 'Oke, tidak apa-apa. Mari kita menunggu sampai laut surut, di pantai saja. Sambil menikmati pantai.' Begitu kata pak Rahman.

Kami pun menuju pantai. Pak Rahman membenamkan tubuhnya dalam pasir laut. Andi ikut-ikutan. Sigit dan Zia berenang. Lukman dan Oscar sibuk mencari-cari sinyal di pohon-pohon. Saya termangu-mangu memandangi semua itu.

Kami sebenarnya berjanji sama Bidin dan Ela, dua peserta yang bertugas di Karera Jangga, bahwa kami akan singgah di sana. Tapi kalau waktu penyeberangan tidak jelas seperti ini, siapa yang berani janji? Perjalanan menuju Karera Jangga tidak cukup hanya ditempuh dengan roda empat, namun ada bagian yang harus ditempuh dengan berjalan kaki selama sekitar satu jam. Dengan sangat menyesal akhirnya kami membatalkan janji kami ke Bidin dan Ela, dan berharap suatu saat kami bisa mengunjungi Karera Jangga.

Setelah menunggu lebih dari tiga jam, alhamdulilah, akhirnya pada pukul 13.30, perahu siap karena laut sudah agak teduh. Kami bersiap menaiki perahu. Perahu yang akan membawa kami adalah perahu yang sama dengan yang kemarin. Hanya kali ini cukup satu perahu. Heri dan kawan-kawan tentu saja tidak perlu mengantarkan kami ke Katundu. 

Di pantai, saat kami semua sudah berada di perahu, saya memandangi mereka satu per satu, Heri dan kawan-kawan. Kami saling melambai. Anak-anak hebat itu membanggakan saya. Wajah-wajah optimisnya meyakinkan saya bahwa mereka akan menyelesaikan sisa pengabdiannya dengan sangat baik.

Ternyata penyeberangan siang ini jauh lebih berisiko dibanding yang kemarin. Ternyata penyeberangan kemarin itu tidak ada apa-apanya. Kalau kemarin Sigit dan kawan-kawan masih berani sesekali berdiri dan menikmati ayunan perahu, kali ini tidak. 

Sepanjang perjalanan, semua diam. Sigit bahkan menutupi seluruh tubuhnya dengan jas hujan saya. Lukman meringkuk di depan, bersisian dengan Zia. Oscar duduk di belakang berdampingan dengan awak perahu. Awak perahu yang satu lagi ada di tengah, sesekali membuangi air di dalam perahu dengan ember. Saya duduk bersisian dengan pak Rahman, memandangi laut dengan hati kecut.

Ombak begitu hitam dan menggelora. Waktu terasa begitu lambat jalannya. Sinar matahari yang panas menyengat di seluruh tubuh seperti tak ada apa-apanya dibanding dengan rasa khawatir yang melingkupi hati saya. 

Namun begitu, meskipun dengan perasaan ngeri, saya memberanikan diri memandangi gulungan-gulungan ombak yang kira-kita setinggi dua meter itu, mengejar-ngejar perahu kami. Ombak itu seperti monster-monster raksasa yang seolah siap melumat-lumat perahu kecil ini. Setiap kali ombak meninggi, perahu seperti dihempaskan ke dalam sebuah ceruk. Perahu tidak hanya bergoyang-goyang, namun terhempas-hempas dengan cukup keras, dan berkali-kali terasa seperti mau oleng. Sesekali pengemudi meredakan laju perahu ketika ombak besar datang menghantam untuk menjaga supaya perahu tidak oleng. Air laut, kalau kemarin hanya memercik-mercik di wajah kami, siang ini mengguyur tubuh kami. Berkali-kali. Pak Rahman memastikan barang-barang kami aman dan tidak basah terguyur air. 

Saya terus menggumamkan doa dan mengembangkan pikiran positif. Saya tahu, bahkan dalam kondisi saya yang sudah berpelampung seperti ini pun, sesuatu yang sangat buruk bisa saja terjadi di tengah laut luas seperti ini. Dengan ombak hitam yang tinggi bergulung-gulung. Hanya mengandalkan sebuah perahu nelayan yang kecil. Namun dengan seluruh niat baik saya jauh-jauh datang ke sini, dan kepasrahan pada Allah Yang Maha Melindungi, saya bahkan harus siap dengan apa pun yang terjadi.

Namun, sekali lagi, wajah-wajah tenang para awak perahu itu mendamaikan saya. Mereka bahkan melemparkan senyumnya ke arah saya setiap kali tiba-tiba ombak mengguyur tubuhnya atau tubuh kami. Seolah ingin meyakinkan saya bahwa semua aman dan terkendali. Mereka sama sekali tidak nampak panik, namun jelas sekali kalau mereka tengah memasang kewaspadaan yang tinggi.

Akhirnya pantai itu pun nampak semakin dekat. Pantai di Desa Katundu. Warna laut yang tadi hitam pekat berangsur menjadi biru bening, pertanda laut landai. Pada titik itu, kelegaan terpancar di wajah-wajah kami.

Akhirnya menepilah perahu kami ke pantai. Kami pun bersiap. Mengemasi barang bawaan. Bahu-membahu menurunkannya ke pantai. Tubuh kami semua basah. Bahkan wajah kami terasa berpasir karena guyuran ombak. Namun rasanya semuanya itu tak ada artinya. Ombak yang hitam telah kami tinggalkan jauh di belakang sana. Saatnya mendamaikan hati dengan membersihkan diri di rumah singgah yang sudah menanti.

Tubuh terasa segar kembali setelah saya mandi dan berwudhu. Sholat saya terasa lebih khusyuk dipenuhi rasa haru dan lega. Dalam sujud syukur, saya menitikkan air mata. Ya Allah, betapa ini semua terjadi hanya atas kuasa-Mu. Terimakasih telah melindungi kami semua dan senantiasa menjadi sumber kekuatan kami. Bimbinglah terus kami ke jalan yang Engkau ridhoi. Amin.

Desa Katundu, Karera, Sumba Timur. 10 Juni 2013. 15.30 WITA.

Wassalam,
LN

Sumba Timur (6): Sebuah Wilayah Perbatasan

Pagi ini, selepas shubuh, saya, Lukman dan Sigit jalan-jalan ke pantai. Zia membantu pak Rahman mengambil air tawar untuk mengisi kamar mandi mess yang saya tempati. Sedangkan Tamam dan Irfan menyiapkan makan pagi.

Kami kembali menikmati eksotisme laut dan pantai Salura. Menikmati puluhan perahu yang semalam lampu-lampunya bersinar indah seperti kunang-kunang berwarna-warni. Membaui aroma anyir laut yang dibawa angin yang berhembus halus mengusap wajah-wajah kami.

Heri membawa kami ke sebuah tugu di salah satu sudut di pantai itu. Dikatakan sebuah tugu, tapi sebenarnya hanya berupa bangunan semen segi empat dengan ukuran sekitar 1,5x1x1,5, yang di atasnya terpasang semacam prasasti yang terbuat dari batu marmer. 

Tugu tersebut merupakan tugu klaim tapal batas wilayah Salura dengan Australia. Bunyinya seperti ini:

'Pulau ini adalah Pulau Salura. Merupakan wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan dengan Australia'. 

Prasasti tersebut ditandatangani oleh  Bupati Sumba Timur, Drs. Gidion Mbilijora, M.Si. Dan Dody Usodo Hargo, S., S.IP, Kolonel Inf, NRP 29955. 

Di bagian lain, tidak jauh dari tugu itu, ada sebuah kantor polisi. Dari papan namanya tertulis bahwa kantor polisi ini adalah kantor Polsek Karera sub sektor perbatasan. Ada prasastinya juga.

'Dengan rahmad Tuhan Yang Mahaesa, telah diresmikan penggunaan Kantor Polisi Subsektor Perbatasan Pulau Salura pada tanggal 17 Agustus 2010 oleh Kepala Kepolisian Resort Sumba Timur, Tetra Megayanto Putra, AKBP NRP 63031119.

Di dekatnya, pada sebuah batu berbentuk segitiga, tertera 'Indonesia-Australia ±800 mil selatan. 

Sebagai wilayah perbatasan, sebagaimana wilayah perbatasan yang lain di seluruh Indonesia ini, Salura sebenarnya memerlukan lebih banyak sentuhan dari pemerintah. Tidak sekedar tugu dan prasasti-prasasti. Adanya prasasti itu tidak serta merta menjadi bukti bahwa para petinggi yang telah menandatangani itu benar-benar pernah datang ke Salura. Tidak. Tugu klaim batas wilayah itu juga tinggal memasang saja di tempat itu karena para petinggi sudah menandatanginya di tempat lain. 

Salura membutuhkan lebih dari itu. Kehadiran para petinggi untuk menengok keadaan mereka di tempat itu. Dengan sebenar-benarnya. Dengan sepenuh hati. Menyapa mereka dengan ketulusan yang murni. Meyakinkan pada mereka bahwa mereka adalah bagian dari NKRI. Bukan sekedar dengan simbol-simbol dan prasasti-prasasti.

Dalam bidang pendidikan, Salura juga masih sangat memprihatinkan. Satu-satunya sekolah adalah SD-SMP Negeri Satap Salura. SD terdiri dari 115 siswa, kelas satu sampai enam, tetapi hanya memiliki tiga kelas. Dengan kondisi kelas yang sangat menyedihkan. Kalau kita melihat proses pembelajaran di kelas, kita seperti kembali ke masa tiga atau empat puluh tahun yang silam. Lantai dan dinding-dinding kelas yang kusam, papan tulis yang sudah pudar, dengan kondisi anak-anak sekolah yang kotor, berdaki, berbaju lusuh, dan bertelanjang kaki. 

Memang anak-anak tidak perlu menempuh jarak yang sangat jauh untuk mencapai sekolahnya, sebagaimana di wilayah Sumba yang lain. Di Salura yang kecil ini, bahkan jarak terjauh pun cukup ditempuh hanya dalam waktu sekitar tiga puluh menitan. Namun sebenarnya kondisi mereka tidak kalah memprihatinkannya. Sungguh. Ada lebih banyak uluran tangan yang mereka butuhkan demi menata masa depannya. Tidak sekedar menjadi pencari cumi di laut sebagaimana yang dilakukan kebanyakan masyarakat Salura saat ini. Saya sempat tercekat saat menyadari mereka seperti kebingungan menjawab saat saya bertanya apa cita-cita mereka.

Di SD, gurunya ada 2 PNS, satu kepala sekolah dan satunya lagi adalah pak Rasyid, guru yang kemarin bersama kami dari Waingapu. Guru bantu ada tiga orang tetapi yang seorang sedang kuliah di Waingapu sehingga praktis tidak pernah mengajar. 

Jangan bicara tentang perpustakaan, laboratorium, ekstrakurikuler, dan hal-hal lain yang semuanya itu seolah jauh api dari panggang. Mungkin bagi kita yang telah terbiasa melihat pendidikan di kota dan memiliki kepedulian, akan merasa teriris melihat lemari (bukan perpustakaan) mereka yang lapuk, selapuk buku-buku yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Miris.

Menurut salah seorang guru, sejak SD inpres berdiri tahun 1982, kepala dinas PPO datang waktu peresmian itu. Namun setelah itu, sampai saat ini, kepala dinas tidak pernah lagi datang. Satu-satunya yang pernah datang adalah pengawas, mungkin tiga-empat kali sejak tahun 1984. Namun sejak beberapa tahun belakangan, tidak ada lagi pengawas yang datang karena pengawas itu sudah pensiun.

Sementara itu, SMP baru saja berdiri pada tahun 2011 yang lalu.  SMP ini  bahkan belum ada gurunya sama sekali, hanya kepala sekolah yang baru akan bertugas tahun ajaran baru nanti. Padahal saat ini sekolah itu sudah memiliki tiga belas siswa. Jadilah Heri dan kawan-kawan mengangkat diri mereka sendiri menjadi kepala sekolah dan berbagi tugas siapa mengajar apa. 

Hari ini kami mengunjungi SD-SMP Satap itu. Saya membawakan kamus bahasa Inggris untuk kelas 5 SD, sesuai pesanan Heri. Jadilah kami belajar Bahasa Inggris pagi itu. Seumur-umur, anak-anak itu baru kali ini melihat kamus. Kami semua turun gunung mengajari mereka bagaimana menggunakan kamus. Kami menyebutkan beberapa kosa kata, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia, dan berkeliling mengajari mereka bagaimana mencarinya di kamus dengan cepat. Rona wajah mereka seperti menemukan segenggam berlian setiap kali mereka berhasil menemukan kata-kata itu di kamus. Terasa teriris hati saya menyaksikan semua itu.

Saya memasuki semua kelas yang ada. Berdialog dengan guru-guru dan pada anak-anak itu. Membagikan coklat, biskuit, dan kue-kue yang lain. Sejumlah buku bacaan dan buku tulis saya titipkan pada Heri dan kawan-kawan untuk dibagikan pada mereka. 

Coklat, biskuit, buku-buku, sebenarnya hanyalah alasan saya saja untuk menghibur diri sendiri. Menutupi perasaan bersalah, menyadari bahwa saya belum bisa berbuat banyak untuk mereka.

Pulau Salura, Karera, Sumba Timur. 10 Juni 2013. 10.00 WITA.


Wassalam,
LN

Sumba Timur (5): Bersama Anak-Anak Pantai

Salura di sore hari. Penuh dengan nelayan di pantai yang sedang menyiapkan perahu untuk mencari cumi malam nanti. Suaranya ramai ditingkahi dengan deburan ombak yang bersusulan. 

Menurut Heri dan kawan-kawan, pada bulan-bulan ketika laut tenang (mulai April-Desember), ratusan perahu akan memenuhi laut. Mereka kebanyakan adalah para nelayan dari Lombok. Perahu-perahu besar yang menjadi pengepul, parkir agak ke tengah. Perahu-perahu besar itu juga milik nelayan dari Lombok.

Bila musimnya, cumi memang sangat berlimpah di laut ini. Setiap nelayan bisa memperoleh ratusan kilogram cumi setiap hari. Laut akan diterangi cahaya lampu petromak dari ratusan kapal. Cumi memang peka pada cahaya, sehingga secara naluriah rombongan hewan laut berdaging lunak itu akan berebut mendekati cahaya. Para nelayan berlomba menangkapnya.

Cumi basah di sini dijual dengan harga Rp. 10.000,- per kilogram. Bila dalam keadaan kering, harganya bisa mencapai Rp. 70.000,-. Cumi itu akan di bawa ke Lombok oleh para pengepul, untuk dilempar ke pasar yang lebih luas.

Bila musim angin tiba (bulan Januari-Maret), laut sepi. Nyaris tidak ada satu pun perahu yang parkir. Begitu juga tenda-tenda, bersih. Bahkan sebagian penduduk Salura juga eksodus ke tempat lain, untuk mencari laut yang lebih memberi harapan.

Sore itu selepas mandi dan sholat ashar, kami keluar dari tempat kami. Oya, saya disediakan tempat di mess ibu bidan. Kebetulan ibu bidan sedang mudik ke Melolo, sehingga kamarnya bisa saya pakai. Pak Rahman juga di situ, tapi di ruang kantornya. Sementara tempat tinggal anak-anak adalah di mess. Sebenarnya bukan mess. Itu adalah salah satu rumah dari sekitar tiga puluh rumah yang dibuatkan pemerintah untuk masyarakat Salura. Sebagai salah satu bentuk perhatian pemerintah pada wilayah terluar ini. Tapi entah kenapa, justeru orang Selura asli tidak banyak yang menempati tumah-rumah itu.

Kebetulan rumah-rumah itu ada di dekat sekolah. Jadilah rumah anak-anak itu merangkap sebagai kantor sekolah, karena di sekolah tidak ada kantornya. Bendera merah putih dipasang di dinding depan. Dinding berbahan dasar bambu kombinasi batu putih di bagian bawahnya. 

Sore itu kami ke masjid. Mengajar iqro dan Al Quran. Siswa TPA ada lebih dari 50 anak laki dan perempuan. Ramai sekali. Salura ternyata dipenuhi dengan anak-anak. Anak-anak berkulit hitam, kebanyakan berambut ikal. Khas anak pantai dari NTT. 

Sebelum ada peserta SM-3T, di Salura sudah pernah ada TPA (Taman Pendidikan Al Quran). Namun itu sudah berhenti sekitar lima tahun yang lalu. Kehadiran Heri dan kawan-kawan menjadi oase bagi anak-anak dan orang tua, di tengah kelangkaan guru mengaji. Keempat anak itu kebetulan pandai mengaji, dan memiliki komitmen tinggi untuk meramaikan masjid, sehingga bisa menghidupkan kembali TPA setiap sore hari.

Dengan 138 KK dan 600-an jiwa, Salura yang luas wilayah berpenghuninya hanya sekitar dua kilometer persegi ini memang cukup ramai. Ramai dan agamis. Bila waktunya sholat, di mana-mana orang berkain sarung dan berkopiah. Adzan menggema dari masjid yang baru selesai dibangun, memanggil masyarakat sekitar untuk berjamaah. Berada di Salura, seperti sedang berada di desa santri. 

Setelah mengaji di masjid, kami beramai-ramai bermain di pantai, menunggu adzan maghrib. Senja yang berawan menyembunyikan sinar matahari yang siap tenggelam. Meski begitu, suasana syahdu tak pelak tetap terasa kental. Puluhan anak pantai, ratusan perahu, laut yang biru, senja yang temaram, dan bukit-bukit yang diliputi kabut, menyajikan keindahan yang tak terkatakan.

Begitu adzan maghrib, kami ke masjid. Listrik tidak menyala sejak tiga hari ini karena genset kehabisan minyak. Entah kapan minyak kiriman dari Waingapu akan tiba. Maka sholat berjamaah dilaksanakan dalam kegelapan. Di masjid yang cukup besar namun masih setengah jadi. Masjid yang halamannya dipenuhi dengan kambing dan kotorannya. 

Ya, kotoran kambing dan sapi memang ada di mana-mana di Salura ini. Mereka dibiarkan begitu saja di kebun-kebun, di jalan, di pekarangan-pekarangan. Bila musim hujan tiba, mereka berteduh di sekolah, di kantor desa, di teras-teras rumah. Maka aroma kotoran sapi menjadi aroma khas di Salura, berbaur dengan aroma pantai yang tertiup angin.

Setelah sholat, kami dijamu makan malam di rumah bapak Rasyid. Menunya nasi putih, kare ayam dan oseng cumi. Kami semua makan dengan menyenangkan. Lahap. Makanan habis tandas.

Pohon signal di Katunda.
Selama melakukan semua aktivitas itu, HP saya gantung di dinding di rumah anak-anak.  Sinyal hanya ada di dinding itu, di atas pintu mess ibu bidan, dan di bawah sebuah pohon di pantai. Bila ingin mengirim sms, pesan kita tulis dulu, kemudian HP digantung. Menunggu sinyal sehingga sms kita terkirim dan sekaligus menunggu jawaban. Jadi percuma membawa-bawa HP, karena sinyal tidak tersebar di sembarang tempat. 

Kami semua juga heran dengan perilaku sinyal di Salura dan di wilayah-wayah 3T yang lain. Sinyal hanya ada di titik-titik tertentu, sehingga dikenal ada pohon sinyal, bukit sinyal, dan dinding sinyal. Ada juga sinyal yang munculnya ketika malam hari sampai pagi, seperti di MBD. Seringkali sinyal seolah penuh, namun tidak bisa digunakan untuk mengirim sms atau bertelepon. Hanya bisa menerima. 

Malam ini kami habiskan dengan berbagai aktivitas. Mengobrol dengan beberapa tokoh masyarakat dan mendengarkan harapan-harapan mereka. Salah satunya adalah supaya Salura tetap digunakan sebagai tempat penugasan program SM-3T. Kalau bisa, jumlah pesertanya ditambah, dan syarat yang khusus, pesertanya bisa mengaji seperti peserta yang sekarang ini.

Sementara itu, Zia dan kawan-kawan mencari jengkerik di sekitar mess. Berbaur dengan anak-anak kampung yang sedang melakukan aktivitas yang sama. 

Oya, Zia, Lukman dan Sigit, tadi sore sempat dikerjain oleh Heri dan kawan-kawan. Menurut Heri, siapa pun yang masuk ke Pulau Salura ini, kalau yang bersangkutan belum menikah, dia harus berjalan mundur mulai dari pantai sampai ke sumur alam. Entah karena takutnya pada isu swanggi di tempat ini, atau karena saking bodohnya, ketiga anak itu pun berjalan mundur. Tiba di sumur, mereka masih diharuskan mengitarinya sampai tujuh kali, kemudian membaca adzan.

Sebenarnya dari awal ketiga anak itu sudah ragu dan curiga mereka hanya dikerjain saja, namun nampaknya mereka memilih tetap melakukan karena ada rasa ragu juga, jangan-jangan memang inilah adat Salura yang harus mereka penuhi. Wajah Heri, Andi dan Tamam memang menunjukkan muka serius. Namun begitu pak Rasyid meminta mereka untuk mengambil kerikil dan melemparkannya mengarah ke sebuah dinding, tak pelak, tawa pun pecah karena  mereka sadar jelas-jelas sedang dikerjain.  

Menjelang tengah malam, saat saya masih juga belum lelap, Heri mengetuk pintu kamar saya dan membawakan teh panas. Rupanya dia mendengar saya batuk-batuk dan dia memastikan saya memerlukan minuman itu.

Debur ombak, desis angin, dan suara binatang malam meramaikan malam yang telah larut. Para lelaki ada di luar kamar yang saya tempati. Mereka semua sudah pulas. Dengkurannya bersahut-sahutan. 

Ternyata binatang malam tidak hanya ada di luar kamar, tapi juga ada di dalam kamar. Beberapa jengkerik dan binatang kecil menemani saya sepanjang malam itu.

Salura, Karera, 9 Juni 2013. 24.30 WITA.

Wassalam,
LN

Sumba Timur (4): Mengarungi Samudra Hindia

Pada sekitar pukul 13.00, akhirnya kami tiba di tempat ini, Desa Katundu, Kecamatan Karera. Setelah menempuh lebih dari lima jam perjalanan dari Waingapu. Lima jam yang diliputi gerimis, kabut dan mendung tebal. Membuat wiper mobil nyaris tidak berhenti bergerak sepanjang perjalanan. Juga membuat perasaan jadi agak ciut karena khawatir cuaca tersebut akan berpengaruh pada  kondisi laut.  

Dari desa ini kami akan menyeberang menuju Salura. Kami berhenti dulu di sebuah rumah singgah di tepi pantai. Rumah singgah yang hanya seperti warung kecil semi permanen. Terasnya disekat dan diberi alas tikar. Di situlah orang-orang singgah sambil menunggu perahu. Minum kopi dan main kartu untuk membunuh waktu. 

Pada hari-hari biasa, perahu beroperasi setiap hari Selasa, bertepatan dengan hari pasar. Sejak pagi pukul 07.00 perahu-perahu bertolak dari Salura, membawa para penumpang yang akan menjual hasil tangkapan ikannya atau orang-orang yang akan berbelanja ke Katundu. Pukul 10.00, perahu bergerak pulang ke Salura, membawa orang-orang itu juga. 

Rutinitas itu bisa terjadi bila laut bersahabat. Bila tidak, mereka harus menunggu satu dua hari sampai seminggu untuk bisa kembali ke Salura. Heri dan teman-temannya pernah berangkat belanja berbagai kebutuhan bahan makanan, termasuk sayur-sayuran. Bertolak pada hari Selasa pagi dari Salura menuju pasar di Katundu. Sesampainya di Katundu, ternyata laut tiba-tiba bergejolak dan perahu baru berani menyeberang seminggu kemudian. Jadilah sayur-sayuran yang dibeli Heri layu dan terbuang percuma.

Begitu Oscar menghentikan mobil di depan rumah singgah itu, kami semua turun. Acara pertama adalah makan siang. Menunya nasi dan ayam goreng lalap yang kami beli dari Mr Cafe tadi pagi. Sebetulnya saya sudah menambahkan porsi melebihi jumlah penumpang mobil. Heri dan Andi yang menjemput kami di Katundu sudah saya perhitungkan. Namun ternyata di situ ada lima orang, termasuk murid Heri, yang juga sedang menjemput kami. Untunglah Heri dan Andi sudah memasak mi instan rebus, sehingga bekal yang ada disantap bersama-sama dengan mi rebus itu. 

Saya sendiri, seperti biasa setiap waktu makan, sibuk mencari recycle bin. Porsi nasi dan ayam yang terlalu besar tidak mungkin saya bereskan. Maka berpindahlah separo porsi saya ke piring Zia.

Gerimis ternyata semakin rapat, namun kami harus terus bersiap. Pak Rahman sudah berganti mengenakan kaus dan celana pendek. Semua tas sudah dibungkus plastik. Anak-anak sibuk mengganti sepatunya dengan sandal jepit.  Pak Rahman memastikan saya mengenakan jas hujan. Semua bawaan saya dicek, apakah sudah aman atau belum. Sebuah tas plastik besar ditutupkannya di ransel saya dan ditentengnya ransel itu.

Kami berarak menuju dua perahu yang kami sewa, yang sudah menunggu di bibir pantai. Satu perahu ternyata milik pak Rasyid, dan satu perahu milik Heri. Ya, Heri telah merintis usaha dengan menyewakan perahunya, baik untuk transportasi maupun untuk mencari cumi.  

Perahu. Bukan kapal. Pantas saja Heri dan kawan-kawan selalu meralat kalau saya bilang kapal. 'Perahu, Ibu, bukan kapal', begitu katanya. Ternyata memang kendaraan laut kecil itu benar-benar perahu. Perahu nelayan yang menggunakan motor. Yang terbuka tanpa atap sama sekali. Dengan suara mesin yang meraung-raung. Asap hitam keluar dari cerobong kecilnya dan membuat hidung terasa berjelaga. Itulah kendaraan yang akan kami gunakan untuk mengarungi Samudra Hindia menuju Salura. 

Entah kenapa, pada akhirnya saya memutuskan untuk menempuh perjalanan berisiko ini. Salura merupakan satu-satunya desa pulau di Sumba Timur dengan mayoritas penduduknya adalah muslim. Beberapa waktu yang lalu, Heri mengirim kabar via FB kalau sekolah di Salura terancam tutup karena tidak ada gurunya. Saat ini Salura yang sudah pernah mengancam untuk bergabung dengan Australia ini,  digunakan sebagai tempat penugasan peserta SM-3T untuk yang kedua kalinya. Hal-hal itulah yang mendorong saya akhirnya berada di sini. Tidak sekedar demi menunaikan tugas melakukan monev, tapi yang lebih penting adalah demi sebuah silaturahim. Juga, senyampang laut sedang relatif tenang.

Perjalanan berperahu mengarungi Samudra Hindia dari Katundu menuju Salura itu memerlukan waktu sekitar satu jam. Hampir separo perjalanan kami lalui di bawah guyuran gerimis yang rapat. Airnya asin. Ombak laut yang berwarna hitam seperti bekerjaran berlomba mendatangi kapal. Seolah siap menggulung. Ya, kami sedang berperahu melawan arus. Kapal menerjangnya, membuat kapal terhempas, oleng sebentar ke kanan dan ke kiri, dan ombak memercik menerpa wajah-wajah kami. 

Saya seperti tidak percaya, saya sedang berada di atas Samudra Hindia, berlayar dengan perahu nelayan. Tidak jauh di depan sana adalah laut lepas. Pulau Salura, Pulau Kambing dan Pulau Mengkudu nampak seperti gundukan bukit berwarna kecoklatan. Di seberang Pulau Mengkudu adalah Australia. Menurut Tamam, seorang peserta yang bertugas di Salura, bila kita menaiki bukit di malam hari, lampu-lampu di Benua Kanguru itu terlihat dari kejauhan.

Pada separo perjalanan berikutnya, gerimis reda. Meski matahari tak menampakkan diri sama sekali, dan kabut serta mendung tebal terus menyelimuti, tapi setidaknya kami tidak terus-menerus diguyur air hujan yang rasanya sangat asin itu.

Semakin dekat dengan Salura, ombak semakin tinggi dan disertai angin. Saya sangat merasakan goyangannya dan tiupan angin. Perahu terpaksa agak memutar untuk menghindari ombak besar menjelang merapat ke pantai. 

Setiap kali saya merasa agak cemas, saya melihat wajah-wajah di perahu itu, terutama dua orang awaknya. Mereka bergantian menjaga mesin dan membuang air di bagian dasar kapal dengan sebuah timba. Meski ombak menghempas-hempaskan perahu dengan cukup keras, wajah-wajah mereka sangat tenang. So, tidak ada alasan bagi saya untuk merasa cemas dan panik. Namun begitu, doa yang diajarkan ibu saat saya berlayar dengan Kapal Marsela di atas Laut Banda terus saya gumamkan. Bismillaahi majreeha wamur saaha inna robbi laghofuu rurrohiim.  

Akhirnya....saya pun tercengang penuh takjub. Subhanallah....indahnya. Salura ternyata begitu eksotis. Puluhan perahu nelayan berjajar di bagian tepi laut. Garis pantai yang putih bersih membentang dari arah kiri ke arah kanan saya. Pohon-pohon kelapa berjajar, dan di bawah pepohonan itulah rumah-rumah nelayan bersisian. Juga puluhan tenda-tenda.

Tenda-tenda itu adalah milik para nelayan yang eksodus dari Lombok untuk mencari cumi di laut ini. Tenda, pantai, perahu dan laut. Tempat ini menjadi begitu eksotis bukan hanya karena laut birunya dan gundukan bukit-bukit yang mengitarinya. Puluhan bahkan mungkin ratusan perahu yang sedang parkir di tepian laut itu membuatnya menjadi semakin eksotis. 

Begitu turun dari perahu, saya pun spontan membongkar tas saya untuk mencari apa pun yang bisa saya gunakan untuk mengabadikan pemadangan alam yang luar biasa ini. Sejak naik ke perahu tadi, tak ada seorang pun yang memotret karena semua barang elektronik diamankan dalam tas plastik untuk menghindari air hujan yang mengandung garam. Hanya saya saja yang nekad mengeluarkan BB dan sempat mengabadikan momen menjelang menaiki kapal. Saat ini, saya mengabadikan semua yang menghampar di depan saya dengan kamera pocket saya dan BB. Anak-anak pantai yang berlarian di atas pasir. Para nelayan yang sedang menyiapkan perahu-perahu. Dan laut, pantai, kabut, mendung tebal, pulau-pulau...semuanya telah saya rekam. Ya, meski hasil rekamannya tidaklah sebagus hasil jepretan fotografer profesional, tapi setidaknya, saya tidak terlalu banyak kehilangan momen.

Salura
Akhirnya
Kesentuh nadimu
Kuhirup aromamu
Kucumbui keindahanmu


Pulau Salura, Karera, Sumba Timur, 9 Juni 2013. 15.30 WITA.

Wassalam,
LN 

Minggu, 09 Juni 2013

Sumba Timur (3): Kawin Adat Sumba

Salah satu pengantin khas Sumba.
Setelah berjalan sekitar empat jam, kami mencapai Kananggar. Mobil berhenti. Oscar membuka kap depan mobil dan mengeceknya. Dia bilang, mobil masuk angin karena kemarin telat mengisi solar.

Di tempat kami berhenti, ada beberapa warung kecil yang menjual berbagai makanan dan minuman. Mi instan, biskuit, wafer, air mineral, permen, dan beberapa jenis makanan kecil yang lain. 

Di sebelah warung itu, ada kantor koramil yang sekaligus menjadi rumah danramilnya. Bangunan yang sangat sederhana untuk disebut kantor. Satu-satunya tanda yang menunjukkan kalau bangunan itu kantor adalah papan nama terbuat dari kayu yang juga sangat-sangat sederhana. Juga bendera merah putih yang jahitan tepinya sudah koyak dan menjuntai. Seorang perempuan tengah menurunkan bendera itu dan mengibarkannya setengah tiang. Bela sungkawa untuk Taufiq Kiemas.

Sembari menunggu teman-teman di toilet kantor koramil, saya mengobrol dengan Oscar dan pak Rasyid. Salah satu bahan obrolan adalah tentang nikah adat Sumba. Obrolan itu terus berlanjut di perjalanan menuju Selura karena ternyata yang tertarik untuk mengetahui adat yang unik itu tidak hanya saya, tetapi juga pak Rahman dan anak-anak. 

Menurut dua narasumber saya ini, sampai saat ini, seorang pemuda Sumba yang ingin melamar seorang gadis Sumba, harus menyediakan sejumlah kuda sebagai belis (mas kawin). Jumlah kuda berkisar dari satu ekor sampai ratusan, sangat bergantung dari status sosial laki-laki dan perempuannya. Semakin tinggi tingkat status sosial seseorang, semakin banyak kuda dan harta (anahita atau kalung Sumba dan kain-kain Sumba) yang harus disediakan. Namun kuda-kuda itu tidak dibayar putus. Artinya, dibayar secara bertahap, sesuai dengan aturan adat.

Bila sebuah keluarga sudah menyetujui hubungan antara anak perempuannya dengan seorang laki-laki, maka keluarga perempuan tersebut akan mengundang keluarga besarnya untuk menyampaikan bahwa ada laki-laki yang menginkan anak perempuan mereka. Bila keluarga besar pihak perempuan sudah menyetujui, maka pihak laki-laki mulai mempersiapkan diri. 

Persiapan dari pihak laki-laki berupa sedikitnya dua ekor kuda, satu jantan dan satu betina. Selain itu juga mamoli (bandul kalung, di sini disebut mainan) dan luluamah (tali yg dianyam dari kawat monel, perlambang tali kuda).

Keluarga perempuan akan mengutus seorang wunang (juru bicara) dari pihak perempuan ke pihak laki-laki. Wunang dari pihak perempuan akan bertemu dengan wunang pihak laki-laki. Bila kedua wunang sudah bersepakat, keduanya akan merundingkan waktu untuk berkenalan.  

Pada tahap perkenalan, pihak laki-laki akan datang kepada pihak perempuan. Pada saat itu, kuda harus sudah dibawa, juga maloli dan luluamah. Inilah tahap awal pihak lelaki harus mulai menyerahkan hewan sebagai belis. Pada tahap ini pula, kedua pihak sudah mulai 'bicara adat'. Pembicaraan bisa cepat bisa lama, bisa mulai pagi sampai tengah malam. Bergantung dari 'nego-nego' dan tercapainya kesepakatan di antara kedua belah pihak. Bila sudah tercapai kesepakatan, laki-laki akan diterima oleh pihak keluarga perempuan. Konon, pada acara tersebut, makanan tidak akan disuguhkan sebelum kesepakatan tercapai. 

Selanjutnya, beberapa waktu berikutnya, pihak laki-laki akan datang lagi kepada pihak keluarga perempuan untuk menyatakan bahwa dia punya tanggung jawab. Pada tahap ini, pihak laki-laki membawa hewan lagi. Sedikitnya delapan ekor kuda untuk kalangan biasa. Untuk kalangan bangsawan bisa mencapai puluhan, misalnya dua puluh atau tiga puluh. 

Bila pihak perempuan sudah bisa menerima, kedua sejoli ini sudah boleh tinggal bersama, punya anak, tetapi belum menikah. Tahap ini bisa terjadi bertahun-tahun sampai kedua belah pihak siap untuk menuju jenjang adat berikutnya. 

Bila mereka mau menikah di gereja, kedua keluarga pihak laki-laki dan perempuan, harus bertemu lagi. Lagi-lagi, pihak keluarga laki-laki harus membawa hewan lagi. Uniknya, meskipun mereka sudah menikah sah di gereja,  perempuan belum menjadi hak sepenuhnya laki-laki tersebut. Masih ada satu tahap lagi bila laki-laki ingin si perempuan tersebut menjadi hak dia sepenuhnya. 

Tahap itu adalah tahap di mana laki-laki meminta hak sepenuhnya atas perempuan tersebut untuk dibawa ke rumah keluarganya. Lagi-lagi, dia harus bawa hewan lagi. Sekitar dua puluh ekor minimal utk orang biasa, dan enam puluh ekor untuk kalangan bangsawan. Bila tahap ini sudah dipenuhi, barulah si perempuan bisa dibawa dan menjadi hak sepenuhnya laki-laki tersebut. Pada tahap ini, bila jumlah total hewan yang diserahkan oleh pihak laki-kaki sampai mencapai seratus ekor, yang dibawanya tidak hanya perempuan istrinya itu, namun juga dua-tiga orang pembantu istrinya. Selesailah nikah adat. 

Waktu yang diperlukan mulai dari perkenalan sampai tuntas nikah adat, bisa mencapai puluhan tahun. Seringkali sampai kedua sejoli telah bercucu. Oscar, yang saat ini sudah memiliki anak berusia sembilan tahun, belum selesai nikah adatnya. Dua tahun yang lalu dia baru melaksanakan nikah gereja. Meski mereka sudah memiliki rumah sendiri, namun, istilah Oscar, istrinya masih dalam kawasan keluarga besarnya.

Unik. Begitulah.

Karera, Sumba Timur. 9 Juni 2013. 12.05 WITA.

Wassalam,
LN