Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 21 Juni 2013

Bersama Anak-Anak Berkebutuhan Khusus yang Hebat

Sore ini, saya jatuh pada keharuan dan kebanggaan yang tak terkatakan. Mata saya merebak basah namun senyum saya mengembang. Dengan tenggorokan sakit, saya berkali-kali mengangkat tangan dan bertepuk pada setiap akhir penampilan mereka.

Lima anak muda itu sedang membawakan sebuah lagu. Rio, memainkan keyboard. Dia adalah alumni S1 dan S2 PLB Unesa. Eka Christian memegang biola, berdiri di sebelah Anggi, yang sedang menyanyi bersama Agus. Eka adalah mahasiswa S1 Pendidikan Sendratasik angkatan 2012. Sedangkan Anggi adalah alumni S1 PLB, baru saja lulus dan akan mengikuti wisuda pada 30 Juni nanti. Agus juga mahasiswa PLB.

Anggi dan Agus bersuara merdu. Meski suara mereka mungkin tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan suara para penyanyi di X-Factor atau di Indonesian Idol, tapi di mata saya, keduanya begitu memukau.

Penjiwaan mereka pada lagu yang mereka nyanyikan begitu total. Suara merdu mereka seperti keluar dari lubuk hati, bergetar-getar, sekaligus juga menggetarkan siapa pun yang mendengarkan. Benar-benar keluar dari lubuk hati. Menyentuh kalbu.

Anggi dan Agus menyenandungkan ‘Jangan Menyerah’ milik D’masiv. Diiringi Rio dan Eka. Sedang di ujung paling kiri, Alfand, anak remaja ngganteng itu, sedang menggerak-gerakkan tangannya, mengekspresikan setiap bait lagu itu, dipandu dengan gurunya, yang duduk di kursi di depan panggung.

‘Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
Sgala yang telah terjadi
Kita pasti pernah
Dapatkan cobaan yang berat
Seakan hidup ini
Tak ada artinya lagi
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik…’

Saya melihat semuanya nyaris tanpa berkedip. Rio, Eka, Anggi dan Agus, adalah anak-anak tuna netra, sedangkan Alfand adalah tuna rungu. Mereka berkolaborasi membawakan sebuah lagu.

Sore ini mereka sedang berlatih untuk mempersiapkan penampilan besok pagi. Untuk dipersembahkan pada Mendikbud yang akan datang ke Gedung Program PPG, dalam rangka Peresmian Gedung PPPG dan Sosialisasi Kurikulum 2013.

Acara yang dihelat di Auditorium di lantai sembilan ini akan dihadiri oleh sekitar 600 undangan. Mereka adalah mahasiswa PPG, dosen, mahasiswa S2, S3, dan tentu saja, jajaran pimpinan, anggota senat, dan undangan lain. Termasuk Ketua LPMP Jawa Timur, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, kota dan kabupaten di Jawa Timur, juga para mitra Unesa.
Rio dan kawan-kawan berlatih dengan didampingi orang tua masing-masing. Anak-anak hebat, dengan para orang tua yang hebat.

Pak Yoyok, dosen PGSD, adalah pelatih mereka. Entah kenapa, kekaguman saya pada sahabat saya yang satu ini tidak habis-habis. Komitmennya, kepeduliannya, ketulusannya, kesetikawanannya, juga kelihaiannya bermain musik, mengagumkan siapa saja yang mengenalnya.

Saya menikmati sajian yang luar biasa di depan saya sore menjelang senja hari ini: tidak hanya anak-anak hebat dengan orang tua yang hebat, tetapi juga guru-guru yang hebat. Mereka seolah membentuk sebuah orkestra kehidupan. Begitu merdu sekaligus mengharukan. Menyadarkan kita semua betapa Maha Adilnya Sang Pencipta, yang telah membuat setiap orang memiliki keistimewaan, siapa pun mereka. Dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun dengan kebersamaan, saling menghargai, saling melengkapi, orkestra kehidupan ini menjadi begitu indah.

Selain tampil bersama, beberapa dari mereka juga tampil solo. Anggi memainkan organ sambil menyenandungkan ‘I Believe I Can Fly’-nya R Kelly. Suara gadis itu mengalun sangat indah. Memenuhi setiap sudut ruangan. Membuat sebagian orang di dalam ruangan itu rela menghentikan aktivitasnya, untuk sejenak membiarkan diri larut menikmati suara Anggi yang menggetarkan.

“I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away
I believe I can soar
I see me running through that open door
I believe I can fly….”

Tak ayal, tenggorokan saya sakit lagi mendengar senandungnya. Saya pikir hanya saya yang merasakan kegetiran itu. Ternyata, pak Yoyok, tiba-tiba mendekat dan berbisik…’Sesak dadaku, bu…’. Bahkan dia saja yang sudah begitu sering bergaul dengan anak-anak itu selalu diliputi keharuan setiap kali melihat penampilan mereka.

Sore ini saya berbincang dengan beberapa ibu yang luar biasa kuat dan tabah itu. Bercanda dengan anak-anak yang sangat mengispirasi itu. Hanya mereka yang istimewa yang terpilih sebagai orang tua istimewa, dengan anak-anak yang istimewa pula.

Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah….

Auditorium PPPG, Kampus Unesa Lidah Wetan, Surabaya, 16.30 WIB.
Wassalam,
LN

Senin, 17 Juni 2013

Menunggui Nizar Jalani Operasi Tumor Otak

Anak jangkung itu tergolek lemah. Bibirnya yang merah, terkatup rapat. Kedua matanya setengah terbuka. Lehernya disangga dengan sebuah bantal berbentuk U, berwarna pink. 

'Budhe, dik....', bisik Bu Yanti (Dr. Suryanti, M. Pd., Pembantu Direktur I P3G Unesa), di telinga anak bungsunya itu. Mata Nizar, anak itu membuka sedikit. 'Budhe....' Lirihnya, menatap saya dan mas Ayik, sebentar, lantas matanya terkatup lagi. Tangannya yang terulur segera saya tangkap, saya genggam erat. Hati saya meleleh.

Nizar, adalah putra bungsu Dr. Wahono Widodo dan Dr. Suryanti, keduanya sahabat saya. Mereka dan kedua anaknya, Danang dan Nizar, sudah seperti keluarga saya sendiri. Kami sangat dekat. Sejak belasan tahun. Sejak anak-anak kami masih balita. Sampai saat ini anak-anak kami sudah menjadi mahasiswa dan tumbuh remaja. 

Nizar sendiri, saat ini sudah kelas 3 SMP. Baru saja lulus, namun tidak bisa mengikuti wisuda pada Sabtu kemarin, karena dia sakit.

Nizar dan Danang memanggil saya Budhe, dan menyebut mas Ayik dengan Abah. Arga, anak kami, menyebut bapak ibu mereka sebagai Tante Yanti dan Wak Son. Ya, entah bagaimana ceritanya, pak Wahono oleh kami semua, dipanggil Wak Son. Kami, adalah kelompok Kobamin, kepanjangan dari Komunitas Bambung Indonesia. Kelompok penyuka aktivitas outdoor (camping, rafting, dan travelling). Beranggotakan beberapa teman dosen dan keluarganya.

Malam ini Nizar akan masuk ke ruang operasi. Cairan di kepalanya akan diambil, sebelum operasi untuk mengangkat tumor di otaknya dilakukan pada hari yang akan datang. 

Wajahnya yang pasrah begitu menyentuh hati. Sakit yang dideritanya hanya dia keluhkan sekitar satu dua minggu sebelum akhirnya dia harus terbaring di tempat ini, di Paviliyun VII, RSAL. Dokter bilang, seharusnya dia sudah merasa kesakitan sejak lama. Tumor yang ada di kepala bagian kiri itu sudah cukup besar. Terjadinya sudah berbulan-bulan. Namun, menurut dik Yanti, Nizar hanya belakangan ini saja sering mengeluh pusing-pusing. Puncaknya, adalah sejak Rabu minggu kemarin, saat Bu Yanti baru saja pulang dari monev SM-3T di Sumba Timur. Nizar tidak bisa menoleh. Dokter bilang kemungkinan terjadi  injury sport. Namun ternyata setelah itu Nizar muntah-muntah, dan dia tidak kuat untuk berdiri. Ternyata, hasil CT Scan yang baru bisa dilihat  tadi pagi menunjukkan, ada tumor di kepalanya.

Kabar sedih itu saya terima langsung dari Bu Yanti  tadi pagi saat saya rapat di rektorat. Tak ayal, hati saya sontak sangat terpukul. Saya mengikuti rapat dengan setengah hati, dan meninggalkan ruang sebelum rapat usai karena harus menguji di pasca. Pikiran saya terus terbayang Nizar. 

Usai menguji, saya mengikuti upacara pemberangkatan Tim Ekspedisi Lawe Alas Himapala, tetap dengan pikiran yang 'sumpek'. Selepas upacara, saya bermaksud langsung ke RSAL. Namun genangan air di mana-mana, kerumunan orang di mana-mana (para calon peserta SBMPTN yang sedang mencari lokasi tes besok), serta macet di mana-mana; ditambah dengan kondisi saya yang tidak terlalu fit, menyurutkan langkah saya menuju RSAL. Saya memutuskan untuk pulang. Minum obat, beristirahat sebentar sambil menuggu mas Ayik pulang kantor, untuk bersama-sama menunggui Nizar selepas maghrib nanti.

Selain saya dan mas Ayik, ada beberapa teman dosen yang menunggui Nizar. Pak Yoyok, pak Mintohari, pak Subandi, pak Alimufi, dan sebagainya, termasuk sanak saudara Bu Yanti. Pak Wahono, yang biasanya super ndableg, malam ini matanya sembab, lebih sembab dari mata bu Yanti. Tadi pagi, begitu Bu Yanti mengabarkan ke saya tentang hasil CT scan, dia bilang kalau pak Wahono sudah terus-terusan menangis. 'Aku berusaha tabah, Budhe...', begitu katanya. 'Bapaknya sudah menangis terus dari tadi...'.

Nizar (depan) bersama ayah dan ibunya mengikuti rafting.
Nizar disuntik antibiotik. Suster bilang kalau suntikan itu akan terasa panas, tapi dia meminta supaya Nizar menahan rasa sakit itu dengan menarik nafas dan membuangnya melalui hidung. Benar saja. Ketika suntikan itu menghunjam menusuk lengannya, anak itu menarik nafas, menahan sakit. Punggung tangannya yang ditusuk jarum infus kugenggam dan kuusap-usap. Mata saya perih dan air mata nyaris membasahi lengan Nizar bila saya tak segera membuang muka.

Sepuluh menit setelah itu, tiga orang suster memasuki ruangan. Nizar siap dibawa ke ruang operasi. Seperti memahami perasaan kami, suster membiarkan bapak dan ibu anak itu mengusap-usap kepalanya dengan penuh kesedihan, dan berbisik di telinganya untuk menguatkankan hatinya. 'Kuat ya, dik...'. Begitu bisik Bu Yanti. 'Mama menunggu sama Bapak di sini'. Sementara itu Pak Wahono yang tidak tahan, menahan isaknya, menjauh dari kerumunan. 

Malam ini kami semua ada di ruang tunggu ICU, menunggui Nizar diobservasi, dan menjalani pengambilan cairan di kepalanya. Kami semua dengan pikiran dan doa kami masing-masing. 

Semakin malam, teman-teman yang datang semakin banyak. Pak Waspodo dan istri, ibu PR I (Prof. Dr. Kisyani), Bu Hani dan pak Dewanto, Pak Asrul sekeluarga, dan banyak yang lain. Bahkan Pak Alimufi yang tadi sudah pamit pulang, malam ini datang lagi bersama istrinya.

Saya sendiri terus membaca sholawat dan doa untuk Nizar. Terbayang Nizar kecil di pelupuk mata. Saat di lehernya tergantung dua liter air mineral waktu kami berpetualang ke Pulau Sempu. Karena di sana tidak ada air tawar, maka semua orang harus membawa air tawar, tak terkecuali anak-anak kecil kami. Terbayang juga saat Nizar menangis mencari ubur-ubur hitamnya sewaktu kemping di Pantai Lombeng. Atau malam-malam memanggil-manggil mamanya dan minta dipijit karena kakinya 'putus-putus' (saking capeknya, dia menyebut kakinya putus-putus). Terbayang juga saat dia melompat-lompat dengan sebelah tangannya memegang tangan saya, sambil berceloteh kalau dia barusan muntah-muntah karena habis minum bing (maksudnya bir. Sebenarnya yang dia minum adalah minuman bersoda).

Hampir tiga jam kami semua menunggui Nizar yang sedang ditangani dokter di kamar operasi. Pada pukul 21.20, tiba-tiba suster memanggil nama keluarga Nizar. Pak Wahono dan Bu Yanti spontan mendekat. Suster mengatakan, pengeluaran cairan sudah selesai, dan lancar. Kami semua bernafas lega. Kemudian suster menyilakan Bu Yanti dan Pak Wahono menengok Nizar sebentar. Kami menunggu di luar ruangan, membiarkan kedua sahabat kami itu menengok putra bungsunya.  

Meski dengan mata yang semakin sembab, Pak Wahono dan Bu Yanti nampak sedikit lega. Begitu juga kami. 'Nizar gundul...' Desis Bu Yanti. Matanya memerah. 'Ada selang di kepalanya. Alhamdulilah, Nizar sudah sadar, dan membalas menyapa kami...'.

Setidaknya, satu tahap telah terlewati dengan lancar. Insyaallah tahap-tahap berikutnya juga lancar. Allah yang Maha Pengasih, berikan kekuatan pada Ahmad Nizar Permana. Berikan kesembuhan, berikan kesehatan, dan berikan dia umur panjang yang penuh berkah. Amin YRA.

Surabaya, 17 Juni 2013. 01.10 WIB.

Wassalam,
LN

Ekspedisi Rafting Lawe Alas Himapala 2013

Siang tadi (Senin, 17 Juni 2013)pukul 13.30, bertempat di Gedung G4.01.05 FE Unesa Kampus Ketintang, telah dilaksanakan upacara pemberangkatan Tim Ekpedisi Rafting Lawe Alas Himapala 2013. Acara tersebut dihadiri oleh Pembantu Rektor III (Prof. Dr. Warsono, M.S), Pembina Himapala (Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M. Pd), Dekan FMIPA (Prof. Dr. Suyono, M. Pd), serta para ketua unit kegiatan mahasiswa (UKM) di lingkungan Unesa.

Dalam laporannya, ketua panitia, Mar'atus Sulistyo (Atus), yang juga sebagai anggota tim, menyampaikan bahwa kegiatan ekspedisi dimulai sejak pembentukan panitia pada 22 Januari 2013. Selanjutnya dibuka pendaftaran bagi para calon peserta tim, termasuk tes wawancara, terus berproses dengan berbagai materi, baik materi ruang, lapang, sungai, serta try out. Try out yang pertama dilakukan di Sungai Pekalen, Probolinggo, dan try out kedua dilakukan di Sungai Serayu, Jawa Barat.

Pada awal pengajuan kegiatan dulu, menurut Pembina Himapala, yang biasa dipanggal Mbak Ella oleh para anggota aktif, PR III sempat menyampaikan keberatannya karena pertimbangan keselamatan. Pada saat itu baru saja ada kejadian kecelakaan yang merenggut nyawa, yang menimpa tim ekspedisi rafting dari perguruan tinggi lain, juga di Aceh. Namun melihat kesungguhan hati tim ekspedisi Himapala, Pembina Himapala menyarankan supaya tim melakukan audiensi lagi dengan PR III, untuk meyakinkan beliau. Kekhawatiran beliau merupakan kekhawatiran seorang bapak sekaligus penanggung jawab bidang kemahasiswaan. 

Hal tersebut dibenarkan oleh PR III. Dalam sambutannya, Prof. Warsono mengemukakan bahwa memang awalnya beliau penuh dengan kekhawatiran. Namun melihat tekad tim ekpedisi dan komitmennya, akhirnya beliau memberikan izin dan mendukung sepenuhnya. 

Tim yang terdiri dari 14 orang itu (11 putra dan 3 putri) akan berangkat dalam dua tahap. Tahap pertama, tiga orang, merupakan tim pionir, berangkat tanggal 19 Juni 2013. Selanjutnya tahap kedua berangkat pada 22 Juni 2013. Mereka akan menumpang kereta api dari Surabaya ke Jakarta, dan melanjutkan perjalanan menuju Medan dengan menumpang pesawat.  Dari Medan, tim akan menempuh perjalanan darat selama sekitar 8 jam untuk mencapai Kutacane, Aceh Tenggara. Di sinilah ekspedisi akan dimulai.

Ekspedisi pertama akan  mengarungi Sungai Bingge, sebagai appetizer-nya. Selanjutnya selama tujuh hari, tim akan mengarungi sungai Lawe Alas, inilah main course-nya. Selanjutnya, sebagai dessert-nya, tim akan mengarungi Sungai Laekombe. Jadi tiga sungai akan diarungi dalam ekspedisi yang memakan waktu selama 21 hari tersebut (mulai 19 Juni sampai dengan 10 Juli 2013).
  
Sejak beberapa periode ini, divisi rafting Himapala belum berhasil melakukan satu ekspedisi pun, selalu gagal di tengah jalan. Sementara divisi yang lain (Gunung Hutan, Susur Pantai, Panjat, dan Konservasi) setiap tahunnya selalu melakukan ekspedisi. Begitu tutur Ketua Umum Himapala, Ardhan.

Namun saat ini, semua divisi bersatu dalam rangka menyukseskan ekspedisi rafting. Latar belakang mereka yang pada dasarnya bukan rafter, tidak menjadi masalah karena mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang ada untuk membekali diri sebaik-baiknya dengan berbagai keterampilan fisik maupun mental.

Prof. Warsono menyampaikan kebanggaannya pada Tim Ekspedisi Rafting Lawe Alas ini. Mereka tidak sekedar menghadapai tantangan, tetapi menciptakan tantangan dan berjuang keras untuk  menghadapinya. Tantangan luar biasa yang telah mereka ciptakan, akan membuat mereka menjadi pribadi-pribadi yang cerdas, tangguh, trengginas dan tanggap. 

Menjelang menutup sambutannya, Prof. Warsono berpesan, supaya tim tidak  terlalu jumawa. Jangan pernah bersombong utk menundukkan alam, tetapi bagaimana kita beradaptasi dengan alam, dengan segala upaya dan doa. Alam tdk bisa kita lawan, tetapi kita harus hidup serasi dan selaras dengannya, dengan berusaha untuk beradaptasi. Harapan beliau, semoga apa yang dilakukan Himapala ini mampu memberikan inspirasi bagi banyak pihak, khususnya para mahasiswa, agar selalu berani menciptakan tantangan dan menghadapinya dengan cerdas.

Selamat untuk Tim Ekspedisi Lawe Alas Himapala 2013. Semoga perjalanannya lancar, semoga ekspedisinya lancar dan sukses, seluruh anggota tim selamat, kembali ke kampus tanpa halangan suatu apa pun.

Amin YRA.

RSAL, Surabaya, 17 Juni 2013. 20.30 WIB.
(Menunggu Nizar Wahono di ruang operasi).

Rabu, 12 Juni 2013

Puisi Untuk Para Guru di Sumba

Sementara itu
Kita masih berkutat di sini
Dengan oto yang jalannya terseok-seok
Penuh dengan manusia
Hasil bumi, anjing, babi dan ayam bahkan kuda
Bergerak terguncang-guncang di jalan-jalan berlubang
Melanggar sungai sampai puluhan kali

Di sinilah kita
Di sekolah-sekolah berlantai tanah
Beratap seng
Berdinding kayu
Anak-anak bertelanjang kaki 
Menunggu bapak dan ibu guru menghampiri

Merekalah anak-anak zaman
Yang akan menentukan masa depan
Lihatlah mata polos
Wajah-wajah lugu
Senyum sayu
Saat mereka menunggui jurigen-jurigen air terisi
atau menghalau sapi dan kuda pulang ke rumah menjelang senja
Sambil menyunggi ember-ember penuh sayuran di atas kepala

Mereka sedang belajar sesuatu
Tentang kerja keras
Berjuang demi hidup
Tentang tanggung jawab
Tentang kepedulian
Segala yang penting untuk bekalnya di masa depan

Biarkan mereka terus belajar semua itu
Namun jangan renggut keindahan masa kecil
Jangan cabut 
Keceriaan saat di sekolah
Ajari mereka memegang pena
Mengeja kata 
Sejatinya mereka sedang melengkapi bekal hidupnya

Mereka membutuhkan sentuhan
Mereka membutuhkan kepedulian
Mereka membutuhkan sosok panutan
Mereka membutuhkan guru-guru yang tak lekang oleh zaman

Rengkuhlah mereka 
Antarkan menuju masa depan
Menempuh jalan panjang membentang
Agar bintang mereka terang dan indah
Seindah kuda-kuda Sumba nan menawan                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Seindah bukit-bukit yang tinggi menjulang
Seindah padang sabana yang luas menghampar

Aku mungkin tidak sedang di Tanah Marapu
Namun hati dan jiwaku ada selalu untukmu...

Gedung Nasional,  Umbu Tipuk Marisi, Waingapu. 8 Juni 2013. 

Wassalam,
LN

Senin, 10 Juni 2013

Sumba Timur (7): Bertarung dengan Ombak

Kami meninggalkan mess pada pukul 10.00 WITA. Tidak seperti kemarin, cuaca hari ini panas sekali. Saya pikir, laut akan lebih aman dalam cuaca seperti ini. Dugaan saya salah. Heri yang datang dari mengecek laut  menggelengkan kepala. Air laut naik dan tidak ada satu perahu pun yang berani menyeberang, sampai nanti setelah pukul 13.00.

Saya menatap pak Rahman. 'Oke, tidak apa-apa. Mari kita menunggu sampai laut surut, di pantai saja. Sambil menikmati pantai.' Begitu kata pak Rahman.

Kami pun menuju pantai. Pak Rahman membenamkan tubuhnya dalam pasir laut. Andi ikut-ikutan. Sigit dan Zia berenang. Lukman dan Oscar sibuk mencari-cari sinyal di pohon-pohon. Saya termangu-mangu memandangi semua itu.

Kami sebenarnya berjanji sama Bidin dan Ela, dua peserta yang bertugas di Karera Jangga, bahwa kami akan singgah di sana. Tapi kalau waktu penyeberangan tidak jelas seperti ini, siapa yang berani janji? Perjalanan menuju Karera Jangga tidak cukup hanya ditempuh dengan roda empat, namun ada bagian yang harus ditempuh dengan berjalan kaki selama sekitar satu jam. Dengan sangat menyesal akhirnya kami membatalkan janji kami ke Bidin dan Ela, dan berharap suatu saat kami bisa mengunjungi Karera Jangga.

Setelah menunggu lebih dari tiga jam, alhamdulilah, akhirnya pada pukul 13.30, perahu siap karena laut sudah agak teduh. Kami bersiap menaiki perahu. Perahu yang akan membawa kami adalah perahu yang sama dengan yang kemarin. Hanya kali ini cukup satu perahu. Heri dan kawan-kawan tentu saja tidak perlu mengantarkan kami ke Katundu. 

Di pantai, saat kami semua sudah berada di perahu, saya memandangi mereka satu per satu, Heri dan kawan-kawan. Kami saling melambai. Anak-anak hebat itu membanggakan saya. Wajah-wajah optimisnya meyakinkan saya bahwa mereka akan menyelesaikan sisa pengabdiannya dengan sangat baik.

Ternyata penyeberangan siang ini jauh lebih berisiko dibanding yang kemarin. Ternyata penyeberangan kemarin itu tidak ada apa-apanya. Kalau kemarin Sigit dan kawan-kawan masih berani sesekali berdiri dan menikmati ayunan perahu, kali ini tidak. 

Sepanjang perjalanan, semua diam. Sigit bahkan menutupi seluruh tubuhnya dengan jas hujan saya. Lukman meringkuk di depan, bersisian dengan Zia. Oscar duduk di belakang berdampingan dengan awak perahu. Awak perahu yang satu lagi ada di tengah, sesekali membuangi air di dalam perahu dengan ember. Saya duduk bersisian dengan pak Rahman, memandangi laut dengan hati kecut.

Ombak begitu hitam dan menggelora. Waktu terasa begitu lambat jalannya. Sinar matahari yang panas menyengat di seluruh tubuh seperti tak ada apa-apanya dibanding dengan rasa khawatir yang melingkupi hati saya. 

Namun begitu, meskipun dengan perasaan ngeri, saya memberanikan diri memandangi gulungan-gulungan ombak yang kira-kita setinggi dua meter itu, mengejar-ngejar perahu kami. Ombak itu seperti monster-monster raksasa yang seolah siap melumat-lumat perahu kecil ini. Setiap kali ombak meninggi, perahu seperti dihempaskan ke dalam sebuah ceruk. Perahu tidak hanya bergoyang-goyang, namun terhempas-hempas dengan cukup keras, dan berkali-kali terasa seperti mau oleng. Sesekali pengemudi meredakan laju perahu ketika ombak besar datang menghantam untuk menjaga supaya perahu tidak oleng. Air laut, kalau kemarin hanya memercik-mercik di wajah kami, siang ini mengguyur tubuh kami. Berkali-kali. Pak Rahman memastikan barang-barang kami aman dan tidak basah terguyur air. 

Saya terus menggumamkan doa dan mengembangkan pikiran positif. Saya tahu, bahkan dalam kondisi saya yang sudah berpelampung seperti ini pun, sesuatu yang sangat buruk bisa saja terjadi di tengah laut luas seperti ini. Dengan ombak hitam yang tinggi bergulung-gulung. Hanya mengandalkan sebuah perahu nelayan yang kecil. Namun dengan seluruh niat baik saya jauh-jauh datang ke sini, dan kepasrahan pada Allah Yang Maha Melindungi, saya bahkan harus siap dengan apa pun yang terjadi.

Namun, sekali lagi, wajah-wajah tenang para awak perahu itu mendamaikan saya. Mereka bahkan melemparkan senyumnya ke arah saya setiap kali tiba-tiba ombak mengguyur tubuhnya atau tubuh kami. Seolah ingin meyakinkan saya bahwa semua aman dan terkendali. Mereka sama sekali tidak nampak panik, namun jelas sekali kalau mereka tengah memasang kewaspadaan yang tinggi.

Akhirnya pantai itu pun nampak semakin dekat. Pantai di Desa Katundu. Warna laut yang tadi hitam pekat berangsur menjadi biru bening, pertanda laut landai. Pada titik itu, kelegaan terpancar di wajah-wajah kami.

Akhirnya menepilah perahu kami ke pantai. Kami pun bersiap. Mengemasi barang bawaan. Bahu-membahu menurunkannya ke pantai. Tubuh kami semua basah. Bahkan wajah kami terasa berpasir karena guyuran ombak. Namun rasanya semuanya itu tak ada artinya. Ombak yang hitam telah kami tinggalkan jauh di belakang sana. Saatnya mendamaikan hati dengan membersihkan diri di rumah singgah yang sudah menanti.

Tubuh terasa segar kembali setelah saya mandi dan berwudhu. Sholat saya terasa lebih khusyuk dipenuhi rasa haru dan lega. Dalam sujud syukur, saya menitikkan air mata. Ya Allah, betapa ini semua terjadi hanya atas kuasa-Mu. Terimakasih telah melindungi kami semua dan senantiasa menjadi sumber kekuatan kami. Bimbinglah terus kami ke jalan yang Engkau ridhoi. Amin.

Desa Katundu, Karera, Sumba Timur. 10 Juni 2013. 15.30 WITA.

Wassalam,
LN

Sumba Timur (6): Sebuah Wilayah Perbatasan

Pagi ini, selepas shubuh, saya, Lukman dan Sigit jalan-jalan ke pantai. Zia membantu pak Rahman mengambil air tawar untuk mengisi kamar mandi mess yang saya tempati. Sedangkan Tamam dan Irfan menyiapkan makan pagi.

Kami kembali menikmati eksotisme laut dan pantai Salura. Menikmati puluhan perahu yang semalam lampu-lampunya bersinar indah seperti kunang-kunang berwarna-warni. Membaui aroma anyir laut yang dibawa angin yang berhembus halus mengusap wajah-wajah kami.

Heri membawa kami ke sebuah tugu di salah satu sudut di pantai itu. Dikatakan sebuah tugu, tapi sebenarnya hanya berupa bangunan semen segi empat dengan ukuran sekitar 1,5x1x1,5, yang di atasnya terpasang semacam prasasti yang terbuat dari batu marmer. 

Tugu tersebut merupakan tugu klaim tapal batas wilayah Salura dengan Australia. Bunyinya seperti ini:

'Pulau ini adalah Pulau Salura. Merupakan wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan dengan Australia'. 

Prasasti tersebut ditandatangani oleh  Bupati Sumba Timur, Drs. Gidion Mbilijora, M.Si. Dan Dody Usodo Hargo, S., S.IP, Kolonel Inf, NRP 29955. 

Di bagian lain, tidak jauh dari tugu itu, ada sebuah kantor polisi. Dari papan namanya tertulis bahwa kantor polisi ini adalah kantor Polsek Karera sub sektor perbatasan. Ada prasastinya juga.

'Dengan rahmad Tuhan Yang Mahaesa, telah diresmikan penggunaan Kantor Polisi Subsektor Perbatasan Pulau Salura pada tanggal 17 Agustus 2010 oleh Kepala Kepolisian Resort Sumba Timur, Tetra Megayanto Putra, AKBP NRP 63031119.

Di dekatnya, pada sebuah batu berbentuk segitiga, tertera 'Indonesia-Australia ±800 mil selatan. 

Sebagai wilayah perbatasan, sebagaimana wilayah perbatasan yang lain di seluruh Indonesia ini, Salura sebenarnya memerlukan lebih banyak sentuhan dari pemerintah. Tidak sekedar tugu dan prasasti-prasasti. Adanya prasasti itu tidak serta merta menjadi bukti bahwa para petinggi yang telah menandatangani itu benar-benar pernah datang ke Salura. Tidak. Tugu klaim batas wilayah itu juga tinggal memasang saja di tempat itu karena para petinggi sudah menandatanginya di tempat lain. 

Salura membutuhkan lebih dari itu. Kehadiran para petinggi untuk menengok keadaan mereka di tempat itu. Dengan sebenar-benarnya. Dengan sepenuh hati. Menyapa mereka dengan ketulusan yang murni. Meyakinkan pada mereka bahwa mereka adalah bagian dari NKRI. Bukan sekedar dengan simbol-simbol dan prasasti-prasasti.

Dalam bidang pendidikan, Salura juga masih sangat memprihatinkan. Satu-satunya sekolah adalah SD-SMP Negeri Satap Salura. SD terdiri dari 115 siswa, kelas satu sampai enam, tetapi hanya memiliki tiga kelas. Dengan kondisi kelas yang sangat menyedihkan. Kalau kita melihat proses pembelajaran di kelas, kita seperti kembali ke masa tiga atau empat puluh tahun yang silam. Lantai dan dinding-dinding kelas yang kusam, papan tulis yang sudah pudar, dengan kondisi anak-anak sekolah yang kotor, berdaki, berbaju lusuh, dan bertelanjang kaki. 

Memang anak-anak tidak perlu menempuh jarak yang sangat jauh untuk mencapai sekolahnya, sebagaimana di wilayah Sumba yang lain. Di Salura yang kecil ini, bahkan jarak terjauh pun cukup ditempuh hanya dalam waktu sekitar tiga puluh menitan. Namun sebenarnya kondisi mereka tidak kalah memprihatinkannya. Sungguh. Ada lebih banyak uluran tangan yang mereka butuhkan demi menata masa depannya. Tidak sekedar menjadi pencari cumi di laut sebagaimana yang dilakukan kebanyakan masyarakat Salura saat ini. Saya sempat tercekat saat menyadari mereka seperti kebingungan menjawab saat saya bertanya apa cita-cita mereka.

Di SD, gurunya ada 2 PNS, satu kepala sekolah dan satunya lagi adalah pak Rasyid, guru yang kemarin bersama kami dari Waingapu. Guru bantu ada tiga orang tetapi yang seorang sedang kuliah di Waingapu sehingga praktis tidak pernah mengajar. 

Jangan bicara tentang perpustakaan, laboratorium, ekstrakurikuler, dan hal-hal lain yang semuanya itu seolah jauh api dari panggang. Mungkin bagi kita yang telah terbiasa melihat pendidikan di kota dan memiliki kepedulian, akan merasa teriris melihat lemari (bukan perpustakaan) mereka yang lapuk, selapuk buku-buku yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Miris.

Menurut salah seorang guru, sejak SD inpres berdiri tahun 1982, kepala dinas PPO datang waktu peresmian itu. Namun setelah itu, sampai saat ini, kepala dinas tidak pernah lagi datang. Satu-satunya yang pernah datang adalah pengawas, mungkin tiga-empat kali sejak tahun 1984. Namun sejak beberapa tahun belakangan, tidak ada lagi pengawas yang datang karena pengawas itu sudah pensiun.

Sementara itu, SMP baru saja berdiri pada tahun 2011 yang lalu.  SMP ini  bahkan belum ada gurunya sama sekali, hanya kepala sekolah yang baru akan bertugas tahun ajaran baru nanti. Padahal saat ini sekolah itu sudah memiliki tiga belas siswa. Jadilah Heri dan kawan-kawan mengangkat diri mereka sendiri menjadi kepala sekolah dan berbagi tugas siapa mengajar apa. 

Hari ini kami mengunjungi SD-SMP Satap itu. Saya membawakan kamus bahasa Inggris untuk kelas 5 SD, sesuai pesanan Heri. Jadilah kami belajar Bahasa Inggris pagi itu. Seumur-umur, anak-anak itu baru kali ini melihat kamus. Kami semua turun gunung mengajari mereka bagaimana menggunakan kamus. Kami menyebutkan beberapa kosa kata, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia, dan berkeliling mengajari mereka bagaimana mencarinya di kamus dengan cepat. Rona wajah mereka seperti menemukan segenggam berlian setiap kali mereka berhasil menemukan kata-kata itu di kamus. Terasa teriris hati saya menyaksikan semua itu.

Saya memasuki semua kelas yang ada. Berdialog dengan guru-guru dan pada anak-anak itu. Membagikan coklat, biskuit, dan kue-kue yang lain. Sejumlah buku bacaan dan buku tulis saya titipkan pada Heri dan kawan-kawan untuk dibagikan pada mereka. 

Coklat, biskuit, buku-buku, sebenarnya hanyalah alasan saya saja untuk menghibur diri sendiri. Menutupi perasaan bersalah, menyadari bahwa saya belum bisa berbuat banyak untuk mereka.

Pulau Salura, Karera, Sumba Timur. 10 Juni 2013. 10.00 WITA.


Wassalam,
LN

Sumba Timur (5): Bersama Anak-Anak Pantai

Salura di sore hari. Penuh dengan nelayan di pantai yang sedang menyiapkan perahu untuk mencari cumi malam nanti. Suaranya ramai ditingkahi dengan deburan ombak yang bersusulan. 

Menurut Heri dan kawan-kawan, pada bulan-bulan ketika laut tenang (mulai April-Desember), ratusan perahu akan memenuhi laut. Mereka kebanyakan adalah para nelayan dari Lombok. Perahu-perahu besar yang menjadi pengepul, parkir agak ke tengah. Perahu-perahu besar itu juga milik nelayan dari Lombok.

Bila musimnya, cumi memang sangat berlimpah di laut ini. Setiap nelayan bisa memperoleh ratusan kilogram cumi setiap hari. Laut akan diterangi cahaya lampu petromak dari ratusan kapal. Cumi memang peka pada cahaya, sehingga secara naluriah rombongan hewan laut berdaging lunak itu akan berebut mendekati cahaya. Para nelayan berlomba menangkapnya.

Cumi basah di sini dijual dengan harga Rp. 10.000,- per kilogram. Bila dalam keadaan kering, harganya bisa mencapai Rp. 70.000,-. Cumi itu akan di bawa ke Lombok oleh para pengepul, untuk dilempar ke pasar yang lebih luas.

Bila musim angin tiba (bulan Januari-Maret), laut sepi. Nyaris tidak ada satu pun perahu yang parkir. Begitu juga tenda-tenda, bersih. Bahkan sebagian penduduk Salura juga eksodus ke tempat lain, untuk mencari laut yang lebih memberi harapan.

Sore itu selepas mandi dan sholat ashar, kami keluar dari tempat kami. Oya, saya disediakan tempat di mess ibu bidan. Kebetulan ibu bidan sedang mudik ke Melolo, sehingga kamarnya bisa saya pakai. Pak Rahman juga di situ, tapi di ruang kantornya. Sementara tempat tinggal anak-anak adalah di mess. Sebenarnya bukan mess. Itu adalah salah satu rumah dari sekitar tiga puluh rumah yang dibuatkan pemerintah untuk masyarakat Salura. Sebagai salah satu bentuk perhatian pemerintah pada wilayah terluar ini. Tapi entah kenapa, justeru orang Selura asli tidak banyak yang menempati tumah-rumah itu.

Kebetulan rumah-rumah itu ada di dekat sekolah. Jadilah rumah anak-anak itu merangkap sebagai kantor sekolah, karena di sekolah tidak ada kantornya. Bendera merah putih dipasang di dinding depan. Dinding berbahan dasar bambu kombinasi batu putih di bagian bawahnya. 

Sore itu kami ke masjid. Mengajar iqro dan Al Quran. Siswa TPA ada lebih dari 50 anak laki dan perempuan. Ramai sekali. Salura ternyata dipenuhi dengan anak-anak. Anak-anak berkulit hitam, kebanyakan berambut ikal. Khas anak pantai dari NTT. 

Sebelum ada peserta SM-3T, di Salura sudah pernah ada TPA (Taman Pendidikan Al Quran). Namun itu sudah berhenti sekitar lima tahun yang lalu. Kehadiran Heri dan kawan-kawan menjadi oase bagi anak-anak dan orang tua, di tengah kelangkaan guru mengaji. Keempat anak itu kebetulan pandai mengaji, dan memiliki komitmen tinggi untuk meramaikan masjid, sehingga bisa menghidupkan kembali TPA setiap sore hari.

Dengan 138 KK dan 600-an jiwa, Salura yang luas wilayah berpenghuninya hanya sekitar dua kilometer persegi ini memang cukup ramai. Ramai dan agamis. Bila waktunya sholat, di mana-mana orang berkain sarung dan berkopiah. Adzan menggema dari masjid yang baru selesai dibangun, memanggil masyarakat sekitar untuk berjamaah. Berada di Salura, seperti sedang berada di desa santri. 

Setelah mengaji di masjid, kami beramai-ramai bermain di pantai, menunggu adzan maghrib. Senja yang berawan menyembunyikan sinar matahari yang siap tenggelam. Meski begitu, suasana syahdu tak pelak tetap terasa kental. Puluhan anak pantai, ratusan perahu, laut yang biru, senja yang temaram, dan bukit-bukit yang diliputi kabut, menyajikan keindahan yang tak terkatakan.

Begitu adzan maghrib, kami ke masjid. Listrik tidak menyala sejak tiga hari ini karena genset kehabisan minyak. Entah kapan minyak kiriman dari Waingapu akan tiba. Maka sholat berjamaah dilaksanakan dalam kegelapan. Di masjid yang cukup besar namun masih setengah jadi. Masjid yang halamannya dipenuhi dengan kambing dan kotorannya. 

Ya, kotoran kambing dan sapi memang ada di mana-mana di Salura ini. Mereka dibiarkan begitu saja di kebun-kebun, di jalan, di pekarangan-pekarangan. Bila musim hujan tiba, mereka berteduh di sekolah, di kantor desa, di teras-teras rumah. Maka aroma kotoran sapi menjadi aroma khas di Salura, berbaur dengan aroma pantai yang tertiup angin.

Setelah sholat, kami dijamu makan malam di rumah bapak Rasyid. Menunya nasi putih, kare ayam dan oseng cumi. Kami semua makan dengan menyenangkan. Lahap. Makanan habis tandas.

Pohon signal di Katunda.
Selama melakukan semua aktivitas itu, HP saya gantung di dinding di rumah anak-anak.  Sinyal hanya ada di dinding itu, di atas pintu mess ibu bidan, dan di bawah sebuah pohon di pantai. Bila ingin mengirim sms, pesan kita tulis dulu, kemudian HP digantung. Menunggu sinyal sehingga sms kita terkirim dan sekaligus menunggu jawaban. Jadi percuma membawa-bawa HP, karena sinyal tidak tersebar di sembarang tempat. 

Kami semua juga heran dengan perilaku sinyal di Salura dan di wilayah-wayah 3T yang lain. Sinyal hanya ada di titik-titik tertentu, sehingga dikenal ada pohon sinyal, bukit sinyal, dan dinding sinyal. Ada juga sinyal yang munculnya ketika malam hari sampai pagi, seperti di MBD. Seringkali sinyal seolah penuh, namun tidak bisa digunakan untuk mengirim sms atau bertelepon. Hanya bisa menerima. 

Malam ini kami habiskan dengan berbagai aktivitas. Mengobrol dengan beberapa tokoh masyarakat dan mendengarkan harapan-harapan mereka. Salah satunya adalah supaya Salura tetap digunakan sebagai tempat penugasan program SM-3T. Kalau bisa, jumlah pesertanya ditambah, dan syarat yang khusus, pesertanya bisa mengaji seperti peserta yang sekarang ini.

Sementara itu, Zia dan kawan-kawan mencari jengkerik di sekitar mess. Berbaur dengan anak-anak kampung yang sedang melakukan aktivitas yang sama. 

Oya, Zia, Lukman dan Sigit, tadi sore sempat dikerjain oleh Heri dan kawan-kawan. Menurut Heri, siapa pun yang masuk ke Pulau Salura ini, kalau yang bersangkutan belum menikah, dia harus berjalan mundur mulai dari pantai sampai ke sumur alam. Entah karena takutnya pada isu swanggi di tempat ini, atau karena saking bodohnya, ketiga anak itu pun berjalan mundur. Tiba di sumur, mereka masih diharuskan mengitarinya sampai tujuh kali, kemudian membaca adzan.

Sebenarnya dari awal ketiga anak itu sudah ragu dan curiga mereka hanya dikerjain saja, namun nampaknya mereka memilih tetap melakukan karena ada rasa ragu juga, jangan-jangan memang inilah adat Salura yang harus mereka penuhi. Wajah Heri, Andi dan Tamam memang menunjukkan muka serius. Namun begitu pak Rasyid meminta mereka untuk mengambil kerikil dan melemparkannya mengarah ke sebuah dinding, tak pelak, tawa pun pecah karena  mereka sadar jelas-jelas sedang dikerjain.  

Menjelang tengah malam, saat saya masih juga belum lelap, Heri mengetuk pintu kamar saya dan membawakan teh panas. Rupanya dia mendengar saya batuk-batuk dan dia memastikan saya memerlukan minuman itu.

Debur ombak, desis angin, dan suara binatang malam meramaikan malam yang telah larut. Para lelaki ada di luar kamar yang saya tempati. Mereka semua sudah pulas. Dengkurannya bersahut-sahutan. 

Ternyata binatang malam tidak hanya ada di luar kamar, tapi juga ada di dalam kamar. Beberapa jengkerik dan binatang kecil menemani saya sepanjang malam itu.

Salura, Karera, 9 Juni 2013. 24.30 WITA.

Wassalam,
LN