Kenangan tentang Prof Sukamto bermula saat
saya menempuh studi S2 di Prodi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan IKIP
Yogyakarta (sekarang UNY). Saya masuk pada 1991, saat itu, saya baru lulus S1
dan belum lama menikah, serta dalam keadaan hamil.
Sebuah proses yang tidak ringan, namun saya
selesaikan semester satu dengan baik. Saya katakan tidak ringan karena saya
jauh dari keluarga, masih pengantin baru, hamil muda yang tidak mudah, minim
pengetahuan dan pengalaman, finansial terbatas dan tanpa beasiswa kecuali
bantuan SPP dan buku dari IKIP Surabaya. Status saya saat itu, CPNS saja belum,
sehingga peluang beasiswa TMPD tidak bisa saya dapatkan. Saya ingat dua kali
saya dipanggil oleh Dr. Amin, direktur pasca saat itu, dan diminta untuk
menyerahkan SK CPNS karena ada kesempatan bagi saya untuk memperoleh beasiswa.
Tapi karena salah satu persyaratan pokoknya adalah yang bersangkutan harus
sudah memiliki NIP, lepaslah kesempatan itu untuk saya. Maka biaya hidup saya
selama studi ditanggung oleh suami sepenuhnya, yang saat itu juga masih belum
mapan pekerjaannya.
Pada semester kedua, saya mengambil cuti
sekolah. Melahirkan dan mengasuh bayi saya.
Pada semester ketiga, saya kuliah lagi.
Mengambil matakuliah di semester 3 sekaligus semester 2. Terasa beraaat banget.
Tapi untunglah ada banyak teman yang sangat helpful. Ketua kelas saya, Pak
Martubi, sesepuh kelas saya, Pak Said yang biasanya kami sebut Simbah, dan
teman-teman yang lain, sungguh sangat berjasa pada perjuangan saya
menyelesaikan semester 3 saya.
Nah, di semester 3 inilah kenangan terbaik
saya tentang Prof Sukamto. Saya menempuh matakuliah metodologi penelitian yang
seharusnya saya ambil di semester 2. Saya diberi jadwal dua minggu sekali
bertemu Prof Sukamto untuk kuliah mandiri. Di ruangan beliau, di ruang kepala
lembaga penelitian. Waktu itu beliau menjabat sebagai Kepala Lembaga Penelitian
IKIP Yogyakarta.
Setiap dua minggu sekali, saya mengalami
hari yang sangat mencemaskan. Duduk di depan meja beliau, melaporkan progres
belajar saya dan tugas-tugas, menyimak penjelasan beliau. Waktunya sekitar 1,5
jam per pertemuan, namun rasanya seperti berabad-abad. Saya selalu merasa
menjadi orang paling bodoh sedunia di hadapan beliau. Berusaha mencerna apa
yang beliau ajarkan, yang mungkin hanya nyantol sepersekian persennya di
kepala. Seringkali saya lihat raut muka beliau seperti berusaha menahan
kesabaran. Mungkin dalam hati beliau berkata, 'kok ya kebangeten tenan bocah
iki leh ra paham-paham....."
Modal saya belajar metodologi penelitian
saat itu benar-benar minim. Juga pengalaman meneliti saya. Saya baru lulus S1
ketika saya 'terpaksa' harus sekolah S2. Sebagai mahasiswa S1 penerima beasiswa
TID, setelah lulus saya harus siap ditugaskan di mana pun. Ternyata saya ditugaskan di Jurusan PKK IKIP
Surabaya (Unesa saat ini), almamater saya sendiri. Berdasar surat rekomendasi
penugasan itulah, saya diwajibkan pimpinan untuk mengikuti tes masuk S2. Saat
itu, ada 14 dosen FPTK IKIP Surabaya yang berangkat tes ke Yogya, saya salah
satunya. Dosen mudaaaa banget, yang masih culuuuuunnn banget, yang berangkat
benar-benar karena terpaksa. Dari 14 dosen tersebut, yang lulus tes hanya 4,
termasuk saya. Saya masih berusaha bernego dengan Dekan FPTK supaya saya
diizinkan untuk tidak berangkat sekolah. Tapi negosiasi menemui jalan buntu.
Saya harus tetap sekolah.
Benar-benar bermodal dengkul. Saat itu,
saya adalah mahasiswa termuda di kelas, dan teman sekelas hampir semuanya
adalah dosen PNS yang sudah jauh lebih punya banyak pengalaman, pengetahuan,
dan juga uang, karena setidaknya mereka sudah memiliki gaji. Pada saat itu,
studi lanjut S2 tidak terlalu lazim diambil oleh fresh graduate seperti saya,
melainkan oleh para dosen yang memang sudah siap untuk sekolah. Saya
benar-benar seperti memasuki hutan belantara.
Kembali pada cerita tentang kuliah mandiri
saya dengan Prof Sukamto.
Ketika UTS tiba, saya duduk di depan meja
Prof Sukamto. Beliau menyodorkan sebuah kotak berisi kartu-kartu soal. Saya
diminta memilih sendiri kartu-kartu soal itu, sebanyak 3 kartu. Lantas beliau
menyodorkan beberapa lembar kertas untuk saya menulis jawabannya dan menyilakan
saya berada sendirian di ruangan dekat ruang beliau untuk saya bisa bekerja.
Pada jam yang telah ditentukan, saya
kembali menghadap beliau dan menyerahkan hasil pekerjaan saya. Kemudian saya
diminta membacakan soal, menyampaikan jawabannya, dan selalu--setiap kali saya
selesai membacakan jawaban saya--beliau tersenyum. Tapi, sungguh, jangan
bayangkan saya bahagia dengan senyum beliau. Teman-teman bilang, begitu Prof Sukamto
tersenyum, maka yang kami rasakan adalah, 'senyummu adalah tangisku.' Ya,
entahlah, dengan segala kepintaran dan kepiawaiannya yang bagi sebagian besar
kami terasa tak terjangkau, senyum Prof
Sukamto saat di kelas adalah senyum paling sinis yang menyayat hati. Menggores
bagai sembilu. Seperti itu jugalah yang saya rasakan saat itu. Meskipun setelah
itu, luka hati sedikit terobati saat beliau menjelaskan dengan detil bagaimana
seharusnya jawaban saya dan mengapa. Dengan style-nya yang khas, lengkap dengan
senyum manisnya yang menghunjamkan luka. Dalam kondisi seperti itu, saya hanya
bisa berdoa semoga waktu cepat berlalu.
Keadaan seperti itu terulang lagi saat saya
menempuh UAS. Mandiri lagi tentu saja. Dengan prosedur yang sama persis. Dengan
senyum sinis yang bagai sembilu menyayat hati itu. Namun Prof Sukamto dengan
segala kecermatannya menunjukkan di mana kesalahan saya, bagaimana seharusnya
jawaban saya, dan menyarankan untuk membaca buku apa.
Lantas karena saat itu merupakan pertemuan
terakhir, beliau bertanya pada saya, yang intinya, berapa kira-kira nilai yang pantas saya
dapatkan dengan proses dan hasil seperti itu. Tentu saja ini pertanyaan yang
tidak mudah saya jawab. Namun saat saya menyerahkan kembali keputusan tentang
nilai itu pada beliau, beliau bersikeras menolak, dengan mengatakan,
"sebut berapa nilainya, saya akan ikuti Ibu. Kan kita sama-sama dosen,
mestinya bisalah Ibu memutuskan berapa nilainya." Begitu kata beliau.
Dalam hati saya berteriak, "saya dosen yang belum pernah mengajar,
Bapaaaakkkk...."
Karena saya tidak punya pilihan untuk
menghindar, maka dengan ragu, saya menyebut, "ya....kalau tidak A min,
setidaknya B plus."
"Saya memilih B plus," spontan
beliau menyahut.
Saya pun spontan tersenyum. Entah senyum
kecut entah senyum girang. Apapunlah. Setidaknya saya sudah bebas dari rasa
cemas dan tertekan setiap dua minggu sekali itu. Saya merasakan seperti baru
saja ada beban berat lepas dari tubuh saya.
Setelah kejadian itu, sekitar seminggu
kemudian, suatu sore ada anak laki-laki muda belasan tahun yang ngganteng
datang ke tempat kos saya. Dia memberikan sebuah buku ke saya, dan
memperkenalkan diri sebagai putra Prof Sukamto. Dia bilang kalau dia diminta
bapaknya untuk mengantarkan buku itu ke saya, supaya bisa saya baca dan
pelajari.
Masyaallah, saya hampir tidak percaya.
Terbayang sosok Prof Sukamto lengkap dengan senyum sinisnya. Namun sesungguhnya
di balik senyum itu, adalah keteduhan, keramahan, dan ketulusan, yang seringkali
kami tak mampu membacanya karena tertutup rasa takut dan grogi. Rasa takut dan
grogi yang sebenarnya muncul dari pikiran sendiri, karena ketidaksiapan kami
untuk berhadapan dengan beliau yang sering melempar pertanyaan-pertanyaan
kritis yang lantas membuat kami gelagapan.
Segala luka karena sayatan senyum sinis
yang bagai sembilu itu lenyap seketika. Tak berbekas. Yang tersisa adalah
kekaguman saya pada sosok yang luar biasa itu. Yang dengan caranya memaksa
setiap mahasiswa untuk membangkitkan kemauannya
sendiri akan rasa haus pada ilmu, kemandirian, percaya diri, sekaligus memiliki
rasa malu pada diri sendiri. Mendorong untuk terus belajar dan belajar.
Mendorong setiap orang untuk senantiasa menjadi "a learning person".
Pengalaman dengan Prof Sukamto ternyata
tidak hanya berhenti sampai di situ. Sejak 2003, saya mulai terlibat di
beberapa kegiatan di Jakarta. Saat itu, Prof Sukamto adalah direktur Ditnaga,
Ditjen Dikti. Maka saya sering bertemu beliau dalam banyak acara.
Kemudian setelah saya menyelesaikan studi
S3 saya di UM pada 2007 dan pada 2009 menjadi guru besar, saya mulai sering
bertugas menguji disertasi di beberapa universitas, salah satunya di UNY. Saya
beberapa kali kembali bertemu dengan Prof
Sukamto sebagai sesama penguji. Saya melihat beliau tetap dengan kejeniusannya.
Namun waktu telah sedikit demi sedikit merenggut kesehatannya. Terakhir menguji
bersama beliau, mungkin sekitar setahun yang lalu, kesehatan beliau semakin
memprihatinkan. Beliau berjalan dengan sangat pelan, berbicara dengan sangat
pelan, bertanya dengan sangat pelan, dan menjelaskan dengan sangat pelan.
Kemarin, Kamis 31 Desember 2020, saya
mendengar sosok guru yang sangat berilmu itu berpulang ke haribaan-Nya. Saya
merasa sangat amat kehilangan. Ada yang terasa kosong di sudut hati saya. Air
mata saya meleleh. Hati saya basah.
Ya Allah, saya bersaksi, Prof. Dr. Sukamto
adalah orang baik. Ampuni segala dosanya. Terimalah semua amal kebaikan dan
amal jariyahnya. Berikan jannah-Mu yang penuh kedamaian dan keindahan hakiki.
Selamat jalan, Guruku.....
Surabaya, 1 Januari 2020