Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 18 April 2014

Kurikulum 2013 (2): Yang Manis-Manis dari Kurikulum 2013

Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013 yang dihelat di Hotel Garden Palace Surabaya, dilaksanakan selama empat hari, 13-16 April 2014 yang lalu. Peserta pelatihan sebanyak 246 orang, terdiri dari dosen, guru dan widyaiswara dari Indonesia bagian Timur dan Tengah. Mereka dari Jawa Timur, Kalimantan Selatan, NTT, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Papua, Papua Barat, Bali, dan NTB. Para peserta itu mewakili mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, Bahasa Inggris, Seni Budaya, PJOK, Prakarya, dan BK.

Tujuan pelatihan ini adalah menyiapkan para narasumber nasional yang nantinya akan bertugas untuk melakukan pelatihan Kurikulum 2013 kepada para instruktur nasional. Selanjutnya para instruktur nasional akan melakukan pelatihan pada guru sasaran. Karena berjenjang seperti itu, maka yang harus dipikirkan bagi para narasumber nasional adalah tidak hanya pada bagaimana menguasai Kurikulum 2013, namun yang terpenting adalah, bagaimana Kurikulum 2013 itu bisa dikuasai oleh para guru sasaran di lapangan.

Wakil Mendikbud, Prof. Dr. Musliar Kasim, membuka dan memberi penguatan implementasi Kurikulum 2013 pada acara pembukaan. Dalam presentasinya, Musliar menayangkan gambar sekolah-sekolah yang sudah menerapkan Kurikulum 2013 dan testimoni dari kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua. Sebagian besar sekolah itu ada di pelosok, seperti di Papua dan NTT.

Banyak orang berpendapat, bahwa persiapan Kurikulum 2013 terbirit-birit. Begitu juga dengan implementasinya dan sosialisasi serta pelatihan untuk para narasumber nasional, instruktur nasional, dan guru sasaran. Buku siswa dan buku guru juga masih banyak kekurangan. Semua terkesan serba dipaksanakan (atau memang faktanya dipaksakan?). 

Menurut Musliar, meski pun begitu tajam kritik pedas pada Kurikulum 2013, namun apresiasi dari banyak kalangan juga luar biasa. Pengalaman mengunjungi banyak sekolah di daerah-daerah menunjukkan bahwa Kurikulum 2013 diterima dengan sangat baik, serta memberikan pengaruh yang hebat pada perkembangan anak didik. Siswa kelas IV SD mampu menunjukkan kebisaannya dalam mempelajari buku-buku siswa. Mereka mengaku sangat menyukai Kurikulum 2013, karena kurikulum ini membuat mereka bisa belajar dengan gembira.

Dalam sebuah talkshow di  stasiun TV, seorang guru juga menyampaikan testimoni secara live, yang kurang lebih bunyinya seperti ini: "Saya sudah lebih dari 30 tahun mengajar, namun baru kali ini saya merasa senang pada kurikulum." Kemudian terkait dengan pelatihan Kurikulum 2013 tersebut, guru itu juga menegaskan bahwa waktu pelatihan selama lima hari menurutnya lebih dari cukup untuk memahami secara utuh Kurikulum 2013.

Dalam hati, saya berkata, betapa luar biasanya guru tersebut. Andai semua guru seperti itu, tak akan ada cerita bagaiman compang-campingnya pemahaman para guru di sekolah sasaran terkait dengan implementasi Kurikulum 2013 ini.

Musliar juga menampilkan sebuah tayangan tentang implementasi kurikulum di Kupang, NTT, yang luar biasa. Anak-anak jadi lebih aktif dan betah belajar serta penuh kegembiraan. Menurutnya, kondisi seperti ini tak akan ditemui pada waktu yang lalu saat Kurikulum 2013 belum diterapkan. Begitu juga di Sentani, setting sekolah sudah secara kooperatif, banyak karya siswa dipajang di dinding-dinding kelas, anak belajar dengan semangat, dan guru membimbing dengan menyenangkan. Menurut Musliar, sekali lagi, hal ini tak akan dijumpai pada waktu sebelumnya. Pernyataan semacam ini yang diulang-ulang, mengesankan seolah-olah kurikulum yang lalu tak ada bagus-bagusnya.

Tentu saja kita semua yakin, Musliar menceritakan hal yang sebenarnya. Tidak mungkin wamen yang sudah sangat berpengalaman ini mengada-ada. Ya, di sekolah-sekolah yang dikunjunginya itu, itulah yang terjadi. Anak-anak yang aktif, kelas-kelas yang hidup, dan guru-guru yang menginspirasi.

Tapi cobalah tengok, di mana sekolah-sekolah itu? Tengok jugalah sekolah-sekolah di banyak pelosok yang lain, di mana anak-anak kelas VI SD, bahkan yang sudah SMP pun belum bisa membaca dan menulis. Tengoklah seperti apa kinerja kepala sekolah dan guru-gurunya. Bukan rahasia lagi, betapa sungguh memprihatinkannya etos kerja kepala sekolah dan guru-guru itu, kendati pun mereka sudah PNS. Mangkir dari tugas dengan berbagai alasan adalah hal yang sangat berterima. Mengajar semaunya sudah menjadi budaya. Memukuli peserta didik yang dianggap salah bahkan menjadi aturan yang terus dipertahankan. 

Pada kondisi seperti itu, bagaimana mungkin kita bisa berharap pada terbentuknya sikap religius, sikap sosial, dan perolehan pengetahuan serta terbentuknya berbagai keterampilan peserta didik seperti yang diharapkan kurikulum? Sedangkan mereka tidak menemukan figur tauladan di sekitar mereka? Tidak ada model yang mampu mengilhami mereka? Tahu apa mereka tentang 'beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab", kecuali hanya sebatas hafalan yang tanpa makna? Guru-guru mereka tidak mampu menerjemahkan itu semua dalam kehidupan sehari-hari. Jangankan menjadi sosok-sosok panutan. Bahkan apa tujuan sebuah proses bernama pendidikan pun, para ujung tombak pendidikan itu sangat mungkin tak peduli.  


Sebagai narasumber nasional, saya sadar, saya harus yakin akan 'keampuhan' Kurikulum 2013. Saya juga yakin, hal-hal manis yang disampaikan oleh wamen bukanlah isapan jempol. Kurikulum baru itu memang membawa implikasi pada perubahan banyak hal, termasuk proses pembelajaran dan penilaian. Proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan saintifik dan mengembangkan kreativitas, serta penilaian yang otentik. Kurikulum itu, bila benar mengimplementasikannya, sangat mungkin akan menghasilkan anak didik dengan kualitas sebagaimana dituangkan dalam UUSPN.

Namun fakta yang kita lihat di lapangan juga menyadarkan kita, tidak mudah mewujudkannya. Tidak perlu jauh-jauh ke daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang tersebar jauh di luar Pulau Jawa sana. Di Jawa Timur saja, yang notabene menjadi barometer keberhasilan pembangunan di segala bidang, masih banyak ditemukan kendala. Berbagai persoalan mulai dari keterbatasan SDM guru, kepala sekolah, fasilitas sekolah, dan kendala geografis, tidak semudah itu bisa diatasi. 

Kita memang tidak boleh pesimis terhadap implementasi Kurikulum 2013. Kita harus optimis. Tapi kita harus sadar, apa yang disampaikan Musliar Kasim adalah bagian yang manis-manis saja. Bagian yang pahit-pahit, kita yakin, jumlahnya jauh lebih banyak. 

Justeru dengan kesadaran itu, kita harus memikirkan strategi yang lebih tepat, bagaimana supaya Kurikulum 2013 mampu menjangkau yang tak terjangkau itu. Tidak cukup rasanya dengan melatih narasumber nasional dan instruktur nasional. Bahwa guru yang akan menjadi sasaran mungkin tak terbatas, namun tanpa pendampingan yang relatif intens, Kurikulum 2013 itu akan sangat beragam terjemahannya. Jangankan pada level guru sasaran, pada level instruktur nasional dan narasumber nasional pun, tidak mudah menerjemahkan Kurikulum 2013 menjadi satu bahasa.

Bagaimana pun, genderang telah ditabuh. Kurikulum 2013 tak mungkin ditarik mundur dari kancah pembangunan pendidikan di negeri ini. Tugas kita adalah menyiapkan dan menyelamatkan generasi mendatang. Dan ini saatnya. Suka tidak suka, Kurikulum 2013 menjadi salah satu kendaraannya. Sudah bukan saatnya mempersoalkan konsep kurikulum baru ini. Yang lebih penting adalah bagaimana mengambil peran dalam mengimplementasikannya secara benar.

Surabaya, 17 April 2014

Wassalam,
LN  

Minggu, 13 April 2014

Kurikulum 2013 (1): Semua Bermula dari Kelas

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP) Kemendikbud, Prof. Dr. Syawal Gultom, malam ini memberikan materi pada acara Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013. Acara yang dihelat di Hotel Garden Palace Surabaya ini diikuti oleh 246 peserta, terdiri dari dosen, guru dan widyaiswara, dari Indonesia bagian Timur dan Tengah. 

Acara dibuka oleh Wakil Mendikbud, Prof. Dr. Musliar Kasim. Selain membuka acara, wamen juga memberikan pengarahan dan penguatan pentingnya implementasi Kurikulum 2013. Uraian tentang pengarahan wamen ini saya tuangkan dalam tulisan "Yang Manis-Manis dari Kurikulum 2013".

Setelah Prof. Musliar Kasim menyampaikan pengarahan dan penguatannya, acara dilanjutkan dengan presentasi dari Prof. Syawal. Materinya adalah Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013.

Prof. Syawal, seperti biasa, begitu bersemangat  menyampaikan materinya. Harus diakui, mantan Rektor Unimed ini memiliki kepiawaian berorasi. Suaranya yang lantang, dengan logat Bataknya yang kental, ditambah dengan wawasan dan pengetahuannya yang luas, dilengkapi dengan bumbu-bumbu humor, membuat topik apa pun yang dibawakannya selalu hidup. 

Banyak hal yang perlu dicatat dalam presentasi Prof. Syawal. Bukan hanya materi tentang kerangka dasar dan struktur Kurikulum 2013 itu sendiri. Namun pernyataan-pernyataannya yang lebih bermakna filosofis dan perlu penghayatan.

Semua berawal dari kelas. Begitulah kata Prof. Syawal. Negara yang hebat itu karena pendidikan di kelas itu hebat. Pendidikan itu adalah mengembangkan potensi anak. Pendidikan itu tidak hanya mentransfer pengetahuan dan keterampilan dari guru ke siswa. Pendidikan berbeda dengan pengajaran. Kalau guru hanya berpikir bagaimana supaya materi yang diajarkannya dipahami anak, dia tidak sedang melakukan pendidikan, namun sekadar melakukan pengajaran. Dia tidak mendidik, tetapi mengajar. 

Begitu pentingnya peran guru, sehingga semuanya bergantung dari guru. Mau jadi apa pun anak itu, terserah apa kata guru. Karena begitu pintu kelas ditutup, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di kelas. Hanya guru itu yang tahu, siswa, dan Tuhan. Kepala sekolah pun banyak yang tidak tahu apa yang dilakukan guru di kelas. Pengawas, kepala dinas, kepala badan, pun tidak tahu. Hanya guru, siswa dan Tuhan. Bahkan yang membuat kurikulum pun, tidak banyak tahu apa yang terjadi di kelas. Apa yang diperankan guru di depan siswa-siswanya, hanya guru itu sendiri, siswa-siswa, dan Tuhan yang tahu.

Kurikulum 2013 dinilai  revolusioner. Salah satunya bila dikaitkan dengan peran guru. Betapa tidak. Guru tidak hanya menilai pengetahuan dan keterampilan anak. Dia harus mengamati sikap spiritual dan sosial anak. Bagaimana ketakwaannya pada Tuhan, apakah dia melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya, apakah dia menghargai makhluk ciptaan Tuhan, dan sebagainya. Guru juga harus melihat bagaimana sikap anak terhadap temannya dan orang-orang lain di sekitarnya, apakah siswa jujur, tanggung jawab, peduli, apakah dia menghargai lingkungannya. Semua harus diamati dan dicatat. Ya, dalam Kurikulum 2013 ini, dicetak guru setengah malaikat. Bukankah mengamati dan mencatat sikap dan perilaku yang religius dan sikap sosial itu pekerjaan malaikat? Dan guru harus melakukan itu. Maka guru harus menjadi manusia setengah malaikat. Sangat revolusioner. 

Kesalehan individu seseorang yang luar biasa, belum tentu dibarengi dengan kesalehan sosial. Bila seorang anak hanya rajin beribadah, namun kurang peduli pada sesama, tidak bisa bekerja sama dengan temannya, kurang memiliki kepekaan sosial, berarti dia kurang memiliki kesalehan sosial. Maka gurulah yang harus membentuk kesalehan sosial itu, karena kesalehan individu seharusnya membangun kesalehan sosial. 

Persoalan sikap, adalah persoalan merebut hati anak. Untuk bisa merebut hati anak, maka guru harus inspiratif. Untuk bisa menjadi guru yang inspiratif, hanya satu caranya:  dia harus menjadi contoh, secara konsisten menjadi model bagi siswa-siswanya.

Kalau dari kelas, kita membangun karakter secara optimal, maka negara ini akan hebat, karena diurus oleh orang-orang yang hebat, yang berkarakter. Karakter tidak bisa dibentuk secara instan. Dia harus dibentuk sedini mungkin pada diri anak. Kurikulum 2013 memungkinkan pembentukan karakter itu sedini mungkin.

Lepas dari pro kontra terkait Kurikulum 2013, kehadiran saya di Garden Palace ini bukan sekadar untuk memenuhi undangan BPSDMPK-PMP dan tergiur dengan 'jabatan' sebagai narasumber nasional. Tujuan saya yang utama adalah untuk lebih menyelami seperti apa Kurikulum 2013, bagaimana implementasinya, apa kendala-kendala implementasinya, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang masih memenuhi benak saya. Saya termasuk orang yang skeptis terhadap Kurikulum 2013, kendati pun saya sudah beberapa kali menerima pelatihan dan bahkan sudah diminta berkali-kali untuk menjadi narasumber pelatihan Kurikulum 2013. Saya ingin mengeliminir skeptis saya ini dengan datang ke acara ini. Saya sedang berusaha untuk menjadi orang yang lebih bersahabat dengan Kurikulum 2013. Saya sedang berusaha meyakinkan diri saya tentang 'kesaktian' Kurikulum 2013 ini untuk membangun generasi masa depan, karena setelah ini saya harus bisa meyakinkan orang lain, yaitu para instruktur nasional. Bagaimana saya bisa meyakinkan orang lain kalau saya sendiri tidak yakin? 

Masih ada banyak catatan penting dari hasil Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013 ini, yang mudah-mudahan bisa saya tuangkan dalam bentuk tulisan. 

Yang jelas, saya sedang berusaha untuk bermetamorfosis...

Hotel Garden Palace Surabaya, 13 April 2014

Jumat, 11 April 2014

Aarne Saluveer

Yogya mendung sore ini. Adzan maghrib baru saja berlalu. Saya keluar dari kamar Hotel Grand Quality, menarik tas koper kecil saya, turun ke lobi.

"Check out, mas." Saya menyerahkan kunci kamar ke resepsionis. "Masih ada teman di kamar, pulang besok".
"Baik, bu."
"Bisa pesan taksi ke bandara, mas?"
"Bisa, bu."

Tidak berapa lama, mobil tiba. Alphard hitam. Oh, ternyata saya tidak sendirian. Ada pria bule tinggi besar berambut panjang yang akan bersama saya.

"Pak, saya mau mampir sebentar ke Gudeg Yu Djum, hanya mbungkus saja, saget?" Tanya saya pada supir. Saya merasa perlu bertanya karena saya bukan penumpang satu-satunya di dalam mobil itu.
"Saget bu, tidak apa-apa. Kan kelewatan"

Maka mobil pun melaju. Meninggalkan hotel yang asri itu. Si bule ada di sebelah kanan saya. Begitu tiba di Gudeg Yu Djum, saya minta izin ke abang bule itu.

"Excuse me, I will buy gudeg. It only takes a minute."
Dia menatap saya.
"Okay..."
"Thank you."
"Sorry, what would you buy?" Dia bertanya, persis ketika saya mau turun.
"Gudeg."
"What is it?"
"Gudeg is traditional food of Yogyakarta."
Dia manggut-manggut.
Ternyata dia penasaran, dan mengikuti saya turun.
Di depan etalase, saya menjelaskan kepadanya makanan yang berjejer, ayam, telur, tahu, tempe, nangka muda, yang semua rasanya manis.

Saya memesan satu paket gudeg. Sepuluh butir telur, ayam bagian dada dan paha, sambal goreng krecek. Si bule mengamati mbak bakul menyiapkan pesanan saya. Dia juga bertanya, apakah saya akan membawa pulang gudeg itu, ke mana saya akan terbang, dan menanyakan berapa jam waktu yang diperlukan sampai tiba di Surabaya. Saya katakan kalau saya akan terbang dengan waktu tidak lebih dari tiga puluh menit, dan oleh sebab itu, gudeg akan aman selama dalam perjalanan.

Karena dia sepertinya ingin mencicipi gudeg, saya menawarinya.
"Do yo want some? For yor dinner?"
"No no no, thank you."

Tentu saja saya tidak akan  memaksa. Tapi sejenak, dia bilang kalau dia tidak punya rupiah, dan apakah dia bisa membayar gudeg dengan Dollar Singapura. Spontan saya jawab, dia tidak perlu membayar, saya akan mentraktirnya. Dia menolak mentah-mentah. Maka saya tanyakan ke mbak bakul, apa bisa membayar dengan Dollar Singapura. Tentu saja, seperti yang saya duga, jawabnya tidak bisa. Kata mbak bakul, kalkulatornya tidak bisa ngitung.

Si bule pergi. Benar-benar tidak mau saya traktir. Bodohnya saya, harusnya saya menukar uang dollarnya dengan rupiah saya. Tak terpikir. Saya hanya berpikir, saya harus cepat-cepat, supaya tidak tertinggal pesawat. 

Tapi saya coba membelikan si Bule sekotak nasi gudeg. Dengan sedikit nasi dan paha ayam serta sebutir telur. Lengkap dengan sendok plastiknya. Spekulasi. Kalau dia tetap tidak mau, saya akan makan sendiri gudeg itu. Tidak masalah.

Di mobil, begitu saya duduk, si Bule menjelaskan, kalau dia punya cukup uang, tapi dalam bentuk Dollar Singapura. Dia tadi akan membeli gudeg dengan uangnya sendiri, dan dia katakan, saya tidak perlu membelikan gudeg untuk dia.

Saya lihat dia mungkin agak tersinggung, atau khawatir saya menganggapnya tidak punya uang. Saya segera menyadari, spontanitas saya untuk mentraktirnya tadi mungkin tidak berkenan. Beda budaya. 

"Of course you have money. Sorry, it was a spontaneity. We used to do that..." Saya mencoba menjelaskan, sebelepotan apa pun kata-kata saya. Tapi nampaknya dia paham. Mengangguk-angguk tanda mengerti. 

Lantas saya mengeluarkan sekotak gudeg. 

"It's for you."
"No no no...." Dia menolak lagi.  Tangannya mobat-mabit lagi.  "Yo don't have to do it for me."

Saya tetap menyorongkan gudeg itu di depannya. Kepalang tanggung. Kalau dia tetap tidak mau, saya akan berikan gudeg itu ke pak supir. 

"Come on, I bought this for you. Not because you have no money, of course you have a lot of money. It just a form of our kindness, Indonesian people, for you..."

Dia ragu-ragu.
"Come on..." Saya mulai main paksa. "Please...?"
Dia masih tetap ragu.

"The food is good. It's delicious. You may not like it because it tastes too sweet, but at least, you have ever tasted gudeg, traditional food of Yogyakarta. Please....?"

Dia menatap saya. Mungkin menyelidik ketulusan saya.

"Okay." Akhirnya diterimanya gudeg itu. "Thank you."
"You're welcome"
Lantas dia membuka dompetnya. Mencari-cari sesuatu. Sambil mengatakan kalau dia ingin memberikan sesuatu ke saya. Oh, ternyata dia mengambil sebuah kartu nama. Diserahkannya kartu nama itu ke saya.

Kami meneruskan ngobrol. Dia menceritakan tujuan kedatangannya ke Yogyakarta selama dua hari ini. Juga rencananya untuk meneruskan perjalannya besok ke Singapura. Ternyata dia pemusik. Dua hari ada event di Yogya, dua hari ada event di Singapura.
"So, you are a musician?" Tanya saya senang. Ingat Arga, anak saya,  yang suka musik.

Dia juga menanyakan tentang diri saya. Saya katakan kalau saya dosen, dan ke Yogyakarta dalam rangka menghadiri rapat. Dia tanya apa bidang saya. Waktu saya katakan 'food', dia jawab, pantas saya beli gudeg banyak. Saya jelaskan ke dia, "Ya, because, my husband and my son like gudeg very much."

"How many son do you have?" Tanyanya.
"One. Twenty two years old."
"Twenty two?" Dia seperti tidak percaya. Dia bilang, saya nampak terlalu muda untuk punya anak usia 22 tahun. 
"Really? Thank you."
Dia mengangguk-angguk sambil tertawa. Senang melihat tawanya.

Sayang waktu kami untuk mengobrol tidak banyak. Mobil sudah memasuki bandara. Saya harus bersiap turun. Si bule tidak ikut turun. Ternyata dia hanya ingin kota-kota saja, memanfaatkan waktunya sebelum besok terbang ke Singapura. 

Di ruang tunggu, saya membaca kartu nama si Bule. Namanya Aarne Saluveer. Oh, ternyata dia kepala sekolah sebuah sekolah musik. Principal of the Tallinn Music College. Alamat sekolah musik tersebut juga tertulis di kartu nama itu, di Estonia. Sekali lagi, saya ingat Arga. Entah kenapa, saya punya firasat, pertemuan saya dengan si Bule ini tidak akan berhenti sampai di sini. Siapa tahu Arga bisa belajar musik pada dia. Entahlah. Mungkin itu harapan saya saja. Tapi, ya, siapa tahu? 

Yogyakarta, 11 April 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 09 April 2014

Mamteng 5: Merawat NKRI

Ilugwa. Distrik ini merupakan salah satu dari lima distrik (kecamatan) di Mamteng. Empat kecamatan yang lain adalah Eragayam, Kelila, Kobakma, dan Megambilis. Kobakma adalah ibukota kabupaten. Dari kelima distrik tersebut, hanya Megambilis yang tidak digunakan sebagai wilayah pengabdian peserta SM-3T.

Mamteng sendiri merupakan pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya. Dibentuk pada tanggal 4 Januari 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008, bersama-sama dengan pembentukan 5 kabupaten lainnya di Papua. Peresmian Kabupaten Mamteng dilakukan oleh Mendagri Mardiyanto pada tanggal 21 Juni 2008.

Kami tiba di SMPN Ilugwa pada sekitar 14.20 WIT. Disambut oleh lima sekawan: Faishol, Muslimin, Fuad, Udin, Nurhasan. Anak-anak muda itu begitu ceria. Melihat keceriaan mereka, kelelahan sepanjang perjalanan seperti menguap seketika. Dengan sepenuh hati kami bersalaman, sarat kerinduan. Keharuan menyeruak di dada saya. Sekitar tujuh bulan yang lalu kami melepas mereka untuk mengemban tugas ini, menjadi guru pengabdi di pedalaman Papua. Saat ini, kami bertemu lagi, dan semua dalam keadaan baik, sehat, penuh semangat. Orang tua mana yang tidak bahagia melihat anak-anaknya sehat dan bersemangat?

Karena kami belum salat, kami minta izin untuk salat dulu. Di sebuah mes sekolah tempat tinggal mereka, kami bertiga, tanpa bu Lucia, salat berjamaah di salah satu kamar. Jama' takdim dhuhur dan ashar. Pak Prapto sebagai imamnya.

Selepas salat, setelah pak Prapto dan pak Beni keluar kamar, saya masih berlama-lama bersimpuh di atas sajadah. Saya mengamati isi kamar seluas sekitar 3x3 meter itu. Sebuah karpet yang mulai lusuh tergelar untuk menutupi lantainya. Di sisi kanan, kardus-kardus isi pakaian berjajar. Di sisi kiri, kardus-kardus isi bahan makanan dan buku-buku. Mi instan, minuman instan kemasan sachet seperti kopi dan teh, saus dan sambal botol, dan telur ayam. Tiga buah kasur busa tipis disandarkan di dinding kayu di samping jendela yang berkelambu lusuh. Di beberapa bagian dinding ada tulisan-tulisan penyemangat.

"Terima kasih Dikti, SM-3T, Unesa, Papua, Kab. Mamberamo T, Ilugwa." Itu bunyi salah satu tulisan. Di sisinya, berjajar tulisan bulan, mulai September 2013 sampai Agustus 2014. Tujuh bulan yang pertama sudah dicoret dengan spidol warna, menandakan tujuh bulan masa pengabdian yang sudah mereka lalui. Dengan demikian masih ada lima bulan lagi yang tersisa. Di sisi lain, tertulis: "Maju bersama membangun Ilugwa. 5 sahabat SM3T 2013".

Saya melipat mukena saya, memasukkannya ke tas. Mata saya berkabut. Di kamar yang sempit ini, mereka tidur bertiga. Jadi satu dengan bahan makanan, pakaian, dan buku-buku. Dua orang yang lain, tidur di kamar sebelah, kamar yang lebih sempit. 

Saya tidak sedang meratapi keadaan mereka. Tidak. Keadaan yang seperti ini masih terhitung jauh lebih baik dibanding dengan keadaan banyak kawan mereka yang pernah saya lihat di Sumba Timur. Saya sedang diliputi rasa haru, bangga, dan bersyukur, karena anak-anak muda itu telah mengambil keputusan yang tepat dalam hidup mereka. Menjalani masa pengabdian sebagai guru-guru yang ditugaskan di daerah terpencil seperti ini. Kesempatan ini akan memberinya banyak pengalaman lahir dan batin, membantu menempa dan mendewasakan jiwa mereka, melatih ketahanmalangan mereka. Tidak semua anak muda memiliki kesempatan emas semacam ini. Setidaknya, merekalah yang terpilih di antara ribuan anak muda yang menginginkan program tersebut. Hal itu dikarenakan mereka mampu menunjukkan kecerdasan, ketangguhan, dan komitmen. Selain itu, tentu saja, adalah takdir yang telah membawa mereka sampai di tempat ini.

Ya, Sang Takdir yang telah melukis hidup mereka. Siapa sangka, dalam usia muda mereka, ada kesempatan emas untuk terbang jauh dari tempat mana mereka berasal. Menyeberangi samudera luas, menembus hutan belantara, menuju titik paling timur Indonesia. Melihat Tanah Air yang begitu indah dan luas. Mengakrabi masyarakat dan budayanya yang begitu beragam. Menimba pengetahuan dan pemahaman akan arti indahnya keberagaman. Menghayati apa makna kebhinekaan. Membangun ke-Indonesiaan.

Dalam nuansa keberagaman seperti ini, saya jadi teringat salah satu istilah dalam pendidikan multikultural, yaitu melting pot. Dalam konsep ini, masing-masing kelompok etnis dengan budayanya sendiri menyadari adanya perbedaan antara sesamanya, namun justeru karena adanya kesadaran tersebut, mereka dapat membina kerukunan hidup bersama. Meskipun masing-masing kelompok mempertahankan bahasa serta unsur-unsur budayanya, tapi bila perlu, unsur-unsur budaya yang berbeda-beda tersebut ditinggalkan, demi menciptakan persatuan dan kesatuan. 

Anak-anak muda itu tidak hanya membawa misi sebagai pendidik. Mereka, lebih jauh, sedang melakukan sebuah gerakan merawat NKRI. Wilayah-wilayah dengan masyarakat termarginalkan itu, yang nyaris tak tersentuh oleh pembangunan dalam segala bidang itu, adalah bagian dari NKRI. Namun kemiskinan dan keterbelakangan telah membodohkan mereka, dan kehadiran para guru muda itu adalah lentera-lentera yang akan memerangi kebodohan itu. 

Saya keluar kamar. Bergabung dengan para guru dan kepala sekolah yang sudah ada di halaman sekolah. Sayang sekali kami tidak bisa melihat proses pembelajaran, karena sekolah sudah tutup. Meski begitu, berdialog dengan PJS kepala sekolah, yaitu ibu Yapina, dan beberapa guru, serta beberapa siswa, cukup melegakan kami. Juga bertemu dengan kepala suku, bapak Iyoglogo, yang juga sebagai ketua LMA (Lembaga Masyarakat Adat). Semua menyampaikan kebahagiaannya karena kehadiran para guru SM-3T. Semua menginginkan supaya program ini terus berlanjut, dan SMPN Ilugwa tetap digunakan sebagai sekolah penugasan. 

Bapak Iyoglogo, juga menyampaikan kata-katanya. Selama sekitar tujuh menit dia berbicara, dan karena dia menggunakan bahasa setempat, saya hanya bisa menangkap dua kata saja dari kalimat-kalimatnya yang panjang, yaitu: guru dan sekolah. Selebihnya, saya dan tim monev yang lain, tidak paham. Namun Ibu Yapina berbaik hati untuk menerjemahkan kalimat-kalimat panjang itu. Intinya, bapak kepala suku sangat bangga pada guru-guru SM-3T. Menurutnya, banyak guru asli Papua yang ditugaskan di sekolah ini, namun mereka datang semaunya, bahkan ada yang tidak pernah hadir, tidak peduli pada anak-anak dan sekolah. Oleh sebab itu, bapak kepala suku merasa sangat sayang pada guru-guru muda itu, karena justeru merekalah yang menyayangi dan mencintai para siswa dan sekolah. Mereka juga bergaul baik dengan masyarakat, serta siap membantu melakukan apa saja. 

"Kami sayang pada guru-guru SM-3T, karena justeru merekalah yang mencintai anak-anak kami, lebih dari guru-guru asli di sini". Begitu penjelasan bu Yapina.

Saya mengangguk-angguk tanda mengerti. Sangat mengerti. Etos kerja para guru di daerah 3T, saya sudah sangat paham. Saya sudah menjelajah di banyak pelosok 3T, dan seperti apa kinerja para guru, terutama guru putra daerah, yang bahkan sudah PNS pun, betapa sangat amat memprihatinkan. Seperti penyakit, ketidakpedulian mereka sudah pada level kronis sekaligus akut. 

Saya mengangguk-anggukkan kepala kepada kepala suku, dan mengungkapkan rasa terima kasih saya lewat mata dan bahasa tubuh. Dia memahami ketulusan saya, ketulusan kami. Dia berkata, "wah, wah, wah...."

Ilugwa, 2 April 2014. 15.00 WIT

Wassalam,
LN

Adikku Ingin Jadi Penulis

Adikku, Mariyatul Qibthiyah, adalah alumus Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Surabaya/Unesa. Tubuhnya kecil mungil, kulitnya bersih, pendiam tapi ramah, dan sangat halus budi pekertinya. 

Dia sekitar tiga tahun di bawah saya. Sejak menikah, dia tinggal di Bojonegoro bersama keluarganya. Saat ini, dia memiliki tiga anak. Anak pertama, perempuan, sekarang sedang menempuh pendidikan di sebuah pondok pesantren di Nganjuk, kelas 2 SMP. Anak keduanya, laki-laki, masih kelas 3 SD. Sedang yang terkecil, Aliya, perempuan, masih balita, 2 tahun.

Suaminya adalah seorang guru PNS di sebuah SMP Negeri di Bojonegoro. Juga alumnus IKIP Surabaya/Unesa, jurusan Pendidikan Sejarah. Keduanya bertemu saat sama-sama aktif di organisasi UKKI. 

Dik Utik, begitu saya memanggil adik saya itu, adalah orang yang tekun dan pintar. Pada awal-awal pernikahannya dulu, meskipun dia tidak bekerja di luar rumah, dia mengajar mengaji dan les Bahasa Inggris di rumah kontrakannya, di Bojonegoro. Namun setelah lahir anak pertamanya, dia fokus mengurus anak. Apa lagi setelah lahir anak kedua dan ketiga, waktu dan tenaganya didedikasikan sepenuhnya untuk mengurus suami dan anak-anaknya, serta mengikuti organisasi yang telah mempertemukannya dengan dik Antok, suaminya.

Beberapa waktu yang lalu, Dik Utik menyampaikan keinginannya untuk belajar menulis. Dia terinspirasi, salah satunya, dengan buku-buku yang saya tulis. Saya pun mendorongnya untuk mulai menulis. 

Tulisan pertamanya, sempat saya lemparkan ke mailing list keluarga Unesa. Ternyata responnya sangat positif. Karena dia dari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, respon positif dari para suhunya, antara lain dari Pratiwi Retnaningdyah dan M. Khoiri, begitu memotivasiya. 

Saya katakan ke Dik Utik, dia harus menulis karena dia punya potensi dan kemampuan untuk itu. Allah SWT sudah memberikan kemampuan, dan kita akan berdosa kalau kita tidak memanfaatkan kemampuan itu. Selain itu, dengan menulis, kita sedang menyiapkan sesuatu yang mungkin berguna untuk anak cucu kita, bahkan untuk agama, nusa dan bangsa. Menulis juga akan membuat kita selalu mengembangkan wawasan, karena tanpa wawasan yang baik, kita tidak akan bisa menulis dengan baik. Setidaknya, dengan menulis, kita tidak menyia-nyiakan apa yang sudah kita pelajari selama ini, yaitu keterampilan berbahasa.

Saat ini, di Utik sudah mengirimkan delapan tulisannya ke saya. Tulisan tentang kisah sehari-harinya, tentang renungan-renungannya. Tulisannya, menurut saya, cukup bagus, dan penuh hikmah. Bahasanya lancar, rapi, halus, sehalus pembawaannya. 

Kadang-kadang kalau dia lama tidak mengirimkan tulisannya, saya akan menagihnya. Seperti malam ini, karena sudah sekitar tiga minggu dia tidak setor tulisan, saya menanyakannya melalui SMS. "Endi tulisanmu yg lain, Nduk? Oktober diterbitkan. Jadi agustus kudu wis rampung, utk diedit, dilayout, diurus ISBN-nya, diterbitkan Oktober." Lantas ini jawabannya: "Sepuntene mandek dangu. Sakjane wonten ide tp dereng saget ngetik. Aliya nek ono wong mbukak laptop melu2 nyedak. Trs laptope ora entuk didemek utawa ditutal-tutul. Mbuh piye maksute. Mugi2 enggal saget nulis malih. Pangestune nggih.."

Saya memang menjanjikan ke Dik Utik, akan membukukan tulisan-tulisannya. Ya, kami sedang menyiapkan sebuah buku yang akan kami tulis berdua. Buku itu insyaallah akan kami terbitkan pada bulan Oktober tahun ini. Kebetulan, Dik Utik dan saya, samai-sama lahir di bulan Oktober. Jadi buku itu akan menandai ulang tahun kami berdua.

Buku yang kami belum tahu entah apa judulnya itu, akan menjadi kado kecil untuk keluarga besar kami. Kebetulan keluarga besar kami pada umumnya suka membaca, sehingga memberi hadiah buku, tentulah hal yang sangat berarti. Apa lagi kalau itu ditulis sendiri oleh kami berdua. Juga kado untuk para sahabat dan teman kami. 

Saya senang, meski Dik Utik adalah ibu rumah tangga yang begitu disibukkan oleh tiga anaknya yang masih kecil-kecil, tapi dia mempunyai komitmen untuk menyempatkan diri menulis. Saya bermimpi, suatu saat, adik saya yang manis itu benar-benar menekuni bidang tulis-menulis. Ketika anak-anaknya sudah besar, dia akan lebih banyak punya waktu untuk menulis. Tulisannya adalah tulisan yang penuh hikmah, sesuai dengan kapasitasnya sebagai ibu rumah tangga yang religius dan aktivis sebuah organisasi yang memberinya banyak pengalaman berharga. Saya tahu, dia bisa. Setidaknya sampai saat ini, dia sudah menunjukkan dia bisa menulis dengan baik.  

Semoga.

Surabaya, 6 April 2014

Wassalam,
LN

Menulis sebagai Tagihan

Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba terpikir di benak saya, untuk mewajibkan setiap peserta SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal) Unesa, agar membuat minimal dua buah tulisan khas (feature)tentang pengalaman mereka selama mengikuti program tersebut. Waktu itu, saya hanya berpikir, sayang sekali kalau pengalaman-pengalaman mereka selama setahun mengabdi di daerah 3T yang penuh dengan pernak-pernik itu menguap begitu saja. Sayang sekali kalau tidak diabadikan. Padahal sebagian besar pengalaman itu begitu luar biasa. Mengharukan, menggemaskan, memprihatinkan, sekaligus menginspirasi. 

Pucuk dicinta ulam tiba. Pembantu Rektor I, Prof. Dr. Kisyani, memiliki keinginan yang sama. Bahkan beliau membuka pintu lebar-lebar untuk membiayai penerbitan buku kumpulan pengalaman pengabdian itu. Kebetulan pada hampir tiap tahun, beliau mengalokasikan sejumlah dana dari Bidang I untuk penerbitan buku. Program ini tentu saja sudah jelas maksud dan tujuannya, yaitu menggairahkan budaya menulis di kalangan mana pun di lingkungan Unesa, baik dosen maupun mahasiswa, termasuk peserta SM-3T juga.

***

Program SM-3T sendiri adalah sebuah program yang diluncurkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) sejak tahun 2011. Sebuah program yang merupakan salah satu perwujudan Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI). Penanggung jawab program ini adalah Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Diktendik), Dikti. 
Sasaran program SM-3T yaitu Sarjana Pendidikan yang belum bertugas sebagai guru, untuk ditugaskan selama satu tahun pada daerah 3T. Salah satu misi program tersebut adalah membantu mengatasi kekurangan guru di daerah 3T, sekaligus mempersiapkan calon guru profesional yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap peduli terhadap sesama, serta memiliki jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa. Muaranya adalah membawa anak-anak di ujung negeri itu maju bersama mencapai cita-cita luhur seperti yang diamanahkan para pendiri bangsa Indonesia.

Daerah-daerah 3T yang secara administratif maupun realitasnya berada di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memiliki berbagai permasalahan dalam peyelenggaraan pendidikan. Salah satu permasalahan yang sangat dominan adalah yang terkait SDM guru, antara lain meliputi kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification),  kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched). Permasalahan yang lain adalah angka putus sekolah yang juga masih relatif tinggi, hal ini memperparah rendahnya angka partisipasi sekolah.

Oleh sebab itu, peningkatan mutu pendidikan di daerah 3T perlu dikelola secara khusus dan sungguh-sungguh, agar daerah 3T dapat maju bersama sejajar dengan daerah lain. Hal ini harus menjadi perhatian khusus berbagai pihak, termasuk Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, mengingat daerah 3T memiliki peran  strategis dalam memperkokoh ketahanan nasional dan keutuhan NKRI. 

***

Sejak diluncurkan pada tahun 2011, program SM-3T menjadi salah satu program unggulan Kemendikbud.  Ada 12 Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang ditunjuk Dikti sebagai penyelenggaranya, salah satunya adalah Unesa. Selanjutnya sejak tahun kedua (2012), LPTK penyelenggara meningkat menjadi 17. Kuota yang disediakan pemerintah adalah untuk 3000 peserta setiap tahun. Para peserta diseleksi dengan ketat melalui berbagai tahapan, mulai dari seleksi administrasi, tes potensi akademik, tes bidang studi, tes wawancara, dan tahap prakondisi. 

Tahun pertama, 2011-2012, SM-3T Unesa mengirimkan 241 peserta ke Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Selama setahun para peserta SM-3T ini mengabdikan dirinya di Tanah Marapu tersebut.

Pada angkatan kedua (tahun 2012-2013), SM-3T Unesa memiliki 4 wilayah penugasan, meliputi Sumba Timur, Maluku Barat Daya (MBD), Talaud, dan Aceh Singkil. Sebanyak 178 peserta disebar ke empat daerah 3T tersebut. Rinciannya, 73 orang di Sumba Timur, 33 orang di MBD, 30 orang  di Talaud, dan 42 orang di Aceh Singkil. 

Saat ini, adalah pelaksanaan Program SM-3T angkatan ketiga (2013-2014). Peserta dari Unesa sebanyak 190 orang, dan tersebar di enam kabupaten. Rinciannya, Sumba Timur sebanyak 79 orang,  Aceh Singkil 25 orang, Talaud 19 orang, MBD 26, Mamberamo Tengah 20, Mamberamo Raya 19.

Sebagai ‘reward’ dari proses yang telah mereka lalui, peserta SM-3T akan menempuh Pendidikan profesi Guru (PPG) di LPTK. Saat ini, peserta PPG SM-3T untuk angkatan pertama sudah lulus, dan sedang berlangsung PPG SM-3T untuk angkatan kedua.  Sebagai bukti bahwa mereka telah menyelesaikan program PPG adalah dimilikinya sertifikat sebagai guru profesional.

***

Selama di tempat pengabdian, para peserta SM-3T selain harus melaksanakan tugas dalam bidang pendidikan, mereka juga harus melakukan tugas di bidang sosial kemasyarakatan. Semua kegiatan mereka harus dilaporkan. Laporan ditulis dalam bentuk catatan harian, laporan tengah semester dan laporan akhir semester. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), media pembelajaran, evaluasi, dan berbagai bukti fisik lain musti dilampirkan. Seluruh tagihan tersebut sudah dilengkapi dengan panduan dan format penulisannya. Semua tagihan ini juga merupakan tagihan standar Program SM-3T secara keseluruhan, di semua LPTK penyelenggara SM-3T.

Khusus SM-3T Unesa, ada tagihan tambahan, yaitu setiap peserta harus menyerahkan minimal dua tulisan dalam bentuk feature. Satu tulisan ditagih di semester pertama, dan satu tulisan di semester kedua. Feature ini, sebagaimana tagihan yang lain, hukumnya wajib. 

Tidak bisa tidak, peserta pun terpaksa harus menulis. Pengelola Program SM-3T Unesa akan mengecek semua tugas tiap peserta, dan kalau ada yang belum menyerahkan feature, maka yang bersangkutan akan ditagih terus, sampai akhirnya dia harus menyerahkan. Selama yang bersangkutan belum menyerahkan feature, maka dia dianggap belum memenuhi tugas-tugasnya. 

Tidak semua tulisan peserta baik dan layak. Bahkan para peserta yang dari program studi bahasa pun, tidak berarti terampil menulis. Banyak dari tulisan mereka harus disunting habis-habisan agar pantas untuk dibukukan. Sebuah pekerjaan berat tentu saja bagi pengelola SM-3T.

Untunglah ada Rukin Firda dan Fafi Inayatillah, dua orang alumni Unesa yang selalu siap membantu untuk melakukan penyuntingan. Rukin Firda adalah wartawan senior Jawa Pos yang sempat turun langsung ke daerah pengabdian di Sumba Timur, sehingga dia tahu persis seperti apa kondisi di sana. Hal ini tentu saja sangat membantu dalam proses penyuntingan. Sedangkan Fafi Inayatillah adalah mahasiswa S3 Pendidikan Bahasa Unesa, yang saat ini sedang melakukan penyuntingan untuk buku pengalaman para peserta PPG (Pendidikan Profesi Guru) angkatan pertama. 

Syukurlah, untuk angkatan pertama (2011), telah dihasilkan dua buku: "Ibu Guru, Saya Ingin Membaca" dan "Jangan Tinggalkan Kami". Buku yang lain, yaitu "Setahun Hatiku untuk Sumba", merupakan tulisan penulis tunggal, yaitu Ali As'ari. Buku "Senandung Anak Sulung", merupakan antologi puisi yang dihasilkan oleh peserta PPG SM-3T angkatan pertama dari Prodi Bahasa Indonesia. Ada juga buku "Berbagai di Ujung Negeri", yang merupakan kumpulan tulisan pengalaman saya saat melakukan kunjungan ke berbagai daerah 3T. 

Ternyata, ketika atmosfir cinta menulis itu dibangun, hal ini mampu memberikan inspirasi bagi munculnya para penulis baru. Dua buah buku yang sudah disebut di atas. "Setahun Hatiku untuk Sumba" dan "Senandung Anak Sulung", adalah buku yang ditulis atas inisiatif pribadi para penulisnya. Mereka tidak perlu didorong-dorong untuk menulis. Saat ini pun, para alumni peserta SM-3T angkatan kedua, yang sekarang sedang menempuh PPG, juga tengah menghimpun puisi-pusi yang mereka hasilkan selama mengabdi di tempat penugasan, dan akan diterbitkan sebagai buku antologi puisi.

Saat ini, sebuah buku yang merupakan kumpulan pengalaman peserta SM-3T angkatan kedua, sedang dipersiapkan dengan penyuntingnya Rukin Firda dan saya sendiri. Buku yang lain, yang merupakan kumpulan pengalaman peserta PPG angkatan pertama, juga sedang dipersiapkan, dengan penyuntingnya Fafi Inayatillah dan juga saya sendiri. Selain Rukin Firda dan Fafi Inayatillah, Abdur Rohman, alumnus Unesa juga, sangat berperan dlam membuat layout, desain sampul buku, serta proses pencetakan dan penerbitan 
buku-buku tersebut. 

Menulis memang harus dipaksa bagi orang-orang yang tidak suka atau tidak terampil menulis. Kemampuan menulis merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap orang bila dia ingin bisa bertahan dalam era saat ini dan ke depan. Lebih-lebih bagi seorang calon guru, kemampuan menulis harus dikembangkan dan dilatihkan serta menjadi tuntutan, karena menulis berarti melatih kemampuan berpikir kritis serta pemecahan masalah. Merujuk pendapat Wagner (2008) yang mengemukakan konsep 'the survival skills for new generation', bahwa keterampilan-keterampilan penting untuk bisa bertahan hidup pada generasi baru ini antara lain adalah  critical thinking and problem solving serta effective oral and written communication. 

Jadi, ingin bertahan hidup? Maka menulislah.

Surabaya, 6 April 2014

Wassalam,
LN

Selasa, 08 April 2014

Baca, Baca, Baca!!!

Salah satu tagihan akhir mahasiswa adalah menulis tugas akhir atau skripsi. Di Unesa, pada umumnya, tugas akhir (TA) merupakan tagihan untuk mahasiswa program D3, sedangkan menulis skripsi merupakan tagihan untuk mahasiswa S1.

Menulis TA dan skripsi memerlukan keterampilan yang kompleks. Tidak hanya menyangkut wawasan dalam bidang kajian yang akan ditulis, namun juga kemampuan memahami dan melaksanakan penelitian. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah keterampilan menulis itu sendiri.

Sebagai mahasiswa semester terakhir, seharusnya kemampuan menulis sudah dimiliki, setidaknya keterampilan menulis dasar. Sejak semester awal, tugas-tugas yang berkaitan dengan membaca dan menulis sudah sering diberikan oleh dosen, misalnya dalam bentuk membuat ringkasan, menyiapkan makalah untuk presentasi, membuat proposal dan laporan kegiatan kunjungan atau karyawisata, membuat perencanaan bisnis dan laporannya, dan sebagainya. Namun ternyata, tidak semudah itu melatih keterampilan menulis mahasiswa meskipun semua proses tersebut sudah dilalui. Berbagai hal, baik dari keterbatasan dosen maupun mahasiswa sendiri, seringkali menjadi kendala dalam penulisan TA atau skripsi. 

Pada awal penulisan, mahasiswa cenderung dangkal dalam membuat rasional pentingnya ujicoba atau penelitian, tidak mampu mengidentifikasi masalah, tidak tajam dalam mendeskripsikan masalah, terkesan dipaksakan dalam menyodorkan alternatif pemecahan masalah. Landasan pustaka juga miskin referensi, kalau pun ada, lebih banyak sebagai tempelan, sangat kurang adanya analisis dan atau sintesis atas teori-teori yang digunakan sebagai landasan, tidak berhasil membuat kerangka berpikir, dan pada akhirnya gagal merumuskan hipotesis atau pertanyaan penelitian.

Belum lagi masalah tata tulis. Penulisan tanda baca seperti titik, koma, tanda tanya, titik dua, masih sering terjadi kesalahan. Membedakan awalan dan kata depan, masih banyak yang belum bisa. Membuat kalimat, masih banyak yang kacau strukturnya. Tidak memahami apa itu paragraf dan bagaimana seharusnya sebuah paragraf. Lebih-lebih dalam masalah keruntutan alur pikir, kecermatan dalam membuat kutipan, dan lain sebagainya, semuanya seperti mengajari mulai dari nol.

Khusus untuk referensi, hampir semua dosen pembimbing, khususnya dosen pembimbing mahasiswa S2,  menuntut mahasiswa tidak hanya mengandalkan pada buku-buku, namun juga memperkaya dengan artikel-artikel hasil penelitian dari jurnal, baik jurnal dalam negeri maupun luar negeri. Kemutakhiran juga menjadi tuntutan, buku atau jurnal yang diterbitkan sebelum tahun 2000, tidak diperkenankan. Sumber referensi bila diambil dari internet, tidak boleh dari wikipedia, blog dan sumber yang tidak jelas siapa penulisnya; tetapi harus diambil dari e-journal atau journal online. Hindari sumber referensi yang anonim.

Orisinalitas juga selalu menjadi perhatian bagi setiap dosen pembimbing. Ide, kalau pun bukan sama sekali baru, mahasiswa harus mempu mendeskripsikan 'state of the art' dari penelitiannya. Untuk itu dia harus mengkaji penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan, sehingga dia bisa menunjukkan di mana kebaruan (novelty) dari penelitian yang akan dilakukannya. Juga kejujuran dalam menuliskan sumber-sumber referensi. Apa lagi pada saat-saat sekarang ini, plagiasi merupakan isu yang sangat krusial. 

Perlu kesabaran, ketelatenan, dan kemampuan memberikan motivasi saat kita membimbing mahasiswa dalam mengerjakan TA atau skripsinya. Pada awal-awal pembimbingan, setelah melihat bagaimana kualitas tulisan mereka, saya selalu tekankan, supaya mereka bersabar. Saya mungkin akan memenuhi kertas-kertas konsultasi mereka dengan banyak catatan, coretan, dan mereka harus terbiasa dengan hal tersebut. Saya yakinkan kepada mereka, bahwa mereka memerlukan proses itu. Bila mereka memahami apa yang saya tuntut, mengikuti saran-saran saya, selanjutnya mereka akan tinggal jalan saja.

Membaca tulisan yang di dalamnya banyak terjadi kesalahan tata tulis membuat saya akhirnya lebih banyak fokus membetulkan kesalahan-kesalahan itu, dan menjadi kehilangan fokus pada konten. Maka saya harus tekankan kepada mahasiswa, jangan melakukan kesalahan yang sama, perhatikan catatan-catatan saya, dan benahi tulisan dengan teliti dan cermat.

Namun, tidak semua mahasiswa memiliki kesabaran untuk dibimbing. Seringkali mereka tidak mengindahkan masukan dosen pembimbing. Kesalahan-kesalahan yang sama terus dilakukannya. Penulisan tanda baca, penggunaan awalan dan kata depan, masih berkali-kali terjadi kesalahan. Struktur kalimat dan paragraf tidak kunjung rapi. Referensi masih tetap kering kurang gizi. Mereka terkesan meremehkan caatan-catatan dosen pembimbing, tidak melakukan pengendapan, tidak melakukan perbaikan sesuai saran-saran. Nampak sekali mereka tidak cukup berusaha. Kalau sudah seperti itu, saya juga habis kesabaran. 

Saya akan tulis di berkasnya dengan tulisan besar-besar: "Baca, baca, baca! Atau saya menyerah untuk membimbing Anda, dan silakan Anda cari dosen pembimbing yang lain!"

Tentu saja saya tidak serius dengan ancaman saya. Namun sepanjang pengalaman saya, dalam kondisi tertentu, mahasiswa harus diancam. Hal itu kita maksudkan untuk shock therapy. Dosen pembimbing tahu, pada kondisi seperti apa shock therapy itu harus dilakukan.  

Tak disangka, ternyata cara itu cukup manjur untuk meningkatkan kinerja mahasiswa. Begitu ada ancaman supaya dia cari dosen pembimbing yang lain, dia keder, dan akan jauh lebih hati-hati dalam menulis TA atau skripsinya. Tidak serampangan, tidak asal-asalan. 

Tulisannya akan lebih cermat dan rapi. Kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukannya, meski belum sepenuhnya hilang, sudah sangat berkurang. Dia juga terlihat berusaha untuk membaca lebih banyak referensi. Berusaha melakukan analisis dan sintesis, meski pada umunya, lebih banyak sekadar membuat kesimpulan dari berbagai pendapat para ahli atau dari berbgai teori yang . 

Tidak hanya dosen yang perlu kesabaran dalam membimbing, mahasiswa juga harus bersabar ketika dibimbing. Kesabaran itu akan mengantarkan pada hasil yang cemerlang. 

Tanggulangin, 6 April 2014

Wassalam,
LN