Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 10 Mei 2014

Sorong 6: Ke Raja Ampat

Pagi ini adalah acara puncak itu: upacara Hardiknas, di alun-alun Aimas, alun-alun Kabupaten Sorong. Tentu saja Mendikbud dan semua rombongannya ada di sana. Saya, seperti biasa, tidak betah hanya duduk. Setelah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, saya beringsut mendekati kerumunan wartawan yang ada di sekeliling panggung besar. Ikut memotret-motret apa pun pertunjukan yang digelar di atas panggung, termasuk sambutan demi sambutan. Saat seorang ajudan Mendikbud melihat saya, kebetulan dia mengenali saya, dia menggeser tubuhnya dan menyilakan saya berdiri di depannya. Saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Semalam, saya tidak bisa seleluasa ini. Semalam, di Rumah Makan Aquarius, digelar acara Silaturahim Mendikbud dengan Peserta SM-3T Wilayah Papua dan Papua Barat, sekaligus penganugerahan Rekor MURI kepada Mendikbud dan Dirjen Dikti, untuk pengiriman 7.962 Sarjana Pendidikan ke Daerah 3T. Saya didapuk sebagai pemandu acara. Weleh, jauh-jauh dari Surabaya ke Sorong, ternyata ada gunanya juga.

Selain sibuk memotret ke sana kemari, saya juga bergerak dari satu stand pameran ke stand pameran yang lain. Selain, tentu saja, di stand Pameran Foto SM-3T yang ada di ujung deretan. Stand SMK 2 Kabupaten Porong cukup menarik perhatian saya. Di sana ada pernak-pernik kebogaan, selain juga kecantikan dan kebusanaan. Seorang guru, Ibu Butar Butar, memamerkan produk jus buah merah segar. Wow, tentu saja saya tertarik. Segelas jus buah merah yang segar lansung membasahi kerongkongan saya yang memang lagi kering-keringnya. Seorang guru yang lain, Ibu Widya, lulusan Tata Boga UM, meminta saya untuk berfoto bersama, ketika saya mengaku dari Tata Boga Unesa.

Usai upacara, Mendikbud dan rombongannya melanjutkan perjalanan ke UNIPA, karena di sana sudah ditunggu dengan serangkaian acara yang lain. Kami, tim Dikti, tidak bergabung, melainkan kembali ke hotel. Pagi ini, kami akan checkout, dan bersiap ke Raja Ampat.

Ya, Raja Ampat. Tak pernah terpikir suatu saat saya akan melancong ke Raja Ampat. Tempat yang menjadi impian para wisatawan itu. Jarak dan biaya untuk mencapainya seperti tak mudah bagi setiap orang untuk memperoleh kesempatan itu. Alhamdulilah, kuasa Allah, hari ini saya mendapatkannya. 

Sebenarnya, begitu tiba di Sorong, saya dan Prof. Selamat dari Unimed, sudah mencoba mencari tiket pesawat untuk pulang tanggal 10 Mei. Bermaksud untuk kembali ke tempat kami masing-masing. Kepikiran sama tugas-tugas dan keluarga. Ternyata tiket tidak ada, bahkan sampai tanggal 12 Mei, full booked. Saya SMS ke Mas Ayik: "Mas, haruskah aku ikut ke Raja Ampat?" Jawab Mas Ayik, "Ya, sayang, ikut saja, itu kesempatan buat kamu. Nikmati. Mosok uwong kok kerjo terus. Sekali-sekali rileks. Oke?"

Ya sudah, saya menyerah. Toh tiket pesawat juga tidak ada. Mau pulang pakai kapal laut? Weleh-weleh.... Kampul-kampul di atas laut malah tidak nyampai-nyampai....

Jadilah siang ini, kami ber-18 orang berada di dalam speedboat. Semua bagasi kami masuk. Tiga orang pemandu wisata, Dian, Rani, dan Ferdi, dengan seorang driver, menemani kami mengarungi Selat Dampiar, menuju sebuah pulau di Kabupaten Raja Ampat. Dua jam perjalanan untuk sampai ke Pulau Freewen. Serangkaian agenda sudah disiapkan oleh para pemandu. Sekarang, yang penting, tidur dulu. Mengendapkan kantuk, melenturkan otot-otot, menghimpun stamina yang sempat terforsir untuk berbagai kegiatan sebelumnya...

Sampai jumpa di Raja Ampat.

Selat Dampiar, Raja Ampat, 10 Mei 2014

Wassalam,
LN

Sorong 5: The Silent Hero

Pagi yang basah di Sorong. Mendung menggantung di langit. Meski begitu, cuaca tak menyurutkan masyarakat Sorong dan sekitarnya untuk memenuhi alun-alun. Pagi ini, Mendikbud akan melakukan jalan sehat, jalan keakraban bersama anak sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat Sorong. 

Saya bersama tim sendiri sudah sejak sekitar pukul 06.00 membaur di kerumunan itu. Dasar saya, setelah sebentar beramah-tamah dengan para pejabat kemdikbud, UNM, dan Pemda Sorong, saya menyelinap di antara kelompok-kelompok dengan kostum warna-warni itu. Memotret tulisan di punggung-punggung mereka.  


STKIP Muhammadiyah Sorong, SM-3T Universitas Negeri Gorontalo Angkatan III, SD Inpres 44 Klamalu, SD Inpres 41 Malawele Aimas Sorong, MI Al-Ikhtiar Al Ma'arif Kabupaten Sorong, MIN Malawele Kabupaten Sorong, SD Inpres 39, MB. Gema Harmoni SMP 3 Sorong, SMA Bethel Aimas Kabupaten Sorong, IGTKI PGRI Kabupaten Sorong, SD Negeri 27 Mariyai Kabupaten Sorong, dan seterusnya. Asyik juga mengumpulkan tulisan-tulisan di punggung-punggug itu. 

Jalan sehat berjalan lancar. Entah di mana teman-teman tim, saya melesat jauh meninggalkan mereka. Bak wartawan yang tidak jelas dari surat kabar apa, saya sibuk memotret ke sana kemari. Berlomba dengan belasan wartawan dari berbagai media. Masa bodoh. Memang hanya wartawan saja yang boleh menyusup ke mana pun dan potret sana-sini. Hehe. 

Jalan sehat diramaikan oleh kelompok drumband SMP 3 Sorong. Suaranya berdentum-dentum mengiringi lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional. Mayoretnya, laki-laki dan perempuan, lincah bergerak-gerak memberi komando. Ribuah peserta jalan keakraban mengikuti gerak langkahnya. Mendikbud dan para pejabat berada di barisan terdepan, persis di belakang barisan drumband.

Usai jalan sehat yang hanya memakan waktu sekitar satu jam, rombongan kembali ke alun-alun. Pameran foto SM-3T serta penulisan kesan dan kemanfaatan SM-3T berpadu dengan hiburan di panggung besar dan pengambilan undian berhadiah. Luar biasa ramainya. 

Saya seperti tidak sedang berada di Papua. Ini bukan daerah tertinggal. Bukan daerah yang minim penduduknya, bukan daerah yang masyarakatnya sulit diajak berubah. Lihatlah. Yang duduk di kursi-kursi itu saja, jumlahnya ada 1500 orang lebih. Ya, pasti. Karena kursi itu sudah disiapkan untuk 1500 orang lebih, yang terdiri dari anak sekolah, guru, orang tua dan masyarakat, untuk menuliskan kesan dan kemanfaatan program SM-3T. Belum yang di luar kursi-kursi itu, yang jumlahnya bisa dua tiga kali lipat. Gila. Sepanjang pengalaman saya menginjak daerah tertinggal, tidak pernah saya melihat kerumunan orang sebanyak ini.

Semua acara berjalan lancar. Tim sebelas, panitia inti yang menjadi event organizer acara, benar-benar menunjukkan ketangguhannya. Tim sebelas itu terdiri dari Akhiruddin dan sepuluh temannya yang lain, alumni SM-3T angkatan pertama. Mereka adalah alumni UNM, LPTK yang menjadi tumpuan bagi suksesnya seluruh rangkaian acara, mulai dari awal sampai akhir. Tim pusat, tanpa fasilitasi UNM, Pemda Sorong, dan seluruh masyarakat Sorong, tak akan bisa berbuat banyak.

Pagi ini, penganugerahan Rekor MURI untuk Kemdikbud, dengan penulisan 1500 kesan dan kemanfaatan Program SM-3T, diberikan oleh Bapak Paulus, perwakilan dari MURI, kepada Mendikbud, Prof. Dr. Muhammad Nuh. Sebanyak 1500 kesan yang ditulis di selembar kaus, terkumpul sebagai bukti kecintaan anak sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat Papua, pada SM-3T. Hampir semua kesan yang ditulis begitu mengharukan sekaligus membanggakan. Salah satu tulisan yang begitu mengesankan Mendikbud dan banyak orang adalah: "SM-3T, The Silent Hero." 

The Silent Hero. Ya, guru-guru itu tidak banyak cakap, tidak banyak bicara, tidak banyak publikasi, dalam segala keterbatasan dan kesulitan, mereka bergerak, mengetuk pintu hati setiap siswa, setiap pendidik, setiap orang tua, mengajak mereka semua untuk bangun, bangkit, pelan namun pasti, meninggalkan lorong-lorong gelap, menuju sebuah tempat yang terang-benderang. Guru-guru itu mengisi hati dan jiwa-jiwa yang kosong, memenuhinya dengan sentuhan penuh kasih sayang, dengan pengetahuan, keterampilan, dan kecintaan pada Tanah Air. Mereka datang di ujung-ujung negeri, merangsek menembus hutan belantara, melanggar derasnya sungai-sungai, menerjang terjalnya bukit dan batu karang, menyalakan pelita-pelita, dan memancarkan cahaya di mana-mana. Bagi mereka, menjadi guru di daerah-daerah tertinggal, bukan masalah pengorbanan, tapi masalah kehormatan. Kehormatan sebagai bangsa dan negara yang harus terus diperjuangkan. Mereka berjuang melalui jalan lain. Tidak mengangkat senjata, tidak membawa tombak dan anak panah, kecuali hanya sebuah pena, sebuah pelita, dan segunung ketulusan. Guru-guru itu, merekalah 'the silent hero' itu....  

Sorong, 9 Mei 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 08 Mei 2014

Sorong 4: Pesta Bakar Batu dan Dokter Peradaban

Sore ini Sorong hujan deras. Tapi kami musti berlomba dengan waktu. Bagi tugas dengan anggota tim. Sebagian mengikuti rombongan Mendikbud untuk acara di UNIPA. Sebagian berkonsolidasi untuk menyiapkan acara Pameran Foto dan Silaturahim besok.

Saya, Prof. Ngurah (Undiksha), Prof. Selamat Triono (Unimed) dan Pak Agus Susilohadi (Kasubdit PE Dikti), berangkat ke UNIPA. Dalam guyuran gerimis yang rapat, selepas maghrib, kami menumpang mobil FH UMS, Drivernya, Mas Umar, kelahiran Sorong, tapi berasal dari Enrekang, Sulawesi Selatan. Sejak kemarin, empat driver yang berganti-ganti memandu kami, tiga dari Sulawesi Selatan, satu dari Ciamis, Jawa Barat.

Jarak ke UNIPA lumayan jauh. Sekitar lima belas kilometer. UNIPA Kampus 1 ada di Manokwari. Yang di sini, khusus Fakultas Kedokteran, Kampus 2. Fakultas Pariwisata, Kampus 3, ada di Raja Ampat.  

Sampai di halaman UNIPA, aroma sedap makanan langsung tercium. Malam ini, selain peresmian Gedung Fakultas Kedokteran UNIPA, juga ada acara pesta bakar batu. Bakar batu merupakan budaya khas Papua yang melambangkan rasa syukur, persahabatan dan persaudaraan. Pesta ini biasanya dilakukan untuk acara pernikahan, kematian, dan hajatan yang lain, juga untuk menyambut tamu agung. 

Pesta Bakar Batu juga merupakan ajang untuk berkumpul bagi warga. Dalam pesta ini akan terlihat betapa tingginya solidaritas dan kebersamaan masyarakat. Makna lain dari pesta ini adalah sebagai ungkapan saling memaafkan antar-warga. 

Pada pesta bakar batu, biasanya makanan yang dimasak adalah babi, juga umbi-umbian dan sayur-sayuran seperti daun singkong dan daun pepaya. Namun untuk malam ini, tentu yang dimasak bukan babi, melainkan rusa. Rusa memang menjadi hewan buruan yang masih mudah didapatkan di Papua. Binatang itu, setelah disembelih, dibumbui, dimasukkan ke lubang yang sebelumnya sudah disiapkan. Lubang itu terdiri dari batu yang sudah dipanaskan, dilapisi dan pisang dan alang-alang. Daging yang sudah dipotong-potong dan ditata di lubang itu, ditutup lagi dengan daun pisang dan alang-alang serta bebatuan panas. Begitulah proses memasak berlangsung sekitar satu sampai satu setengah jam. Daging dan umbi-umbian yang dimasak mengeluarkan aroma sedap bersamaan dengan asap yang mengepul dari gundukan bebatuan itu.

Meski nampaknya sederhana, untuk menyelenggarakan pesta bakar batu, diperlukan persiapan yang cukup panjang. Prosesi Pesta Bakar Batu biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan, bakar babi, dan makan bersama. Tahap persiapan diawali dengan pencarian kayu bakar dan batu yang akan dipergunakan untuk memasak. Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan: pada bagian paling bawah ditata batu-batu berukuran besar, di atasnya ditutupi dengan kayu bakar, kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya lebih kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu. Kemudian tumpukan tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan batuan menjadi panas. Semua ini umumnya dikerjakan oleh kaum pria.

Di lain tempat, kaum wanita menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak. Babi disiapkan, demikian pula dengan sayur mayur dan umbi-umbian.

Kaum pria yang lain menyiapkan sebuah lubang yang besarnya sesuai dengan  jumlah makanan yang akan dimasak. Dasar lubang itu dilapisi dengan alang-alang dan daun pisang. Dengan menggunakan jepit kayu khusus yang disebut apando, batu-batu panas disusun di atas daun-daunan. Setelah itu dilapisi lagi dengan alang-alang. Di atas alang-alang dimasukan daging babi, ditutup lagi dengan dedaunan. Di atas dedaunan ditutup lagi dengan batu membara, dan dilapisi lagi dengan rerumputan yang tebal.

Tahap selanjutnya, hipere (ubi jalar) disusun di atasnya. Lapisan berikutnya adalah alang-alang yang ditimbun lagi dengan batu membara. Kemudian sayuran berupa iprika atau daun hipere, tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu parang), dan towabug atau hopak (jagung) diletakkan di atasnya. Kadang-kadang masakan itu ditambah dengan potongan barugum (buah). Selanjutnya lubang itu ditimbun lagi dengan rumput dan batu membara. Teratas diletakkan daun pisang yang ditaburi tanah sebagai penahan agar panas dari batu tidak menguap.

Tiap daerah dan suku memiliki istilah sendiri untuk merujuk kata bakar batu. Masyarakat Paniai menyebutnya dengan gapii atau mogo gapii, masyarakat Wamena menyebutnya kit oba isago, sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan barapen. Namun tampaknya barapen menjadi istilah yang paling umum digunakan. 

Dalam sambutannya, Mendikbud menyampaikan, dua pilar yang menunjukkan sebuah peradaban unggul atau tidak, adalah pendidikan dan kebudayaan. Kedua hal itu, pendidikan dan kebudayaan, terlihat jelas ada di Sorong. Geliat pendidikan dan kebudayaan begitu terbaca dan nampak di mana-mana. Peradaban Indonesia yang unggul diyakini akan terwujud di wilayah ini. 

Mendikbud juga menjelaskan, mengapa Puncak Hardiknas yang biasanya selalu diadakan di Jakarta, saat ini diadakan di luar Jakarta, dan Sorong menjadi pilihan. Tentu ada alasannya. Sorong ada di Papua. Waktunya dua jam lebih awal dari bagian Indonesia yang lain. Kalau dua jam ini lebih maju, semuanya akan lebih maju. Selain itu, Sorong letaknya persis di kepala burung, tempat otak dari burung itu. Begitulah kata Mendikbud. 

Di Sorong ini, juga ditemukan adanya kombinasi pilar pendidikan dan kebudayaan. Hal ini jugalah yang menyebabkan restu untuk  pendirian Fakultas Kedokteran di Papua diberikan. Bahkan tidak hanya restu, tapi juga dukungan penuh. Fakultas Kedokteran UNIPA diharapkan tidak sekedar mencetak dokter untuk manusia, tapi juga dokter untuk peradaban.

Dokter peradaban. Frasa ini tentunya sangat cocok dengan tema Hardiknas tahun ini: Pendidikan untuk Peradaban Indonesia yang Unggul. Pertanyaannya, seperti apakah peradaban yang unggul itu? Kapankah perdaban yang unggul itu bisa dicapai? Sementara masalah pemerataan pendidikan, kualitas pendidikan, keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan, tak juga kunjung teratasi dari negeri ini? Peradaban yang unggul, semua kita sedang menuju ke sana. Seluruh energi harus diarahkan ke sana. Meski jauh...namun itulah tujuan bangsa dan negara ini.
  
Sorong, 8 Mei 2014


Wassalam,
LN

Sorong 3: We Love Papua

Pagi ini, pukul 09.00 WIT, kami semua sudah siap di lobi. Direktur Diktendik, Prof. Supriadi Rustad, sudah hadir bersama para direktur selingkung Dikti yang lain, yaitu Direktur Litabmas dan Lemkerma. Direktur Belmawa, Dr. Illah Saillah, tidak hadir karena sedang berkunjung ke China. 

Ada beberapa mobil yang sudah disiapkan untuk kami semua. Enam mobil di antaranya disediakan oleh Universitas Muhammadiyah Sorong (UMS). UMS merupakan salah satu PT swasta yang cukup diminati di Sorong, saat ini mahasiswanya sebanyak lima ribu lebih. Selain UMS, ada juga STKIP Muhammadiyah serta Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), satu-satunya PTN di Sorong. Universitas swasta yang lain adalah Universitas Victory, Universitas Kristen Papua (UKIP), Poltek Saint Paul, IKIP Kristen Papua, dan sebagainya.

Kami bergerak menjemput rombongan Mendikbud di Hotel Royal Mamberamo. Tepatnya bukan menjemput, tapi bergabung. Bertemu dengan para pejabat kemdikbud yang lain. Juga bertemu Dr. Sukemi, staf ahli Mendikbud. Beramah-tamah sekedarnya, sebelum akhirnya konvoi bergerak menuju SD-SNP Satap Ninjemor 1, Distrik Moisegen, Kabupaten Sorong. Salah satu SD yang menjadi tempat mengajar para peserta SM-3T. Jaraknya sekitar 60 km, dua jam dari Kota Sorong.

Jalan menuju Kabupaten Sorong kebanyakan adalah jalan beraspal, cukup baik, dan beberapa bagian adalah jalur yang ramai. Sebagian lagi jalan berkelok-kelok, naik turun, berhutan, berbukit. Batas kota dan kabupaten, adalah Taman Wisata Alam (TWA), yang sampai saat ini konon masih menjadi sengketa, apakah TWA itu milik kota atau kabupaten. Di sepanjang jalan ditemui para penjual manggis, langsap, dan buah-buahan lain. Langsap merupakan buah asli Sorong, juga matoa dan durian. Sayang sekali saat ini sedang tidak musim matoa dan durian. Kalau durian bisa didapatkan di mana pun, tapi matoa bukanlah buah yang mudah diperoleh. Buah yang berwarna coklat tua, berkulit tebal, rasa dagingnya mirip kelengkeng itu, baru saya nikmati dua kali saja, saat seorang teman pulang dari Papua. Matoa, adalah hasil bumi khas Papua, selain buah merah, sarang semut dan daun gatal.

Mobil kami melaju cepat. Berlomba dengan mendung tipis yang menggantung di langit. Sorong, bila tidak sedang hujan, suhunya panas sekali. Kata seorang teman dari Dikti, panasnya Makassar digabung Surabaya belum dapat Sorong. Syukurlah hari ini agak mendung, membantu mengurangi panas yang biasanya sangat menyengat.

Jalan antara kota dan kabupaten dulunya merupakan jalan yang rawan dengan tindak kekerasan pemalakan. Para pemalak kebanyakan adalah penduduk asli yang tinggal di hutan-hutan. Mabuk juga menjadi 'budaya', yang sering menimbulkan banyak kericuhan. Beberapa waktu yang lalu, gara-gara ulah orang mabuk yang memukul imam masjid, sempat menimbulkan pertikaian sengit yang menjurus ke SARA.  

Kabupaten Sorong merupakan daerah transmigrasi, mayoritas penduduknya adalah orang Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur). Para transmigran itu datang sejak tahun 1980-an. Yang membuat kabupaten Sorong ramai pada awalnya adalah para transmigran ini. Saat ini, masyarakatnya sudah sangat heterogen, Jawa, Ambon, Sulawesi, China, dan penduduk asli (suku Moi), Ayamaru dan dari suku yang lain. Selain suku Moi, semua suku di sini dianggap sebagai pendatang.  

Jalan mulus hanya sekitar tiga puluh menit saja, sisanya adalah jalan-jalan rusak. SP1, SP2, SP3 dan seterusnya adalah lebih popules untuk menyebut wilayah daripada nama desa. SP singkatan dari satuan pemukiman. Di wilayah SP3, ada sejunlah rumah yang bentuk dan ukurannya seragam, dibangun oleh departemen sosial untuk para penduduk asli. Namun rumah-rumah itu tidak semua ditempati, melainkan disewakan pada orang lain, dan mereka kembali hidup di hutan-hutan.

Memasuki kawasan SP4, barisan anak sekolah dan guru-guru berjejer di sepanjang jalan, mereka bernyanyi sambil melambai-lambaikan bendera. Menyambut para pejabat negara yang hanya lewat di depan mereka sekejap saja. Sekedar melambai terus berlalu. Mengharukan, hanya karena jalan dan sekolah mereka dilewati konvoi mobil pejabat, mereka rela memasang ratusan bendera dan berbaris berpanas-panas di pinggir jalan. 

Saya sedang membayangkan menjadi mereka. Membayangkan bermimpi melihat wajah menteri. Begitu raungan sirine terdengar, tegopoh merapikan barisan, dan bersiap melemparkan senyum termanis. Dalam balutan seragam sekolah, keringat yang mengucur deras, haus dan mungkin lapar, tapi betapa puas karena sudah melambai pada belasan mobil yang lampunya terus berkelip-kelip itu. Di manakah pak Menteri? Pasti di mobil yang terdepan. Sudah berlalu. Mungkin yang tadi tangannya keluar melambai-lambai. Puas sekali rasanya bisa menyambut orang besar itu.  

Mobil terus melaju di jalan yang sangat berdebu. Anak-anak sekolah dan guru-guru terus berbaris dan tertepa debu-debu itu. Pohon-pohon sagu berbaris di kanan-kiri jalan. Menurut Mas Lestari, driver UMS yang bersama kami, ulat sagu disukai penduduk setempat. Dijual juga di pasar-pasar tradisonal. Saya jadi ingat, kemarin saya ke pasar Remu, untung tidak menemui ulat sagu. Tapi itu warning bagi saya, musti hati-hati dan waspada kalau berkunjung ke pasar tradisonal lagi, supaya saya tidak kaget dan lantas berteriak histeris saking ketakutannya. Ulat, apa pun jenisnya, adalah makhluk teraneh dan ter'nggilani' di mata saya. Saya lebih baik disuruh ngepel alun-alun daripada disuruh lihat ulat. Hehehe.

Gerimis menyambut kami saat mendekati Distrik Moisegen. Hanya sekejap. Berbaur dengan debu tebal dari jalan-jalan yang berbatu dan bertanah kering. Semakin mendekati tempat kegiatan, keramaian terlihat di mana-mana. Juga bunyi-bunyian dari alat-alat musik tradisional. 

Tari Yospan, tari penyambutan,  dibawakan oleh sekelompok anak sekolah. Dengan bertelanjang dada, dan tubuh dicat warna-warni, tarian itu rancak diiringi dengan bunyi-bunyian. 

Rombongan Mendikbud, Pemda Sorong, Universitas Negeri Papua (UNIPA), Univesitas Negeri Makassar (UNM) masuk ke ruang SD yang sudah disiapkan. Lagu Indonesia Raya dibawakan oleh sekelompok anak SMP diikuti oleh semua yang hadir. Sambutan wakil peserta SM-3T UNM, Suwandi, mencairkan sekaligus membekukan suasana. Cerita tentang perjuangannya mengabdi di tempat terpencil, sulitnya medan, harapan anak didik dan masyarakat, serta kerinduannya pada keluarga, memancing applaus sekaligus air mata. 

Dalam dialog Mendikbud dengan siswa, beberapa kelucuan terjadi. Mendikbud merangkul seorang siswa SD dan bertanya. 
"Siapa namamu?"
"Anita."
"Kelas berapa?"
"Empat."
"Berapa usiamu?"
"Tidak apa-apa."
"Lho?"
"Umur, berapa umurmu?"
Anita diam.
"Ya sudah, tidak pakai umur tidak apa-apa, yang penting sekolah ya?"
Semua tertawa.

Seorang anak laki-laki, juga ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh Mendikbud. Saat ditanya tentang nama dan kelas, dia bisa menjawab. Tapi begitu ditanya umur, dia bingung lalu menjawab: "Dua bulan." Tentu saja jawaban itu mengundang tawa. Giliran ditanya, "di mana rumahmu?", dia menjawab: "di belakang."

Meski mungkin terdengar lucu, tapi hati saya justeru menangis mendengar jawaban siswa itu. Betapa terbelakangnya mereka. Betapa tertinggalnya. Seperti itu, tentulah tidak hanya di tempat ini. Seperti itu, tersebar di ratusan bahkan ribuan tempat di berbagai pelosok Tanah Air.

Perjuangan para peserta SM-3T, bukan sekedar kisah pengabdian pada dunia pendidikan, namun kisah pengabdian untuk kemanusiaan. Lihatlah anak-anak itu, para orang tua itu. Mereka kotor, kurus kering, miskin. Mereka bisa jadi tidak peduli dengan pendidikan bukan karena tidak butuh.  Mereka hanya perlu hidup. Kebutuhan dasar mereka yang tidak pernah tercukupi memerlukan perhatian yang tidak kalah pentingnya dengan pendidikan itu sendiri. Belajar bagi mereka tidak hanya baca tulis hitung. Menggembala ternak, mencari kayu bakar, menanam ubi, mencari air, adalah bagian dari belajar itu sendiri, dan dengan itu semua mereka bisa bertahan hidup. 

Guru-guru SM-3T itu, mempunyai tugas berat untuk kedua-duanya. Memastikan mereka tetap bisa bertahan dalam kondisi serba kekurangan, sembari meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan, kesehatan dan kecintaan pada Tanah Air. Memastikan di dada mereka tetaplah merah putih, meyakinkan bahwa Papua adalah bagian dari NKRI, dan NKRI itu menghampar dari Sabang sampai Merauke.

Pendidikan di Papua harus bangkit. Tugas kita adalah menyentuh mereka, mengantarkan mereka, agar mereka bisa bangun, keluar dari matarantai ketidaktahuan, kemiskinan, menuju dunia terang-benderang. Salah besar jika kita, sebagai bangsa dan negara, tidak memberikan perhatian pada mereka.

Berapa banyak energi, berapa lama waktu, yang dibutuhkan untuk membuat Papua sejajar, atau setidaknya tidak ketinggalan terlalu jauh dengan saudara-saudaranya di belahan lain di Indonesia? Itu PR besar bagi negera besar bernama Indonesia. Tugas berat bagi siapa pun pemimpin negeri kaya raya tapi miskin ini. Namun, kebijakan apa pun yang diambil oleh para pemimpin negeri, pendidikan harus menjadi prioritas. Pendidikan telah terbukti mampu memangkas matarantai kemiskinan dan kebodohan. Pendidikan memberikan multiplier effect terhadap peningkatan kesehatan dan ekonomi, yang pada akhirnya mampu meningkatkan mutu SDM seutuhnya. 

Di akhir dialognya, Mendikbud mengatakan: "Kami bangga Papua, Kami cinta Papua. We love Papua, we love Indonesia". 

Sorong, 8 Mei 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 07 Mei 2014

Sorong 2: Daun Gatal

Daun gatal yang dijual penjual sayur.
Pagi ini, saya dan Ayu, salah satu Duta SM-3T (wakil dari UPI), mencuri kesempatan untuk naik taksi melihat-lihat Kota Sorong. Taksi, jangan dibayangkan sebagaimana taksi di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya dan kota besar yang lain. Taksi di Sorong adalah sebutan untuk angkutan kota (angkot), berwarna kuning, dengan simbol beragam, A, B, H, dan seterusnya.

Kami naik taksi dari depan hotel. Begitu duduk, saya bertanya pada pak supir, "mas, ini jurusan mana?" Tentu saja pak supir heran. "Lha ibu mau ke mana?" Tanyanya balik. "Kemana aja deh. Putar-putar Sorong."
Pak Supir yang baik hati itu, menjelaskan kalau taksi sedang menuju Pasar Remu.
"Pasar Remuk?" Tanya saya. "Pasar Hancur?"
Pak supir langsung tertawa, begitu juga penumpang di sebelahnya. Rupanya dia tahu juga kalau remuk itu dalam Bahasa Jawa artinya hancur.

Di Sorong, para pendatang menguasai hampir semua sektor. Mulai dari pasar tradisional, toko-toko kecil sampai mall, di hotel, di jalan-jalan, wajah-wajah yang bertebaran lebih banyak bukan wajah asli Papua. Mereka dari Jawa, Sulawesi, Maluku, Sumatra, dan beberapa pendatang dari bagian lain Indonesia. Jawa dan Sulawesi yang paling mendominasi. Meskipun begitu, penduduk asli, yaitu suku Moi, mayoritas  tetap eksis di antara para pendatang tersebut. Suku Moi pada dasarnya mudah berinteraksi dengan masyarakat luar, dan melebur, sehingga jumlah mereka yang meskipun tidak terlalu banyak tetap mendapatkan tempat dan berperan dalam pembangunan dan kemajuan kota. Bupati Sorong, Dr. Stevanus Malak, adalah orang asli suku Moi. Salah satu universitas swasta, Universitas Victory (Unvic), pemiliknya juga orang Moi bermarga Kalami. Kalagison, Osok, Kalami, adalah beberapa marga suku Moi yang tetap eksis di Sorong. Agama mereka yang fifty-fifty antara Kristen Protestan dan Muslim, membuat mereka tidak hanya memiliki para pendeta namun juga para ustadz.
    
Kami turun di Pasar Remu, setelah diberi petunjuk oleh pak supir dan seorang ibu, taksi lyn apa yang bisa kami tumpangi untuk kembali ke kawasan Yohan, tempat hotel kami. Ayu ragu waktu saya ajak masuk ke dalam pasar. Dia sudah bergidik duluan melihat kondisi pasar yang becek.

"Ayo, masuk. Kalau mau lihat apa-apa yang khas, di pasar tradisionallah tempatnya." Ajak saya pada Ayu. 

Di pasar, saya dan Ayu sibuk memotret-motret saja. Memotret komoditi yang dijual maupun penjualnya. Para perempuan berkulit hitam gelap berambut keriting. Ramah-ramah. Di depannya gundukan-gundukan berbagai sayur dan buah, ubi-ubian, ikan tongkol besar-besar yang sudah dipanggang, dan juga, yang selalu khas di wilayah timur, buah pinang dan sirih segar maupun kering. 

Para perempuan itu, kebanyakan bukan dari suku Moi, tetapi dari suku Ayamaru. Suku Ayamaru, Aitinyo, dan Aifat, mereka dari Sorong Selatan. Meski sirih pinang banyak dijual di mana-mana, tapi bertemu orang mengunyah sirih pinang tidak sesering di Jayapura, Sarmi atau di Mamberamo. Pengkonsumsi sirih pinang di sini lebih banyak para orang tua, dan jarang dikonsumsi para anak muda.

Salah satu jenis komoditas yang khas, yang belum pernah saya lihat di tempat lain, adalah irisan bunga pisang dengan daun pepaya. Pada wadah-wadah plastik, bahan untuk sayur itu dijual per gundukan. Sayang saya lupa tidak bertanya berapa harganya. 

Komoditas lain yang juga unik adalah daun gatal. Daun ini bentuknya mirip daun jati tapi bagian pangkalnya lebih lancip dan ukurannya juga lebih kecil. Daun-daun itu diikat setumpuk demi setumpuk, dan dari teksturnya saja sudah kelihatan kalau permukaannya sangat kasar. Saya bertanya pada ibu penjual berkulit hitam yang ramah, apa nama daun itu. "Daun gatal." Jawabnya. "Kenapa namanya daun gatal?" Tanya saya lagi. Dia minta saya menjulurkan tangan saya, supaya dia bisa menggosokkan daun itu. Tentu saja saya menolak.
"Mama dulu." Kata saya. "Kasih contoh." 
Ternyata ibu itu tanpa ragu-ragu menggosokkan tumpukan daun itu ke lengannya. Saya pun, meski agak ragu, menjulurkan lengan saya.
"Waw!" Kaget sekali saya, meski sudah menduga sebelumnya, begitu daun itu menggerus punggung tangan saya, tak ayal teksturnya yang kasar mengagetkan saya. Dan tak perlu menunggu lama, tangan saya langsung terasa gatal. Semakin lama semakin gatal. Beberapa menit kemudian bahkan keluar bintik-bintiknya, seperti habis kena ulat. 
"Sampai berapa lama gatalnya, Mama?" Tanya saya.  "Terserah ibu."
Terserah? Saya tidak paham maksud kata itu. Tapi saya tidak bertanya lebih lanjut, khawatir semakin tidak paham. Kata-katanya yang sepatah dua patah tidak terdengar jelas di telinga saya. 

"Ibu, kenapa sih mau digaruk pakai daun kasar begitu?" Protes Ayu. "Itu tangan Ibu jadi keluar bintik-bintik."
"Tenang aja, Ayu, pengalamannya ini yang mahal..."

Belakangan, saya bertanya pada driver dari Universitas Muhammadiyah Sorong (UMS) yang mengantar kami ke lokasi kegiatan, daun gatal ternyata fungsinya untuk menghilangkan pegal-pegal. Daun itu digosokkan ke punggung atau bagian tubuh yang capek, dia akan bekerja sendiri. Rasa gatal-gatal itulah yang menghilangkan pegal-pegal. 

Saya pikir, menarik juga daun gatal ini. Dia pasti punya kandungan yang berkhasiat obat, setidaknya obat pegal-pegal. Obat luar semacam balsam atau obat gosok. Saat saya coba googling, ternyata benar, daun dari tumbuhan famili Urticaceae ini memiliki kandungan kimiawi seperti monoridin, tryptophan, histidine, alkaloid, dan lain-lain. Kandungan ini disebut juga asam semut. Asam semut ini sendiri terkandung di dalam kelenjar duri pada permukaan daun. Saat duri lunak tersebut mengenai tubuh, asam semut dalam kelenjar itu terlepas dan mempengaruhi terjadinya pelebaran pori-pori tubuh. Pelebaran pori-pori ini disinyalir merangsang peredaran darah, dan alhasil, hilanglah pegal-pegal di bagian tubuh tersebut.

Papua Barat, seperti Indonesia pada umumnya, begitu kaya akan hasil alam yang memiliki banyak khasiat obat. Masih ingat buah merah dan sarang semut yang asli Papua dan memiliki khasiat menyembuhkan berbagai penyakit? Nah, saat ini wawasan saya tentang hasil alam khas Papua yang berkhasiat obat itu tambah satu lagi: daun gatal.

Sorong, 7 Mei 2014

Wassalam,
LN

Selasa, 06 Mei 2014

Sorong 1: Tidur Pulas Dulu

Hujan deras menyambut kami begitu Garuda tipe Bombardier yang kami tumpangi mendarat di Bandara Domine Eduard Osok. Waktu masih menunjukkan pukul 06.10, berbeda dua jam lebih cepat dari WIB. Perjalanan malam sejak berangkat dari Bandara Juanda pukul 23.30 semalam, transit di Bandara Sultan Hasanuddin Makasar selama sekitar satu jam, kemudian lanjut ke Sorong, cukup melelahkan saya. Apa lagi kondisi saya memang tidak terlalu prima, sejak dua hari yang lalu terus mengonsumsi obat flu dan vitamin C demi menopang aktivitas. Tapi udara Sorong yang sejuk cukup menyegarkan jiwa dan raga di pagi yang tidak terlalu pikuk ini.

Provinsi Papua Barat, dulu bernama Irian Jaya Barat, sempat diakui sebagai provinsi yang berdiri sendiri hasil pemekaran dari Provisi Papua pada 1999. Namun lantas ditangguhkan karena terjadi demonstrasi besar-besaran oleh warga Papua yang menolak pemekaran tersebut. Tahun 2003, pemekaran Irian Jaya Barat kembali diaktifkan oleh Presiden Magawati dan perlahan provinsi ini membentuk dirinya menjadi provinsi yang definitif. Nama Provinsi Papua Barat sendiri resmi diakui sejak 2007.

Nama bandara di mana pun selau mengusik rasa ingin tahu saya. Termasuk bandara di Sorong ini, Domine Eduard Osok (sebenarnya Dominique Edward Osok disingkat DEO). Ini pasti nama seseorang. Saya coba googling. Ternyata dia adalah pahlawan asal Papua. Hanya itu, selebihnya, belum berhasil menemukan informasi lain.

Bahwa DEO adalah nama pahlawan, siapa yang tidak tahu? Sama halnya nama sebagian besar bandara di tempat-tempat lain di Indonesia. Juanda, Adisucipto, Adi Sumarno, Abdur Rahman Saleh, Soekarno Hatta, Sultan Hasanudin, El Tari, Umbu Mehang Kunda, Ngurah Rai, dan banyak lagi.  

Sorong merupakan pintu gerbang bagi para wisatawan yang akan mengunjungi Raja Ampat. Ya, siapa tak kenal Raja Ampat? Salah satu destinasi wisata favorit bagi para pelancong. Surga bagi mereka yang hobi melakukan ekspedisi bawah laut, karena di sanalah, konon, tempat ekspedisi bawah laut terbaik di dunia. Terus-terang, kedatangan kami ke Sorong ini, bukan hanya karena diamanahi tanggung jawab untuk membantu panitia pusat dalam rangka Puncak Hardiknas yang akan dihadiri Mendikbud, namun karena iming-iming wisata Raja Ampat juga. Siapa tahu?

Bandara Sorong tidaklah sepikuk Sentani. Tidak nampak porter yang berserakan di mana-mana. Namun seorang petugas yang membawa selembar kertas bertuliskan nama ketua rombongan kami menentramkan hati. Kami, adalah delapan orang Dikti, satu orang dari Unimed, satu dari Unesa (saya sendiri) dan satu dari Undiksha. Dalam rangka Puncak Hardiknas yang dirayakan di Sorong, kami datang untuk mempersiapkan serangkaian acara yang sudah dirancang, bersama-sama dengan panitia UNM, PIH Dikbud, dan, tentu saja, bagian protokoler Kemdikbud.

Di bawah gerimis yang masih rinai, kami berkendara menuju Hotel Sahid Mariat, tempatnya tidak terlalu jauh dari bandara. Bukan hotel terbaik. Hotel Royal Mamberamo, hotel terbaik, sudah full-booked oleh rombongan Mendikbud. Tidak masalah. Yang penting, pagi sampai siang nanti, kami semua akan menikmati tidur yang pulas. Tidur pulas pertama di pagi pertama di Kota Sorong.

Tidur dulu ah......

Sorong, 6 Mei 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 04 Mei 2014

Memaknai Kehilangan

Siang kemarin, ketika saya sedang ada di acara peresmian gedung dekanat FMIPA, tiba-tiba saya ingat ibu (mertua) dan ingin meneleponnya. Saya keluar ruangan yang hiruk-pikuk karena campursarinya grup Bharada sedang manggung, untuk mencari tempat yang agak terhindar dari keriuhan.
"Nembe nopo, Uti?" Sapa saya pada ibu.
"Iki lho, Fi....resik-resik..." Lantas pecahlah tangis ibu. Menceritakan semua aktivitasnya sepanjang pagi sambil terisak-isak. Melipat baju-baju bapak, selimut, sarung, membenahi tempat tidur. Membayangkan bapak yang biasanya pada jam-jam seperti ini sedang duduk-duduk di teras di depan dapur sambil minum teh manis dilengkapi sepotong dua potong polopendem, menemani ibu yang lagi sibuk di dapur.
"Ti..." Lembut suara saya. "Uti tidak boleh terus-menerus sedih seperti itu. Bapak meniko sampun dipun pilihaken yang terbaik kalih Gusti Allah. Ingkang dipun suwun Uti, putro wayah, lak inggih meniko to? Sing paling sae kagem bapak..."
"Iyo, Fi...yo kuwi sing menghiburku. Tapi jenenge ati, Fi..."
"Uti berdoa terus kagem akung.."
"Uwis, Fi..., mesti tak dongakne...tapi aku kelingan terus bapak sak tingkah polahe, kebiasaane, remenane...."
"Inggih mesti, Ti... Tapi mboten sisah dipun inget-inget terus, didongakne mawon saben kemutan..."

Saya mengakhiri telepon setelah berhasil sedikit menenangkan ibu. Saya katakan ke ibu, saya dan Mas Ayik akan sowan nanti sore, dan tidur di Tanggulangin untuk menemani. Setelah berpulangnya bapak, saya dan Mas Ayik memang harus sering mondar-mandir dan tidur di Tanggulangin untuk menemani ibu.

Saya pernah kehilangan bapak (sendiri, bukan mertua). Ketika itu saya masih menempuh Program S2 di Yogyakarta, dan tidak sempat melihat bapak pada hari-hari terakhirnya. Saat pulang ke rumah, bapak baru saja selesai dimakamkan, tapi ratusan tamu masih memenuhi rumah dan halaman kami yang besar. Saya yang sempat sempoyongan dan tidak sadar, dibangunkan oleh ibu dan beliau menguatkan saya untuk bersabar dan bertahan. Ibu, yang saya pikirkan akan 'jatuh' karena kehilangan bapak, ternyata justeru yang menguatkan saya dan kami semua, anak-anaknya. 
"Alhadulilah, Nduk....bapak apiiiikkk kapundhute. Kowe ora usah nangis yo? Bapak wis kepenak. Awake dewe kabeh kudu bersyukur, bapak kepenak banget kapundhute. Mugo-mugo awake dewe kabeh yo iso dipundhut kepenak koyo bapak..."

Berhari-hari setelah itu, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun setelah meninggalnya bapak, ibu masih terus teringat bapak. Ya, namanya juga suami, belahan hati, yang telah puluhan tahun menemani membangun dan mengayuh bahtera rumah tangga, siapa pun akan mengalami hal yang sama. Terus teringat, terus terkenang, bahkan mungkin sampai mati. 

Tapi ada yang begitu mengagumkan pada diri ibu setiap kali teringat bapak. Caranya memaknai kesedihan dan rasa kehilangan. Suatu ketika, kami sedang menikmati makan bersama di meja makan, dan salah satu makanan itu adalah kesukaan bapak. "Dadi eling bapak...iki remenane bapak..." Kata saya sambil menunjuk gule kambing. 
"Bapak wis luwih enak dahare ning kono...ngersakke opo wae ono..." Tukas ibu. Wajahnya datar saja, tanpa kesedihan, malah menyungging senyum. "Bar maem ndang podho salat, ojo lali kirim Fatihah ning bapak."

Suatu saat, ibu berkata. "Iki lho, bapak iki lho....wis kapundhut isih saget nafkahi anak bojo terus. Alhamdulilah, Gusti... Panjenengan Ingkang Moho Sugih." Waktu itu ibu habis terima uang pensiun. Bapak adalah guru PNS, sehingga beliau masih memperoleh uang pensiun bahkan saat beliau sudah berpulang.

Saya dan kami semua tidak pernah melihat ibu begitu terbebani dengan meninggalnya Bapak. Meskipun kami yakin, pasti ibu sangat merasa kehilangan. Sangat sedih. Tapi ibu tidak pernah menunjukkan rasa khilangan itu dengan menangis, mengeluh, apa lagi menyesali meninggalnya bapak. Ibu meyakini, semua yang sudah digariskan oleh Allah untuk bapak, untuk kami semua, adalah yang terbaik. "Gusti Allah wis noto kanthi apik." Begitu selalu yang dikatakan ibu. "Awake dewe sing syukur. Bapak wis kepenak. Mugo-mugo awake dewe kabeh ngko yo kepenak. Kepenak ndunyo akhirat sak anak bojo lan kabeh keturunan."

Semangat ibu seperti tak pernah padam dan bahkan terus memberikan energi pada kami semua. Benar sekali apa yang dikatakan orang bijak. Selalu berpikir positif, banyak bersyukur, akan membuat orang yang bersangkutan selalu memancarkan energi positif. Itulah yang kami rasakan dari ibu. Senyumnya, kekuatan batin sekaligus kepasrahannya, adalah energi buat kami semua untuk terus memaknai hidup ini dengan segala hal yang berarti demi kehidupan yang lebih abadi kelak.

Memang beda sekali dengan cara ibu (mertua) dalam memaknai kehilangan bapak (mertua). Kesedihan dan kedukaan yang mendalam menjadi warna-warna dominan di hari-hari setelah kepergian bapak. Dalam pembicaraan melalui telepon, dalam keseharian, ibu lebih banyak menangis. Membalut setiap ucapan, ingatan, dengan kesedihan dan kedukaan. Kadang terselip penyesalan kenapa tidak begini, tidak begitu. Kadang mempertanyakan, kenapa begini, kenapa begitu. 

Setiap kali kami ingatkan, bahwa inilah hal terbaik untuk bapak dan kami semua, ibu bisa menerima dengan mudah. Ya, karena ibu sebenarnya juga tahu betul tentang hal itu. Namun pemahamannya itu, sayang sekali, belum diejawantahkan dari caranya memaknai kesedihan dan rasa kehilangannya. Belum bisa membalut kesedihannya dengan senyum tulus yang menunjukkan keihklasan dan kerelaan. Siapa pun yang di dekatnya akan menjadi tumpuan kesedihan dan keluh kesahnya. Meskipun ibu mengatakan bahwa ibu sudah ikhlas bapak pergi, namun sikap dan ucapannya tidak mencerminkan keikhlasan itu.

Kami yakin, ibu hanya perlu waktu untuk merasa "lego lilo". Mudah-mudahan segera. Dengan keteguhan hati kami anak-anaknya, ibu akan menjadi kuat dan kembali 'hidup'. Ya, karena roda terus berputar, dan hidup harus terus berlanjut.

Begitulah, setiap orang memiliki cara yang tidak sama dalam memaknai sebuah kehilangan. Namun setiap orang yakin, kehilangan adalah suatu keniscayaan. Tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali harus terus bersyukur bahkan saat kita harus kehilangan. Rasa syukur itu akan menjadi energi abadi dalam diri kita, dan akan selalu memancarkan energi bagi orang-orang di sekitar kita. Meski kehilangan, kita harus tetap dapat memberikan makna dan manfaat bagi orang lain. Rasa syukur itulah kuncinya....


PPPG, Kampus Lidah Wetan, 4 Mei 2014

Wassalam,
LN