Seperti mimpi, tiba-tiba kami sudah di Amsterdam. Bersama bu Sri
Handajani, selepas konferensi sore tadi, kami langsung menumpang Uber menuju
Vienna International Airport. Lantas pada sekitar pukul 20.30, kami menumpang pesawat
easyJet menuju Amsterdam. Dua jam perjalanan kami tempuh nyaris dengan tidur
pulas. Kelelahan setelah beraktifitas seharian, serta efek jetlag yang tak juga
pergi, membuat kami benar-benar menikmati penerbangan ke Amsterdam dengan
sangat nyaman. Saat tiba di Bandara Schipol, Amsterdam, sekitar pukul 22.30,
kondisi kami sudah jauh lebih segar.
Rob Van Erven, sahabat keluarga kami, yang menjadi alasan saya
mengunjungi Belanda, sudah menunggu di depan pintu keluar bandara. Senang luar
biasa rasanya hati saya bertemu Rob. Rob adalah teman kerja Mas Ayik, suami
saya, di PT. Jacob. Dia konsultan di perusahaan tersebut. Sekitar setahun yang
lalu, kontrak kerja dia selesai. Selama bekerja di Surabaya, keluarga kami
adalah keluarganya. Dia memanggil ‘Ibu’ pada ibu kami. Bersepeda, camping,
travelling, selalu bersama kami. Dia juga menjadi guru anak-anak yang belajar
di rumah kami setiap malam. Bahkan dalam kondisi hujan pun, dia datang untuk
menemui anak-anak. Saat Arga dan Lita menikah, dia juga menunggui di Ponorogo
mulai dari persiapan dan ijab qabul di masjid. Oh ya, ke mana-mana, selama di
Surabaya, Rob selalu bersepeda. Sepeda yang digunakannya juga sepeda kami.
Sering sekali tiba-tiba dia datang di rumah pada minggu pagi, dan menikmati
makan pagi bersama kami. Pernah juga suatu ketika, saat keluarga besarnya dari
Belanda datang ke Surabaya, mereka semua berkumpul di rumah kami untuk
menikmati makan malam. Pendek kata, Rob sudah menjadi bagian dari keluarga
kami.
Sehari sebelum saya berangkat ke Vienna, Rob tiba-tiba menyapa
saya. “Hi Luth, how is everything with you and Baskoro?” Lantas kami
berbincang, dan saya juga katakan bahwa saya akan ke Vienna untuk mengikuti
konferensi. “It’s close to us. One hour fly.” Katanya. Lantas saya katakan
kalau sebenarnya saya ingin ke Belanda tapi tidak tahu bagaimana caranya. “Ok,
I will see what I can do.”
Dengan bantuan Rob, akhirnya kami memperoleh tiket pesawat dari
Vienna ke Amsterdam dan sebaliknya. Dengan harga tiket sekitar enam juta rupiah
atau 334€. Tapi Rob bilang, “you do not need to pay the ticket, you are part of our
family.” O o….seperti mendapatkan durian runtuh lagi rasanya. Saya memaksa
untuk membayar tiket dan Rob tetap menolak. Allah memang Maha Pemurah. Mimpi
mengunjungi Negeri Kincir Angin tiba-tiba terwujud. Gratis lagi.
Perjalanan dari Schipol Airport di Amsterdam menuju Tilburg, kota
tempat tinggal Rob, memerlukan waktu sekitar satu jam. Rob menyetir, saya duduk
di sebelahnya, dan Bu Yani duduk di jok belakang. Tidur pulas lagi. Saya yang
sudah mulai sangat mengantuk lagi, harus bertahan untuk menemani Rob membelah
malam yang dingin dan sepi. Kami membincang apa saja, tentang keluarga,
anak-anak, dan juga meninggalnya ibu kami. Nampak sekali betapa Rob sangat
merindukan Indonesia, makanannya, dan orang-orangnya. Dia ingin suatu ketika
bisa kembali.
Kami diinapkan di rumah Mom Ans, ibunya Rob. Seorang wanita 77
tahun yang masih cantik, sehat, yang saat kami datang, beliau sedang duduk di
depan televisi sendirian. Mom Ans tinggal sendiri di rumah yang sangat nyaman
sanyaman villa itu. Rumah Rob tidak terlalu jauh dari rumah Mom Ans. Dengan
sepenuh hati Mom Ans memeluk saya, seperti seorang ibu yang sudah lama tidak
bertemu putrinya. Begitu juga dengan Bu Yani, dipeluknya dengan sepenuh hati,
meski ini pertama kali bertemu. Mom Ans memang pernah berkunjung ke rumah
keluarga kami, sehingga dia merasa sangat dekat dengan saya. Dia bertanya
tentang Mas Ayik, Arga, Lita, Ibu. Dia menawari kami minuman hangat dan
memastikan kami sudah makan malam. Saya sendiri mengeluarkan oleh-oleh yang
saya bawa, salah satunya adalah lenan rumah tangga karya siswa SMKN 3 Magelang.
Mom Ans dan Rob senang sekali dan merasa surprised
dengan oleh-oleh itu. Kami juga membawakan Rob kering kentang dan kering tempe
serta sambal pecel kesukaannya. Rob jatuh cinta pada makanan Indonesia, dan dia
senang sekali kami membawakannya makanan Indonesia meski hanya sedikit.
Malam itu kami pulas sekali tidur di kamar yang nyaman, di lantai
dua. Begitu pulasnya sehingga kami bangun kesiangan esok harinya, sekitar pukul
07.00. Terpaksa mengqadha shalat shubuh. Dari jendela kamar, kami bisa melihat
meja makan di lantai bawah yang sudah dipenuhi dengan berbagai makanan untuk
breakfast. Wow. Mom Ans psti bangun pagi sekali untuk menyiapkan semuanya. Dan
menariknya, Mom Ans sudah memasang lenan oleh-oleh saya menghiasi meja makan
yang besar itu.
Kami menikmati makan pagi dengan menu ala Belanda. Bersama Rob,
Margot (isteri Rob), dua anak gadis Rob (Sam dan Pip), dan tentu saja, Mom Ans.
Sejak awal saya sudah berpesan pada Rob untuk tidak menyediakan makan berbahan ayam
dan daging. Saya memesan hidangan dari sayuran, telur dan ikan saja. Dan benar.
Di antara gundukan roti, beberapa jenis ikan tersaji. Tapi jangan bayangkan
ikan goreng atau bakar. Apa lagi pepes atau penyet. O tidak. Yang kami temukan
adalah ikan-ikan yang berbentuk lembaran, penampilannya seperti ikan mentah,
namun sebenarnya dia sudah diasap. Saya sering menemukan ikan semacam itu di
hotel-hotel di Indonesia, biasanya disajikan di antara salad dan hidangan
appetizer yang lain. Saya sama sekali belum pernah menyentuhnya. Tidak
tertarik. Tapi saat ini, saya harus konsekuen. Demi menghormati Mom Ans dan
keluarga Rob, saya mengambil lembaran ikan itu, meletakkannya di antara roti
keras yang sudah saya belah bagian tengahnya, dan mengunyahnya dengan nikmat.
Hari ini agenda kami adalah mengunjungi Velondam. Volendam adalah sebuah kota di Belanda Utara, 20
kilometer di utara Amsterdam. Kadang-kadang disebut "the pearl of the
Zuiderzee" atau “mutiara dari
Zuiderzee". Tempat ini merupakan tujuan wisata yang sangat populer. Lokasinya yang agak
terpencil dan karakter penghuninya telah memberi Volendam suasana yang sangat spesifik. Tempat ini dulunya adalah daerah kantung Roma-Katolik di wilayah
yang sebagian besar beragama Protestan. Dialek yang diucapkan di Volendam
sangat khusus dan sulit dipahami bagi penutur bahasa Belanda standar. Volendam merupakan desa nelayan, dan meskipun sejak penutupan Zuiderzee pada
tahun 1932 industri perikanan tidak seperti biasanya, kawasan pelabuhan yang
ramai dengan banyak perahunya masih menjadi daya tarik utama. Dari tahun
1880-an, Volendam adalah tempat yang
populer bagi para seniman. Tidak hanya musik, tapi juga karya lukisan dan karya seni lainnya.
Kostum tradisional Volendam adalah salah satu contoh pakaian kuno terkenal
(klederdracht) di Belanda. Hanya segelintir orang memakainya dalam
kehidupan sehari-hari mereka saat ini, tetapi
karena penduduk setempat telah menyadari nilainya untuk pariwisata, mereka terus melestarikannya. Volendam juga terkenal dengan penyanyi dan musisi. Ada adegan musik
Belanda yang berbasis di Volendam, yang menghasilkan gaya musik yang dikenal
sebagai musik populer, dan beberapa penyanyi Belanda yang paling populer
berasal dari kota ini.
Kami menikmati pantai, melihat proses pembuatan sepatu kayu khas
Belanda, menimati coklat ‘hand-made’, menikmati keju, dan tentu saja, budaya
Belanda. Rob, Margot, dan Sam bersama kami. Udara dingin luar biasa dan kami
semua bermantel tebal, lengkap dengan sarung tangan dan penutup kepala.
Beberapa kali kami harus singgah ke café hanya sekadar untuk menghangatkan
tubuh sambil minum coklat panas. Kami juga berfoto bersama dengan busana khas
Belanda. Beberapa hidangan khas Belanda juga kami nikmati sambil mengusir
dingin. Rob sekeluarga sepertinya ingin pengalaman hari ini menjadi sesuatu
yang sangat berkesan bagi kami.
Namun hari begitu cepatnya berlalu. Tiba-tiba saja temaram sudah
datang meski waktu masih menunjukkan sekitar pukul 16.00. Kami harus mengakhiri
eksplorasi Velondam. Kami akan mencari restaurant halal food dalam perjalanan
menuju Bandara Schipol. Saya dan Bu Yani akan kembali terbang ke Vienna dengan
menumpang KLM pada pukul 20.30 nanti. Benar-benar seperti mimpi….
Esok pagi, kami harus sudah kembali ke Tanah Air. Membawa pulang
pengalaman berharga. Membawa pulang harapan-harapan untuk pengembangan diri dan
institusi. Untuk terus meningkatkan keilmuan dan networking. Semoga bisa
terwujud dan memberi makna.
Belanda, 1 November 2018