|
Kenangan saya tampil di Nawawarsa Himapala KM IKIP Surabaya 1987. |
Hari ini, saya kehilangan sosok penyayang dan sederhana itu.
Sabtu, 21 Agustus 2021, pada sekitar pukul 08.25 WIB, saya membaca kabar duka
itu di sebuah grup whatsapp (wa). Sosok yang begitu dekat di hati itu telah
berpulang pada sekitar pukul 06.00 WIB. Setelah sejak 28 Juli 2021, begitulah
kabar yang saya terima juga dari sebuah grup wa, beliau berjuang karena
terpapar covid. Selain beliau, isteri beliau, seorang putra beliau serta
seorang asisten rumah tangga beliau, juga terpapar.
Kabar beliau terpapar covid spontan membuat hati saya
waswas. Tapi saya tidak mau berpikir buruk. Meski usianya sudah kepala delapan,
Prof Budi Darma akan baik-baik saja. Beliau memiliki kesehatan yang relatif
prima. Beliau masih menulis, bahkan sebelum dikabarkan sakit itu, beberapa
tulisannya kerap menghiasi media surat kabar. Beliau juga masih aktif mengajar,
begitulah kabar yang saya terima dari Direktur Pascasarjana Unesa, tentu saja
sebelum beliau terpapar covid.
Lalu sehari sebelum Hari Kemerdekaan RI ke-76, sebuah kabar
– juga dari grup wa – saya baca, bahwa Prof. Budi Darma kesadarannya menurun.
Saya mulai waswas namun tentu saja terus berharap beliau akan membaik. Sampai
akhirnya saya harus menerima kenyataan pahit itu, beliau berpulang. Allah telah
membebaskan beliau dari segala beban. Telah melunaskan tugas beliau di dunia.
Malam ini, saya ingin menulis tentang sosok yang begitu saya
cintai itu. Meski saya menyadari, saya bukan siapa-siapa di blantika sastra,
sebagaiman dunia yang digeluti dan menggeluti Prof. Budi Darma. Namun Prof.
Budi Darma telah membuat diri saya merasa begitu berarti dan berharga karena
betapa beliau tak pernah melupakan saya, sejak pertama kali beliau mengenal
saya. Tentu saja, seperti itulah memang beliau. Hampir selalu mengingat siapa
pun yang beliau kenal. Dan membuat setiap orang merasa berarti dan berharga
karena diingat.
Malam ini, saya ingin menulis tentang sosok yang begitu saya
cintai itu. Saya seolah tidak ingin kehilangan setiap kenangan manis tentang
beliau. Hari itu, tahun 1987, pertama kali saya berhadapan dengan sosoknya,
secara dekat, saat saya menjadi ketua panitia Nawawarsa Himapala. Beliau yang
waktu itu menjabat sebagai Rektor, hadir pada kegiatan pembukaan, mendengarkan laporan
saya, memberi ucapan selamat, menggunting pita, dan melihat-lihat eksibisi kami
di Gedung Gema Kampus Ketintang. Saya mendampinginya, dan betapa saya
menyadari, begitu rendah hatinya sosok ini. Begitu penyanyangnya. Saya merasa
begitu nyaman berada di dekat beliau, tidak ada kecanggungan, berbangga dan
berbesar hati karena apresiasi beliau, senyum beliau, ungkapan kata-kata santun
beliau. Sungguh sama sekali bukan ungkapan-ungkapan formalitas.
Ungkapan-ungkapan yang benar-benar keluar dari lubuk hati seorang Bapak yang
sedang membesarkan hati anak-anaknya, mengobarkan api kebanggan pada kami
semua.
Sejak saat itu, Prof. Budi Darma bukanlah orang asing di
mata saya. Tentu saja saya sudah mengenal beliau jauh sebelum kami berjumpa
hari itu. Setidaknya saya sudah sejak lama menamatkan Olenka dan Orang-orang
Bloomington, dan dari situlah saya mengenalnya sebagai sastrawan besar. Tak
terbayang bahwa suatu ketika, saya akan merasa begitu dekat dengan penulisnya.
Nasib membawa saya bertumbuh dan berkembang di IKIP Surabaya
yang kemudian berubah nama menjadi Unesa. Nasib juga yang membawa saya
beruntung bisa relatif sering bertemu dengan Prof. Budi Darma. Di berbagai kesempatan,
di berbagai pertemuan, di jalan, di ruang dosen di pascasarjana, di rapat senat
terbuka, juga di berbagai kegiatan literasi. Yang saya sangat suka, beliau
jarang memanggil nama saya dengan sebutan Bu Luthfiyah, begitulah beliau kadang
menyebut saya. Namun beliau lebih sering menyebut saya dengan panggilan Mbak Ella.
Itu panggilan yang hanya dilakukan oleh teman-teman kuliah, teman-teman dekat,
dan teman-teman Himapala saja. Dan dengan panggilan itulah beliau lebih sering
menyebut saya. Begitu berkesan.
Saya memiliki sedikit kegemaran menulis, dan itulah yang
kemudian membawa saya banyak bergaul dengan teman-teman IKA Unesa yang memang
penulis, seperti Sirikit Syah, M. Khoiri, Rukin Firda, Eko Prasetyo, Suhartoko,
Satria Darma, Habe Arifin, Pratiwi Retnaningdyah, Fafi Inayatillah, dan
sebagainya. Suatu ketika, kami membuat buku antologi cerpen, dan saya
menyumbangkan dua cerpen saya. Itu memang bukan cerpen pertama yang saya tulis,
kebetulan saya sudah mulai memuatkan cerpen-cerpen saya di majalah nasional
sejak saya remaja dulu, dan masih sesekali menulis cerpen bila sedang ingin menulis
atau harus menulis. Namun cerpen di buku antologi itu seperti begitu istimewa,
bukan hanya karena prosesnya yang mengasyikkan, namun karena Prof. Budi Darma
membaca cerpen-cerpen itu. Ya, termasuk cerpen saya.
Siang itu beliau sedang duduk melayani konsultasi mahasiswa
saat saya memasuki ruang dosen pascasarjana. Seperti biasa, dengan kesantunan
dan senyum khasnya, beliau menyapa, “apa kabar, Mbak Ella?” Saya menjawab
sapaan beliau, dan menanyakan kabar beliau juga. Lantas beliau bertanya,
“bagaimana kabar laki-laki di pantai berpasir putih itu?” Wow. Saya merasa
sangat takjub dengan pertanyaan itu. “Waduh, Bapak maos nggih? Waduh,
malu dalem, Bapak. Itu cerpen rame-rame saja, Bapak.” Beliau tertawa,
renyah namun santun. “Juga kisah…. siapa itu, saya lupa namanya, yang di cerpen
satunya itu?” Saya semakin tersipu-sipu, namun senang, merasa surprised,
excited, namun agak malu, karena menyadari cerpen jelek saya itu dibaca
oleh sastrawan besar itu.
Lantas ketika saya diamanahi sebagai Direktur PPPG, saya
memiliki lebih banyak kesempatan untuk bersama-sama teman alumni yang penulis,
penyunting, dan jurnalis, untuk mengembangkan literasi. Ada Eko Pamuji, Abdur
Rohman, Anwar Djaelani, dan sebagainya, selain nama-nama di atas. Pada beberapa
kesempatan, kami mengundang Prof. Budi Darma untuk menjadi narasumber dan
motivator bagi mahasiswa-mahasiswa calon guru itu. Beberapa kali kami menjemput
beliau di rumah beliau, dan mengantarkan kembali beliau ke rumah setelah acara.
Rumahnya yang bersih, sederhana, ada di kawasan Kampus Ketintang, merepresentasikan
kesederhanaannya. Kadang saya berpikir, bagaimana orang yang memiliki begitu
banyak peluang untuk hidup mewah itu bisa memilih menjalani kehidupannya dengan
segala kesederhaannya?
Saat saya menikahkan anak saya pada tahun 2017, saya
mengundang Prof. Budi Darma. Beliau tidak hadir. Tiba-tiba seminggu setelah
itu, beliau mengirim pesan singkat. “Mbak Ella, “ begitu sapanya. Beliau
meminta maaf karena baru melihat ada undangan mantu dari saya. Undangan itu ada
di meja beliau di kampus, dan beberapa hari beliau ada kegiatan di luar kota,
sehingga tidak tahu kalau ada undangan. Pesan singkat itu tentulah sangat
berharga bagi saya, karena menyadari, Prof. Budi Darma tidak melupakan saya.
Begitu juga saat beliau mengirimkan foto tulisan saya yang dimuat di Jawa Pos,
dengan sebuah kalimat pujian yang saya yakin itu tulus, betapa hal itu membuat
saya merasa sangat berarti.
Malam ini, saya ingin menulis tentang sosok yang begitu saya
cintai itu. Saya seolah tidak ingin kehilangan setiap kenangan manis tentang
beliau. Namun terlalu banyak yang mungkin harus saya tuliskan, juga untuk
mengungkapkan rasa kehilangan ini. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seseorang
yang merasa begitu dekat dengan beliau, seseorang yang telah berhasil dibuatnya
merasa begitu berarti, begitu berharga.
Selamat jalan, Prof. Budi Darma. Seharian ini sosok panjenengan
berkelebat-kelebat dalam benak saya. Senyum panjenengan menari-nari
dalam untain doa saya. Sapa panjenengan terbayang-bayang di mata saya
yang basah dan berkabut.
Selamat jalan, Prof. Budi Darma. Beristirahatlah dengan
damai. Seperti kedamaian yang senantiasa menghiasi wajah teduhmu…..
Taman Dayu Hotel & Resort, Pandaan, 21 Agustus 2021