Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Selasa, 07 Februari 2012

Keunggulan Pembelajaran Tematik

SESUAI dengan tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),  pendekatan tematik diterapkan di SD kelas awal (kelas 1, 2, dan 3). Tuntutan ini tentunya dengan pertimbangan mendasar, salah satunya adalah bahwa pada umumnya anak SD kelas awal masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik), serta memahami hubungan antara konsep secara sederhana. Proses pembelajaran masih bergantung pada objek-objek konkrit dan pengalaman yang dialami secara langsung.

Selama ini, pembelajaran cenderung terciutkan menjadi suatu penyajian yang sekedar pemberian informasi (content-transmission model) (Joni, 2000).   Pemahaman anak terhadap dasar kualitatif di mana fakta-fakta saling berkaitan dan kemampuannya untuk menggunakan pengetahuan tersebut dalam situasi baru belum terlihat. Di sinilah salah satu pentingnya penerapan pembelajaran tematik. Loepp (2005) mengemukakan, pembelajaran tematik mengacu pada konstruktivisme, yang mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, karena siswa dihadapkan pada masalah-masalah yang perlu mereka pecahkan. Berkaitan dengan pemecahan masalah tersebut,  Jenson (1998) dan Caine & Caine (2002) berpendapat bahwa cara yang terbaik untuk meningkatkan kemampuan otak adalah melalui problem solving, karena hal ini mampu memunculkan hubungan-hubungan dendrit yang baru, yang akan menghasilkan lebih banyak hubungan-hubungan.

Pembelajaran tematik menggunakan tema untuk mengkaitkan beberapa mata pelajaran. Tema memberikan keuntungan antara lain: lebih mudah untuk memusatkan perhatian siswa, pemahaman siswa terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan, dan kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa.

Model pembelajaran tematik memiliki kelebihan karena cara pendekatannya yang sistematik, dan cukup memberi peluang pelibatan berbagai pengalaman siswa, karena  tema-tema yang diangkat dipilih dari hal-hal yang dikemukakan siswa, yang mungkin bertolak dari pengalaman sebelumnya, serta berdasarkan kebutuhan yang dirasakan siswa (felt need) (Joni, 1996). Menurut Kovalik dan McGeehan (1999), tema menyediakan struktur jalan pijakan ke konsep-konsep yang penting yang membantu siswa melihat pola serta membuat hubungan-hubungan di antara fakta-fakta dan ide-ide yang berbeda.

Salah satu hasil penelitian tentang penerapan model pembelajaran tematik adalah program yang dinamakan CLASS—suatu program di Indiana yang menggunakan model tematik dan diimplementasikan oleh pengajar yang telah dilatih dengan pembelajaran tematik. Penelitian ini menganalisis kinerja 100 SD dalam hal pengujian kemajuan belajar yang dinamakan ISTEP (Indiana Statewide Testing for Educational Progress). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah CLASS mempunyai skor ISTEP lebih tinggi daripada SD yang lain di negara tersebut, dan bahwa skor pada SD CLASS terus meningkat dari waktu ke waktu (Buechler, 1993). Penelitian lainnya yang melibatkan 32 siswa yang diikutkan dalam “pilot CLASS school” dari TK sampai tingkat 5, menemukan bahwa skor ISTEP kelompok ini mencapai nilai satu standar deviasi di atas rata-rata dalam bidang membaca, seni-bahasa, dan matematika (Grisham, 1995).

Penelitian mengenai persepsi terhadap pengaruh program CLASS pada kinerja juga menemukan bahwa, kebanyakan guru percaya CLASS mempunyai pengaruh positif pada motivasi dan kinerja siswa, khususnya pada keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi. Semua siswa menyatakan CLASS memberikan pengaruh positif pada kehadiran dan sikap siswa, iIklim sekolah, dan moral serta profesionalisme guru (Morgan, 1998).

Pada tahun 1998, sebuah disertasi meneliti perbandingan antara skor membaca siswa pada SD yang menerapkan pembelajaran tematik dengan skor siswa pada sekolah kontrol. Selama periode dua tahun, skor siswa sekolah eksperimen menunjukkan peningkatan sebesar 16%,  sedangkan sekolah kontrol hanya mencapai peningkatan sebesar 3% (Ruth,  1998). Lebih lanjut, penelitian Nurkhoti’ah dan Kamari (2002), menemukan bahwa pembelajaran terpadu model tematik  efektif  untuk meningkatkan prestasi belajar IPS di SD. Pembelajaran IPS dengan pendekatan tematik merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa, baik secara individual maupun kelompok, aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan otentik. Hal ini relevan dengan pendapat Oddleifson (1997), yang mengemukakan bahwa sebagai keutuhan, siswa tidak hanya mengerjakan sesuatu sesuai ukuran tes baku, namun penting untuk dapat mengerjakan sesuatu dengan ukuran kehidupan nyata secara baik.

Benson (2005) juga mengemukakan pembelajaran tematik melibatkan sekumpulan aktivitas yang terkait dan dirancang di seputar topik atau tema, serta menjangkau beberapa area kurikulum. Tema menyediakan lingkungan yang mendorong belajar proses dan melibatkan seluruh siswa secara aktif (Fisher, 1991). Tema juga membangun minat siswa dan prior knowledge dengan memusatkan perhatian pada topik yang relevan dengan kehidupan mereka. Tema membantu siswa berhubungan dengan pengalaman hidup yang nyata (real-life experiences) dan mengembangkan apa yang mereka tahu. Manfaat lain penggunaan tema adalah (Kostelnik, Soderman, Whiren, 2004): belajar informasi faktual secara mendalam, terlibat secara fisik dengan belajar, belajar keterampilan proses, memadukan belajar dalam cara yang holistik, meningkatkan keeratan kelompok, memusatkan perhatian pada kebutuhan individual, dan memotivasi siswa dan guru.

Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd
Dosen Universitas Negeri Surabaya

Minggu, 05 Februari 2012

Mauidhoh Gus Mus dalam Pernikahan Adik Misanku

Siang ini saya dan mas Ayik lagi menghadiri acara pernikahan adik misan saya, Ahmad Zaky. Dia putra pertama paklik saya, Kyai Muhammad Makin Shoimuri (kami memanggilnya Lik Makin). Pak lik saya ini tinggal di Rembang, sekompleks dengan rumah Kyai Cholil Bisri (kami memanggilnya Lik Ying) dan adiknya, Kyai Mutofa Bisri (kami memanggilnya Lik Mus, kadang-kadang Gus Mus).

Acara seperti ini selalu kami manfaatkan sekaligus untuk bersilaturahim dan bereuni dengan keluarga yang lain, yang jarang sekali bisa ketemu. Ibu saya datang dari Tuban, bareng dengan rombongan keluarga pengantin dari Rembang. Ada keluarga dari Sidoarjo, adik-adik misan saya juga, yang bapak-ibunya 'kapundhut' menjadi kurban terowongan Mina ketika musin haji tahun 1990 yang lalu. Dia datang dengan tiga anaknya yang masih kecil-kecil, lucu-lucu. 

Namun karena yang kagungan kerso adalah keluarga pengantin perempuan (adik misanku laki-laki), maka keluarga besar kami yang datang tidak terlalu banyak. Mungkin ketika ngunduh mantu di Rembang nanti para keluarga besar akan hadir lebih banyak.

Yang mewakili menyerahkan pengantin pria dari keluarga Rembang adalah adik misanku, putra pertama Lik Ying. Pembawa acara menyebutnya Kyai Haji Yahya Staquf (kami memanggilnya dik Yahya). Sedangkan yang memberi mauidhotul hasanah adalah Gus Mus. Kayaknya beliau ditembak di tempat, karena sebelumnyan, pembawa acara menyebut Kyai Syairozi yang akan memberikan mauidhoh. Jadinya Gus Mus sempat 'tolah-toleh'.

Dasar Gus Mus. Seperti biasa, dengan gayanya yang kocak, logatnya yang medok 'Rembang-an', beliau membuat mempelai tersipu-sipu malu dan para undangan tertawa terpingkal-pingkal. Salah satu kalimatnya yang sederhana namun dalam maknanya: 'apik karo bojo ki gampang, ning apik terus, angel. Apik karo dulur iku gampang, ning apik terus, angel. Ngaji ki gampang, ning ngaji terus ki angel....'

'Nadhifah, kowe kudu nutupi aurote masmu Kiki. Ojo mbok kandak-kandakne koncomu, mas Kiki iku masio imut, lek turu ngorok buwanter.... Kowe yo semono ugo, Ki. Kowe kudu iso nutupi aurote Nadhifah; Ojo mbok kandak-kandakne koncomu, Nadhifah ki masio ayu, ning ngentutan.....

Semoga bahagia dan langgeng selamanya. Amin...
Minggu, 5 Februari 2012
Wassalam,
LN

Kamis, 02 Februari 2012

UN, Momok itu.....

UN, Ujian Nasional. Dua kata itu saya dengar puluhan kali selama kami melakukan kegiatan monev SM-3T selama 25-28 Januari kemarin. Baik dalam obrolan-obrolan tidak resmi maupun secara formal di forum-forum pertemuan di kecamatan, ketika kegiatan pengisian instrumen monev serta dialog dengan perangkat kecamatan, perangkat desa, kepala sekolah, guru, dan peserta SM-3T. 

Semua camat, kepala desa, kepala sekolah, dan guru-guru di sekolah tempat peserta SM-3T, menyambut dengan tangan terbuka dan penuh rasa bangga kehadiran para peserta. Penghormatan mereka pada guru-guru muda itu pada umumnya juga sangat baik. Banyak persoalan pendidikan dan pembelajaran yang bisa terpecahkan, atau setidaknya ada harapan bisa dipecahkan, terutama masalah kekurangan guru dan ikutannya. Semua sekolah yang ditempati sebagai tempat tugas peserta SM-3T adalah sekolah miskin. Satu sekolah, apakah itu SD atau SMP, rata-rata hanya memiliki 2-5 guru PNS (termasuk kepala sekolah), dengan jumlah rombel 6-9. Dengan kondisi sarpras yang sebagian besar sangat memprihatinkan. Beberapa bangunan sekolah memang cukup bagus (bantuan dari pemerintah Australia), begitu juga perlengkapan media pembelajarannya, namun hanya pada sebagian kecil sekolah. Itu pun belum dimanfaatkan secara maksimal, karena kekurangan guru dan tenaga kependidikan.
  
Selain guru PNS, pada umumnya sekolah juga memiliki sekitar 2-5 guru honorer komite. Mereka adalah lulusan SMA, yang sebagian dari mereka saat ini sedang menempuh S1 di Universitas Terbuka (UT). Gaji mereka berkisar antara Rp.150.000-Rp.250.000 sebulan. Lulusan SMA-IPA mengajar bidang studi IPA, lulusan SMA-IPS mengajar bidang studi IPS. Cukup dengan bekal ilmu yang diperoleh di bangku SMA dan sedikit-sedikit dari kuliah di UT yang masih berproses.  

Sebagian besar siswa berasal dari pelosok yang jarak dari rumah ke sekolahnya hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Ada yang harus menempuh jarak 8 km sehingga total jarak pulang-pergi adalah 16 km. Bersepatu kedodoran, bersandal jepit, atau bertelanjang kaki, dan seringkali tiba di sekolah dengan kaki luka-luka (sehingga peserta SM-3T mempunyai tugas tambahan, mengobati luka-luka mereka dengan obat luka sebelum pembelajaran dimulai). Dengan pakaian sekolah lusuh yang juga kedodoran, sebuah buku dan sebatang pensil. Dengan tubuh yang kotor, berdaki dan hidung yang selalu beringus. Seorang peserta SM-3T yang bertugas di SDN Okatana, namanya Nuruddin, bercerita dalam forum pertemuan di kecamatan, dia bersama teman-temannya memiliki kebiasaan menggiring anak-anak 'ingusan' (dalam arti yang sebenarnya) itu ke sungai, sedikitnya seminggu sekali, untuk dimandikan dan diajari gosok gigi.  

Di kelas, mereka belajar dengan buku-buku yang jumlahnya sangat terbatas. Guru akan meminjamkan buku itu (atau mereka mengambilnya di 'perpustakaan sekolah'), digunakan secara berkelompok, dan buku ditarik lagi setelah pelajaran selesai. Seringkali buku hanya ada satu-satunya, sehingga hanya guru yang memegang, dan siswa akan mencatatnya dari tulisan guru di papan tulis. Mereka mencatat apa saja di satu-satunya buku tulis mereka. Guru mengajar dengan bahasa campuran, bahasa Indonesia dan Sumba. Banyak siswa SD kelas tinggi (4-6) yang belum lancar berbahasa Indonesia. Sedangkan adik-adik kelas mereka tentu saja banyak yang 'nggak nyahut' diajak berbahasa Indonesia. Seorang teman kami, Dr. Sukemi, meminta salah seorang murid kelas 5 menjumlahkan 34+12. Tahukah Anda berapa ketemunya? Bukan 46, tetapi 10. Ya. Mereka menjumlahkannya dengan cara: 3+4+1+2. Tragis. 

Rumah mereka adalah rumah-rumah kecil yang beratap seng atau 'sesek' (jerami), berlantai tanah, berdinding 'gedheg' (bambu), dan pada umumnya merupakan sebuah ruang serbaguna untuk semua aktivitas keluarga. Makan di situ, masak, tidur, bermain, belajar, apa pun dilakukan di ruang itu. Kayu bakar adalah bahan bakar utama keluarga untuk memasak makanan sederhana mereka. Nasi (seringkali dicampur jagung), sayuran seperti daun singkong, kangkung, atau bunga pepaya; bila beruntung, kadangkala dilengkapi dengan ikan teri. Sulistiyo, seorang peserta dari desa Tawui menceritakan, bahkan bapak kepala desa pun, hampir tiap hari menunya hanyalah nasi dan sayur, karena tidak mudah untuk mendapatkan bahan makanan yang lain. Ketika mereka menikmati makanannya, bau kotoran babi dan anjing seringkali menembus masuk ke dalam rumah melalui lubang-lubang dinding bambu.

Ketika malam tiba, tubuh-tubuh lelah mereka terkulai di atas dipan, tanpa kasur. Tidak banyak aktivitas yang mereka lakukan bila malam menjelang. Para orang tua sudah kelelahan karena sepanjang hari bekerja di sawah atau di kebun, atau mencari bahan makanan di hutan. Anak-anak sudah tidak bertenaga karena selain harus menempuh jarak yang begitu jauh untuk berangkat dan pulang sekolah, mereka seringkali tetap dibebani membantu mengambil air di tempat sumber air yang jaraknya cukup jauh, atau mencari kayu bakar di hutan. Tidak ada buku di rumah. Satu-satunya buku adalah buku catatan. Lagi pula, tubuh penat mereka sudah kehabisan energi untuk belajar. Maka pulaslah tubuh-tubuh kecil itu.  Sebuah pelita memberi sedikit penerangan. Mereka yang beruntung, yang tinggal di tempat yang ada gensetnya bisa menikmati listrik selama sekitar 4 jam, mulai pukul 18.00-22.00 WITA. Itulah empat jam surga bagi mereka, termasuk bagi para peserta SM-3T. Buka laptop, 'nge-charge' hape, main game, masak nasi, dan belajar. Empat jam yang sangat berarti.

Namun dalam kondisi serba terbatas seperti itu pun, UN tetap menjadi 'primadona'. Setiap camat, kepala sekolah, kepala desa, dan perangkat desa, berharap kehadiran peserta SM-3T akan meningkatkan persentase kelulusan siswa dalam UN. Anehnya, meskipun jumlah dan mutu guru sangat kurang, proses pembelajaran, sarpras,  yang jauh di bawah standar minimal, banyak sekolah bisa mencapai 100 persen untuk tingkat kelulusan UN. Padahal kemampuan 'calistung' siswanya saja sangat memprihatinkan. Kok bisa?

Hampir semua kepala sekolah dan guru yang kami temui menyatakan, program SM-3T dapat dikatakan berhasil  atau tidak, ukuran utamanya adalah pada hasil UN nanti. Aku miris mendengarnya. Bukan hanya karena itu akan menjadi beban psikologis bagi para peserta SM-3T; namun betapa sebuah proses belajar dengan segala muatannya menjadi tidak berarti karena satu-satunya ukuran berhasil itu hanyalah UN. Nilai-nilai seperti kerja keras, ketekunan, kepedulian, tanggung jawab, percaya diri, yang ditanamkan oleh para peserta SM-3T selama mereka bersama siswa-siswa itu, akan menguap bagai debu diterbangkan angin. UN. Sekali lagi UN. Kalau sebelumnya tingkat kelulusan siswa belum 100 persen, maka yang akan datang harus bisa mencapai 100 persen. Kalau sebelumnya tingkat kelulusannya sudah 100 persen (yang sebenarnya hal ini justeru menjadi pertanyaan besar, kok bisa?), maka persentase itu tidak boleh turun. Sesuatu yang bagi saya 'tidak ketemu nalar'.

Pembelajaran dengan fasilitas yang sangat terbatas, jumlah dan mutu guru yang masih minim, proses yang kurang bermutu, pengelolaan dan kepemimpinan sekolah yang rendah, hampir semuanya jauh di bawah standar minimal; di antara kerasnya hidup, kentalnya kemiskinan, dan rendahnya daya dukung orang tua dan masyarakat; UN di mata saya seperti makhluk gurita langka yang hidup bukan pada habitatnya. Namun anehnya, gurita itu tumbuh subur dan beranak-pinak, dan menjalar ke mana-mana, menjadi momok bagi siapa saja. Tentakelnya menepiskan hal-hal baik yang sebenarnya telah ditanamkan oleh alam dari hari ke hari. Hal-hal baik yang sebenarnya telah tumbuh dan berkembang dalam diri setiap individu. Hal-hal baik yang bernama kerja keras, ketekunan, kepedulian,  kebersamaan, dan kearifan.....

Tabundung, 26 Januari 2012

LN

Siapa yang Sangka Kalau 'Dia' itu Rektor?

Saya mengenalnya jauh sebelum saya jadi dosen Unesa. Ya, ketika saya masih mahasiswa, dan aktif di Himapala. Konon kabarnya, 'dia' dulunya aktif di Himapala juga, setidaknya simpatisan. Dan banyak cerita lain tentang sepak terjangnya, sejak masih sebagai ketua Dewan Mahasiswa sampai kiprahnya sebagai dosen dan konsultan di lingkungan kementerian pendidikan nasional di Jakarta. 

Keterlibatan pertama saya dengannya adalah pada tahun 2000-an. Ketika ada proyek penyusunan standar kompetensi dan bahan ajar untuk SMK. Dia meminta kami sebagai tim ahli. Kami, waktu itu terdiri dari pak Ismet, pak Soeryanto, dan saya sendiri. Saya dipercaya sebagai bendahara. Nilai proyek waktu itu, saya masih ingat betul, Rp. 300.000.000,- 

Itu keterlibatan pertama saya dengannya. Entah mengapa, meskipun sebelumnya saya tidak pernah terlibat dalam satu kegiatan bersama, namun saya langsung merasa sangat akrab dengannya. Lebih-lebih ketika dia tahu suami saya orang Ponorogo, satu 'kampung' dengannya. Dia adalah salah satu motivator hebat bagi kami orang-orang muda. Membukakan banyak celah dan jalan untuk kami bisa berbuat sesuatu. Dia seperti bapak bagi kami. Dia bisa saja tiba-tiba menepuk-nepuk keras pundak kami, atau mengucek-ngucek kepala kami, layaknya seorang bapak pada anaknya. Di mata saya, dia begitu cerdas, cekatan, terampil, sekaligus humoris, sangat kebapakan, dan rada 'ngoboy'. 

Sejak itu saya dilibatkan di beberapa kegiatan yang dia sebagai leader-nya, meskipun hanya sekedar sebagai anggota tim pengumpul data, asesor, evaluator, verifikator, pengembang buku pedoman, pengembang uji sertifikasi, dan lain-lain, sejak dia masih malang-melintang sebagai konsultan dan tim ahli di Jakarta, menjabat sebagai PR 4 Unesa, sebagai Direktur Ketenagaan di Dirjen Dikti, sampai akhirnya kembali lagi ke Unesa sebagai Rektor. Berbagai tugas dibebankan di pundak saya dan teman-teman. Sesekali kami merasa 'kepontalan' karena ide-idenya begitu deras berhamburan dan kami dipaksa harus mampu menangkapnya serta mewujudkannya secepat yang dia inginkan. 

Pertengahan Desember tahun kemarin, saya menghadap dia ke ruangannya, dengan membawa dua orang pejabat Dinas PPO Sumba Timur. Dua pejabat itu kami datangkan untuk menjadi narasumber pada kegiatan prakondisi SM-3T. Beliau berdua memberikan materi tentang gambaran pendidikan serta kondisi sosial kemasyarakatan di Sumba Timur. Setelah saya kenalkan kepadanya siapa dua pejabat itu, dia menyampaikan apresiasinya dengan sangat simpatik sehingga membuat dua pejabat itu merasa sangat dihargai. Dia juga katakan bahwa suatu saat dia ingin mengunjungi daerah yang paling terpencil, yang digunakan sebagai tempat tugas peserta SM-3T, ingin bermalam di sana bersama mereka dan belajar banyak hal dari masyarakatnya. Mungkin bagi dua pejabat itu, pernyataannya dianggap sebagai sesuatu yang musykil, pernyataan yang tidak lebih sebagai 'gaya standar' para pejabat bila bersemuka dengan pejabat dari daerah, apalagi dari daerah 3T seperti Sumba Timur. Namun dalam pandanganku, dia tidak main-main dengan pernyataannya itu. Saya yakin, pernyataan itu tidak sekedar lips service.

Dan benar. Dua minggu sebelum saya dan tim merencanakan untuk turun melakukan monev SM-3T ke Sumba Timur, saya menghadap lagi ke ruangannya. Saya tanyakan apakah dia serius ingin berkunjung ke Sumba Timur. Dia katakan ya, dan minta supaya dicarikan waktu yang di antaranya ada hari Sabtu dan Minggu, sehingga tidak terlalu lama meninggalkan kampus. Ketika saya berrtanya apakah dia ingin berkunjung dengan rute yang dekat-dekat saja, atau yang sedang, atau yang terjauh....jawabnya, beri saya rute yang terjauh. Saya jelaskan kepadanya, rute yang terjauh memerlukan waktu tempuh lebih dari 10 jam karena harus menyusuri 3 kecamatan, dia balik bertanya, 'terus kenapa?'. Saya jelaskan lagi, rute itu medannya sulit sekali, banyak jalan rusak, melewati hutan, banyak jurang, berkelok-kelok tajam, menyeberang sungai, dia bertanya lagi, 'ya, terus kenapa?' Saya jelaskan lagi, kalau memilih rute itu, berangkatnya harus pagi sekali, sampai di sana malam, harus menginap, dan besoknya tidak bisa langsung balik ke kota karena masih harus melanjutkan perjalanan ke pelosok; dan sekali lagi dia balik bertanya, 'ya! Terus....kenapa?'. Lantas sayalah yang  balik bertanya: 'apakah ini pelampiasan? Pelampiasan jiwa petualangan?' Dia tertawa lebar. Saya pun pamit, keluar ruangan, sambil bergumam: 'dasar petualang.....!'

Maka berangkatlah rombongan kami pada 25 Januari yang lalu. Menumpang Batavia, berangkat pukul 08.30 WIB. Ada 21 orang, termasuk di dalamnya adalah seorang asisten mendikbud, seorang wartawan media cetak, 4 orang dekan, 2 orang tim penjaminan mutu, seorang humas Unesa, 3 orang tim pendukung, selebihnya adalah tim inti SM-3T. Sebelas orang yang lain, yang sebagian besar dari media dan selebihnya dari humas Dikbud dan Dikti, berangkat langsung dari Jakarta, dan kami akan bertemu dalam pesawat yang sama setelah transit di Kupang.

Tidak ada masalah selama dalam perjalanan. Dia bukan tipe pejabat yang rewel yang selalu harus dilayani. Bukan tipe pejabat yang suka 'jaim'. seringkali justeru dialah yang melemparkan joke-joke segar dan kadang-kadang terkesan 'rodo urakan'. 
  
Namun ketika berada di ruang kerja bupati Sumba Timur, bertemu dengan bupati, wakil bupati, ketua DPR, para asisten bupati, sekda, kepala dinas PPO, dan hampir seluruh pejabat Sumba Timur, setelah dijamu makan malam bersama, dia menjadi sosok yang luar biasa elegan. Berbusana batik, duduk di depan berdampingan dengan bupati, ketua DPR, dan wakil bupati, sementara di depannya adalah kami tim monev, para pejabat Sumba Timur yang lain, serta kru media cetak, TV serta humas. Begitu cepatnya dia menangkap semua persoalan pendidikan yang dilontarkan bupati (mulai dari kekurangan guru, keterbatasan fasilitas dan sarpras, rendahnya etos kerja, dan lain-lain), dan menawarkan alternatif solusinya, termasuk melemparkan berbagai program kerjasama yang bisa dilakukan untuk membantu memecahkan permasalahan pendidikan tersebut. Wawasannya yang sangat luas, dilengkapi dengan pengalaman empirisnya, serta kemampuan akademik dan penguasaan pada berbagai kebijakan dalam bidang pendidikan, membuat semua tawarannya begitu cerdas dan membumi. Tak pelak lagi, bupati, wakil bupati, ketua DPR, para asisten bupati, kepala dinas, semuanya bersepakat 'ya' menerima tawarannya, dan akan berusaha melakukan apa pun untuk mewujudkan kerjasama dalam bidang pendidikan di Sumba Timur tersebut. Seorang teman saya, pak Ismono, berbisik ke saya, 'sakjane dia ke sini ini sebagai rektor opo PR 4 se?' 

Empat hari itu saya lalui bersamanya. Empat hari yang luar biasa. Bukan hanya karena saya 'blusukan' dan 'blakraan' di medan yang saya tidak pernah bayangkan sesulit itu untuk mencapainya. Bukan karena mata saya yang tiba-tiba basah saat melihat seorang anak ingusan yang terhuyung-huyung jatuh dengan setumpuk kayu bakar di atas kepalanya. Bukan karena saya mendadak menjadi seperti mati rasa ketika menatap ratusan anak sekolah yang berbaju lusuh dan bertelanjang kaki dengan tubuh kotornya. Bukan karena saya yang serta merta kehilangan kata-kata ketika melihat balita-balita kurus kering berkulit kusam dan sangat memprihatinkan keadaannya. Bukan karena saya yang  tiba-tiba jadi orang yang paling sentimentil di dunia karena menyaksikan serombongan kuda berlarian di pantai yang indah.  Bukan hanya karena itu semua. Tapi terutama karena orang itu. Dengan berat hati saya harus katakan, sulit mendapati orang seperti dia. Rela bersusah-payah menempuh jarak dan mengambil risiko bahaya karena begitu sulitnya medan, hanya demi melihat bagaimana keadaan anak-anak sekolah dan para peserta SM-3T, seperti apa tempatnya, amankah mereka, apa yang mereka makan, dan apa yang dibutuhkannya? Dia bahkan bisa mendapatkan semua informasi itu dari kami, dengan hanya menunggu kami melaporkannya dari balik mejanya.... 

Ketika pulang menuju Surabaya, tidak ada sedikit pun kesan lelah di wajahnya. Senyumnya tetap saja mengembang pada siapa saja. Sapanya tetap ramah menyejukkan. Tawanya tetap renyah membawa keceriaan. Lepas, lepas sekali. Persis seperti ketika pertama kali datang ke Waingapu, selama perjalanan ke pelosok, dan saat menjelang pulang kembali ke Surabaya. Di pelosok, setiap kami berhasil 'melanggar' sungai, atau melampaui medan yang curam, dia bahkan nampak jauh lebih 'lepas', lengkap dengan tepuk tangan dan teriak-teriakannya: 'ini baru...! Ini baru yang namanya jalan....! Ini baru! Luar biasa! Ha ha ha.....'. Sampai-sampai saya sempat berseloroh: 'saya khawatir lihat bapak. Susahnya seperti ini kok malah kelihatan bahagiaaa sekali.' Tawanya malah lebih keras. Berderai-derai. Membuat kami semua, termasuk para petugas kecamatan yang mengantar kami, tertawa 'cekakakan'. 

Dan sekarang dia ada di antara kami semua, tim lengkap, siap kembali ke Surabaya. Mengenakan kaus berkerah berwarna abu-abu, jaket dililitkan di pinggangnya, ransel hitam menggantung di punggungnya, dan sebelah tangannya menenteng tas kresek. Tahukah apa yang ada di dalam tas kresek itu? Dua buah telur burung moleo (burung kecil khas Sumba yang telurnya hampir sebesar telur angsa), dan lombok rawit khas Sumba. Berjalan melenggang tanpa beban. Saya katakan kepadanya, 'bapak, saya sering bertemu bapak-bapak yang lain di bandara. Beliau selalu 'ngagem' jas, rapi, licin. Tidak ada yang melilitkan jaket di pinggang. Apalagi bawa tas kresek". Tapi dia cuma 'nyengir', 'cuek', dan 'ngakak'. 
Dia, maaf, maksud saya 'beliau' itu...dengan segala kesederhanaannya, kerendah-hatiannya, kedekatannya pada siapa pun, siapa sangka kalau 'beliau' itu rektor.....

Waingapu, 25-28 Januari 2012

LN

Namanya Rizki Sugiarto

Sebelumnya saya tidak pernah  membayangkan akan tiba di tempat ini. Desa Ramuk, kecamatan Pinupahar. Tempat di mana seorang gadis bernama Rizki Sugiarto, salah seorang peserta SM-3T Unesa, ditugaskan. Namanya yang seperti nama laki-laki itulah yang telah 'mengecoh' kepala sub TK-SD Kantor Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Dinas PPO) Sumba Timur, sehingga dia harus 'nrimo' ditugaskan di SD yang sangat-sangat terpencil. Sendirian. Jika Kasub TK-SD tahu bahwa dia sebenarnya berjenis kelamin perempuan, dia mungkin tidak akan ditugaskan di tempat seperti ini.

Saya menerima sms Rizki sekitar tiga minggu yang lalu, sehari setelah kami melakukan supervisi di semua kecamatan. Smsnya masuk sekitar pukul 21.00 WIB  (pukul 22.00 WITA). 'Ibu, saya Rizki. Saya ditugaskan di SD Ramuk, kecamatan Pinupahar. Ibu, tempat saya sangat jauh dari kecamatan. Saya harus berjalan melintasi bukit dan menembus hutan serta menyeberangi banyak sungai, jika saya akan ke kecamatan, dengan jarak tempuh lebih dari 5 jam. Makanya ketika ada supervisi tempo hari, saya tidak bisa menemui ibu di kecamatan. Ibu, sebenarnya saya sangat berat meninggalkan kepala sekolah, guru-guru, dan murid-murid saya di sini. Tapi saya tidak yakin saya kuat tinggal di sini.'

Intinya, Rizki meminta saya untuk mengusulkan ke dinas PPO supaya dia dipindahkan ke tempat yang lebih dekat dengan kecamatan Pinupahar. Tapi di sisi lain, dia merasa sangat berat meninggalkan sekolahnya. Saya merasakan ada pergumulan dalam batinnya. Antara tetap tinggal, dan keraguannya untuk bisa bertahan. Saya membesarkan hatinya: 'Rizki, kalau aku jadi kamu, maka aku akan terus berusaha bertahan, demi anak-anak, demi sekolah, dan demi masyarakat desa Ramuk yang sudah terlanjur berharap banyak kepadamu. Kamu bisa memberi banyak manfaat bagi mereka. Coba pertimbangkan itu....'  Tapi malam itu, Rizki tetap pada keputusannya, minta dipindahkan.

Besok paginya, sms Rizki masuk lagi di ponsel saya. 'Ibu,  kalau memang tidak memungkinkan, saya tidak apa-apa tidak dipindahkan. Saya akan terus berusaha bertahan di desa Ramuk.'

Berhari-hari setelah itu, saya tidak pernah lagi menerima sms Rizki. Namun beberapa temannya yang justeru bersms ke saya. Menyampaikan keprihatinan mereka pada kondisi Rizki dan tempat tinggalnya. Dia tinggal sendirian di aula sekolah. Tanpa listrik. Pernah suatu hari,  Rizki mendapati gembok pintu aula tempatnya tinggal seperti dicongkel orang. Malam hari, beberapa kali dia mendengar seseorang atau 'sesuatu' mengetuk-ngetuk pintu. Karena prihatin dengan kondisi Rizki, hampir seminggu dua kali, teman-temannya yang ada di desa Umandudu (desa yang terletak di atas desa Ramuk, bisa ditempuh sekitar 2 jam dengan berjalan kaki), bergantian menemaninya. 

Kondisi itulah yang membuat saya memutuskan untuk menjangkau tempat Rizki. Selain itu juga saya merasa tidak fair kalau saya tidak tahu di mana tempat tugas para peserta SM-3T. Ketika kita menugaskan seseorang, maka seharusnya kita tahu seperti apa tempat mereka bertugas tersebut. Seperti itu jugalah pendapat bapak Rektor.

Maka sejak kemarin,  di tengah perjalanan menuju Pinupahar (setelah menyusur Katala Hamulingu dan Tabundung, dua kecamatan sebelum Pinupahar), saya meminta pak Camat Pinupahar untuk mengusahakan 5 buah motor yang bisa mengantarkan kami ke Ramuk, dan mungkin sampai ke Umandudu.  Waktu itu saya belum bisa memastikan berapa yang akan berangkat ke sana. Dalam rombongan kami ada pak Rektor, mas Amin (sekretaris rektor), mas Rukin, mas Bimo (humas Dikti), mbak Arifah (PIH Dikbud),  Andra (admin SM-3T yang selalu membantu saya),  dan dua crew Trans TV (Peter dan Fariz), serta Joko (peserta SM-3T yang bertugas di Umandudu, yang khusus turun ke Waingapu untuk mendampingi kami). Tapi saya punya keyakinan pak Rektor akan berangkat, begitu juga mas Rukin. Mas Amin juga berangkat, karena dia harus selalu mendampingi pak Rektor. Joko juga pasti ikut, karena Umandudu adalah lokasinya. Paslah. Tapi malam itu, setibanya kami di Pinupahar dan berembug tentang siapa yang akan berangkat ke Ramuk dan Umandudu, pak Rektor meminta mas Bimo juga sebaiknya ikut. Maka pak camat harus mencarikan sebuah motor lagi malam itu juga. Trans TV dan PIH Dikbud memutuskan tidak berangkat. Mereka akan fokus membuat profil peserta SM-3T, siswa, sekolah, guru, kepala sekolah, masyarakat, dan lingkungan alam di sekitar desa Tawui yang luar biasa indah, dengan pantai dan hamparan lembah dan bukit-bukitnya yang tinggi menjulang. Selepas makan malam di rumah pak Camat, ketika kami beristirahat di rumah panggung bermenara khas Sumba, orang-orang media itu bekerja lembur di mess peserta SM-3T yang sempit, membuat script, mewawancarai beberapa peserta, dan mengolah hasil rekaman mereka seharian tadi.

Kami berangkat dari Tawui, desa terdekat di Kecamatan Pinupahar, setelah pertemuan dengan camat, kepala desa, kepala sekolah, guru-guru, dan  peserta SM-3T, dalam rangka pengisian instrumen monev serta menggali berbagai persoalan di lapangan. Pak Camat melepas kami dengan bekal makan siang yang sudah disiapkan oleh ibu camat. Dua mobil yang kami sewa mengantar kami menuju Lelunggi, desa yang masih bisa dijangkau dengan mobil. Kami diantar di bibir sungai, dan di seberang sungai yang cukup lebar itu, enam sepeda motor bersama pengendaranya sudah menunggu kami.  Driver kami, mas Oscar, begitu mengkhawatirkan saya. Dia memaksa saya membawa payung yang ada di mobilnya karena dia pastikan saya akan memerlukan payung itu. Sebenarnya saya enggan membawanya, tapi saya tidak sampai hati menolaknya. Akhirnya Jokolah yang kuminta membawakan payung itu (tapi ternyata malah 'hilang' karena ketinggalan di suatu tempat ketika kami beristirahat di tengah perjalanan menuju desa Ramuk).

Itulah sungai pertama yang kami seberangi. Meskipun tidak terlalu dalam, namun arusnya cukup deras. Pak Rektor yang sudah ada di seberang berteriak ke Joko supaya menggandeng saya yang sudah 'nyemplung' ke sungai siap menyeberang. Pak Kepala Sekolah SD Okatana (Okatana, desa yang juga akan kami singgahi), juga langsung menangkap tangan saya, membantu mencapai Joko. Dan terjadilah momen 'yuyu kangkang menyeberangkan kleting kuning' itu (versi mas Rukin; kebetulan saya berjaket kuning, dan Joko berkalung kain Bali berwarna hijau). 

Itu adalah sungai pertama. Setelah itu ada delapan sungai lagi yang harus kami 'langgar' (istilah orang Sumba). Selebihnya adalah jalan setapak, berbatu-batu terjal. Berlubang-lubang penuh kubangan, berlumpur, naik-turun, berkelok-kelok tajam, dan jurang-jurang menganga di sisi kiri-kanan. Saya melihat jurang-jurang yang hanya berjarak sekitar satu meter dari jalan setapak itu dengan 'gagah berani'. Saya tidak mau membayangkan sepeda motor yang saya tumpangi terpeleset lalu tergelincir masuk jurang. Saya mengandalkan pikiran positif, doa dan sholawat yang terus saya gumamkan, serta kelihaian petugas kecamatan mengendalikan motor yang dikendarainya. Tak terhitung berapa kali kami yang dibonceng harus turun karena motor tidak kuat naik saking curamnya. Suaranya meraung-raung mengingatkan saya pada tontonan tong setan di mana seseorang mengendarai sebuah motor berputar-putar dalam sebuah 'tong' besar. Namun itu hanyalah sebuah tontonan. Sedangkan yang terjadi saat ini adalah benar-benar sebuah kenyataan. Kami sedang berada dalam kondisi dimana kami semua berkendara dengan kegilaan yang melebihi tong setan itu... Lebih-lebih bila kami baru saja 'melanggar' sungai, maka semua pengendara akan bersama-sama menarik gas sekuat-kuatnya untuk memastikan air sungai tidak mengganggu mesin motor. Raungannya yang keras memekakkan telinga, memecahkan kesunyian di tengah hutan belantara.

Selepas dari SD Okatana yang bisa kami capai dalam waktu sekitar 30 menit, pada pukul 13.00, kami berangkat menuju Ramuk. Perjalanan menuju Ramuk jauh lebih menegangkan. Betul-betul menguras emosi dan adrenalin. Saya suka berpetualang, tapi saya sungguh tidak pernah membayangkan saya akan melakukan petualangan segila ini. Namun hati saya menangis sepanjang perjalanan itu. Teringat sms-sms Rizki dan teman-temannya. Joko sudah sering menyampaikan seperti apa lokasi tempat dia dan Rizki ditugaskan, namun saya tidak menduga, lokasi tersebut begitu sulitnya untuk dicapai. Dan Rizki, anak gadis itu, ada di sini. Di tengah hutan belantara. Sendirian. Tanpa listrik. Tanpa teman untuk berbagi. Sempat mengeluh dan minta pindah, namun secepat itu pula dia mencabut keputusannya, dan memastikan untuk tetap bertahan. Betapa luar biasanya anak itu......

Sekitar satu kilometer dari tempat Rizki, kami semua berhenti di sebuah mata air di pinggir jalan. Semua mencuci muka dengan air yang luar biasa segar dan jernih itu. Saya berwudhu. Seperti kemarin ketika di perjalanan menuju Pinupahar, di mana saya sholat di tengah hutan, di pinggir jalan, saya berniat melakukan sholat jama' takdim dhuhur ashar, namun segera saya urungkan karena tempat Rizki sudah dekat, artinya saya masih bisa mengejar waktu sholat.
 
Dan sampailah kami di SD Ramuk yang catnya sudah kusam serta bangunanya yang sangat sederhana. Rizki tinggal di aula SD itu. Pintu aula dalam keadaan tertutup ketika kami datang. Joko mengetuk pintu dan memanggil nama Rizki. Begitu pintu dibuka, muncullah tubuh mungil itu. Seperti tidak percaya dia menatap saya. Tangan saya langsung terkembang dan memeluknya. 'Kamu luar biasa, Ki. Kamu kuat, Ki...' Suaraku tertahan-tahan karena menahan tangis. 'Ya, ibu, saya harus kuat, saya harus kuat...' Matanya basah. Dan setengah berdesis dia berbisik di telinga saya. 'Tapi beri saya teman, ibu, saya butuh teman.....'.  Saya mengangguk dan memastikan dia akan saya carikan teman. Sedetik kemudian saya melepaskan pelukan saya dan membiarkan pak Rektor, mas Rukin, mas Bimo, dan mas Amin, menyalami Rizki dengan tatapan haru sekaligus takjub. Dada saya semakin sesak menahan emosi, dan saya bilang ke Rizki, kalau saya sudah berwudhu dan mau numpang sholat. Anak manis itu segera menyilakan kami semua masuk. Pak rektor dan yang lain duduk di tikar di dalam aula itu. Rizki membawa saya ke 'kamar'nya, tentu saja ada di ruangan itu juga, hanya disekat dengan sebuah papan dan lemari plastik yang sudah koyak. Digelarnya sajadah untuk saya di tempat sholat yang sekaligus menjadi tempat tidurnya itu, di lantai kusam beralas tikar. Sebuah al-Quran yang mungkin menjadi temannya melewati malam-malamnya dalam kesendirian, tergeletak di dekat bantalnya. Meskipun semuanya serba terbatas, nampak sekali kalau Rizki menyukai kerapian.

Dan di atas sajadah Rizki, saya menyungkurkan kepala dan menangis sepuasnya. Tangis yang sudah saya tahan sejak tadi, pecah. Ketabahan perempuan muda itu mengoyak-ngoyak perasaan saya. Semangat pengabdiannya mencabik-cabik hati. Ketulusannya membuat emosi saya runtuh. Bahkan saya saja tidak yakin akan mampu melewati hari-hari saya dalam keadaan serba terbatas seperti ini. Tanpa teman. Dalam gelap yang hanya diterangi oleh sebuah pelita. Dalam ruangan besar yang jauh dari tetangga. Tidak ada TV, tape, radio, toko dan warung. Tidak ada alat transportasi apa pun, kecuali mau berjalan berjam-jam untuk mencapai tempat dimana ojek atau oto bisa dicapai.

Maka meluncurlah doa-doa saya siang itu khusus untuk Rizki. Saya mohonkan pada Allah agar ditambahkan kekuatan dan ketabahan baginya. Kemudahan untuknya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya. Kemaslahatan bagi anak-anak didiknya, guru-guru, sekolah, masyarakat, karena kehadirannya. Dan keberhasilannya dalam mencapai cita-cita mulianya, menjadi guru. Rizki Sugiarto, gadis itu, insyaallah akan menjadi guru hebat dan luar biasa yang sudah teruji oleh alam....

Pinupahar, 27 Januari 2012
* Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd adalah dosen, guru besar, dan korlap SM-3T Universitas Negeri Surabaya

Oleh-oleh dari Philippine

PADA tanggal 22-24 Maret 2011 yang lalu, saya berkesempatan untuk menghadiri acara ‘The 3rd Regional Forum SEAMEO INNOTECH’ di Quezon City, Manila. Ini merupakan pengalaman pertama saya pergi ke Philippine, dan juga pengalaman pertama saya mengikuti forum internasional SEAMEO INNOTECH.
Awal mula keikutsertaan saya pada forum tersebut adalah adanya surat dari Balitbang Kemdiknas kepada Rektor Unesa tentang penawaran untuk mengikuti forum SEAMEO INNOTECH. Rektor mendisposisikan surat tersebut pada saya, dalam kapasitas saya sebagai koordinator PPG Unesa, dan beliau mengharapkan saya atau salah satu teman lain dari tim inti PPG bisa ikut. Setelah berkonsultasi dengan PR 1, saya akhirnya mengisi form pendaftaran dan mengirimkannya melalui email dengan melampirkan persyaratannya. Sehari setelahnya saya menerima sms dari bagian kerjasama Balitbang bahwa saya bukan satu-satunya yang mengirimkan form pendaftaran, sehingga keputusan siapa yang akan mewakili Kemdiknas ke forum tersebut belum bisa diberitahukan. Saya menyampaikan hal tersebut pada Rektor dan PR 1.
Dua minggu setelahnya saya baru menerima kepastian bahwa saya terpilih untuk mewakili Kemdiknas dalam forum tersebut, dan yang seorang lagi adalah guru dari SD Islam Al-Hikmah Surabaya, yaitu Bapak Sigit Wiyono. Peserta dari Al-Hikmah ini merupakan permintaan dari Sekretaris Balitbang sebagai Governing Board Member SEAMEO INNOTECH. Tema forum itu adalah ‘Rediscovering the Passion for Teaching in Southeast Asia’. Kami diminta menyiapkan ‘Country Information Guide (CIG)’ yang meliputi Profile of Teachers; Success Factors of a Motivated, Passionate and Effective Teacher; Current Teacher Development Policies; Programs and Strategies to Sustain Teacher’s Passion in the Profession; dan Recommendations on How Best to Sustain and Enlarge the Pool of Effective, Committed and Passionate Teachers. Kami punya waktu sekitar 2 minggu untuk menyiapkannya. Saya menyempatkan diri ke Jawa Pos, menemui mas Guntur dan mas Rukin untuk meminjam kliping program ‘Untukmu Guruku’ sekaligus file pdf-nya, guna melengkapi CIG kami, khususnya mengenai peran swasta dalam meningkatkan dan mempertahankan motivasi guru-guru kita. Setelah CIG itu kami kirim, esoknya kami memperoleh LoA, dan beberapa hari kemudian kami dikirimi eticket PP Jakarta-Manila.
Forum SEAMEO INNOTECH itu diikuti oleh peserta dari 9 negara Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Kambodia, Laos, Vietnam, Brunei, Thailand, dan Philippine sendiri, yang sekaligus sebagai tuan rumah. Setiap negara mengirimkan delegasinya terdiri dari satu orang wakil dari kemdiknas (bisa dosen, peneliti) dan seorang guru (yang dinilai sebagai outstanding teacher). Selama lima hari kami menginap di International House SEAMEO INNOTECH (satu kompleks dengan University of Philippine), tiga hari di antaranya kami terlibat dalam round table discussion, diselingi dengan paparan dari beberapa narasumber. Beberapa narasumber tersebut antara lain dari Departemen Pendidikan Pasig City Philippine (Sustaining Positive Energy and Motivation for Teaching), Metrobank Foundation (The Search for Outstanding Teachers),  dan Bato Balani Foundation (honoring effective/passionate teacher).
Salah satu narasumber yang sangat menarik perhatian dan membuat semua peserta diskusi sangat terkesan adalah beliau yang dipanggil sebagai Mr. Pagsi (nama lengkapnya Onofre Pagsanghan), seorang mantan guru, Faculty member, High School Department, Ateneo de Manila University. Semangatnya luar biasa; suara, gerak tubuh, ekspresinya, ketika berbicara tentang teaching with passion,  begitu memukau. Dalam usianya yang sudah udzur (81 tahun), performance Mr. Pagsi dalam mengajar bisa mengalahkan para guru yang usianya jauh lebih muda darinya (termasuk saya). Satu kalimatnya yang membuat saya sangat terkesan (ada dalam tulisan Fatima Parel ‘The Passion of Pagsi’) adalah: “I always tell myself, especially in the twilight years, this may be my last class. And therefore, I treat every class as if it were the last. And it helps bring out the best in me. This is going to be the best performance of my life.”
Banyak pengalaman berharga yang saya dapatkan dari forum tersebut. Sangat terasa bahwa forum itu diorganisir dengan begitu apik, mulai dari awal (ketika penjemputan di Ninoy Aquino airport) sampai akhir. Padat, tapi hangat dan bersahabat, dengan konsep yang sangat berbeda. Kami tidak diminta mempresentasikan CIG yang sudah kami kirimkan sebelumnya, namun poin-poin pentingnya didiskusikan secara intensif dalam bentuk workshop. Workshop dibuat terpisah antara kelompok guru dan kelompok MOE (Minister of Education), sehingga setiap topik dikaji dari perspektif guru dan perspektif MOE, yang kemudian dipadukan dalam sesi presentasi. Dalam diskusi itu disediakan juga seperangkat Alat Permainan Edukasi (APE), dan kami diminta memvisualisasikan dalam bentuk karya cipta yang menggambarkan ‘the passion for teaching’. Pada kesempatan itu, didatangkan juga 4 siswa SMP yang kita bisa berdialog dengan mereka dalam sesi ‘Student’s Stories: Impact of Passionate Teacher on Student Learning and Life’.  Sangat menarik, menyentuh, dan menggugah.
Peran Metrobank dan Bato Balani dalam meningkatkan semangat dan kegairahan guru-guru di Philippine juga sangat menginspirasi. Metrobank dengan temanya ‘What does it take to bring out the best in the Filipino?’, mempresentasikan perannya dalam ‘ngopeni’ guru dalam sesi pleno ‘Honoring effective/passionate teacher’.  Salah satu program CSR-nya adalah menyelenggarakan pemilihan ‘outstanding teachers’, bekerjasama dengan kementerian pendidikan, setiap tahun, dan menerbitkan profil guru-guru luar biasa tersebut dalam kemasan yang sangat elegan, sehingga mengesankan betapa berharga dan berartinya sebuah profesi bernama ‘guru’ itu, dan bagaimana masyarakat Philippine termasuk pihak swasta menempatkan mereka sebagai sosok-sosok yang sangat berjasa dalam membawa negara dan masyarakat Philippine menuju kebaikan dan kejayaan. Dalam sesi sharing, delegasi setiap negara juga diminta untuk berbagi tentang keterlibatan pemerintah dan swasta dalam ‘sustaining and maintaining the passion for teaching’. Kami yang dari Indonesia menceriterakan antara lain tentang program Sertifikasi Guru melalui Portofolio/PLPG dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Selain itu juga program pemerintah dalam pemilihan guru dan dosen berprestasi, yang kemudian pemenangnya selain memperoleh piagam penghargaan, sejumlah uang, juga diundang pada upacara kemerdekaan RI di Jakarta. Sementara peran swasta, kami contohkan program Jawa Pos ‘Untukmu Guruku’, serta kami tunjukkan juga kliping tentang program itu (terimakasih, mas Guntur dan mas Rukin yang telah ‘nyangoni’ kami dengan kliping-kliping itu).
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengakhirinya dengan sebuah kalimat untuk menjadi renungan kita, para guru dan dosen, termasuk saya pribadi. Kalimat yang saya temukan di antara berkas-berkas materi diskusi, yang sangat menyentuh benak saya .

Inilah oleh-oleh yang sangat berharga itu.

“Being world class doesn’t mean going international and showing our best out there. Being world-class is passion and commitment to our profession. Being world-class is giving our best to our country and our people. For teachers, being world-class starts right inside the classroom.”


***

Minggu, 15 Januari 2012

Fotoan Kunjungan SM-3T Sumba Timur

Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat
kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.
Deretan rumah khas Sumba Timur di bawah sebuah bukit. Masyarakat Sumba
Timur sangat berharap program SM-3T dapat terus berlanjut.
Tantangan terberat pendidikan di Sumba Timur adalah menaklukkan alam.
Siswa dan guru setempat harus menyebarangi beberapa sungai seperti saya ini,
saat berangkat dan pulang ke sekolah.  
Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta
SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal. 
Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai.
Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)