SDN Kedungbanjar itu akhirnya ketemu. Berada di Desa Kedungbanjar, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Setelah kami sempat beberapa kali kesasar. Pasalnya, tidak seperti SDN Jatipandak yang bisa dilacak dengan google map, SDN Kedungbanjar tak terdeteksi. Desa Kedungbanjar saja yang nampak, itu pun tidak terlalu jelas. Maka kami pun terpaksa memanfaatkan GPS konvensional, turun dari mobil dan bertanya pada orang-orang arah menuju Kedungbanjar.
Sekolah di tengah hutan itu merupakan satu-satunya sekolah di desa tersebut. Bersama Arif, guru yang kami tugaskan dalam Program Jatim Mengajar, kami melihat-lihat ruang-ruang sekolah dan sekelilingnya. Satu ruang adalah ruang guru, ada beberapa meja kursi dan rak buku. Satu ruang untuk perpustakaan, tapi rak belum ada, buku belum tertata, berantakan seperti kapal pecah. Jendela bagian belakangnya juga banyak yang bolong-bolong besar, yang ditambal-tambal tripleks. Satu ruangan untuk kelas I dan II, sedang satu ruang lagi untuk kelas III, IV, V dan VI. Dua ruang terakhir itu lantainya sudah berkeramik. Menurut Arif, ruang itu baru saja di rehab.
Sama dengan dua sekolah yang saya lihat di Jatipandak, siswa SDN Kedungbanjar juga tidak banyak. Jumlah seluruhnya ada 20 orang.
Kelas I ada 5 orang, kelas II, III, IV, masing-masing ada 2 orang, kelas V ada 4 orang dan kelas VI ada 5 orang. Gurunya ada 5 orang, termasuk kepala sekolah. PNS-nya 2, kepala sekolah dan seorang guru. GTT-nya ada 3. Ditambah Arif, jumlah guru sekarang menjadi 6 orang.
Desa Kedungbanjar hanya terdiri dari 67 KK, dengan 307 jiwa. Jadi memang penduduknya tidak terlalu banyak. Menurut kepala sekolah, semua anak usia sekolah sudah bersekolah. Anak usia SD bersekolah di SDN Kedungbanjar. Sedangkan anak usia SMP dan SMA bersekolah di SMP Wudi dan di Sukobendu atau Kedungpring.
Saat kami berkeliling, seorang siswa Arif, namanya Agung Andrianto, selalu bersama kami. Agung kelas VI SDN Kedungbanjar. Nampaknya dia cukup dekat dengan Arif. Waktu saya tanya, senangkah diajar pak Arif, dia jawab, 'nggih seneng, bu....wonten sing ngajar Matematika." "Lha opo sakdurunge gak onok sing ngajar Matematika?" Tanya saya. "Wonten, bu, pak Sundoyo." Terus, apa bedanya dengan pak Arif?" Saya bertanya lagi. "Nggih pokoke seneng wonten pak Arif......" Jawabnya. Saya tidak ingin melanjutkan pertanyaan saya, karena saya memang tidak ingin membanding-bandingkan Arif dengan guru-guru yang sudah ada. Yang saya inginkan adalah kehadiran Arif bisa membantu semuanya, membantu mengajar Matematika dan mata pelajaran yang lain, sesuai dengan kemampuannya. Termasuk membantu membenahi manajemen sekolah, juga perpustakaan sekolah yang masih akan dirintis.
Cita-cita Agung dalam pandangan saya, begitu sederhana. Ingin menjadi kepala dusun. "Kenapa, Gung, kok ingin jadi kepala dusun?" Dia hanya tersenyum malu-malu. Setelah saya tanyakan ke Arif, ternyata karena bapaknya adalah seorang kepala dusun, dan Agung ingin kelak bisa menggantikan jabatan bapaknya itu.
Agung mempunyai seorang adik perempuan, duduk di kelas V SDN Kedungbanjar juga. Mereka berangkat jam 06.00 pagi dari rumah menuju sekolah, jalan kaki. Kadang-kadang Agung bawa sepeda angin, tapi katanya, lebih sering turun dan nuntun sepedanya, karena jalannya jelek dan naik turun.
Waktu saya tanya, sebelum berangkat ke sekolah, sudah sarapan belum, dia jawab "sudah, bu. Sarapan nasi goreng". "Selain nasi goreng, apa lagi?" "Nggih nasi goreng niku bu.." "Mosok nasi goreng terus?" "Nasi putih, bu..." Jawabnya. "Lauknya apa? Tahu, tempe, telur, kecap, krupuk....?" Dia berpikir, mengingat-ingat... "Ayam, bu. Mbeleh sendiri. Tapi sudah lama...."
Setelah puas melihat-lihat sekolah, kami bergerak menuju tempat tinggal Arif, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari sekolah. Ternyata Arif menumpang di rumah kepala desa. Kami bertemu dengan pak kades dan bu kades, di rumahnya yang sangat sederhana untuk sebuah jabatan kepala desa. Rumah yang masih setengah jadi, dengan perabot yang juga sederhana. Pak kades baru sekitar tiga bulan menjabat, sejak Juni 2013. Saya menyampaikan terima kasih kepada beliau sekeluarga karena sudah menampung Arif, dan memohon bimbingannya untuk Arif, agar Arif bisa belajar dan melakukan banyak hal selama masa pengabdiannya.
Arif sendiri, adalah lulusan UAD (Universitas Ahmad Dahlan) Yogyakarta, tahun 2013, dari program studi Pendidikan Fisika. Pembawaannya sangat sopan, dan dia, saya lihat, begitu peduli pada anak-anak. Beberapa kali dia mengingatkan Agung, "pakai tangan kanan, Gung..." atau "Itu lho, ditanya ibu, dijawab dengan baik...". Saya berharap, di tempat ini, dia bisa menjadi uswatun hasanah, menjadi tauladan bagi anak-anak didiknya, serta masyarakat pada umumnya. Juga mampu membawa perubahan untuk membangun semangat kebersamaan, kerukunan, dan semangat belajar sepanjang hayat.
Di awal-awal kehadirannya di desa ini, Arif sempat dibingungkan dengan masalah MCK. Di desa Kedungbanjar, hampir sama dengan di desa Jatipandak, MCK nyaris tidak ada di rumah-rumah penduduk. Bahkan di rumah kades pun, tidak ada. Kalau Anas di Jatipandak masih bisa menumpang di sekolah untuk buang hajat, Arif di minggu pertama tidak buang hajat besar sama-sekali. Diempet. Pompa di sekolah rusak, sehingga MCK-nya tidak ada airnya. Mau ikut-ikutan pergi ke hutan seperti penduduk setempat, dia tidak bisa. Sampai akhirnya, dia menemukan MCK di Polindes. Syukurlah. Maka sejak saat itu, Arif selalu pergi ke Polindes untuk buang hajat. Cukup dua hari sekali. Wah, saya sampai geleng-geleng kepala. "Jangan diempet, Rif, bisa jadi penyakit lho. Orang itu normalnya setiap hari be'ol..." Saya mengingatkannya.
Listrik tidak masalah di Kedungbanjar, sudah ada sejak 1999. Tapi air.....susah sekali. Sejak kami memasuki desa Wudi, satu-satunya desa yang menjadi pintu masuk menuju Kedungbanjar, beberapa kali berpapasan dengan para ibu yang sedang memikul drum-drum berbentuk kotak berisi air. Keringat mereka bercucuran. Mereka mengambil air dari sebuah sumur yang jaraknya lumayan jauh.
Sepanjang perjalanan sejak dari waduk Nggondang menuju Kedungbanjar, kami melewati beberapa jembatan, dan sungai-sungai di bawahnya kering kerontang. Sama sekali tidak ada air setetes pun. "Yo iki Lamongan....." Kata mas Ayik. "Udan gak iso ndodok, ketigo gak iso cewok...."
Mas Ayik pernah KKN di Lamongan, tepatnya di desa Sidodowo, Kecamatan Mojo. Dia lumayan faham Lamongan. Ungkapan itu, juga dia peroleh dari masyarakat setempat. Lamongan, seperti yang kita ketahui, sebagian wilayahnya selalu menjadi langganan banjir setiap tahun. Namun begitu musim kemarau tiba, maka air menjadi barang langka.
Sebelum pamit, kami diminta mengisi buku tamu oleh pak kades. Buku tamu yang masih baru, usianya sama dengan usia menjabatnya pak kades, baru tiga bulan. Saya lihat, tanggal 13 September 2013, ada nama Suwarno (Unesa) dan Masyhari (YDSF). Keperluan, mengantar guru Jatim Mengajar. Karena saat ini tanggal 13 Oktober, berarti persis sebulan yang lalu Arif datang di tempat ini. Masih ada sebelas bulan lagi yang harus dilaluinya bersama masyarakat dan anak-anak sekolah di sini. Semoga kehadirannya mampu memberikan perubahan bermakna. Mampu menjadi pelita bagi anak-anak didiknya, melambungkan mimpi dan cita-cita mereka, untuk meraih masa depan yang cemerlang. Mengantarkan mereka menjadi generasi yang cerdas (fathonah), jujur (siddiq), peduli(tabligh) dan bertanggung jawab (amanah).
Semoga Allah SWT meridhoi. Amin ya Rabb....
Lamongan, 13 Oktober 2013
Wassalam,
LN
Sekolah di tengah hutan itu merupakan satu-satunya sekolah di desa tersebut. Bersama Arif, guru yang kami tugaskan dalam Program Jatim Mengajar, kami melihat-lihat ruang-ruang sekolah dan sekelilingnya. Satu ruang adalah ruang guru, ada beberapa meja kursi dan rak buku. Satu ruang untuk perpustakaan, tapi rak belum ada, buku belum tertata, berantakan seperti kapal pecah. Jendela bagian belakangnya juga banyak yang bolong-bolong besar, yang ditambal-tambal tripleks. Satu ruangan untuk kelas I dan II, sedang satu ruang lagi untuk kelas III, IV, V dan VI. Dua ruang terakhir itu lantainya sudah berkeramik. Menurut Arif, ruang itu baru saja di rehab.
Sama dengan dua sekolah yang saya lihat di Jatipandak, siswa SDN Kedungbanjar juga tidak banyak. Jumlah seluruhnya ada 20 orang.
Kelas I ada 5 orang, kelas II, III, IV, masing-masing ada 2 orang, kelas V ada 4 orang dan kelas VI ada 5 orang. Gurunya ada 5 orang, termasuk kepala sekolah. PNS-nya 2, kepala sekolah dan seorang guru. GTT-nya ada 3. Ditambah Arif, jumlah guru sekarang menjadi 6 orang.
Desa Kedungbanjar hanya terdiri dari 67 KK, dengan 307 jiwa. Jadi memang penduduknya tidak terlalu banyak. Menurut kepala sekolah, semua anak usia sekolah sudah bersekolah. Anak usia SD bersekolah di SDN Kedungbanjar. Sedangkan anak usia SMP dan SMA bersekolah di SMP Wudi dan di Sukobendu atau Kedungpring.
Saat kami berkeliling, seorang siswa Arif, namanya Agung Andrianto, selalu bersama kami. Agung kelas VI SDN Kedungbanjar. Nampaknya dia cukup dekat dengan Arif. Waktu saya tanya, senangkah diajar pak Arif, dia jawab, 'nggih seneng, bu....wonten sing ngajar Matematika." "Lha opo sakdurunge gak onok sing ngajar Matematika?" Tanya saya. "Wonten, bu, pak Sundoyo." Terus, apa bedanya dengan pak Arif?" Saya bertanya lagi. "Nggih pokoke seneng wonten pak Arif......" Jawabnya. Saya tidak ingin melanjutkan pertanyaan saya, karena saya memang tidak ingin membanding-bandingkan Arif dengan guru-guru yang sudah ada. Yang saya inginkan adalah kehadiran Arif bisa membantu semuanya, membantu mengajar Matematika dan mata pelajaran yang lain, sesuai dengan kemampuannya. Termasuk membantu membenahi manajemen sekolah, juga perpustakaan sekolah yang masih akan dirintis.
Cita-cita Agung dalam pandangan saya, begitu sederhana. Ingin menjadi kepala dusun. "Kenapa, Gung, kok ingin jadi kepala dusun?" Dia hanya tersenyum malu-malu. Setelah saya tanyakan ke Arif, ternyata karena bapaknya adalah seorang kepala dusun, dan Agung ingin kelak bisa menggantikan jabatan bapaknya itu.
Agung mempunyai seorang adik perempuan, duduk di kelas V SDN Kedungbanjar juga. Mereka berangkat jam 06.00 pagi dari rumah menuju sekolah, jalan kaki. Kadang-kadang Agung bawa sepeda angin, tapi katanya, lebih sering turun dan nuntun sepedanya, karena jalannya jelek dan naik turun.
Waktu saya tanya, sebelum berangkat ke sekolah, sudah sarapan belum, dia jawab "sudah, bu. Sarapan nasi goreng". "Selain nasi goreng, apa lagi?" "Nggih nasi goreng niku bu.." "Mosok nasi goreng terus?" "Nasi putih, bu..." Jawabnya. "Lauknya apa? Tahu, tempe, telur, kecap, krupuk....?" Dia berpikir, mengingat-ingat... "Ayam, bu. Mbeleh sendiri. Tapi sudah lama...."
Setelah puas melihat-lihat sekolah, kami bergerak menuju tempat tinggal Arif, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari sekolah. Ternyata Arif menumpang di rumah kepala desa. Kami bertemu dengan pak kades dan bu kades, di rumahnya yang sangat sederhana untuk sebuah jabatan kepala desa. Rumah yang masih setengah jadi, dengan perabot yang juga sederhana. Pak kades baru sekitar tiga bulan menjabat, sejak Juni 2013. Saya menyampaikan terima kasih kepada beliau sekeluarga karena sudah menampung Arif, dan memohon bimbingannya untuk Arif, agar Arif bisa belajar dan melakukan banyak hal selama masa pengabdiannya.
Arif sendiri, adalah lulusan UAD (Universitas Ahmad Dahlan) Yogyakarta, tahun 2013, dari program studi Pendidikan Fisika. Pembawaannya sangat sopan, dan dia, saya lihat, begitu peduli pada anak-anak. Beberapa kali dia mengingatkan Agung, "pakai tangan kanan, Gung..." atau "Itu lho, ditanya ibu, dijawab dengan baik...". Saya berharap, di tempat ini, dia bisa menjadi uswatun hasanah, menjadi tauladan bagi anak-anak didiknya, serta masyarakat pada umumnya. Juga mampu membawa perubahan untuk membangun semangat kebersamaan, kerukunan, dan semangat belajar sepanjang hayat.
Di awal-awal kehadirannya di desa ini, Arif sempat dibingungkan dengan masalah MCK. Di desa Kedungbanjar, hampir sama dengan di desa Jatipandak, MCK nyaris tidak ada di rumah-rumah penduduk. Bahkan di rumah kades pun, tidak ada. Kalau Anas di Jatipandak masih bisa menumpang di sekolah untuk buang hajat, Arif di minggu pertama tidak buang hajat besar sama-sekali. Diempet. Pompa di sekolah rusak, sehingga MCK-nya tidak ada airnya. Mau ikut-ikutan pergi ke hutan seperti penduduk setempat, dia tidak bisa. Sampai akhirnya, dia menemukan MCK di Polindes. Syukurlah. Maka sejak saat itu, Arif selalu pergi ke Polindes untuk buang hajat. Cukup dua hari sekali. Wah, saya sampai geleng-geleng kepala. "Jangan diempet, Rif, bisa jadi penyakit lho. Orang itu normalnya setiap hari be'ol..." Saya mengingatkannya.
Listrik tidak masalah di Kedungbanjar, sudah ada sejak 1999. Tapi air.....susah sekali. Sejak kami memasuki desa Wudi, satu-satunya desa yang menjadi pintu masuk menuju Kedungbanjar, beberapa kali berpapasan dengan para ibu yang sedang memikul drum-drum berbentuk kotak berisi air. Keringat mereka bercucuran. Mereka mengambil air dari sebuah sumur yang jaraknya lumayan jauh.
Sepanjang perjalanan sejak dari waduk Nggondang menuju Kedungbanjar, kami melewati beberapa jembatan, dan sungai-sungai di bawahnya kering kerontang. Sama sekali tidak ada air setetes pun. "Yo iki Lamongan....." Kata mas Ayik. "Udan gak iso ndodok, ketigo gak iso cewok...."
Mas Ayik pernah KKN di Lamongan, tepatnya di desa Sidodowo, Kecamatan Mojo. Dia lumayan faham Lamongan. Ungkapan itu, juga dia peroleh dari masyarakat setempat. Lamongan, seperti yang kita ketahui, sebagian wilayahnya selalu menjadi langganan banjir setiap tahun. Namun begitu musim kemarau tiba, maka air menjadi barang langka.
Sebelum pamit, kami diminta mengisi buku tamu oleh pak kades. Buku tamu yang masih baru, usianya sama dengan usia menjabatnya pak kades, baru tiga bulan. Saya lihat, tanggal 13 September 2013, ada nama Suwarno (Unesa) dan Masyhari (YDSF). Keperluan, mengantar guru Jatim Mengajar. Karena saat ini tanggal 13 Oktober, berarti persis sebulan yang lalu Arif datang di tempat ini. Masih ada sebelas bulan lagi yang harus dilaluinya bersama masyarakat dan anak-anak sekolah di sini. Semoga kehadirannya mampu memberikan perubahan bermakna. Mampu menjadi pelita bagi anak-anak didiknya, melambungkan mimpi dan cita-cita mereka, untuk meraih masa depan yang cemerlang. Mengantarkan mereka menjadi generasi yang cerdas (fathonah), jujur (siddiq), peduli(tabligh) dan bertanggung jawab (amanah).
Semoga Allah SWT meridhoi. Amin ya Rabb....
Lamongan, 13 Oktober 2013
Wassalam,
LN