Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Selasa, 19 Februari 2013

Orasi Ilmiah dalam Rangka Upacara Dies Natalis ke-37 dan Wisuda Universitas Nusantara PGRI Kediri

Assalamualaikum wr.
wb.

Yang saya hormati:
- Walikota atau yang mewakili
- Kopertis wilayah 7
- Muspika Kota Kediri
- PB PGRI Provinsi
- Pembina YPLP-PT PGRI Kediri
- Ketua YPLP-PT PGRI Kediri, Prof. Dr. Sugiyono
- Rektor UNP Kediri, Drs. H. Samari, SE. MM
- Anggota senat UNP dan segenap undangan, serta para wisudawan yang berbahagia.

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia dan hidayah-Nya, sehingga kita semua dapat bertemu pada Upacara Dies Natalis ke-37 dan Wisuda UNP Kediri ini, dalam keadaan sehat wal afiat dan selalu dalam lindungan-Nya. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah pada junjungan kita Rasulullah SAW.

Bapak ibu dan hadirin yang saya hormati, saya berdiri di sini dalam rangka mewakili Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Prof. Dr. Muchlas Samani, yang saat ini tengah melaksanakan tugas untuk menjajagi berbagai peluang membangun jaringan kerjasama dengan universitas-universitas di luar negeri, khususnya pada saat ini, di Negeri Belanda. Sebuah upaya yang tidak bisa tidak harus kita lakukan bila kita ingin memiliki institusi yang kompetitif. Selain dimensi akuntabilitas, relevansi, kualitas dan otonomi kelembagaan, jaringan kerjasama merupakan salah satu dimensi penting dalam mengembangkan perguruan tinggi di era global ini.

Bapak ibu dan hadirin yang saya hormati, izinkan saya menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam orasi ilmiah ini, dengan sebuah judul: "Membangun Sumber Daya Manusia yang Sehat dan Berkarakter melalui Peningkatan Daya Saing Universitas (khususnya LPTK)".

Kalau kita melakukan flash back mengacu pada hasil evaluasi Bank Dunia terhadap 150 negara pada tahun 1995, dikemukakan bahwa faktor penentu keunggulan suatu negara adalah: innovation (45 persen), networking (25 persen), technology (20 persen), dan natural resources (10 persen). Lebih dari lima belas tahun yang lalu, namun inovasi dan jejaring, juga teknologi, sudah mengambil posisi yang sangat penting dalam menyumbang keunggulan suatu negara. Kita yang mengalami masa itu tahu, belum banyak di antara kita yang memiliki laptop, telepon seluler, dan seterusnya. Persewaan PC ada di mana-mana, begitu juga dengan jasa telepon umum. Sangat berbeda dengan kondisi saat ini.

Belasan tahun berikutnya, Wagner (2008) mengemukakan konsep 'the survival skills for new generation'. Menurutnya, keterampilan-keterampilan penting untuk bisa bertahan hidup pada generasi baru ini meliputi: critical thinking and problem solving; collaboration across networks and leading by influence; ability and adaptability; initiative and entrepreneurialism; effective oral and written communication; accessing and analyzing information; serta curiousity and imagination. Kalau kita perhatian, semua ini lebih kepada pengembangan soft skills, selain juga, sebagaimana temuan Bank Dunia pada belasan tahun sebelumnya, networking dan teknologi tetap menjadi prioritas. Yang juga mungkin di luar pikiran kita adalah komunikasi tertulis dan kemampuan imajinasi. Dua hal yang ternyata sangat diperlukan untuk mampu survive dalam era saat ini.

Kita juga mengenal apa yang disebut "The 21st century knowledge and skills rainbow", di mana core subject dan tema-tema pada abad ke-21 ini juga tidak berbeda jauh dengan apa yang sudah dikemukakan oleh Bank Dunia dan Wagner, yaitu meliputi: life and career skills; learning and innovation skills; serta information, media and technology skills. Hal ini sangat relevan dengan sebuah artikel tentang tren skill masa depan, di mana semua yang berbasis rutinitas dan manual (routine cognitif, routine manual) cenderung menurun grafiknya. Sebaliknya hal-hal yang melibatkan expert thinking dan complex communication meningkat dengan sangat pesat.

Bapak ibu dan hadirin yang saya banggakan, maka tidak salah bila dikatakan, pada era global ini, hard skill/specific skil dan soft skill/generic skill/karakter, adalah ibarat dua sisi mata uang: tak terpisahkan.

Maka mari kita menjadi profesional. Berbagai penelitian menggambarkan, profesionalitas ternyata hanya ditentukan oleh 10 persen knowledge, 15 persen skill. Selebihnya yang sangat menentukan adalah interpersonal relationship (25 persen), dan yang paling menentukan lagi adalah attitude (50 persen). Dalam attitude inilah karakter melekat erat.

Tepatlah bila kementerian pendidikan nasional sejak tahun 2010 mencanangkan pendidikan karakter dalam rangka membangun karakter bangsa (nation character building). Perilaku berkarakter yang ditekankan meliputi olah pikir, olah hati, olah rasa/karsa dan olah raga; dengan nilai-nilai luhurnya: cerdas, jujur, peduli dan tanggung jawab. Kalau kita kembalikan pada sifat-sifat Nabi berati fathonah (cerdas), siddiq (jujur), tabligh (peduli) dan amanah (tangguh). Kesimpulannya, kita harus memiliki IQ (intellectual quotient), SQ (spiritual quotient), EQ (emotional quotient) dan AQ (adversity quotient).

Bapak ibu dan hadirin, saat ini, dalam rangka implementasi kurikulum 2013, kita mengenal adanya pergeseran paradigma belajar abad 21. Ciri abad 21 ini adalah: informasi (tersedia di mana saja dan kapan saja); komputasi (lebih cepat memanfaatkan mesin); otomasi (menjangkau segala pekerjaan ruitn); dan komunikasi (dari mana saja dan ke mana saja). Berdasarkan ciri-ciri ini, maka model pembelajaran diarahkan untuk mendorong peserta didik mencari tahu dari berbagai sumber, melakukan observasi, dan bukan diberi tahu; pembelajaran diarahkan untuk mampu merumuskan masalah (bertanya) bukan hanya menyelesaikan masalah (menjawab);  pembelajaran diarahkan untuk melatih berfikir analitis (pengambilan keputusan) bukan berfikir mekanistis (rutin); pembelajaran menekankan pentingnya kerjasama dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah.

Selanjutnya apa yg dimaksud daya saing? Daya bermakna kekuatan, saing berarti mencapai lebih dari yang lain dari segi mutu, atau memiliki keunggulan tertentu. Daya saing bermakna kekuatan untuk berusaha menjadi lebih baik dari yang lain, atau unggul dalam hal tertentu, baik yang dilakukan seseorang, kelompok, maupun institusi tertentu. Kemampuan daya saing meliputi: kemampuan memperkokoh posisi pasar, kemampuan menghubungkan dengan lingkungannya, kemampuan meningkatkan kinerja tanpa henti, dan kemampuan menegakkan posisi yang menguntungkan.

Untuk memiliki daya saing, perguruan tinggi harus memiliki visi dan misi yang berorientasi pada dimensi lokal sekaligus global. Dimensi lokal seperti akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan dan jaringan kerjasama, akan membawa perguruan tinggi menjadi institusi yang unggul. Akuntabilitas berkaitan dengan sejauh mana perguruan tinggi mempunyai makna dari the share holder, yaitu masyarakat. Perguruan tinggi bukanlah menara gading, oleh sebab itu diperlukan adanya partisipasi masyarakat. Perguruan tinggi tidak hanya berfungsi menggali dan mengembangkan ipteks, tapi juga suatu industri jasa untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Selanjutnya dalam aspek relevansi, perguruan tinggi seharusnya dapat memenuhi kebutuhan nyata di lapangan (ipteks, moral, etika dan agama). Dalam kaitan ini juga, sangat diperlukan adanya partisipasi dunia kerja dan industri. Pada dimensi kualitas, perguruan tinggi merupakan sumber SDM tingkat tinggi (kaum intelek). Sebagai agent of change. Pada aspek otonomi kelembagaan, institusi perguruan tinggi harus memiliki kebebasan akademik dan mimbar akademik, manajemen, penyusunan program, penganggaran, dan seterusnya. Sedangkan pada dimensi jaringan kerjasama, sepenuhnya kita menyadari bahwa perguruan tinggi bukanlah self-sufficient institution, dengan demikian perlu kemitraan yang sejajar antara semua perguruan tinggi, dunia usaha dan industri, lembaga riset, pemerintah daerah dan sebagainya.

Sebagai mana pada dimensi lokal, pada dimensi global, perguruan tinggi harus kompetitif, berorientasi pada kualitas, dan juga harus membangun jaringan kerjasama. Supaya memiliki daya kompetitif global, perguruan tinggi harus memiliki program unggulan. Kualitas perguruan tinggi juga sangat dipengaruhi oleh fasilitas dan mutu riset, serta terbitan dalam bentuk jurnal ilmiah internasional. jaringan kerjasama dengan perguruan tinggi terbaik di tingkat regional dan internasional, misalnya dalam bentuk pertukaran tenaga pengajar dan mahasiswa, riset bersama, dan sebagainya, akan menjadikan perguruan tinggi memiliki keunggulan dan daya saing.

Bagi perguruan tinggi, strategi untuk menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dalam era global ini adalah tiga kata kunci, yaitu quality, efficiency dan relevance. Quality harus ditingkatkan terus-menerus secara terprogram (continuous improvement) sehingga diperoleh tingkat efisiensi terbaik dan kompetitif (competitive advantage), dibuktikan melalui kepuasan konsumen (customer focus); dan semua ini hanya bisa tercapai dalam sistem organisasi yang sehat dengan tatalaksana organisasi yang baik (good university governance).

Dalam kaitan ini, maka revitisasi LPTK harus dilakukan. Lesser (2001) mengemukakan suatu lembaga (termasuk LPTK) yang modern dan berkualitas memerlukan modal dasar: pengetahuan (intellectual capital); fisik (physical capital); sosial (social capital); dan manajemen berbasis mutu (total quality management). Kampus seharusnya merupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, nilai-nilai, keterampilan dan pengembangan kapasitas pribadi (modal intelektual). Fasilitas fisik kampus termasuk ICT dan instrumen manajerial untuk memastikan proses pendidikan dan pembelajaran harus belangsung secara berkualitas dan nyaman (modal fisik). Di lain pihak, kampus harus merupakan entitas di dalam dan di luar kampus (modal sosial). Terakhir, prinsip-prinsip total quality management harus menjadi pedoman pengelolaan kampus (sistem manajemen yang berbasis mutu).

Selain itu kurikulum LPTK juga harus mendapat perhatian tersendiri. Didesain secara khusus dengan memperhatikan karakteristik khas profesi pendidikan yang mengedepankan: penguasaan keilmuan yang kuat; penguasaan ilmu pendidikan, filsafat pendidikan, psikologi pendidikan dan perkembangan, etika, dan pendidikan multi kultural; praktek pengajaran yang bukan sekedar praktek tetapi harus didesain di mana calon guru harus berada di lingkungan sekolah secara terus-menerus dalam waktu tertentu dengan pembinaan yang jelas dan terstruktur; mengamati dan mendiskusikan permasalahan yang ditemui di kelas, dan melakukan ujian berulang-ulang dengan karakteristik yang berbeda-beda sehingga dia dapat menghayati bagaimana menjadi seorang guru yang sesungguhnya; dan pengembangan kepribadian seperti kepemimpinan, peduli dan sayang kepada anak-anak, serta cinta profesi.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah penataan aktivitas mahasiswa. Aktivitas kehidupan kampus bukan hanya pada upaya menumbuhkan kecintaan dan penguasaan teknologi, tetapi juga diarahkan pada penguasaan keterampilan yang berhubungan dengan pertumbuhan profesinya sebagai bekal kelak manakala menjadi guru. Dengan demikian dapat diharapkan, kita akan mampu menghasilkan anak Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, inovatif (pasal 1 UU Sisdiknas).

Bapak ibu dan hadirin yang saya hormati, guru profesional menjadi bagian dari guru yang efektif. Karakteristik guru profesional menurut Hay McBer (2000) adalah: kematangan pribadi, percaya diri, dapat dipercaya dan respek pada orang lain; kemampuan berpikir analitis dan konseptual; kemampuan perencanaan dan ekspektasi, inisiatif, dan senantiasa melakukan perbaikan; memiliki jiwa kepemimpinan seperti fleksibilitas, mengelola siswa secara akuntabel dan cinta belajar; serta hubungan dengan orang lain seperti bekerja di dalam tim dan memahami orang lain.

Tentang guru yang profesional, kita juga pasti sangat mengenal ungkapan ini: "Poor teacher tells, good teacher teaches, best teacher inspires the students".

Terakhir, bapak ibu dan hadirin yang saya banggakan, rahasia perusahaan yang berumur panjang bukan karena terkuat, melainkan yang paling adaptif. Maka marilah kita menjadi individu-individu yang adaptif dan memiliki kemampuan untuk berkembang. Mari kita  membentuk habit, selanjutnya, biarlah habit yang akan membentuk kita. Sebagaimana yang dikatakan Aristotle: "we are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit".

Untuk menutup orasi saya, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada pembina dan ketua yayasan, rektor, dan segenap civitas UNP Kediri. Kesempatan ini telah mempertemukan saya dengan orang-orang hebat yang sedang menjalankan sebuah institusi yang hebat. Kesempatan ini juga telah mempertemukan saya dengan bapak saya, Drs. Moeljadi, beliau adalah mantan PR2 di Unesa; juga dengan sahabat saya, Dr. Atrup, MM, teman seperjuangan ketika menempuh studi S3 di Universitas Negeri Malang.
Saya juga ingin mengucapakan selamat kepada para wisudawan serta para orang tua dan keluarga. Selamat, satu tahap telah sukses terlampaui. Semoga jalan ke arah masa depan yang cemerlang terbentang luas, dan semoga Saudara semua bisa meraih cita-cita luhur Saudara, serta mampu membawa Indonesia menjadi lebih baik dan bermartabat.

Terakhir, mohon maaf bila ada kekhilafan dalam kata-kata dan perilaku saya. Billahi taufiq wal hidayah, wassalamualaikum wr wb.

Kediri, 19 Februari 2013

LN

Sabtu, 02 Februari 2013

Aceh Singkil 4: Catatan yang Tercecer (Tamat)

Tiga hari berkelana di Aceh Singkil memberikan banyak pengalaman berharga bagi saya dan teman-teman satu tim. Wilayah yang terdiri dari daratan dan kepulauan, dengan masyarakat dari berbagai suku, dan mayoritas penduduknya muslim (meski ada satu pulau yang hampir seratus persen penduduknya adalah nonmuslim), serta keberadaan berbagai adat dan budaya, semakin membuka mata kita betapa kayanya Tanah Air Indonesia. Lengkap dengan kekayaan alam (terutama kelapa sawit dan hasil laut), juga hal-hal yang berbau ghaib dan mistik, membuat Aceh Singkil menjadi begitu unik. Pada beberapa perbincangan kami dengan kepala sekolah dan masyarakat Aceh Singkil, beberapa kali terlontar semacam 'warning' bagi kami, agar tidak melakukan hal-hal yang bersifat pantang, selalu  bersikap hati-hati dan waspada serta melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan. Bila tidak yakin atau ragu-ragu, sebaiknya tidak dilakukan, baik dalam urusan makanan maupun hal-hal lain. Di Aceh Singkil, ajaran Islam begitu kentalnya mewarnai kehidupan masyarakat. Di sisi lain, aroma mistik dan kepercayaan yang seringkali tak bisa dijelaskan dengan akal sehat juga begitu dipegang teguh oleh sebagian masyarakat, bahkan secara turun-temurun. Karakteristik yang pada umumnya masih kuat melekat pada masyarakat tradisional.

Tsunami yang pada tahun 2004 dan setelah itu disusul dengan gempa Nias telah memporakporandakan sebagian wilayah Aceh Singkil.  Berbagai bantuan melimpah untuk program recovery. Belasan LSM, bahkan puluhan, berlomba-lomba menggerojokkan bantuan, baik berupa fresh money maupun berupa barang mulai dari sembako, lembu, benih ikan, itik, perahu, bahkan juga perbaikan jalan, rumah, perkantoran dan lain-lain. Mungkin karena begitu banyaknya bantuan sehingga semua itu sempat meninabobokan masyarakat Aceh Singkil. Bantuan yang awalnya dimaksudkan oleh para donor sebagai 'kail', ternyata tidak dimanfaatkan secara optimal, karena 'kail' itu justru banyak yang dijual dan ditukar dengan barang-barang konsumtif.

Bahkan sampai saat ini pun, bantuan dari LSM masih sesekali datang. Maka tidak heran, ketika pertama kali kami bertemu Marlon di Bandara Polonia, driver yang dikirim oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Singkil untuk menjemput kami, pertanyaan pertama yang dia lontarkan adalah: 'ini dari LSM?'. Berikutnya dia katakan, bahwa Unesa dia pikir adalah LSM di bawah Unesco, atau setidaknya perwakilan Unesco di Indonesia. Glodak!

Menurut Marlon, penampilan kami seperti orang-orang dari LSM. Tapi begitu dia, juga para petugas dari dinas, serta masyarakat melihat bagaimana cara kerja kami, pembicaraan-pembicaraan kami, dan juga sikap kami, mereka baru menyadari bahwa kehadiran kami di Aceh Singkil, di berbagai pelosoknya, bukanlah demi sebuah formalitas. Apa yang kami lakukan bersama-sama anak-anak kami yang sedang mengabdikan diri mereka di sana, adalah sebuah bentuk perjuangan kecil demi membangun pendidikan. 'Mau apa orang itu kemari?', kata Marlon, pertanyaan itu hampir selalu terlontar dari masyarakat, setiap kali kami tiba di suatu tempat. Sejurus kemudian, setelah Marlon menjelaskan siapa kami dan mau apa kami, orang-orang itu mendekat, menyapa ramah, bahkan beberapa menawari kami untuk mampir ke rumahnya. Tentu saja, hal ini tidak lepas dari penilaian mereka atas kinerja para guru pengabdi itu, para peserta SM-3T, yang menurut mereka, para guru SM-3T bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh dedikasi.

Selama kunjungan (atau lebih tepatnya disebut 'petualangan') kami di Aceh Singkil, bendera merah putih berkibar di semua halaman sekolah, kantor dan hotel. Namun beberapa di antaranya sudah tidak sepenuhnya merah dan sepenuhnya putih. Bahkan beberapa ada yang sudah koyak dan berjuntai pada bagian pinggir bawahnya. Panas dan hujan telah melapukkan bendera-bendera itu. Harapan kita adalah, semoga hal itu tidak melapukkan rasa nasionalisme mereka. Bagaimana pun kita agak miris ketika menemukan kenyataan bahwa ada sekolah yang menolak melaksanakan upacara bendera (meskipun di Jawa mungkin masih sesekali ditemukan hal serupa). Juga, ketika seorang siswa menyatakan, warna bendera Indonesia bukanlah merah putih (karena yang dia lihat adalah bendera yang warnanya telah memudar menjadi merah muda dan putih kelabu). Mungkin kita harus menyadari,  jawaban siswa itu tidak terlalu salah karena itulah kenyataan yang dia lihat di depan mata. Bahkan ketika dia menolak ketika diminta untuk menghormat bendera, mungkin kita harus melakukan refleksi, adakah yang salah dalam pendidikan kewarganegaraan kita di sekolah, atau bahkan dalam proses penanaman rasa cinta tanah air pada umumnya oleh bangsa ini.
  
Belum banyak daerah pelosok yang kami kunjungi. Tapi meski begitu kami bisa merasakan, betapa kinerja sebagian besar aparat pendidikan di berbagai pelosok itu masih sangat perlu ditingkatkan. Saya masih ingat, ketika kami berkunjung ke Talaud pada 2012 yang lalu, seorang petugas dinas PPO  Kabupaten Talaud, perempuan, integritas dan dedikasinya begitu mengagumkan kami. Dia mendampingi kami sampai ke pelosok mana pun, dan peta lokasi sekolah ada di kepalanya. Hafal di luar kepala. Di mana pun di sekolah yang kami kunjungi, dia disambut dengan sangat baik dan penuh kehangatan. Nampak jelas dia sangat membumi. Namun begitu, tidak banyak orang seperti dia. Di kabupaten yang lain, bupati dan kepala dinasnya beserta seluruh staf juga sangat responsif, menyambut baik kehadiran para guru SM-3T dengan penuh suka cita, dan mereka memastikan akan menjamin keamanan dan keselamatan guru-guru tersebut. Mereka tahu di mana sekolah-sekolah yang membutuhkan guru-guru itu. Tapi mereka juga nyaris tidak pernah berkunjung ke sekolah-sekolah tersebut. Pengawas tidak seluruhnya tahu di mana sekolah-sekolah yang menjadi wilayah tanggung jawabnya. Kepala sekolah bahkan tidak perlu datang setiap hari, seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali cukuplah. Medan yang berat dan cuaca buruk seringkali menjadi alasan. Guru-guru mengajar dengan semaunya, mangkir dari tugas tanpa merasa bersalah. Perilaku semacam itu ibarat virus yang menular, sebagai akibat dari lemahnya kepemimpinan dan minimnya figur panutan. Etos kerja yang rendah mulai dari pimpinan puncak daerah, menjalar sampai ke aparat-aparat di bawahnya, ke pengawas, kepala sekolah, guru, dan dalam kondisi yang seperti itulah siswa belajar. Ditambah dengan daya dukung masyarakat khususnya orang tua yang lemah, lengkaplah sudah. 

Saat ini kami baru saja menginjakkan kaki di Surabaya. Beberapa menit yang lalu Sriwijaya Air yang kami tumpangi sejak dari Medan-Padang-Jakarta telah mendarat di Bandara Juanda dengan selamat.  Setelah sejak kemarin sore kami melakukan perjalanan panjang dari Singkil, ditemani kabut tebal yang menghalangi pandangan, dan puluhan truk tangki pengangkut CPO yang memacetkan jalan;  saat ini kami telah kembali bertemu dengan keluarga kami masing-masing. Alhamdulilah. Satu tugas telah tunai. Tubuh boleh lelah, tapi jiwa dan semangat berjuang dan berkarya harus terus bergelora..... Amin YRA.

Juanda Surabaya, 2 Februari 2013. Pukul 23.00 WIB.

Wassalam,
LN

Jumat, 01 Februari 2013

Aceh Singkil 3: Ke Pulau Banyak

Laut tenang sekali ketika saya menatapnya dari teras hotel pagi ini. Tapi suara deburan ombak terdengar sangat jelas. Membuncah menghempas pantai. Laut hanya berjarak sekitar 75 meter di depan hotel. Setumpuk awan yang menggumpal di kaki langit seperti lukisan alam yang begitu indah. Pagi hari di Singkil, dan mentari mengintip di balik setangkup mendung.

Setelah menyelesaikan sesi pemotretan di pantai dan sarapan dengan menu yang sama seperti kemarin, kami diangkut pak Dasir ke jembatan tempat mangkalnya speed boat. Lengkap dengan pelampung kami. Speed boat yang kami sewa adalah speed boat polisi air. Berkapasitas sepuluh orang, beratap dan berjendela, serta bersirine. Ada dua tempat tidur di badan depan,  enam tempat duduk di badan tengah termasuk kursi untuk tekong dan kotekong (pengemudi dan asistennya), dan satu kursi panjang di badan belakang yang tidak beratap. Ketika kami datang di pangkalan, speed boat masih dibersihkan. Dua orang polisi air menyapa kami dengan ramah, dan menyilakan kami memasuki speed boat begitu speed boat telah siap.

Untuk menyeberang ke Pulau                                                                                                Banyak, ada tiga jenis transportasi yang tersedia. Kapal feri, seminggu dua kali beroperasi, itu pun bergantung cuaca, dengan waktu tempuh sekitar empat jam. Boat, berkapasitas dua puluh orang, beroperasi setiap hari, waktu tempuh sekitar tiga jam. Feri maupun boat ongkosnya sama, dua puluh lima ribu seorang. Selanjutnya speed boat, yang ini harus sewa, sejuta sampai sejuta limaratus ribu sekali jalan, berkapasitas delapan orang, jarak tempuh satu jam. Kami tidak menggunakan ketiganya, melainkan menyewa speed boat polisi air (polair), demi keamanan dan kenyamanan. Memang ongkos sewanya sedikit lebih mahal, tapi seimbang dengan 'ketenangan batin' kami. Bagaimana pun, kami memerlukan ekstra kekuatan mental untuk menempuh perjalanan air ini. 

Di luar perkiraan kami, ternyata di dalam speed boat  polair sudah tersedia pelampung. Belum memasuki badannya saja, warna oranye menyala itu begitu saja menyadarkan kami, betapa tololnya kami. Tanpa pikir panjang, pelampung yang sudah kami tenteng langsung kami lemparkan kembali ke mobil. Wah, firasat saya mungkin benar, pelampung yang kami bawa jauh-jauh dari Surabaya itu mungkin hanya akan kami gunakan untuk 'ciblon' di Danau Toba. Ha ha....

Maka speed boat pun bergerak. Tenang. Beberapa bangunan rumah dan bangunan besar berbentuk silinder bekas pabrik CPO, yang kami lewati, terlihat merana. Sebuah kenangan dari peristiwa tsunami. Ya. Pada beberapa meter bagian tepi laut, dahulunya adalah daratan, banyak rumah penduduk, ada pabrik CPO, dan tsunami telah memporak-porandakan semuanya.

Menaiki speed boat polair, serunya tidak seperti naik speed boat biasa. Pengalaman saya naik speed boat di beberapa tempat wisata, juga ketika menyeberang dari Talaud ke Pulau Lairung, tidak saya dapatkan di sini. Tidak ada goncangan yang sangat keras seperti naik oto di jalan makadam serta tidak ada acara berbasah-basah. Speed boat polair ini memang bergoncang-goncang, berglodak-glodak, tapi karena ukurannya lebih besar dan tinggi, goncangannya tidak sampai membuat perut kami mulas. Seorang polisi memegang kemudi, dan saya duduk di sebelahnya, sambil memperhatikan polisi yang lain berdiri gagah di palka untuk memastikan laju dan arah speed boat.

Waktu menunjukkan pukul 08.59 ketika kami sudah berjalan sekitar setengah jam.  Sejauh mata memandang adalah hamparan laut yang airnya berkilauan bak mutiara karena tertimpa sinar matahari. Badan speed boat yang memecah ombak menyemburatkan warna putih berpendar-pendar dari bagian sisi-sisinya. Belasan burung camar berterbangan di depan mata. Beberapa saat yang lalu, kami meninggalkan pangkalan, meninggalkan belasan perahu yang masih tertambat. Saat ini hanya kamilah satu-satunya yang ada di tengah samudra yang luas ini, tak ada kapal lain. Ketika saya tanyakan ke bapak polisi yang sedang memegang kemudi, kenapa hanya kita yang ada di tengah laut, dia jelaskan kalau saat ini sedang musim angin dan tidak banyak perahu yang berlayar.

Pukul 09.21. Nampaklah pulau indah itu. Dengan hamparan nyiur yang melambai-lambai. Puluhan perahu nelayan bersandar. Rumah-rumah nelayan berbaris. Warna-warni dan aroma kehidupan pantai tersaji indah. Kami berdiri menatap semuanya dengan riang. Dua orang peserta SM-3T, Jihad dan Nasrul, menyambut kami, mengulurkan tangan membantu kami keluar dari speed boat. Kepala Sekolah SMP 1 Pulau Banyak juga ada. Tinggi kurus, berkopiah, wajah tuanya tirus dan ramah.

Dermaga ini mirip pasar. Ya, banyak toko, warung, dan lorong-lorong yang di kanan kirinya adalah penjual sayur dan berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Sayur di sini mahal. Sawi yang di Jawa seharga dua ribu rupiah, di sini bisa sepuluh ribu. Sebaliknya, kelapa sangat murah, seribu rupiah sebutir.

Disebut Pulau Banyak karena wilayah ini terdiri dari banyak pulau, pulau besar maupun kecil, konon hampir seratus pulau, ada yang berpenghuni dan tidak. Yang berpenghuni adalah Pulau Balai, Pulau Tuangku dan Teluk Nibung. Di tiga pulau inilah para peserta SM-3T ditugaskan. 

Di SMP 1 Pulau Banyak sudah menunggu belasan peserta SM-3T. Mereka yang dari berbagai pulau itu memang sengaja diminta bergabung di sini. Ada yang datang dari desa Ujung Sialit dan Sukamakmur, keduanya ada di Pulau Tuangku. Kepala sekolah SMA 1 Pulau Banyak dan SMP 1 Teluk Nibung juga hadir. Maka terjadilah silaturahim yang akrab dan menyenangkan pada pagi menjelang siang pagi ini.

SMP 1 Pulau Banyak memiliki empat guru PNS dan sembilan  guru honorer. Ada 202 siswa yang terbagi dalam tujuh rombel. Di antara empat guru PNS tersebut, hanya satu yang sudah tersertifikasi, yaitu Kepala Sekolah, bapak Amrin T, S. Pd. Beliau yang menjemput kami di dermaga tadi. Di sekolah ini ditugaskan satu peserta SM-3T, yaitu Nasrul.

Selanjutnya di SMP Satap Teluk Nibung, sekolah yang tempatnya berada di pulau yang lain, hanya ada dua guru PNS, salah satunya adalah kepala sekolah, yaitu bapak Ramli. Beliau lulusan D2. Guru honorer ada empat orang. Di tempat ini ditugaskan empat guru SM-3T. Sekolah ini terdiri dari tiga rombel, dan jumlah siswa seluruhnya hanya 52. Sekolah baru, baru meluluskan satu kali (17 siswa), dengan tingkat kelulusan UN 100 persen.
 
Tepat pukul 11.10 kami pamit. Perjalanan akan kami lanjutkan ke Pulau Tuangku. Ada tambahan muatan karena lima orang peserta SM-3T turut serta bersama kami. Dua dari mereka memang bertugas di Ujung Sialit, di Pulau Tuangku. Kepala sekolah SMP 1 Pulau Banyak juga mendampingi kami. Selebihnya adalah peserta dari Pulau Balai, mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk berkunjung ke Ujung Sialit, mumpung ada tumpangan gratis. Hehe....

Ujung Sialit merupakan desa yang mayoritas penduduknya berasal dari Nias. Hampir seratus persen nonmuslim. Meski di kampung nelayan, kulit mereka putih dengan mata sipit serta rambut pirang. Nama-nama mereka juga khas, antara lain: Boy, Roy, Fanes, David, Beki.  Ada satu SD dan satu SMP di desa itu. Tidak memerlukan waktu lama untuk mengitari desa Ujung Sialit dari satu ujung ke ujung lainnya. Selama sekitar satu jam, kami menghabiskan waktu di SD Ujung Sialit, berjalan-jalan di antara lorong-lorong kampung yang beraroma khas pantai, menyapa para orang tua dan anak-anak yang sedang sibuk dengan berbagai aktivitas; di bawah terik matahari yang sedang panas-panasnya.

Oleh karena ini hari Jumat, kami harus segera kembali ke Pulau Balai. Tidak ada masjid di sini. Para peserta SM-3T yang bertugas di Ujung Sialit selalu mencari tumpangan untuk menyeberang ke Pulau Balai agar mereka bisa menunaikan sholat Jumat di masjid. Ujung Sialit, yang hanya berjarak tempuh tiga puluh menit dari Pulau Balai, memiliki kultur dan agama yang sama sekali berbeda. Betapa kayanya Indonesia.

Begitu sampai di Pulai Balai, sementara para pria menunaikan sholat jumat jamaah di masjid, kami para ibu menikmati makan siang yang dijamu oleh Kepala Sekolah SMP 1 Pulau Banyak, di sebuah tempat makan di kampung nelayan. Menunya terdiri dari nasi putih, gulai ikan tongkol, balado ikan buncilak (sejenis tongkol tapi kecil-kecil) dan sayur campur. Sayur campurnya sangat segar. Terbuat dari daun singkong muda, leuncak, terong kecil, dan kacang panjang, berkuah bening dengan sedikit irisan cabe merah. Benar-benar cocok untuk hidangan di siang yang terik ini.
 
Kami meninggalkan desa Pulau Balai di Pulau Banyak ini pada pukul 14.22. Saat kami kembali memasuki speed boat, barisan para peserta SM-3T melambai mengiringi perjalanan kami. Mata mereka bercahaya dan senyum mereka merekah cerah. Entah kenapa, tiba-tiba saja saya diliputi rasa haru. Di tempat ini, mereka berjuang. Jauh dari segala yang mereka cintai di tempat asal. Kehangatan keluarga, makanan enak, lampu-lampu kota, bahkan mungkin belahan jiwa. Bergulat dengan berbagai tantangan, di antara tajamnya perbedaan kultur dan mungkin agama. Namun ketegaran mereka meluluhkan hati saya. Saya bangga pada mereka semua, para guru pengabdi itu. Sebongkah doa saya panjatkan, semoga Allah SWT senantiasa meringankan jalan mereka dalam mengemban tugas pengabdiannya. Amin YRA. 

Siang semakin terik
Panas membakar
Ombak membuncah
Berpendar memecah pantai
Meletup-letupkan jiwa

Wahai para guru pengabdi,
Mari melukis cakrawala
Mengukir angkasa
Tumpahkan segala mimpi dan asa
Demi masa depan negeri tercinta

Pulau Banyak, 1 Januari 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 31 Januari 2013

Aceh Singkil 2: Singkohor dan Danau Paris

Malam tadi, meleset dari perkiraan saya, kami tiba di Aceh Singkil pada pukul 23.10. Tapi sebenarnya, andai saja tidak terjadi tragedi ban 'mbledos', mungkin kami bisa sampai lebih cepat. Saat itu pukul 22.23. Ketika saya sedang menikmati dengkuran  teman-teman yang pulas kelelahan, dan saya berusaha terus berjaga supaya bisa menemani driver melek (sejak dari Medan saya duduk di sebelah driver), tiba-tiba ban Iikiri belakang mobil meletus. Mobil spontan limbung setelah terdengar suara keras berdentum, dan ada yang terasa 'mlesek' di sebelah kiri. Untungnya laju mobil sedang tidak terlalu kencang karena jalan yang berbelok-belok memang tidak memungkinkan. Saat itu wilayah Rimo baru saja kami tinggalkan dan hanya perlu sekitar sepuluh menit untuk mencapai Aceh Singkil.  Terpaksalah kami berhenti dulu. Driver membongkar ban dan menggantinya dengan ban cadangan. Tidak memerlukan waktu lama, hanya sekitar 15 menit dan mobil siap melaju lagi. 

Maka sampailah kami di sini. Di Hotel Bidadari. Saya tidak tahu apakah ini hotel terbaik di Aceh Singkil. Hotel yang sama sekali tidak terkesan hotel mewah, dengan lobi yang tidak jelas di mana tempat meja front office-nya, dengan sebuah meja makan dan dua kursi (kursi yang lain berada di teras bersisian dengan sofa kumal dan koyak), dan ketika kami datang hanya ditemui oleh seorang laki-laki yang berkaus dan bercelana pendek, yang hanya melihat-lihat saja kami menurunkan bagasi dari mobil, lantas menunjukkan di mana kamar-kamar kami. Sebuah kamar berukuran 5x5 meter, itu pun sudah termakan oleh sekotak kamar mandi,  dengan satu single bed yang cukup untuk tidur berdua, dan satu extra bed yang dihamparkan langsung di lantai. Sebuah televisi LG model lama berukuran 21 inchi di atas meja yang merangkap rak untuk meletakkan digital satellite receiver yang berdebu tebal dan sebuah sajadah. Tanpa meja, tanpa kaca, tanpa meja rias dan kaca cermin. Apalagi lemari dan mini refrigerator atau safe deposit box sebagaimana yang biasa kita lihat di hotel-hotel bagus, tentu tidak ada.

Saya mengenyahkan keinginan untuk segera membersihkan diri dan membaringkan tubuh di atas springbed yang melambai-lambai karena malam itu juga kami akan berkoordinasi dengan dinas pendidikan Kabupaten Aceh Singkil. Pak Dasir, kasi dikmen bagian kurikulum disdik, segera tiba menyambut kami. Begitu juga Yusuf, koordinator SM-3T Aceh Singkil (kami menyebutnya lurah) dan dua temannya, Fadil dan Nahdiyin, yang bertugas di Danau Paris, sudah berkumpul. Kami menggeser kursi di teras dan duduk melingkar. Saya sendiri duduk di sofa koyak itu. Malam ini kami akan konkritkan rute monev besok pagi. Setelah berunding agak lama, memperhitungkan waktu, keterjangkauan lapangan sasaran, kondisi medan, dan jarak tempuh dari satu titik ke titik lain, maka kami putuskan hari pertama besok kami fokuskan ke wilayah daratan. Hari kedua baru ke wilayah pulau. Itu pun kalau cuaca memungkinkan. Semoga. Kami mengakhiri meeting pada tengah malam lebih sedikit, yaitu pukul 24.12. Saya langsung masuk kamar, bergabung dengan bu Nanik dan bu Lusi yang sudah mandi dan bersiap tidur. 

Pagi ini, saya dibangunkan oleh suara hujan yang seolah ditumpahkan dari langit. Suara itu semalaman mengganggu tidur saya berkali-kali. Meski waktu sudah menunjukkan pukul 05.30, di luar masih gelap. Saya bergegas mengambil air wudhu dan sholat shubuh, disusul bu Nanik. 

Begitu pagi mulai terang, kami baru tahu kalau hotel ini berdekatan dengan pantai. Air laut yang berkilauan tertangkap dari jendela kamar.  Begitu kami keluar dari kamar dan memeriksa sekitar hotel, ternyata pantai ada di depan hotel juga. Jadilah pagi ini kami manfaatkan waktu untuk berfoto-foto. Agak-agak narsis gitu. Hehe....

Bu Nanik, yang biasanya tidak berjilbab, pagi ini mengenakan jilbab. Cantik. Bu Lusi juga. Ketika sarapan pagi, dengan menu nasi gurih dan balado teri medan, di sebuah warung yang letaknya tidak terlalu jauh dari hotel, saya geli melihat bu Lusi. Meski berjilbab, dia mengawali makan paginya dengan doa yang khas: atas nama Bapa di Surga dan Roh Kudus......    

Pagi ini kami memasuki ruang Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) pada pukul 09.10 menit. Lebih lambat satu jam lebih dari rencana kami. Ya, pukul 08.00 ternyata masih terlalu pagi untuk mengawali aktivitas di kantor-kantor. Maka setelah sarapan, kami masih sempat 'pusing-pusing' melihat speedboat yang besok pagi akan membawa kami ke Pulau Banyak, baru menuju ke kantor disdik. 

Kepala disdik, lelaki berpostur tinggi berkulit hitam, ramah menyambut kami. Dialah Yusfit Elmi, S.Pd., kepala disdik kabupaten Aceh Singkil. Kami diterima di ruangnya yang sederhana dan sejuk. Saya memperkenalkan empat teman tim monev yang lain, juga tiga peserta SM-3T yang bersama kami. Menyampaikan salam Rektor dan PR1, mengucapkan terimakasih untuk keterbukaan pemda dalam menerima para peserta, dan menyampaikan tujuan kami melakukan monev ini.

Menurut Kadisdik, masyarakat Aceh Singkil sangat heterogen.  Mereka berasal dari suku Minang, Batak, Nias, Aceh dan Pakpak. Aceh Singkil sendiri merupakan daerah paling pangkal di Aceh, berbatasan dengan Tapanuli, Sumatera Utara. Juga merupakan kabupaten terluas di Aceh. Terdiri dari sebelas kecamatan: Pulau Banyak Barat (PBB), Pulau Banyak, Kuala Baru, Singkil, Singkil Utara, Gunung Meriah, Danau Paris, Singkohor, Kota Baharu, Simpang Kanan dan Suro. Ada 229  sekolah, yaitu: SMA: 11sekolah; SMK: 4 sekolah; SMP: 33 sekolah; SD: 102 sekolah; dan TK: 79 sekolah. Dari jumlah tersebut, 83 di antaranya adalah sekolah swasta (1 SMA, 1 SMK, 3 SMP dan 78 TK). 

Di antara sebelas kecamatan, enam di antaranya menjadi tempat tugas para peserta SM-3T, yaitu:  PBB, Pulau Banyak, Kota Baharu, Kuala Baru, Singkohor dan Danau Paris. Danau Paris merupakan daerah perbatasan dengan Tapanuli Tengah, masyarakatnya memeluk agama Islam dan Nasrani dengan perbandingan fifty-fifty. Pulau Banyak Barat merupakan daerah wisata, yang menonjol adalah wisata bahari khususnya menyelam (sambil menikmati terumbu karang dan mencari gurita) serta memancing (di sini disebut 'mengirik'). Pohon kelapa yang menghasilkan buah kelapa muda yang melimpah juga merupakan daya tarik tersendiri. Namun konon, bagi pendatang baru, disarankan untuk tidak langsung mengonsumsi kelapa muda. Katanya bisa mudah terjangkit malaria, atau bisa terkena 'tasapo' (disapa oleh makhluk ghaib penghuni pulau atau oleh hantu lawik/hantu laut). Wallahu a'lam.

Kami konvoi dengan dua mobil selepas dari kantor disdik. Satu mobil dengan driver pak Marlon, berisi pak Beni, bu Nanik dan bu Lusi. Satu mobil lagi, mobil dinas, dikendarai pak Fitra, staf disdik, dengan penumpangnya pak Dasir, pak Sulaiman, Yusuf, dan saya sendiri yang duduk di sebelah pak Fitra. 

Tujuan kami adalah SMP 2 di kecamatan Singkohor. Sekitar satu setengah jam perjalanan. Menempuh jalan yang lumayan mulus, meski ada beberapa bagian yang belum beraspal dan juga harus melintasi beberapa jembatan kayu yang nampaknya tidak terlalu aman. Jalan berkelok-kelok, naik turun, dan di sepanjang kanan-kiri jalan adalah hutan kelapa sawit yang rapat. Sesekali diselingi dengan pemandangan berupa bukit-bukit dan lembah-lembah nan hijau. PAD terbesar Aceh Singkil memang dari sawit dan ikan, juga sektor pariwisata. Tidak heran jika puluhan truk tangki yang mengangkut CPO (minyak mentah) adalah teman kami menempuh perjalanan tadi malam.  

Meski sudah menempuh perjalanan sejauh satu setengah jam, SMP 2 
ternyata tidak juga ketemu. Lebih dari sejam kami hanya putar-putar, bolak-balik, tanya sana-sini, dan nyaris tidak berhasil. Sampai akhirnya Fadil menelepon dan kami diminta balik arah, kembali ke SMA 2 Gunung Meriah, padahal tempat itu sudah kami lewati setengah jam yang lalu. Ketika saya tanya ke teman-teman dinas apa tidak pernah ke SMP 2, jawabnya itu bukan bagian mereka, tetapi bagian dikdas. Jawaban yang di telinga saya terdengar sangat aneh. Bagaimana tidak. Kami sedang melakukan monev, didampingi orang-orang disdik, tapi ternyata mereka juga belum tahu di mana tempat yang akan kami kunjungi itu. Kalau saya diminta untuk memberi rekomendasi untuk disdik, maka rekomendasi saya yang pertama adalah, disdik Aceh Singkil sebaiknya lebih sering turun ke lapangan supaya tahu di mana letak sekolah-sekolah yang ada di wilayahnya.

Setelah melalui jalan tak beraspal yang lumayan jauh, ketemulah SMP 2 Singkohor. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30-an. Sementara kami menikmati tari Ranup Lampuan yang dibawakan tujuh siswa putri, sebuah tari-tarian untuk menyambut tamu atau menyambut pengantin, peserta SM-3T yang menunggu kami di SMA 1 menghubungi kami dan menyampaikan kami sudah ditunggu dari pukul 11.00. Tapi hidangan makan siang, berupa lontong sate dan buah-buahan segar sudah disiapkan, tidak mungkin kami abaikan. Maka sekali lagi, kami disuguhi tari-tarian selama kami menikmati hidangan makan siang. Pengisian instrumen monev selesai, pengumpulan tulisan dan buku harian selesai, maka kami segera pamit untuk meluncur ke SMA 1 Singkohor.

Kami sampai di SMA 1 Singkohor pada pukul 14.30. Sekolah sudah sepi, tapi kepala sekolah dan para peserta SM-3T masih setia menunggu kami. Kami berdialog dalam waktu cukup lama di sebuah ruang yang dilengkapi dengan hidangan makan siang dan kue-kue. Siang itu banyak hal yang terungkap. Dialog interaktif antara para peserta, kasek SMA 1 Singkohor dan SMA 2 Singkohor, perwakilan dari disdik, dan tim monev SM-3T berjalan dengan sangat bermakna. Tak terasa dua jam sudah kami di situ. Sekitar pukul 16.30, kami mohon pamit. Masih ada tempat yang harus kami datangi, yaitu Danau Paris. Jaraknya dua jam dari Singkohor. Maka waktu yang kami perlukan untuk kembali ke hotel masih empat jam. Tubuh yang mulai lelah tidak terlalu kami hiraukan karena mengunjungi anak-anak kami di Danau Paris adalah hutang yang harus kami tuntaskan. Meski tidak bisa bertemu mereka di sekolah karena waktunya jelas tidak memungkinkan, setidaknya kami bisa mengunjungi tempat tinggal mereka, berbincang dengan mereka tentang berbagai persoalan yang mereka temui di lapangan dan mendengar harapan-harapan mereka. 

Sepanjang perjalanan sejak pagi tadi, tidak seperti di Sumba Timur dan Talaud, kami banyak menemukan perkampungan. Meski hutan-hutan sawit, bukit dan lembah sangat mendominasi, Aceh Singkil bukanlah tempat yang sangat tertinggal. Sekolah-sekolah juga relatif lebih maju dibanding dengan sekolah-sekolah di Sumba Timur. Kelas-kelasnya juga kelas-kelas yang tidak terlalu kecil, berkisar 20-40 siswa per kelas.  Jumlah guru PNS di sekolah-sekolah juga lebih banyak meskipun memang belum memadai, baik dari jumlah maupun mutu. Di SMA 1, contohnya, dengan delapan kelas pararel, jumlah guru PNS ada empat belas orang, dan guru honorer ada lima orang. Di antara guru-guru tersebut, tidak ada satu pun yang memiliki latar belakang pendidikan bidang sejarah dan geografi. Maka terjadilah, seperti yang diistilahkan oleh kepala sekolah, jeruk makan jeruk. Lulusan SMA mengajar SMA. Tidak ada rotan, akar pun jadi. Kepala sekolah sendiri, pak Syafri, adalah lulusan diploma. Menurut pak Dasir, memang ada sekitar 30 persen guru yang belum memenuhi kualifikasi S1/D4. 

Untuk masalah makanan, ketersediaan, aksesibilitas dan konsumsi masyarakat juga jauh lebih baik daripada di Sumba Timur. Setiap kita ke sekolah, selalu menemukan hidangan yang lumayan enak dan lengkap, dengan standar rasa dan penyajian yang tidak jauh berbeda dengan di Jawa. Memang ada yang agak sulit didapatkan, misalnya di Kuala Baru, yaitu tahu dan tempe. Kalau pun ada, bahan makanan ini harganya sangat mahal, bisa lima enam kali dengan harga di Surabaya. 

Tapi hari ini kami baru melihat keadaan di daerah daratan. Besok, bila segala sesuatunya memungkinkan, kami akan mengunjungi wilayah pulau, yaitu Pulau Banyak. Sesuai dengan namanya, mungkin akan lebih banyak yang kami bisa ceritakan.  

Aceh Singkil, 31 Januari 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 30 Januari 2013

Aceh Singkil 1: Semangat!

Pagi masih gelap. Shubuh baru berlalu, tapi kami sudah berada di bandara Juanda. Pada pukul 06.00, sekitar satu jam lagi, kami akan terbang ke Jakarta. Transit sekitar 30 menit, melanjutkan perjalanan lagi ke Medan. Dari Medan, sejauh 8-9 jam, kami akan menempuh perjalanan darat menuju Aceh Singkil.

Di Aceh Singkil inilah 40 anak-anak kami, peserta SM-3T, ditugaskan. Ada 17 orang ditugaskan di daerah kepulauan (Pulau Banyak dan Banyak Barat), selebihnya di daerah daratan. 

Kami satu tim lima orang. Dr. Sulaiman (sekretaris SM-3T Unesa), Dr. Nanik Indahwati, Beni Setiawan, M.Si, Lucia TP, M.Pd, dan saya sendiri. Pak Beni yang termuda. Empat belas tahun di bawah saya. Meski begitu, dialah ketua rombongan tim monev ini. Ketangkasan dan kepribadiannya yang sangat baik membuat kami mempercayakan kepadanya urusan koordinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan Aceh Singkil serta para korcam. Juga memastikan semua uborampe monev beres: surat tugas tim, instrumen monev, SK penempatan peserta dan sebagainya, bahkan termasuk mengamankan tiket dan boarding pass untuk keperluan SPJ. Sementara bu Lucia, seperti biasanya, menangani urusan konsumsi dan akomodasi. Kecermatan dan ketelitiannya sangat cocok untuk pekerjaan itu.

Tim yang lain, sebanyak 9 orang, pukul 7.55 pagi ini juga, berangkat ke Sumba Timur. Ketua rombongannya adalah Drs. Suwarno Imam Syamsul, M.Pd. Dalam rombongan itu ada Dekan FIP, Drs. I Nyoman Sudarka, M.Si, selaku pimpinan Unesa, mewakili Rektor. Drs. Heru Siswanto, M.Si (mantan kepala humas Unesa) juga ada. Satu-satunya perempuan adalah Dra. Wiwik Sri Utami, M.Si, selain sebagai anggota panitia SM-3T juga sebagai anggota Pusat Penjaminan Mutu (PPM) Unesa.

Yang berbeda antara tim monev Aceh Singkil dan Sumba Timur adalah bagasinya. Bagasi tim monev Sumba Timur biasa-biasa saja. Sedangkan tim Aceh Singkil, selain ransel-ransel dan dos berisi berkas-berkas sebagaimana yang dibawa oleh tim Sumba Timur, kami juga bawa pelampung. Masing-masing membawa satu. Warnanya oranye menyala. Pelampung yang kami bawa menandakan kami siap untuk turun ke daerah pulau. Tentu saja bila cuaca memungkinkan. Kami sempat bercanda tentang pelampung. Kalau tidak berhasil menyeberang ke pulau, kami akan gunakan pelampung itu untuk 'ciblon' di Danau Toba. Kami juga meledek diri sendiri, seperti tidak percaya sama Sriwijaya Air saja, masa pelampung bawa sendiri....
 
Sriwijaya Air, pesawat yang kami tumpangi, mendarat di Polonia, tepat pukul 11.40. Cuaca cerah dan hawa panas langsung terasa menerpa wajah kami yang selama tiga jam tadi kedinginan di dalam pesawat (sekitar satu jam dari Surabaya-Jakarta, dan dua jam dari Jakarta-Medan). Bagi saya, ini adalah kali kedua saya menginjakkan kaki di Medan. Kunjungan saya yang pertama adalah pada 2009 yang lalu. Saat itu saya diundang Unimed untuk menjadi tenaga TA (Technical Assistance) pada kegiatan pengembangan perangkat assesmen di Jurusan PKK FT Unimed. Selama seminggu saya di sana. Sehari menjelang kepulangan saya ke Surabaya, saya dijamu mengunjungi Danau Toba dan menyeberang ke Pulau Samosir.

Saat ini, saya sedang napak tilas perjalanan saya sekitar tiga tahun yang lalu. Mobil Innova sewaan yang dikendarai pak Marlon, driver kami, melaju di atas jalanan yang naik-turun berbelok-belok begitu lepas dari kota Medan. Panas terik tadi ternyata hanya sebentar saja. Udara dingin dan jalan yang dipenuhi kabut menemani perjalanan kami.

Medan, Pancur Batu, Sibolangit, kami tempuh dengan lancar. Kami terus melaju. Sampai di Bandarbaru kami berhenti untuk beristirahat sebentar di sebuah tempat makan,  sekalian memberi kesempatan pak Marlon untuk merokok. Sambil menikmati jagung bakar dan bandrek. Ada juga wajik dan pecal. Yang terakhir ini di Jawa disebut pecel. Sayur-sayuran yang direbus, dimakan dengan sambal kacang. Rasa daun jeruk purutnya sangat tajam, sedap dan segar. Suasana terasa seperti di kawasan Puncak atau Payung di Batu. Di ketinggian, dingin, berkabut.

Mobil lantas mengarah ke arah Berastagi. Tapi sampai Tahura,  kami mengambil arah ke kiri, potong kompas, menghindari macet di Berastadi. Jalan sempit, pas untuk dua mobil berpapasan. Sama seperti tadi, berbelok-belok dan naik turun. Tahura adalah daerah yang subur, sepanjang kanan-kiri jalan penuh dengan pepohonan, bunga-bunga, sayur mayur, kebun jagung, jeruk, stroberi. Andai tidak mengingat waktu yng semakin sore dan tubuh yang mulai lelah, rasanya ingin mampir ke wisata agro stroberi dan jeruk barang sebentar.

Ketika mencapai Tiga Panah, suasana semakin menyenangkan. Tidak hanya jeruk dan stroberi yang berlimpah, tapi juga manggis, terong belanda, salak, pepino, dan....yang juga sangat khas, adalah mangga mini. Ya, saya menamainya mangga mini, karena mangga itu kecil-kecil. Orang setempat menamainya mangga golek. Sama sekali tidak seperti mangga golek yang kita kenal di Jawa. Mangga yang ini ukurannya tidak sampai sekepalan tangan anak-anak, padat, warnanya kuning-kuning mengundang selera. Aromanya mirip mangga podang di Jawa. Cara makannya pun mirip. Mangga setelah dicuci, diremas-remas, ditekan-tekan, sampai 'gembur'. Setelah itu buat satu gigitan kecil di ujungnya, dan hisap-hisaplah airnya. Jus alami. Tidak pakai juicer. Tanpa gula. Segar asli.

Sebagian besar wilayah yang kami masuki adalah wilayah yang mayoritas penduduknya memeluk Kristen Protestan. Banyak gereja, banyak makam yang dipenuhi salib-salib, banyak anjing dan babi. Beberapa kali melewati orang yang lagi menyelenggarakan pesta pernikahan, juga kematian. 

Tiga Panah kami tinggalkan. Sebentar lagi kami akan mencapai Merek. Sekitar satu setengah jam lagi mencapai Sidikalang dan Pakpak Barat. Dari Pakpak Barat, satu setengah jam lagi kami tempuh untuk mencapai Subulusalam. Lanjut ke Rimo, yang membutuhkan waktu sekitar satu jam, dan sekitar satu jam juga kami baru akan mencapai Aceh Singkil. Artinya,  total perjalanan yang masih harus kami tempuh sejauh lima jam-an. Kalau sekarang pukul 17.00, maka kami akan mencapai Aceh Singkil pada sekitar pukul 22.00. Wow. Perjalanan sehari penuh. Semangat. 

Tanah Karo, 30 Januari 2012

Wassalam,
LN

Minggu, 27 Januari 2013

Gagal Pulang Kampung

Minggu pagi ini saya dan mas Ayik berencana mengunjungi ibu di kampung halaman, di desa Jenu, Tuban. Sebenarnya rencana itu sudah sejak kemarin sore, tetapi tidak jadi. Ketika saya ber-sms dengan ibu kemarin pagi, ternyata beliau malah sedang di perjalanan menuju Surabaya, mengikuti rombongan ziarah wali se-Jawa Timur. Maka kami putuskan untuk besok paginya saja, yaitu hari ini, untuk berangkat ke Tuban.

Saya memasak dengan cepat untuk Arga yang sudah 'sambat' lapar. Tempe goreng, ayam bacem, dan pecel sayuran. Mas Ayik membersihkan mobil dan ngecek air aki. Selesai semua, saya mandi, bersiap-siap. Tiba-tiba seorang tetangga mengabarkan, ada tetangga kami yang meninggal. Kabar itu hampir bersamaan dengan kabar duka berpulangnya bapak Widodo, mantan PR 2 Unesa. Saya pun jadi ragu, jadi pulkam tidak ya? 

Saya menelepon ibu. Menanyakan kabarnya, jam berapa tadi malam beliau rawuh dari ziarah wali, sayah apa tidak, dan apa ada acara hari ini. Ternyata ibu ada acara pengajian, ba'da dhuhur. Ya sudah. Mungkin memang belum waktunya pulang kampung mengunjungi ibu. Kalau kami tetap berangkat pun, bisa jadi tidak bertemu ibu, karena ibu sendiri sedang padat acaranya. 

Jadilah kami gagal pulkam. Ada hikmahnya juga. Selain bisa memanfaatkan waktu untuk takziyah, kami juga bisa mengunjungi teman-teman, bersilaturahim. Maka beberapa teman berhasil kami datangi rumahnya hari ini. Ada dua teman SMP dan SMA saya, yang tinggalnya di jalan Gundih, dekat PGS (Pasar Grosir Surabaya), yang memang sejak lama ingin kami kunjungi. 

Sebelum silaturahim ke teman-teman, kami juga menyempatkan mampir di Kampoeng Ilmu di jalan Semarang. Saya berburu majalah Anita Cemerlang, yang di dalam majalah kumpulan cerpen itu ada tulisan Lutfi AZ. Beberapa waktu yang lalu saya menemukan empat buah, di Kampoeng Ilmu ini juga. Hanya empat buah. Padahal yang saya cari mungkin belasan atau bahkan puluhan. Saya memang telah bertindak ceroboh. Tidak mendokumentasikan majalah-majalah yang telah memuat tulisan-tulisan saya itu. Ada cerpen, ada laporan perjalanan dalam bentuk feature. Saat ini, setelah beberapa puluh tahun kemudian (saya menulis di Anita Cemerlang sejak 1982-1989), saya mencoba mengumpulkannya lagi. Selain dari Kampoeng Ilmu, beberapa saya peroleh dari kolektor di Yogya dan Banjarmasin. Dengan harga yang relatif mahal. Dua puluh ribuan per majalah. Padahal di Kampoeng Ilmu cuma lima ribuan. 

Saya dan mas Ayik juga melihat-lihat buku-buku yang lain. Buku-buku baru seperti Ainun dan Habibie, 5 cm, Chairul Tanjung si Anak Singkong, Sepatu Dahlan, Ganti Hati, dan puluhan buku baru yang lain. Buku baru apa pun. Juga buku-buku sastra keluaran Balai Pustaka: Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layang Terkembang dan banyak lagi. Juga novel-novel terjemahan. Kalau mau melanggar undang-undang hak cipta, monggo, silahkan borong semua buku itu. Buku dengan kertas dan cetakan yang kualitasnya jauh di bawah buku aslinya. Juga, tentu saja, harganya. Ya, buku-buku tembakan.    

Selepas dari Kampoeng Ilmu dan silaturahim ke teman-teman, saya ber-BBM dengan adik kami, Rini. Rini adalah istri Dedi, adik bungsu mas Ayik. Dia bersama anak semata wayangnya, yang saat ini sudah berusia lima tahun, tinggal di rumahnya di perumahan Permata Gedangan, Sidoarjo. Dedi sendiri saat ini sedang bertugas di Laos. Ichiro dilahirkan sebagai anak berkebutuhan khusus, yakni down syndrom (DS) atau biasa disebut mongoloid. Meski DS, Ichiro tergolong anak yang cerdas, lincah dan lucu menyenangkan. Ichi berarti satu, ro adalah sebutan untuk anak laki-laki. Waktu Ichiro masih di dalam perut ibunya, Dedi saat itu sedang bertugas di Jepang. Senseinya, namanya Ichiro Yamaguchi, adalah sosok yang sangat dikagumi Dedi karena kebaikannya. Oleh sebab itu, atas seizin beliau, Dedi menggunakan nama Ichiro, nama depan senseinya, untuk anak laki-laki pertamanya. Sampai saat ini, setiap Ichiro berulang tahun, Ichiro Yamaguchi selalu mengirim message 'selamat ultah dari papa di Jepang'.

Kami mengajak Rini dan Ichiro berburu bandeng bakar di tempat pemancingan di desa Kalanganyar, Sedati. Awalnya Rini tidak mau karena dia sedang menggoreng kentang, bahan untuk membuat kering kentang. Dua minggu lagi Dedi cuti, minggu berikutnya kembali ke Laos. Kering kentang, kering tempe, balado ikan teri, menjadi bawaan wajib bagi Dedi kalau dia kembali ke Laos. Terbatasnya pilihan menu halal di tempatnya bekerja membuat Dedi memilih membawa sendiri lauk-pauk dari Tanah Air. 

Meski hari sudah menjelang sore, lewat pukul 15.00, tempat pemancingan bandeng masih ramai.  Tempat yang sepanjang kanan-kiri jalannya adalah tambak, umumnya tambak bandeng. Di sisi kanan, di situlah menghampar kolam pemacingan, tepatnya tambak pemancingan. Lengkap dengan tenda-tenda semi permanen tempat para pemancing menghabiskan waktunya. Di sepanjang kiri jalan, para tukang masak sedang membakar bandeng-bandeng pesanan para pemancing. Asap mengepul-ngepul menyebarkan aroma gurih bandeng bakar. Di sela-sela tukang bakar itu adalah para ibu yang sedang melakukan aktivitas mencabuti duri bandeng. Bandeng, sebagaimana yang kita ketahui, adalah jenis ikan yang duri lembutnya sangat banyak. Orang seringkali malas mengonsumsi bandeng yang sebenarnya rasanya sangat gurih itu karena malas berurusan dengan duri-durinya. Maka ibu-ibu yang menawarkan jasa cabut duri bandeng sangat membantu mengatasi persoalan tersebut. Seekor bandeng dihargai dua ribu rupiah untuk menghilangkan duri-durinya. Bebas dari duri. Mau dibakar, digoreng, dipepes, bandeng bisa dimakan dengan nikmat tanpa khawatir tertelan durinya yang lembut tapi jahat itu.

Tapi entah kenapa, mungkin karena kondisi habis hujan, tempat pemancingan itu terkesan becek di mana-mana, dan belum-belum sudah membuat selera makan kami hilang. Bau anyir dan kepulan asap dari pembakaran bandeng menghasilkan aroma yang mulek meski di alam terbuka. Kami batal makan di tempat itu, dan memilih keluar dari area pemancingan.

Kami lantas menuju ke TPI Banjarkemuning yang letaknya tidak jauh dari tempat pemancingan tersebut. Saya dan teman-teman jurusan PKK sering ke tempat ini. Membeli kepiting telur, dan memasakkan ke jasa pengolahan kepiting di warung yang ada di tempat itu juga, dengan masakan asam manis atau lada hitam. Bandeng, gurami, nila, kakap, cumi-cumi, udang, bahkan lobster juga tersedia, dan bisa diolah sesuai keinginan kita. Sore itu kami memesan dua bandeng bakar dan sekilo kepiting masak lada hitam untuk kami nikmati dengan nasi putih dan teh manis.

Senja mulai turun ketika kami keluar dari warung pasar ikan 'Pak Budi', nama warung tempat kami makan itu. Sekilo kepiting masak lada hitam saya tenteng menuju mobil. Jatah untuk Arga. Anak lanang kami itu sedang tidur di rumah, kecapekan setelah tadi malam manggung di Imperial Ballroom. Ichiro di gendongan mas Ayik, dan Rini membawa sebungkus nasi putih serta beberapa potong kepiting masak lada hitam, juga menuju mobil. Kami pulang dengan perut kenyang.

Meski gagal pulkam, hari ini kami dapat banyak. Silaturahim, buku-buku, bandeng bakar dan kepiting lada hitam. Insyaalah menjadi tambahan nutrisi bagi jasmani dan rohani kami. Amin.

Banjarkemuning, 27 Januari 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 24 Januari 2013

Omah Ndeso dan Silaturahim

Sebuah rumah kecil di desa Brotonegaran, kelurahan Brotonegaran, kecamatan Ponorogo. Luas tanah 7 x 15 meter persegi. Dua kamar, satu ruang tamu, satu kamar mandi, dan sebuah ruang dapur. Kecil mungil. Ada pohon-pohon jati di sekeliling rumah, dan sebuah sungai memanjang di belakang rumah. Kebun jagung menghampar di depan halamannya. Udara bersih dan sejuk.

Rumah itulah yang saat ini sedang kami kunjungi. Seorang saudara mengabarkan tentang rumah itu. Dia, namanya dik Ria, putrinya bulik, adik ibu mertua. Dia sendiri sudah punya rumah besar di Griya Mapan Brotonegaran. Rumah kecilnya itu hanya untuk investasi. Dia dengan ringan hati mempersilakan kami untuk mengambil alih rumah mungil itu kalau kami berminat. Tidak ambil untung. Harga persis sama dengan ketika dik Ria membelinya. Dia hanya ingin supaya keinginan kami untuk memiliki sebuah rumah singgah di Ponorogo bisa terwujud. Selama ini kalau kami ke Ponorogo, kami tinggal di rumah keprabon yang sekarang ditinggali bu Heni, bulik kami sekeluarga. Bu Heni inilah ibunya dik Ria.

Adik misan kami ini memang sangat bersahabat. Sangat 'nyedulur'. 'Ndilalah' gampang rezeki juga. Suaminya, dik Budi, bekerja di PLN. Saat ini mereka sekeluarga tinggal di Jambi, karena dik Budi tugasnya di PLN Provinsi Jambi. Rezeki mereka berlimpah sejak awal membangun rumah tangga. Saat ini sudah ada sepasang anak yang melengkapi kebahagiaan keluarga, dan saat ini juga, di perut dik Ria ada jabang bayi berusia empat bulan. Rumah tempat tinggal mereka yang besar di Ponorogo dikontrakkan, dan mereka menempati rumah dinas yang luas di Jambi. Dik Ria sendiri yang pada awalnya adalah karyawan BNI Syariah memilih resign dan bekerja di rumah supaya bisa menemani putra-putrinya. Senang sekali melihat kehidupan adik misan kami itu yang penuh dengan kebahagiaan dan kelimpahan rezeki. Alhamdulilah.

Oya, kembali ke rumah mungil itu. Tentu saja kami berminat dengan rumah itu. Begitu juga bapak dan ibu, yang memang bersama-sama kami datang ke Ponorogo ini dengan salah satu tujuan untuk ikut melihat rumah. Pak Anwar dan bu Heni, paklik dan bulik kami, juga bersama-sama kami. Jadi saat ini kami berenam. Mengitari rumah kecil itu, melihat sungai yang menghampar di belakang rumah, dan memetiki ciplukan liar yang lagi berbuah. Menyenangkan sekali.

Setelah puas memandangi rumah dan sekitarnya, kami semua memasuki mobil. Sekarang waktunya makan nasi pecel. Jam menunjukkan pukul 09.00. Waktu yang tepat untuk sarapan pagi. Warung nasi pecel iwak kali di desa Sekayu menjadi pilihan. Hmm.....sego pecel Ponorogo memang top. Inilah salah satu makanan 'klangenan' kami setiap pulang kampung ke Ponorogo. Selain sate ayam, sate kambing, dan gule kambing. Tapi dua makanan terakhir ini sedang kami posisikan sebagai musuh bebuyutan. Dia sangat potensial untuk meningkatkan kandungan trigliserida, asam urat, dan kolesterol. Mending makan sego tahu, salah satu makanan lain yang juga menjadi klangenan kami.

Selesailah sudah prosesi makan sego pecel. Bapak, yang 'dahar' dengan tangan kirinya, menuntaskan isi piring tanpa tersisa sedikit pun. Ibu, pak Anwar dan bu Heni, juga tentu saja saya sendiri, sudah membereskan sepaket nasi pecel itu. Satu paket terdiri dari nasi pecel, dengan lauk ikan kali yang digoreng renyah berbalut tepung dan selembar rempeyek udang. Bahkan di luar paket itu, kami sudah menambahkan lento, tempe kepleh (mendoan) dan pia-pia (ote-ote). Mas Ayik bahkan sudah 'tandhuk'. Ya, meski dia sedang dalam program diet dan dalam pengawasan ketat seorang ahli gizi (maksudnya ya saya sendirilah ahli gizi itu....hehe), tapi demi melengkapi kebahagiaan momen ini, dia saya beri kelonggaran. Tapi minumnya tetap, teh tawar. Teh tanpa gula. 

Sekarang saatnya melakukan lawatan dari satu saudara ke saudara yang lain. Waktu yang hanya sehari ini akan kami manfaatkan untuk mengujungi bu Har, adik bapak yang juga sudah sepuh dan tinggal di rumah keprabon. Selanjutnya ke rumah dik Iyong, kakak dik Ria, yang baru 'mbangun' rumah. Juga ke saudara-saudara lain dan teman-teman masa kecil bapak. Kebetulan, beberapa teman masa kecil bapak adalah juga orang tua teman-temannya mas Ayik. Juga, yang terpenting, berziarah ke 'pesarean' mbah kakung dan mbah putri, bapak ibunya bapak. Seterjangkaunya. Pisto. Tipis-tipis sing penting roto. Hehe. Karena nanti sore kami sudah harus bertolak ke Surabaya. Besok, kembali beraktivitas. Kembali ke rutinitas.

Seperti kata sahabat-sahabat saya (M. Khoiri, Samsulhadi, Sirikit Syah, Suhartoko, dll), mari melakukan  silaturahim untuk menyeimbangkan hidup. 'Nuruti gawean gak onok entekke'. Karena silaturahim ini juga, mas Ayik yang kemarin sakit, tiba-tiba sehat. Dia mengemudikan sendiri mobil kami dan menolak membawa driver. Silaturahim memang memberikan kesehatan. Sehat lahir dan sehat batin. Insyaalah, barokah Maulid Nabi juga. Alhamdulilah.

Ponorogo, 24 Januari 2013
   
Wassalam,
LN

Senin, 21 Januari 2013

Disangka Asam Urat

Surabaya, 20 Januari 2013

Sore ini saya mengantar suami saya, mas Ayik, ke dokter Achmad, dokter langganan kami. Seminggu ini dia mengeluhkan lutut kirinya yang bengkak dan sakit. Sebenarnya seminggu yang lalu saya sudah membawanya ke dokter, dan mas Ayik sudah minum obat resep dari dokter untuk menyembuhkan asam uratnya. Selain itu juga minum air rebusan daun salam yang setiap sore saya sediakan (tapi yang merebuskan daun salamnya mbak Iyah, penjaga rumah kami. Terimakasih, mbak Iyah).

Dokter juga menyarankan supaya mas Ayik mengurangi aktivitasnya dan lebih banyak beristirahat. Nah, untuk nasehat yang terakhir ini, mas Ayik tidak bisa lakukan. Setiap pagi dia selalu sibuk di halaman, menyapu, membersihkan tanaman dari daun-daun yang menguning. Lantas bersiap berangkat kerja. Karena Terios yang dikemudikannya bukan mobil matic, maka kaki kirinya yang meskipun bengkak harus terus bekerja ngoper-ngoper kopling.  Apalagi ketika kami 'ketempatan' Kohiga Masaki, mahasiswa dari Aichi University of Education, Jepang, yang homestay di rumah. Pagi-pagi mas Ayik sudah mengajaknya bersepeda, muter-muter di Masjid Al-Akbar dan blusukan di pasar tradisional. Besoknya, karena Arga ada acara manggung, maka mas Ayik juga harus pegang setir lagi ketika mengantar Masaki mengunjungi situs-situs peninggalan Majapahit di Trowulan Mojokerto dan lanjut ke Taman Safari. Dia tidak bersedia saya gantikan. Jadi sehari itu mas Ayik mengemudikan mobil sejauh kira-kira 150 km, dengan kondisi jalan yang sesekali macet, dan dengan dengkul yang bengkak.

Tak ayal, sepulang dari travelling itu, sakit di lutut mas Ayik semakin parah. Saya merasakan panas sekali di lututnya ketika saya memegangnya. Tempo hari dokter bilang ada radang di bagian tersebut, indikatornya adalah suhu panas itu. Tapi dasar mas Ayik, dia cuma cengar-cengir saja ketika saya ingatkan tentang 'kendablegannya'. Makan durian, tape, bersepeda, dan mengemudikan mobil. Tapi wajahnya yang meringis menahan sakit benar-benar membuat saya iba dan harus memutuskan untuk 'bertangan besi'. Malam itu, pada saat farewell party di restoran Layar, dalam rangka penutupan Students Exchage Program dari Aichi University of Education, berbagai makanan yang membahayakan, saya sisihkan. Sup asparagus, kepiting goreng dan udang saus mayo, saya jauhkan dari jangkauannya. Mas Ayik harus cukup puas hanya dengan nasi putih dan ikan bakar. Dia tersenyum kecut melihat saya yang memelototinya tak peduli. Arga dan Masaki tertawa-tawa melihat tingkah saya dan wajah memelas mas Ayik.

Sore ini dokter memberi resep obat lagi yang harus diminum mas Ayik. Hanya untuk sehari, karena besok pagi mas Ayik harus periksa di lab. Mas Ayik juga mendapatkan surat keterangan sakit untuk keperluan izin tidak masuk kerja selama tiga hari. Malam nanti, mulai pukul 21.00, mas Ayik harus puasa. Besok pagi, sekitar pukul 07.00, mas Ayik harus saya bawa ke Lab Pramita untuk pemeriksaan panel profit lemak, asam urat, glukosa darah puasa, rhematoid factor dan genu sin AP/Lat. Pemeriksaan yang terakhir itu saya tidak tahu tentang apa. Saya akan tanyakan ke dokter kalau kami sudah dapatkan hasil pemeriksaan besok. 

***
Surabaya, 21 Januari 2013 

Pukul 07.00 kami sudah berada di ruang Lab Klinik Pramita. Ramah, bersih, wangi. Sejak dari halaman parkir, kami sudah merasakan aroma keramahtamahan. Dua petugas security memandu kami ketika parkir mobil. Begitu mobil parkir, satu orang dengan santun membuka pintu di bagian kanan, dan seorang lagi membuka pintu bagian kiri. Ketika melihat mas Ayik agak 'dengklang' jalannya, mereka menawarkan apakah perlu diambilkan kursi roda. Mas Ayik menolaknya dan memilih menggelayut di lengan saya sambil menyeret kaki kirinya memasuki ruang lab.

Begitu sampai di depan pintu lab, seseorang membukakan pintu untuk kami dan lengkap dengan senyumnya dia menawarkan: 'ada yang bisa kami bantu, ibu?' Saya mengangguk membalas senyumnya, dan dia mengambilkan lembaran antrian, kemudian menyilakan kami duduk menunggu panggilan.

Saya sudah beberapa kali memasuki Lab Klinik Pramita di jalan Adityawarman ini. Saya suka interiornya yang ramah, para petugasnya yang santun, lantainya yang bersih mengkilat tapi tidak licin, toiletnya yang wangi, dan musholanya yang nyaman. Saya suka cara mereka menata mukena-mukena, digantung dengan sangat rapi. Dengan begitu mukena yang basah terkena air wudhu bisa diangin-anginkan, menjaga mukena tetap bersih dan tidak apek. Di banyak masjid yang saya pernah datangi, mukenanya banyak yang kotor, kumal, apek, dan 'tayumen' ( banyak noda berupa titik-titik hitam, disebabkan jamur yang dihasilkan dari mukena yang dilipat dalam keadaan lembab). Entah kenapa, di banyak tempat ibadah, di mushola atau di masjid, kebersihan seolah tidak terlalu dipentingkan, baik di toilet, tempat wudhu, dan bahkan di tempat sholatnya. Entah kemana 'annadhofatu minal iman' itu ya? He he. Sedih juga menyadari betapa masih minimnya kesadaran dan budaya bersih dari sebagian besar saudara kita ini.

Mas Ayik sedang diambil darahnya oleh petugas lab.
Nama mas Ayik segera disebut tak berapa lama setelah saya lapor di loket dua. Saya membantu mas Ayik berdiri dari kursi, memapahnya memasuki ruang pemeriksaan darah. Darah mas Ayik disedot beberapa mili. Setelah selesai, kami dipersilakan menunggu lagi untuk foto rontgen. Hanya sekitar lima sepuluh menitan, nama Tuan Baskoro Adjie dipanggil. Maka saya pun membantu lagi mas Ayik berdiri dari kursinya, dan memapahkan memasuki ruang foto rontgen. Petugas menyilakan saya menunggu di luar ruangan supaya tidak terkena radiasi.

Proses pemeriksaan selesai. Tinggal menunggu hasilnya nanti pukul 16.00. Semoga semuanya baik-baik saja.

***

Hujan turun cukup deras. Mendung gelap menggayut di langit. Di bawah terpaan angin yang hembusannya membuat pepohonan bergoyang-goyang, saya mengemudikan mobil menuju Lab Klinik Pramita. Mas Ayik duduk manis di sebelah saya. Sesekali dia bilang 'awas....awas....' untuk memperingatkan saya supaya saya hati-hati pegang kemudi. Saya guyoni dia: 'gak usah awas-awas....wis eruh. Aku iki wis tahun-tahunan dadi supir....' Dia ngakak saja.

Tepat pukul 16.00, kami sudah berada di tempat parkir. Dua petugas dengan membawa payung menghampiri mobil kami. Masing-masing membukakan pintu untuk saya dan mas Ayik, dan membantu kami mencapai teras. Tak perlu menunggu lama, saya langsung dipersilakan untuk menuju ke petugas yang tempatnya paling ujung, dan segera menerima hasil pemeriksaan darah dan foto rontgen.

Usai dari Lab Klinik Pramita, kami langsung menuju tempat praktek Dokter Achmad. Dokter Achmad sudah seperti bagian dari keluarga kami. Sejak Arga bayi, beliau yang 'pegang'. Meski bukan dokter spesialis anak, beliau sepertinya tahu betul bagaimana menangani anak. Semua catatan kesehatan kami sekeluarga ada pada beliau. Bahkan termasuk catatan kesehatan bapak ibu mertua dan ibu saya sendiri. Rumah beliau dekat dengan rumah kami. Kalau ada salah satu anggota keluarga kami yang sakit, beliau tidak segan-segan mampir ke rumah sambil jalan-jalan pagi. Sekedar memastikan kondisi kami baik-baik saja atau perlu tindakan medis. Kalau dihitung-hitung, persahabatan kami dengan dokter Achmad sama dengan usia pernikahan kami. Hampir dua puluh tiga tahun. Bukan waktu yang singkat.

Dokter Achmad geleng-geleng kepala melihat hasil pemeriksaan darah mas Ayik. Terutama pada kandungan trigliserida, angkanya 353. Angka itu dua kali lipat lebih dari batas normal yang lebih kecil dari 150. Kategorinya termasuk tinggi. Sementara HDL cholesterolnya rendah, hanya 38, di bawah batas lebih kecil dari 40. Padahal HDL ini adalah kolesterol baik, yang menjaga kesehatan jantung. Syukurlah, menurut Dokter Achmad, cardio risk index (CRI)-nya masih aman, yaitu 2,6. Namun Dokter Achmad menegaskan bahwa angka yang tinggi pada Trigliserida merupakan peringatan bahwa kami harus hati-hati.

Selain itu, glukosa darah puasa mas Ayik juga di atas batas normal, yaitu 169. Didiagnosis diabetes mellitus bila sama dengan atau lebih besar dari 126. Peringatan kedua untuk kami supaya lebih berhati-hati.

Lantas apa yang terjadi dengan lutut mas Ayik yang sakit? Ternyata penyebabnya bukan asam urat. Hasil pemeriksaan menunjukkan asam urat normal, yaitu 5,3. Kolesterol juga juga normal, di bawah 200, atau tepatnya 185. Setelah Dokter Achmad mencermati hasil foto rontgen lutut kiri, yaitu pemeriksaan Genu Sin AP/Lat, ternyata ada kesan terdapat osteoarthrosis genu sinitra. Radang sendi. Rasa sakit itulah akibatnya.

Dokter menyarankan supaya mas Ayik mengutangi aktivitas yang membuat sendi lututnya tertekan. Olah raga yang high-impact dihindari. Begitu dokter mengatakan bahwa bersepeda adalah olahraga yang bagus dan cocok, mas Ayik menarik nafas lega. Tapi, kata dokter, cukup di jalan datar saja, jangan yang offroad, menanjak, menurun, supaya kerja sendi lutut tidak berat. Nah lho.... 

Dokter hanya memberikan obat untuk lutut mas Ayik. Viostin DS. Obat yang harus dikonsumsi dalam jangka lama, dengan dosis yang berangsur-angsur dikurangi. Untuk trigliserida dan diabetesnya, dokter mempercayakan pada saya untuk mengatur diet mas Ayik dengan relatif ketat. Saya senyum-senyum saja sambil menengok ke arah mas Ayik yang cengar-cengir. Dokter juga tergelak melihat tingkah kami. Beliau tahu kalau selama ini saya sudah berusaha mengatur diet mas Ayik, tapi dasar memang mas Ayik yang 'ndablek'. He he. Tapi kali ini dokter 'wanti-wanti' betul, kalau mas Ayik harus diet dan harus 'manut' sama saya. Nah kan....

Peringatan untuk kita semua untuk selalu jaga pola hidup termasuk pola makan, cukup olah raga dan cukup tidur, banyak makan sayur dan buah, juga banyak mengonsumsi air putih. Hindari makanan berlemak, makanan dan minuman yang manis, minuman bersoda, durian dan tape. Dan yang terpenting, selalu mengembangkan pikiran positif serta niimati hidup dengan penuh rasa syukur.

Wassalam,
LN

Jumat, 18 Januari 2013

Kohiga Masaki yang Suka Nasi Goreng

Akhirnya anak itu muncul. Turun dari mobil kampus, menenteng dua tas kecil, dan sebuah koper besar. Senyumnya mengembang begitu melihat sosok saya. "Selamat sore..." Ujarnya dengan sikap tubuh setengah membungkuk. Sangat khas. Tubuh jangkungnya memaksa saya untuk menengadah saat membalas senyumnya. Anak muda yang tampan, dengan kacamata yang sangat serasi melekat di wajah bulatnya yang putih bersih.

Saya membawanya menuju mobil kecil saya yang sudah sejak sepuluh menit yang lalu saya parkir di halaman rektorat. Setelah memasukkan koper besarnya di bagasi mobil, dan dia duduk di sebelah saya yang siap mengemudi, kami melaju pelan ke arah pulang, sambil berbincang-bincang ringan, berbasa-basi. Saya tanyakan apa saja aktivitasnya hari ini, senangkah, capekkah, dan lain-lain. Dia menjawab dengan bahasa Inggrisnya yang terpatah-patah, dengan artikulasinya yang kadang tidak terlalu jelas di telinga saya. Tapi kami tetap bisa ngobrol gayeng. Tentang adik perempuannya, tentang ayahnya yang seorang banker, dan ibunya yang bukan wanita bekerja. Saya juga menceritakan tentang keluarga saya, tentang anak semata wayang saya yang kuliah di Seni Musik, dan suami saya yang mungkin sekarang sudah pulang kerja dan sedang menunggu kami di rumah.

"I want to eat nasi goreng". Tiba-tiba Masaki, begitu nama anak muda itu, nyeletuk. Saya spontan tertawa. "Nasi goreng? Ok, you'll get nasi goreng for your dinner". Tapi pikiran saya segera terbayang berbagai hidangan yang saat ini pasti sudah tertata di atas meja makan di rumah. Nasi putih, mie goreng, capjai, fuyunghai, sup sayur bakso ayam, dan perkedel. Tidak ada nasi goreng. Saya memang berencana memasak nasi goreng, tapi untuk sarapan pagi besok. Bukan untuk makan malam.

Sesampai di rumah, mas Ayik, Arga, Iyah dan Andra, menyambut kami. "Welcome, Masaki." Sambut mas Ayik pada Masaki. Seperti ketika bertemu saya tadi, Masaki mengucapkan selamat sore, dengan sikap tubuh setengah membungkuk. Dia memperkenalkan diri pada semua orang yang sedang menyambutnya itu. Senyumnya ramah dan sikapnya sangat sopan, namun nampak betapa periangnya dia.
 
Senja ini, kami mengobrol di teras, ditemani buah-buahan lokal seperti manggis, salak dan pisang. Juga rengginang lorjuk.  Juga teh manis. Di luar, hujan rintik-rintik, rapat. Udara sejuk. Tapi Masaki berkeringat. Dia katakan, di Jepang saat ini sedang winter, suhu bisa mencapai -5 derajat Celcius. Tapi dia nampak sangat menikmati suasana. Dia katakan, rumah kami sebagai a very beautiful home. Ya, tentu saja dia harus bilang begitu. Rumah ini akan menjadi rumahnya selama tiga hari ini, dan kami adalah host parents untuknya. Maka dia harus menyukai rumah kami, menyukai kami, dan memang, saya yakin semuanya menyenangkan bagi dia. Bukan hanya karena rumah kecil kami yang teduh, tapi lebih dari itu, adalah keramah tamahan dan ketulusan kami menerimanya sebagai anggota keluarga.

Malam ini Masaki mendapatkan yang diidam-idamkannya. Nasi goreng. Andra, mahasiswa saya yang juga anggota tim teknis di program SM-3T Unesa, dengan cepat menghidangkan nasi goreng itu setelah dia meluncur ke rumah makan Anda untuk mendapatkannya. Menyenangkan melihat Masaki menikmati semua yang kami hidangkan malam itu. Kata mas Ayik dan Andra, Masaki tak ada bedanya dengan Arga, anak kami. Sumego. Hehe....
   
Kohiga Masaki adalah salah satu dari tujuh mahasiswa peserta Students Exchange Program dari Aichi University of Education, Jepang. Mereka akan mempelajari banyak hal terkait dengan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Dari tujuh mahasiswa tersebut, dua di antaranya homestay di rumah pak Rektor, satu di rumah pak PR 3, satu di rumah pak PR 4, satu di rumah pak Roni (Kaprodi Pendidikan Bahasa Jepang), satu di rumah pak Martadi, dan satu di rumah kami. Mereka dari berbagai program studi, musik, sains, kesehatan, matematika dan sosial. Masaki sendiri adalah mahasiswa dari program studi sains. Saat ini dia, juga semua temannya, duduk di semester enam. 
Kami menghabiskan malam itu dengan berbincang-bincang ngalor ngidul. Masaki membuka ipadnya dan menunjukkan kepada kami foto-foto tentang Jepang. Dia menceritakan tentang Tokyo Sky-Tree, pagoda dan candi-candi tempat ibadah mereka, serta tempat-tempat rekreasi yang menyenangkan.

Mas Ayik bersama Masaki berlatar belakang patung Budha.
Besok pagi, Masaki akan diantar Arga ke kampus Lidah. Bersama teman-temannya, mereka akan mengikuti workshop Writing Japanese Calligraphy, dan menghadiri diskusi dengan mahasiswa FIS Unesa tentang Earthquake Education. Kemarin mereka mengunjungi SD Lab Unesa, Lapindo, Batik Sidoarjo, SMP Al Falah dan menyaksikan pertunjukan musik dari mahasiswa FBS. Berbagai aktivitas lain masih menunggu sampai hari Minggu besok, sebelum mereka bertolak ke Bali serta kembali ke Jepang.

Tentu saja, di antara aktivitasnya yang padat itu, kami sebagai host parents-nya juga sudah menyiapkan berbagai acara. Kami pastikan, Masaki akan pulang ke Jepang dengan kesan yang sangat manis tentang Indonesia, tentang keindahan alamnya, tentang budayanya yang mengagumkan, tentang makanannya yang lezat, dan tentang orang-orangnya yang ramah dan menyenangkan.

Surabaya, 17 Januari 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 03 Januari 2013

Tentang Pelampung dan Kodikmar

Beberapa hari ini kami mencari sejumlah pelampung untuk kami kirimkan pada para peserta SM-3T yang bertugas di wilayah perairan. Ya, setelah jatuhnya dua korban meninggal dunia peserta SM-3T dari UPI, karena perahunya terbalik saat perjalanan pulang dari kegiatan di tempat lain di seberang laut tempat mereka
bertugas, kami begitu mengkhawatirkan para peserta yang bertugas di wilayah perairan. Dari sebanyak 178 peserta, ada 31 peserta yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD), sekitar 14 peserta di Aceh Singkil, dan 4 peserta di Pulau Selura, Sumba Timur, yang memerlukan pelampung. Untuk menuju ke desa terdekat
saja mereka harus menggunakan transportasi laut, untuk berbelanja, rapat ke kecamatan, atau mengambil beasiswa, mereka harus menyeberang laut menantang ombak. Bertaruh nyawa.

Maka kami putuskan untuk mengadakan sebanyak 70 buah pelampung. Yang kami perhitungkan tentu saja tidak hanya para peserta, namun juga para pemonev ketika nanti harus turun ke lokasi dan merambah wilayah perairan. Pelampung itu akan menjadi inventaris SM-3T Unesa, dan bukan menjadi hak milik para peserta.

Saya mencoba menghubungi seorang teman yang saya perkirakan paham masalah pelampung. Tidak perlu berlama-lama, sehari setelah saya menyampaikan maksud saya, teman saya itu datang dengan membawa contoh pelampung. Pelampung yang bagus, kuat dan tebal. Standar rafting. Ya, karena teman saya itu adalah
pengelola sebuah jasa wisata rafting, setidaknya dia punya saham di tempat wisata itu. Terjadilah negosiasi harga sampai akhirnya kami bersepakat. Harga per pelampung adalah Rp. 100.000,-. Saat itu, menurutnya, pelampung yang sudah ready ada 40 buah. Saya minta dia segera mengirimkannya ke sekretariat SM-3T di
Gedung Gema. Dia janjikan minggu depannya akan dikirim. Maka saat itu juga Andra dkk, tim teknis SM-3T, saya minta untuk menanyakan alamat pengiriman pelampung ke daerah tujuan Sumba Timur. Talaud, Aceh Singkil dan MBD. Kami pastikan pelampung bisa segera dikirim.

Tapi apa daya. Ketika perwakilan peserta SM-3T dari empat wilayah penugasan itu
telah memberikan alamat pengiriman pelampung, pelampung yang kami pesan tidak
kunjung datang. Teman saya bilang katanya stock 40 buah ternyata digunakan
sendiri oleh pengelola rafting, dan dijanjikan minggu depannya pesanan saya akan
dikirim. Minggu depan, dan minggu depannya lagi, ternyata pelampung tidak
kunjung datang. Saya mencoba menghubungi teman saya itu lewat ponselnya, tidak
diangkat. Beberapa lewat sms, tidak dibalas. Maka tanpa pikir panjang, saya
kirimkan pesan singkat, bahwa pemesanan pelampung sementara pending. Tentu saja
maksud saya batal. Tapi tidak enak juga mau bilang cancel. 'Musuh konco'. Tapi
terus-terang saya kecewa juga sih dengan cara dia melayani. 'Nggak
mrecayani...hehe.'

Sampai akhirnya saya bertemu dengan teman yang lain lagi, kebetulan juga
pengelola rafting, tapi beda tempat. Ya, memang banyak teman saya yang menjadi
pemilik dan atau pengelola rafting. Songa, Kasembon, Obech, dan lain-lain, eksis
berkat tangan-tangan dingin mereka.

Kembali ke urusan pelampung. Saya mencoba menjajagi kemungkinan untuk memesan
pelampung. Ternyata teman saya itu menyanggupi untuk memesankan sebanyak yang
kami perlukan. Pucuk dicinta ulam tiba. Namun ketika dia menyebutkan harga, saya
spontan bertanya 'gak oleh kurang tah?'. Harga Rp. 150.000,- terlalu mahal,
karena saya sudah cek pelampung yang ditunjukkannya sama persis kualitasnya
dengan pelampung yang telah saya lihat di teman saya yang pertama.

Entah kenapa, tiba-tiba mas Ayik, suami saya nyeletuk. 'Pesan ke marinir saja
lho', katanya. Marinir. Spontan saya ingat Kodikmar. Komando Pendidikan Marinir.
Sebuah kompleks di kawasan Gunungsari. Tempat para peserta SM-3T dikarantina
selama kegiatan prakondisi beberapa bulan yang lalu, menjelang pemberangkatan
ke tempat tugas masing-masing. Kawah candradimuka yang membentuk dengan cepat
kedisiplinan, ketahanan fisik dan mental, serta keteguhan hati para calon guru
pengabdi itu. Beberapa sosok berkelebat. Sosok-sosok yang tegap, tegas, namun
begitu peduli dan murah senyum. Betul. Sungguh citra marinir di mata saya
berubah drastis setelah saya mengenal para marinir di Kodikmar itu. Bukan sosok
yang angkuh dan 'kejam', sebagaimana kesan yang selama ini tersimpan di benak
saya. Ya. Setelah sekitar dua minggu berinteraksi dengan relatif intens dalam
rangka berbagi tugas untuk pembekalan para peserta SM-3T, marinir di mata kami
adalah manusia-manusia yang disiplin, tegas, sekaligus ramah namun penuh hormat.

Salah satu sosok yang baik hati itu adalah Kapten Marinir Ebri Badra. Maka tanpa
pikir panjang, saya sms beliau. Mengucapkan selamat tahun baru dan doa untuk
kesehatan dan kesuksesannya. Juga, tentu saja, menanyakan tentang pelampung. Pak
Badra langsung membalas sms saya, mengucap selamat tahun baru juga dengan doa
yang sama juga. "Mengenai pelampung, nanti saya telusuri, bu. Yang dibutuhkan
berapa buah?" Tanyanya.

Oleh karena pada saat itu masih dalam liburan natal dan tahun baru, sekitar dua
hari kemudian saya baru menerima kabar dari pak Badra. Beliau menyebutkan sebuah
harga pelampung yang jauh lebih murah dari harga yang telah saya dapatkan dari
teman-teman saya sebelumnya. Pak Badra juga mengirimkan foto pelampung. Beliau
pastikan, pelampung tersebut bagus kualitasnya dan sangat memadai untuk
kebutuhan para peserta SM-3T. Bila hari ini kita pesan, maka dua hari lagi
pelampung sudah akan dikirim ke Kodikmar, dan nanti Kodikmar yang akan
mengirimkannya ke Unesa.

Tak ayal saya pun langsung mengucap terimakasih pada pak Badra. Untuk perhatian
dan bantuannya. Ketika saya menyatakan permohonan maaf karena telah
merepotkannya, beliau cepat memotong kalimat saya, bahwa saya sama sekali tidak
merepotkan, karena 'kita kan satu tim, bu...' Katanya. "Saya hanya terbayang
perjuangan adik-adik kita di luar sana, bu. Mudah-mudahan mereka diberi
kekuatan oleh Allah SWT... Saya bandingkan, ketika kami bertugas di pulau
terluar, kami dibekali senjata. Namun adik-adik itu hanya berbekal ketulusan
hati saja untuk mengajar."

Terimakasih, pak Badra. Terimakasih, Kodikmar. Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan perlindungan dan kekuatan pada kita semua dalam menjalankan tugas
sebaik-baiknya. Demi mencerdaskan anak bangsa. Demi menjaga keutuhan NKRI. Amin.

Surabaya, 3 Januari 2013

Wassalam,
LN