Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 23 Juli 2014

Kisah Buah Mangga

Sekitar seminggu yang lalu, saya berkunjung ke Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Saya diundang oleh Konsorsium Pendidikan Kemdikbud untuk menjadi narasumber pada pelatihan Kurikulum 2013. Pesertanya adalah para guru, mulai dari guru SD, SMP, SMA dan SMK.

Hari pertama di Maumere, saya disambut cuaca yang sangat ramah. Awan tipis menutupi sebagian langit, dan sinar matahari masih bisa dinikmati kehangatannya. Sangat bersahabat, terutama bagi kami yang sedang berpuasa. Mendung, tapi tidak hujan.

Hari kedua, matahari sudah bersinar cerah sejak pagi. Saya memberi pelatihan sejak pukul 09.00 sampai pukul 15.00. Ada jeda istirahat sekitar tiga puluh menit, kesempatan menikmati makan siang bagi para peserta yang hampir semua pemeluk Katolik, dan kesempatan bagi kami yang muslim untuk menunaikan salat dhuhur.

Hari itu, adalah puasa terberat saya. Melatihkan K-13 pada para peserta yang sebagian besar masih nol pemahamannya, di cuaca yang sangat panas, di antara sekitar 150 peserta yang dengan bebasnya 'nyumak-nyamuk' dan 'srupat-sruput'. Tenggorokan saya sampai terasa pahit sekali saking 'ngorong'nya, dan kaki-kaki saya 'kemeng' luar biasa. Sekujur badan rasanya sakit semua.

Saya pernah merasakan kondisi mirip itu, ketika umroh pada Ramadhan 2011, tiga tahun yang lalu. Waktu itu, suhu di Makkah menembus angka 51 derajat Celcius. Udara panasnya tak terkira. Sekujur tubuh sakit terpapar panas, baju di badan terasa seperti baju yang baru saja diseterika, dan menyentuh benda apa pun di luar penginapan, hampir semuanya panas menyengat. Tenggorokan kering dan pahit, badan loyo, lungkrah, dan kepala serasa berasap. Benar-benar ruarrr biasa.

Di Maumere, memang rasanya tak seheboh seperti di Makkah. Namun karena saya menjadi kelompok minoritas, benar-benar minoritas, di antara para peserta yang dengan tenangnya 'telap-telep', ditambah suhu AC di ruang workshop yang tak bisa membendung suhu panas dari luar, sementara saya harus menjelaskan panjang lebar tentang K-13, 'nyerocos' terus, maka sensasi 'ngorong dan kemeng' yang saya rasakan mengingatkan saya saat di Makkah kala itu.

Begitu pelatihan selesai, saya langsung 'keplas' masuk mobil, minta pada driver supaya AC dihidupkan kuat-kuat, dan segera mengantar saya ke hotel Sylvia, tempat saya menginap. Saya ingin segera 'slulup', eh, maksud saya 'grujukan' di bawah shower. Saya mengalami dehidrasi parah, dan perlu digerojok air dingin yang berlimpah, sebelum sekujur tubuh saya 'kemlingkingen'.

Selesai mandi dan salat, saya turun ke lobi. Minta diantar driver muter-muter, ngabuburit. Saya ingin melihat-lihat kota Maumere. Saya diantar ke toko pusat oleh-oleh, ke Pelabuhan Lorosae, ke pasar tradisional melihat tenun ikat dan membeli buah-buahan.

Ya, buah-buahan. Dalam kondisi puasa, buah-buahan adalah makanan favorit saya. Buah apa saja. Yang penting buah beneran, bukan buah plastik atau buah kayu.

Sejak kemarin saya tidak makan buah. Sehari saja tidak ketemu buah, seperti ada yang kurang lengkap hidup ini. Maka sore itu, di Pasar Alok, saya membeli dua buah apel merah seharga Rp.15.000,- dan tiga buah mangga mengkal seharga Rp.20.000,-. Cukuplah. Karena besok toh saya sudah balik ke Surabaya. Di Surabaya, buah apa pun sudah tersedia.     

Sore itu, saya kembali ke hotel dengan sekantung buah, selembar kain tenun ikat, dua plastik kopi Manggarai, sebungkus nasi goreng, dan dua gelas es kelapa muda. Saya sengaja menolak ajakan panitia untuk buka puasa bersama di sebuah rumah makan. Saya ingin menikmati semuanya sendiri, di kamar, dengan menu buah segar, nasi goreng, dan es kelapa muda. Setelah itu, saya akan segera salat tarawih, ngaji sebentar, terus tidur. Lelah tubuh sehari ini harus terbayar lunas.

Dari sekian jenis makanan, bagi saya, yang paling menggiurkan adalah buah mangga. Mangga itu sejenis mangga arumanis, tapi masih mengkal. Bukan masak pohon, karena memang belum masak. Tapi justeru karena dia masih mengkal itu, rasanya begitu eksotis. Manis, asam, dan renyah. Pas dengan selera saya. Saya menikmatinya di setiap gigitan, sampai akhirnya gigi saya terasa ngiluuuu.

Saya berhenti. Mangga sebuah saja sudah cukup membuat gigi saya protes. Tapi saya puas. Dan bertekad untuk membawa serta dua buah mangga yang masih tersisa ketika saya pulang ke Surabaya besok.

Nah, sore ini, ya, sore ini, kedua buah mangga itu sudah masak. Saya mengupasnya dengan sepenuh hati, memotong-motongnya dalam bentuk kotak-kotak besar, menatanya di piring, melengkapinya dengan garpu. Saya siapkan mangga itu di atas meja makan, bersama hidangan yang lain, nasi putih, tempe goreng, bebek goreng, sambal dan lalapan, juga es garbis.

Begitu adzan maghrib terdengar, kami bertiga, bapak ibu dan anak ini, langsung menyerbu mangga yang warnanya oranye menggemaskan itu. Kami menikmatinya dengan penuh rasa syukur, lega, merasakan perjuangan sehari ini telah sampai pada batasnya. Insyaallah kami lulus. Insyaallah puasa kami diterima Allah SWT. Insyaallah kami termasuk golongan orang-orang yang diberi ampunan. Amin YRA.

Wuihh, mangga ini, rasanya.....manisnya....harumnya.... Ini benar-benar mangga istimewa. Bukan saja karena dia mangga pertama yang kami nikmati sepanjang Ramadhan ini. Tapi juga karena dia dibawa dari tempat yang sangat jauh, menyeberang laut, menyeberang pulau. Saya seperti mendengan sayup-sayup suara lagu Maumere Manise yang dinyanyikan oleh para guru peserta pelatihan menjelang pelatihan usai waktu itu. Seperti nama lagu itu, seperti tempat dia berasal, Maumere Manise, seperti itulah rasa mangga ini. Mangga manise.


Surabaya, 23 Juli 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 17 Juli 2014

Kurikulum 2013: Target Implementasi yang Terlalu Ambisius

Siang ini, saya sedang nunggu boarding di Bandara Frans Seda, Maumere. Saya membuka tab, cek email, FB, dan baca-baca.

Sebuah artikel di Kompasiana berjudul 'Kemdikbud: Nafsu Gede, Stamina Memble', menarik perhatian saya. Sebelum membaca isinya, saya coba tebak, ini pasti tentang Kurikulum 2013.

Ternyata benar. Artikel yang ditulis Mochamad Syafei itu berbicara tentang K-13 yang fonomenal itu. Fenomenal karena 'kehebatannya.'

Betapa tidak. Kemdikbud manargetkan pada awal masuk sekolah 14 Juli 2014, K-13 harus sudah diimplementasikan. Artinya, semua guru sudah dilatih, buku-buku sudah didrop di semua sekolah, dan oleh sebab itu, 'siap tidak siap, bisa tidak bisa, K-13 harus jalan'.

Padahal, kenyataannya, tidaklah seperti itu. Tanggal 6-7 Juni yang lalu, saya diundang ke Kupang, sebagai narasumber untuk workshop K-13. Saya menyiapkan materi selengkap mungkin, meski saya berharap, saya tidak harus memulai dari awal ketika bicara tentang K-13. Artinya, saya berharap, para peserta workshop sudah memiliki pengetahuan awal yang cukup memadai tentang rasional K-13, elemen perubahan, pola pikir, dan hal-hal lain yang terkait dengan konsep. Saya berharap, saya bisa langsung berdiskusi tentang sistem pembelajaran dan penilaian dalam K-13, dan ada cukup banyak waktu untuk berlatih menyusun RPP dan instrumen penilaian.

Ternyata harapan saya tinggal harapan. Para peserta itu, sebanyak sekitar 100 peserta, yang terdiri dari guru SD, SMP, SMA dan SMK, yang datang dari segala penjuru Kabupaten Kupang, mayoritas belum paham K-13 bahkan pada tataran konsepnya. Jadilah dua hari itu kami berdiskusi intens tentang konsep K-13 sampai kepada sistem pembelajaran dan penilaian. Tidak terlalu cukup waktu untuk berlatih menyusun RPP dan instrumen penilaian.

Sekitar dua minggu setelah itu, saya rapat di Dikti, Jakarta, bersama UKMP3 (Unit Kerja Menteri Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Unit khusus menteri ini meminta kami terlibat dalam monitoring implementasi K-13, dengan melibatkan para peserta SM-3T yang bertugas di berbagai pelosok Indonesia dan para peserta PPG yang sedang ber-PPL di berbagai sekolah di kota-kota di Indonesia juga.

Waktu itu, wakil dari UKMP3 menegaskan, bahwa semua guru sudah dilatih dan semua buku sudah didrop.
"Apa?" Saya spontan bertanya. "Tidak mungkin."
"Diasumsikan begitu, Bu. Sesuai target yang dicanangkan oleh Kemdikbud."
"Diasumsikan?" Saya balik bertanya lagi. Saya mau melanjutkan kalimat saya "itu asumsi yang super ngawur", saya tahan. Saya perhalus kalimat saya, "Itu asumsi yang jauh dari kenyataan." Terbayang dalam benak saya, betapa K-13 itu bahkan sama sekali belum menyentuh semua daerah 3T yang pernah saya kunjungi pada bulan-bulan belakangan ini.
"Ya, untuk itulah, Bu, kami perlu lakukan monitoring ini."

Kemarin, saya diundang sebagai narasumber workshop K-13 di Maumere. Pesertanya sekitar 150 guru, mulai dari guru SD, SMP, SMA dan SMK.

Sebagaimana harapan saya ketika saya diundang di Kupang, saya bisa langsung berbicara tentang sistem pembelajaran dan penilaian, serta pengisian rapor. Apa lagi sebelumnya, panitia sudah memberi tahu, bahwa guru-guru yang akan mengikuti pelatihan sebagian besar sudah menerima sosialisasi dan pelatihan K-13. Mereka hanya merasa kesulitan pada sistem penilaian dan pengisian rapor.

Tapi harapan saya, lagi-lagi, tinggal harapan. Meski saya paksakan, guru-guru itu tidak akan nyambung kalau saya langsung bicara tentang sistem penilaian. Bagaimana tidak. Ketika saya tanya, 'Apa KI-1, KI-2, KI-3, dan KI-4', hanya sebagian kecil saja guru yang bisa menjawab. Bahkan pengetahuan awal mereka tentang K-13 lebih minim daripada guru-guru di Kupang, yang saya latih sekitar sebulan yang lalu.

Sebagian kecil dari peserta itu mempelajari K-13 saat PLPG tahun 2013, sebagian kecil mengikuti sosialisasi singkat, sebagian besar belum pernah menerima informasi apa pun lewat sosialisai maupun pelatihan. Ada satu dua yang mencoba belajar dari internet. Dari seluruh peserta tersebut, belum ada satu pun dari sekolah mereka yang sudah mendapatkan dropping buku-buku K-13.

Benar memang yang dikatakan banyak orang, yang saya alami, yang saya lihat. Kemdibud terlalu ambisius dengan target implementasi K-13 ini. Para pakar dan tim yang diandalkan untuk menyusun dan memastikan implementasi K-13 tentulah orang-orang yang tak diragukan kapasitasnya. Namun kondisi di lapangan dengan berbagai kendalanya nampaknya tidak terlalu cermat diperhitungkan.


Entah apa lagi yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita setelah ini.


Bandara Frans Seda, Maumere, 17 Juli 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 16 Juli 2014

MAUMERE

Kusapa Frans Seda, di suatu siang saat matahari menyembul di sela-sela awan putih
Kehangatannya seperti mengabarkan keramahan Tanah Maumere
Senyuman orang-orang berkulit hitam berambut keriting 
Tegur sapa "taksi, Ibu?" atau "boleh diantar ke mana, Ibu?" atau "apa sudah ada yang menjemput, Ibu?" adalah suara-suara indah di negeri asing ini

Inilah negeri yang telah melahirkan seorang pahlawan
Dia disebut sebagai Pahlawan Keuangan
Meski sudah melanglang buana sampai ke mancanegara, dia selalu mengingat tanah kelahirannya
Berjuang membuka jalur lewat laut dan udara
Mendatangkan banyak kapal dan pesawat perintis untuk membuka isolasi Indonesia Timur yang dicintainya

Inilah tanah kecil yang menyimpan kemakmuran
Dia memiliki pisang, kemiri, kakao, kelapa, kopra 
Beragam tenun ikat yang indahnya telah kesohor di seluruh dunia
Cobalah datang ke Pasar Alok
Temukan semua di sana
Bersama para mama yang tersenyum manis
Nona-nona yang menawarkan es kelapa muda
Dan para bapa yang menggelar kain-kain lebar tenun ikatnya

Datang jugalah ke pantainya pada suatu senja, di sebuah pelabuhan laut bernama Lorosae
Tumpukan peti kemas dan kapal-kapal yang bersandar, berpadu dengan lekuk garis pantai dan batas cakrawala
Serta bukit-bukit dan pulau-pulau di kejauhan
Ditingkahi suara bocah yang riang-gembira melempar-lempar bebatuan
Adalah lukisan alam yang tak terkata indahnya

Inilah pintu gerbang utama wilayah Indonesia Timur
Kota kecil yang menjadi persinggahan menuju Kelimutu dan Larantuka
Bahkan Labuan Bajo pun bisa terjangkau meski harus menempuh perjalanan panjang
Namun pesona alamnya  adalah mimpi para petualang
  
Inilah tempat yang dihuni orang-orang kuat
Meski tsunami pernah mengguncangnya puluhan tahun silam dan merenggut ratusan ribu nyawa, orang-orang ini tak diam berputus asa
Terus bangkit, bergerak, membangun peradaban
Sri Paus Johanes Paulus II pun terpikat untuk datang menyapa
Ada kerukunan beragama yang kuat, ada toleransi yang mengagumkan, ada banyak perkawinan campuran
Namun jangan berharap ada kerusuhan
Orang-orang ini hanya ingin bekerja mencari nafkah untuk keluarga
Agama, budaya, dan adat istiadat yang berbeda, adalah sebuah keniscayaan
Tidak ada guna saling menjelekkan, saling menghinakan
Hidup rukun bersama, merayakan lebaran dan natal bersama
Dengan bahan makanan yang berbeda, pisau dan alat-alat memasak yang berbeda, tukang masak berbeda, dan meja sajian yang berbeda, mereka berpesta bersama, mensyukuri nikmat bersama
Dalam kebersamaan, dalam keragaman serupa itu, bukankah itu semua begitu indah?

Datanglah ke Maumere-Sikka
Dan kau akan disambut dengan sepenuh suka cita, sepenuh kehangatan, sepenuh ketulusan...

Maumere, 16 Juli 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 13 Juli 2014

Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia

Judul Buku: Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia
Penerjemah: Ahmad Muchlis
Cetakan: I, Mei 2014
Penerbit: Kaifa
Jumlah halaman: 318

Pendidikan di Finlandia dinilai terbaik di dunia, banyak kalangan mengakui hal ini. Selain keunggulannya dalam bidang pendidikan, Finlandia juga dikenal sebagai negara yang indeks kebahagiaannya tertinggi. Warga Finlandia dinilai memberikan pengaruh penting pada terciptanya faktor-faktor yang menentukan kebahagiaan, antara lain kesehatan, pendidikan, kualitas hidup, dan pemerataan ekonomi.

Diyakini, model pendidikan yang diterapkan berhubungan dengan kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat Finlandia. Negara ini disebut sebagai negara yang memiliki skala prioritas yang lurus dalam kaitannya dengan paradigma pendidikan yang dianutnya. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa segala macam keterampilan dan kemampuan akademik lebih sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kebahagiaan lahir dan batin. Berbeda dengan negara-negara yang paling maju dan paling makmur sekali pun, yang menganggap pendidikan sekadar untuk mencapai kemakmuran yang setinggi-tingginya. Kemakmuran tidak selalu berarti kebahagiaan lahir dan batin. Banyak negara yang memiliki tingkat penguasaan sains dan teknologi serta kemakmuran yang tinggi, namun indeks kebahagiaan masyarakatnya terpuruk.

Buku 'Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia', yang ditulis oleh Pasi Sahlberg, sebenarnya bukanlah buku yang terlalu baru. Buku yang diterjemahkan dari 'Finnish Lessons: What Can The World Learn from Educational Change in Finland?', diterbitkan pertama kali pada 2011 di New York, USA. Kemudian pada 2014, buku tersebut diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Kaifa.

Ada banyak hal yang menarik dari buku setebal 318 halaman ini. Dalam bab per bab, pembaca disuguhi informasi tentang bagaimana Finlandia melakukan transformasi pengajaran dan pendidikan guru dalam kurun waktu sekitar 30 tahun. Buku ini menunjukkan, mengapa pendidikan di Finlandia bisa berada pada posisi nomor satu di dunia, dan bagaimana negara ini mencapainya.

Informasi tentang apa yang dimaksud dengan program penyiapan guru berbasis riset, dan apa pengaruhnya terhadap pembelajaran siswa, juga ditunjukkan dengan cukup detil. Fokus utama reformasi pendidikan di Finlandia memang pada program pendidikan guru. Program ini memberikan kerangka kerja menyeluruh bagi semua yang mengajar--guru-guru mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah. Guru harus bergelar master, sehingga mereka memiliki cukup waktu untuk mempelajari pedagogi serta melakukan praktik dan belajar melakukan riset (hal 19).

Guru adalah profesi yang tinggi statusnya, seperti dokter. Mereka yang masuk ke profesi ini terus belajar, melanjutkan studi, agar bisa berkontribusi lebih banyak pada profesi. Guru menjadi jabatan yang dikejar dan hanya didapatkan oleh mereka yang cukup beruntung untuk terpilih sebagai calon guru (hal 20).

Sebagai sebuah contoh sistem pendidikan yang unggul, Finlandia memiliki cara lain untuk memperbaiki sistem pendidikan. Cara yang berbeda dengan yang dilakukan oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Norwegia, dan Perancis. Finlandia tidak memperketat kontrol terhadap sekolah, memperberat akuntabiitas kinerja siswa, memecat guru-guru yang dinilai jelek, dan menutup sekolah-sekolah yang bermasalah, namun sebaliknya melakukan cara-cara berikut: 1) memperbaiki sumber daya guru, 2) membatasi tes pada siswa sampai batas minimum yang diperlukan, 3) menempatkan tanggung jawab dan kepercayaan di atas akuntabiitas, dan 4) menyerahkan kepemimpinan pada level sekolah dan distrik kepada tenaga profesional pendidikan (hal 42).

Terkait dengan pendidikan guru, bagi Finlandia, tidaklah cukup memperbaiki pendidikan guru dan menaikkan persyaratan penerimaan mahasiswa semata. Yang lebih penting adalah menjamin agar kerja guru di sekolah berlandaskan martabat profesional dan kehormatan sosial sehingga mereka dapat memenuhi tujuan mereka dalam memilih profesi menjadi guru sebagai karier seumur hidup. Kerja guru seharusnya seimbang antara mengajar di kelas dan berkolaborasi dengan tenaga profesional lain di sekolah. Itulah cara terbaik untuk menarik para pemuda berbakat kepada profesi guru (hal 159).

Perbedaan khas terkait dengan sistem pendidikan publik di Finlandia dan di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris, dan tentu saja juga di Indonesia, salah satunya adalah pada kerja guru. Pendidikan di Finlandia tidak mengenal pengawasan sekolah yang ketat. Tidak ada ujian terstandar eksternal bagi siswa untuk memberi tahu publik tentang kinerja sekolah atau efektivitas guru. Guru juga memiliki otonomi profesional untuk membuat kurikulum dan rencana kerja sendiri berbasis sekolah. Semua pendidikan dibiayai publik dan tidak ada penarikan biaya di sekolah dan universitas (hal 162).

Guru merupakan profesi yang terkait dengan pemeliharaan kultur nasional. Salah satu tujuan persekolahan formal adalah mewariskan pustaka, nilai-nilai, dan aspirasi kultural dari satu generasi ke generasi berikutnya. Guru merupakan pemain kunci dalam membangun masyarakat sejahtera. Sejarah panjang Finlandia yang telah menyebabkan negara ini bergulat dengan identitas nasional, bahasa ibu, dan nilai-nilai sendiri, telah meninggalkan jejak yang dalam pada masyarakatnya dan mendorong keinginan mereka untuk mengembangkan pribadi melalui pendidikan, membaca (reading), dan perbaikan diri. Literasi adalah tulang punggung kultur Finlandia dan telah menjadi bagian tak terpisahkan.

Bagaimana dengan di Indonesia? Membaca buku ini, serasa pembaca diseret dalam berbagai kondisi yang sangat kontradiktif. Oleh sebab itu, buku ini sangat penting dibaca bagi para pemerhari pendidikan, guru, praktisi, pengambil kebijakan, dan juga para orang tua dan msayarakat pada umumnya, sebagai bahan refleksi dalam rangka meningkatkan mutu proses pembelajaran dan pendidikan di segala jalur dan jenjang.

Terkait dengan 'kehebatan' profesi guru di Finlandia, kondisi ini tentu saja agak berbeda dengan di Indonesia. Meski dengan diberlakukannya UUSPN dan UUGD yang mengharuskan adanya sertifikat pendidik sebagai syarat untuk menjadi guru, profesi guru belum menjadi profesi favorit bagi putra-putri terbaik. Memang ada kenaikan sangat tajam animo masyarakat untuk mengambil pendidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK)--juga kenaikan tajam jumlah LPTK yang saat ini sudah menembus angka lebih dari 500--namun tetap saja, para peminat itu sebagian besar belum merupakan lulusan SMA/SMK terbaik.

Dari segi pemahaman teoretis, sebenarnya apa yang menjadi keunggulan sistem pendidikan di Finlandia telah menjadi perhatian para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan, termasuk di Indonesia. Bedanya, di Finlandia, pemahaman tersebut telah diwujudkan dalam praktik yang konkret. Di negara kita, hal itu lebih banyak masih di tingkat pemahaman, sekadar wacana, dan dinilai belum ada keseriusan untuk mewujudkannya dalam praktik. Pandangan yang skeptis terhadap upaya-upaya pembaharuan pendidikan juga masih bermunculan dari banyak pihak.

Contoh kondisi di atas yang saat ini begitu nyata adalah tentang diberlakukannya Kurikulum 2013. Kurikulum yang dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi unggul masa depan bangsa ini masih dilihat sebelah mata saja oleh berbagai pihak. Meski sebenarnya, bila dirunut, rasional Kurikulum 2013 memiliki banyak pararelisme dengan model Finlandia. Penekanan pada tujuan pembelajaran yang terintegrasi antara sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta kemampuan pemecahan masalah dan pengembangan kreativitas siswa dengan penerapan model-model pembelajaran dan penilaian yang mendorong terjadinya berpikir tingkat lebih tinggi (higher order thinking), sejalan dengan pola pikir yang dikembangkan dalam kurikulum pendidikan di Finlandia.

Namun begitu, tidak mudah menerapkan Kurikulum 2013, tidak saja karena keterbatasan kemampuan guru (yang saat ini terus-menerus dilakukan penguatan dan peningkatan), namun juga kondisi pendidikan di Tanah Air, yang disparitasnya sangat tinggi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Beberapa permasalahan terkait SDM pendidiknya saja,  antara lain meliputi: kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched), masih menjadi persoalan serius. Belum lagi menyangkut kendala kultur/budaya pendidik dan semua stakeholder pendidikan; karena sesungguhnya, tanpa perubahan pola pikir, sangat mustahil Kurikulum 2013 bisa diimplementasikan dan mencapai hasil seperti yang diharapkan.

 
Surabaya, 7 Juli 2014


Luthfiyah Nurlaela

Direktur Program Pengembangan Profesi Guru, Universitas Negeri Surabaya

Jakarta (2)

Halo, Jakarta
Aku menyapamu lagi
Dengan sepenuh hati
Dengan semangat membubung tinggi

Tapi kenapa sepagian ini kau begitu muram?
Bekas kesedihanmu rata membasahi jalan-jalan
Langitmu gelap penuh awan hitam sejak semalam
Bahkan pagi ini, meski sudah beranjak siang, tak kulihat setitik pun senyuman

Halo, Jakarta
Tersenyumlah
Bukankah hari ini kau bisa sedikit melepaskan beban?
Setidaknya nadimu tak harus dipenuhi lalu-lalang
Hari ini, pagimu adalah pagi yang tenang
Siang, sore dan malam, usahlah kau terlalu risaukan
Jadi tersenyumlah sajalah

Esok, tugas berat telah menunggumu
Maka nikmati harimu, sehari ini
Biar terhimpun sepenuh semangatmu
Untuk menjelang tugas muliamu

Jakarta, 13 Juli 2014

Mas, kalau perlu, foto ambil di fb-ku ya?
Tq

Wassalam,
LN

Jakarta (1)

Jakarta...
Aku datang lagi
Jangan bosan ya?
Aku hanya datang sebentar
Lusa sudah pergi lagi

Jangan lelah menyapaku
Supaya aku betah dalam nadimu
Meski raga dan jiwa ini tak pernah merindumu

Jakarta,
Ramah sekali kau hari ini
Ada taburan gerimis yang jatuh satu-satu
Titik-titik air membekas di kaca-kaca
Pohon-pohon diam mengeja setiap kata
Bangunan-bangunan tinggi menjulang, bahkan tak menampakkan pongahnya
Mendung menggantung, benda-benda beroda begerak, suara-suara meraung-raung, seperti orkestra senja saja

Jakarta
Aku datang lagi
Jangan bosan ya...
Jangan bosan ya....

Jakarta, 12 Juli 2014

Kamis, 10 Juli 2014

Pesawat kok Batik

Jadwal penerbangan hari ini cukup membuat saya pusing. Sejak kemarin, saya sudah pesan tiket Garuda jurusan Surabaya-Jakarta PP. Tapi sampai tadi malam, Mas Nardi, petugas tiket langganan, belum berhasil. Dia hanya bisa memastikan jadwal penerbangan dengan Lion. Katanya, Garuda mengurangi empat jadwal penerbangannya hari ini, sedangkan Lion dua kali penerbangan. Saya disarankan untuk waiting list di Garuda saja. Dia pastikan, besok pagi saya bisa berangkat menumpang Garuda. Kalau pulangnya, Mas Nardi tidak menjamin saya bisa dapat Garuda.

Jadilah pagi selepas sahur dan salat subuh, saya bersiap. Meskipun sebenarnya rapat di Dikti dilaksanakan pada pukul 12.00, saya tidak terlalu persoalan kalau saya datang terlalu pagi. Ada banyak hal yang bisa saya lakukan. Di laptop saya tersedia banyak tugas yang harus segera saya selesaikan. Saya juga membawa sebuah buku untuk saya baca dan saya tulis resensinya.

Saya menuju bandara Juanda Terminal 2 diantar Mas Ayik. Tapi baru sampai di depan Makro, Mas Nardi bertanya melalui SMS, "Ibu posisi di mana?" Saya balas kalau saya di depan Makro.

Menjelang Bandara Juanda 2, Mas Nardi SMS lagi. "Ibu, tidak bisa. Ibu langsung ke T1 saja."

Walah. Ya sudah. Mas Ayik langsung putar haluan menuju Terminal 1.

Begitu sampai di Terminal 1, saya langsung disuguhi pemandangan yang ruwet. Orang pating blesah di mana-mana. Ruwame. Kursi-kursi penuh, bukan hanya karena memang saking banyaknya orang, tapi orang-orang itu pada tidur di kursi. Barang-barang mereka juga ditumpuk-tumpuk di kursi. Benar-benar tidak sopan ya? Sementara puluhan orang yang lain, ngleset di lantai-lantai. Tua muda laki perempuan. Berserak seperti ikan pindang yang hidup kembali.

"Ibu nanti bisa pakai Lion jam 7-an." Kata Mas Nardi. "Ibu cari tempat duduk dulu, nanti saya beri tahu."

Saya pun celingak-celinguk cari tempat duduk. Itu dia, ada kursi di sebelah seorang gadis berjilbab, di barisan tengah. 

"Mbak, kosongkah?" Tanya saya pada gadis yang lagi sibuk memainkan ponselnya.
"Ya, bu." Jawabnya, sambil menggeser tas yang didudukkannya di kursi itu.

Saya pun duduk. Membuka 'Finnish Lessons'. Saya berjanji pada pengirimnya, Ahmad Muchlis, dosen ITB yang menerjemahkan buku bagus itu, untuk membuat resensinya.

Sekitar pukul 07.00, Mas Nardi muncul. "Bu, Lion juga penuh. Bagaimana kalau ibu waiting list Garuda yang jam delapan-an?"
"Hah? Apa Mas? Saya balik lagi ke Terminal 2? Nggaklah, Mas. Wis, sak nemunya saja, pesawat apa saja." Jawab saya. Toh apa pun pesawatnya, capresnya tetap Prabowo dan Jokowi.

"Lion bisanya jam 11-an, Bu."
"Lhah, aku lak yo telat rapat, Mas."
"Atau coba pakai Citi Link saja ya, Bu?"
"Yo wis, Citi Link."
Mas Nardi menelepon. Tak berapa lama dia bertanya lagi.
"Bu, pulangnya pakai Citi Link juga nggih? Tapi dari Bandara Halim."
"Emoh, adoh, Mas. Berangkatnya saja oke, pulangnya Mas Nardi cariin yang lain deh."
"Nggih, Bu."

Saya pun akhirnya terbang ke Jakarta menumpang Citi Link. Pesawat yang bersih dan cukup nyaman. Selama di pesawat, saya tidur pulas. Ngantuk yang saya tahan dari tadi menemukan muaranya.

Begitu turun di Cengkareng, saya menyalakan ketiga gadget saya. SMS ke Mas Ayik kalau saya sudah mendarat. Sebuah email masuk di BB dan tab saya, tiket untuk kepulangan saya sore nanti. Di tiket itu, tertera, saya akan pulang menumpang Batik. Dalam hati saya bergumam: "pesawat kok batik..."

Rapat di Lantai 3 Dikti dimulai agak molor, lewat setengah jam dari pukul 12.00. Saya dan kawan-kawan sesama koordinator menyempatkan salat dulu, jama' takdim dhuhur ashar. Sejak ketemu teman-teman Dikti, saya sudah lapor, kalau tiket pulang saya terjadwal pukul 18.00. Jadi saya harus meninggalkan ruang rapat maksimal pukul 16.00, tidak peduli rapat sudah rampung atau belum. Habis nggak ada tiket lagi? Semua full-booked. Begitu alasan saya. Bukan alasan yang dibuat-buat, tapi seperti itulah memang adanya.

Ternyata, seperti memahami situasi saya, rapat persiapan tes wawancara SM-3T itu diselesaikan tepat pukul 16.00. Saya bersama dua teman, Pak Ega dari Unimed, dan Pak Agung dari UM, langsung bergegas ke lift. Turun. Jadwal penerbangan kami bertiga kebetulan sama.

Alamakkkk..... Ternyata hujan sedang turun deras sekali. Padahal kami musti nyegat taksi di pinggir jalan. Pak Ega mengambil inisiatif, mengorbankan dirinya untuk diguyur hujan, berlari menuju pintu gerbang. Di situ ada pos satpam, dan tiba-tiba Pak Ega sudah membawa payung yang memungkinkannya untuk berdiri di pinggir jalan menunggu taksi.

Akhirnya, kami bertiga pun berhasil masuk mencapai taksi dengan berbasah-basah, meluncur ke Cengkareng, menembus hujan yang deras. Di taksi, saya tanya pak Ega dan Pak Agung.
"Pak, Batik itu di terminal apa?"
"Batik?" Pak Ega balik bertanya. "Ini saya pakai baju batik, Prof."
"Itu se-grup sama Lion, Prof. Mungkin sama dengan Lion." Kata Pak Agung.
"Betul tah, Pak?" Saya tanya pak supir.
"Mungkin, Bu...." Jawab supir, tidak meyakinkan. Dalam hati saya menggerutu: "supir opo iki...." Tapi cepat-cepat beristighfar. Poso-poso rek.

Akhirnya kami semua turun di Terminal 1 Soekarno Hatta. Persis di depan Lion. Kami berpisah di situ, melanjutkan perjuangan masing-masing.

Begitu sampai di pintu masuk, dan saya menyorongkan tiket saya ke petugas, petugasnya bilang: "Batik, Surabaya, di Terminal 3, Bu...."
"Walah, jauh dong, Mbak. Harus naksi lagi dong saya."
"Nggak harus pakai taksi, Bu.."
"Oya?"
"Bisa pakai shultle.."
"Walah, yo podho ae, mending saya naksi aja, Mbak. Iya kalau shuttlenya cepet.."

Saya pun akhirnya kembali ke tempat saya turun tadi, menyambar taksi sekenanya.
"Bang, anterin ke Terminal 3 ya."
"Ya, Bu."

Akhirnya, saya pun menumpang Batik malam itu. Pesawat Boeing yang bagian ekornya bercat motif batik, dengan pramugari-pramugari cantik berblus putih dipadu rok panjang batik yang pada bagian depan, belahannya sampai setinggi paha, memamerkan paha-paha mereka, yang untung saja, tidak batik. Pesawat yang nyaman, lebih longgar daripada Lion dan kawan-kawannya sekelasnya, dan dilengkapi monitor dengan layar sentuh seperti di Garuda. Bedanya, kalau di Garuda headset sudah disediakan, kalau di Batik, kita musti meminta ke pramugari dan mengganti biaya Rp.25.000,-.

Ya, selalu ada hikmah dalam setiap peristiwa. Kalau tidak begini, saya tidak tahu Terminal 3 Bandara Sokarno Hatta dan tidak naik pesawat Batik yang nyaman. Hari ini, saya juga sudah berhasil menyelesaikan resensi 'Finnish Lessons' dan bahkan sudah saya kirimkan ke sahabat baik saya siang tadi, saat menumpang taksi dari bandara menuju Dikti. Sahabat baik itu adalah seorang GM sebuah surat kabar. Komentar dia tentang resensi itu: "Wis sip, Prof, resensinya nggak perlu diedit. Nanti kalau saya edit malah salah. Langsung siap muat. Jreng....jreng...."

Surabaya, 7 Juli 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 26 Juni 2014

PPPG Sebagai Penggerak Literasi

Ada Sirikit Syah, Satria Darma, Much. Khoiri dan Ahmad Wahju, mereka adalah dedengkot literasi. Pemilik Sirikit School of Writing, Eurika Academia, Jalindo, dan Indonesia Menulis.

Ada Anwar Djaelani, dialah motor Bina Qalam, yang selalu mengatakan, menulis itu jihad yang menyenangkan. Pegiat literasi yang lain, Eko Prasetyo, Suhartoko, Abdur Rohman, Eko Pamuji, hadir membaur di antara kerumunan para peserta PPG.

Buka mata, buka telinga, buka hati, buka akal pikiran, begitu kata Sirikit, supaya kita bisa menulis. Lihat orang-orang di sekitar kita. everyone has their own story. Gunakan waktu untuk mengamati, menemukan hal-hal yang menarik, dan tuliskan. Daripada main game dan FB-an.

Menulis itu gampang, kata Arswendo. Menulis itu sulit, kata Budi Darma. Bergantung apa yang kita tulis, kata Khoiri. Kalau kita menulis tentang perasaan kita, tentang kisah-kisah hidup kita, itu gampang. Lebih banyak pakai otak kanan. Tapi kalau kita menulis sesuatu yang harus dibatasi dengan aturan-aturan penulisan ini-itu, itu yang sulit. Lebih mengandalkan otak kiri. Menulis yang baik adalah menggunakan kedua belahan otak kita, kanan dan kiri. Dan itu, tentu saja, tiidak mudah. Perlu ketekunan, perlu keuletan, seringkali perlu pengeraman, untuk menghasilkan tulisan yang memuaskan.

Tulisan mampu menorehkan sejarah. Apa yang diperjuangkan dengan otot, seperti Negara Sparta, akan hilang dengan cepat. Apa yang diperjuangkan dengan tulisan, akan 'abadi', seperti tulisan para filsuf. Plato, Socrates, siapa yang tidak kenal? Mereka berjuang dengan tulisan. Dan mereka 'abadi'.

Iqra'. Bacalah. Maka ke mana-mana, bawalah buku, kata Satria Darma. Membaca itu perintah, bukan anjuran. Perintah Tuhan. Perintah yang jauh lebih tinggi daripada perintah Direktur PPG, lebih tinggi daripada perintah Rektor, lebih tinggi daripada perintah Mendiknas, bahkan Presiden sekali pun.

Urusan literasi bukan urusan seseorang, sebuah lembaga, atau urusan sektor tertentu. Urusan literasi menjadi urusan semua. Itulah pentingnya membangun jaringan dengan semua pihak. Indonesia Menulis tidak hanya mengurus Jawa Timur, tapi di seluruh wilayah Indonesia. Di Papua, di NTT, di Sulawesi, mari kita membangun 'Indonesia Menulis'. Begitu kata Ahmad Wahju, yang telah menjalin sinergi dengan banyak pihak, lintas sektor, lintas daerah.

Ketika kita ceramah, berapa banyak orang yang akan mendengarkan? Tanya Sirikit. Berapa banyak orang yang akan memahami? Berapa banyak orang yang akan tetap mengingat? Dengan menulis, sekali kita menulis, tulisan itu akan dibaca orang berlipa-lipat kali lebih banyak, tulisan bisa disimpan, bisa diabadikan bertahun-tahun bahkan berabad-abad setelahnya. Jadi, mulailah menulis.

Ada banyak cerita selama mengikuti Program PPG. Ada cerita sedih, ada cerita suka. Air macet, menu makanan yang membosankan, workshop yang menjemukan, hanyalah sebagian cerita sedih. Dosen yang bersahabat, teman-teman yang baik, pengelola yang peduli, main musik, main futsal, adalah sedikit cerita yang menyenangkan. Kata Fafi Inayatillah--editor buku 'Pelangi di Panggung PPG'-- yang cantik itu, bagaimana pun, buku ini lebih banyak berisi cerita suka daripada cerita duka. Tulisan yang sangat beragam, menarik, meski harus diotak-otik agar lebih cantik.

Lain lagi dengan cerita tentang peserta SM-3T di Sumba Timur. Meski sudah ada 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca' dan 'Jangan Tinggalkan Kami', cerita tentang Sumba Timur seperti tak pernah habis. Betapa sulitnya mendapatkan air, sehingga seorang peserta harus mandi dan membersihkan diri dengan tisu basah. Betapa suka duka mengajar anak-anak yang tertinggal...betapa inginnya mewujudkan mimpi-mimpi mereka....semuanya terangkum dalam buku yang disunting Rukin Firda: 'Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita.'

Hari ini adalah hari yang luar biasa. Ada lagu 'Kami Peduli', tari Bali, tari saman, dan tari Timor. Ada belasan pegiat literasi bertemu dalam sebuah dialog yang mencerahkan, menginspirasi, penuh semangat, dengan ratusan anak muda yang begitu antusias bertanya.

Mereka, anak-anak muda itu, akan menjadi tumpuan harapan pengembangan budaya literasi di PPG. Mereka calon guru yang akan menjadi guru-guru profesional yang cinta literasi. Mereka akan menularkan kecintaan itu pada anak didik. Mereka akan membuat setiap anak suka membaca dan menulis. Mereka akan mengubah statistik membaca yang menyebabkan Indonesia mengalamai tragedi nol buku.

Dan para pegiat literasi, yang telah membubuhkan tanda tangan di pigura pencanangan PPPG sebagai Penggerak Literasi, akan membantu mewujudkan mimpi itu. Mimpi ada panggung besar di PPG. Panggung yang tak pernah sepi menampilkan pertunjukan membaca, menulis, membedah, meluncurkan buku-buku. Panggung yang mampu menyedot penonton yang tidak hanya ingin menjadi penonton. Bersama-sama memainkan peran sebagai pejuang, membangun peradaban.

Para pegiat itu, merekalah ahlinya literasi. Terima kasih sudah sudi hadir, membagi inspirasi, menyemangati, membangkitkan mimpi.

Gedung Wiyata Mandala, PPPG, 26 Juni 2014

Wassalam,

LN  

Minggu, 22 Juni 2014

AYO BERGABUNG DENGAN PROGRAM JATIM MENGAJAR

Program Jatim Mengajar merupakan program yang digagas oleh Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) bekerja sama dengan Unesa sebaga ibentuk kepedulian dalam pembangunan pendidikan di daerah terpencil dan tertinggal di JawaTimur. Program ini selain diharapkan untuk mengisi kekurangan guru baik dalam hal mutu maupun jumlahnya (khususnya di SD/MI negeri/swasta), juga diharapkan sebagai wahana dakwah, sekaligus untuk memberdayakan masyarakat desa.

Program Jatim Mengajar tahun ini merupakan angkatan II.

Persyaratan :
1. Laki-laki, Islam, WNI, usia maksimum 28 tahun per 31 Desember 2014 (KTP Asli dan Foto copy)
2. Lulusan program studi S-1 kependidikan empat tahun terakhir (2011, 2012, 2013, 2014) dari program studi terakreditasi (legalisir ijazah atau SPK).
3. IPK minimal 2,75 (legalisir transkrip)
4. Surat keterangan sehat dari dokter
5. Belum menikan dan sanggup tidak menikah selama mengikuti program (1 tahun)
6. Bisa membaca Al-Quran
7. SKKB
8. Bebas narkotika, psikotropika, dan zata diktif (napza) yang dibuktikan dengan Surat  Keterangan Bebas Narkoba (SKBN) dari pejabat yang berwenang.

Persyaratan 1-5 dibawa saat mendaftar, 7 dan 8 saat wawancara.

Program Studi yang diperlukan:
PGSD/PGMI, Pend. Matematika, Pend.Kimia, Pend. Fisika, Pend. Biologi, Pend. IPS, Pend Sain, Pend. Sejarah, Pend. Geografi, PPKn, Pend, Bhs.Indonesia, Pend. Bahasa Inggris,  Pend. Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (Penjaskesrek).
 
WaktuPendaftaran :
23 Juni –6 Agustus 2014

Wawancara:
8-9 Agustus 2014

Tempat Pendaftaran:
Gedung Program PPG Unesa Lantai1, Kampus Lidah Wetan. Senin-Jumat pukul 08.30-15.00 WIB.

Informasi lebih lanjut bisa menhubungi:


08123122413 (Ibu Luthfi)
082131258506  (Bapak.Sulaiman)

Jumat, 13 Juni 2014

Perilaku di Toilet

Mobilitas yang tinggi membuat saya harus sering berurusan dengan toilet bandara. Mulai dari toilet yang joroknya mirip  ponten umum di tempat rekreasi yang belum jadi, atau toilet yang sangat bersih dengan air kran yang otomatis mancur sendiri bila tangan kita dekatkan. Bagaimana tidak. Saya 'mbolang' mulai dari daerah 3T yang petugas bandaranya saja harus teriak-teriak bila waktunya naik pesawat, sampai ke kota-kota besar yang kita bisa menyelonjorkan kaki sambil menikmati segelas kopi panas di lounge-nya yang nyaman dan sejuk.

Berbagai macam perilaku para pengguna toilet menjadi perhatian tersendiri bagi saya. Ada orang yang suka meninggalkan toilet dalam keadaan tutup kloset tertutup, ada yang suka membuat lantai menjadi basah kuyup, ada yang suka meninggalkan bekas kotor(an) di dalamnya, ada yang masuk toilet hanya untuk bercermin dan membetulkan tata rias wajah dan rambutnya. Yang jelas, saya tidak pernah menemui orang berkumpul di toilet untuk arisan atau untuk rapat dinas. Hehe.

Kadang-kadang, saya menemui orang dengan perilakunya yang menggelitik hati. Seperti yang terjadi di suatu siang, beberapa waktu yang lalu. Saya sedang ada di toilet Bandara Juanda. Seorang wanita cantik dengan perhiasan gemerlap masuk. Mungkin karena penjaga toilet kecapekan membersihkan kloset dan lantai, begitu perempuan itu masuk, dia berpesan, "Bu, jangan sampai basah ya Bu, lantainya...."
"Lho gimana nggak basah mbak, orang saya mau kencing." Logat ibu itu khas sekali, medok, dari daerah tertentu.
"Kan bisa di kloset Bu, bersih-bersihnya, jadi tidak membasahi lantai."
"Lho saya orang Islam, Mbak, kalau bersih-bersih nggak pakai banyak air itu nggak suci."

Penjaga berjilbab itu diam. Saya menatapnya, iba. Dia juga menatap saya.

"Saya lho juga Islam, Bu." Katanya pada saya. "Lha apa dikiranya orang di bandara ini tidak ada yang Islam?" Tanyanya, tanpa bermaksud mendapatkan jawaban.
"Ya, sabar ya, Mbak... Namanya juga ngurusin banyak orang." Hibur saya sambil menyelipkan selembar uang kertas ke genggamannya, sebelum berlalu dari tempat itu.

Lain waktu, saat saya masuk ke toilet, saya kaget karena lantai toilet itu basah sampai di bagian luarnya. Dua orang ibu yang baru keluar dari toilet-- dilihat dari busananya, nampaknya mereka akan berangkat umroh--minta maaf pada penjaga.
"Mbak, maaf yo, teles kabeh. Lha gak onok kesete. Ke'ono keset, Mbak, ben gak teles kabeh. Kamar mandi kok gak onok kesete."

Prang. Penjaga itu membuang tisu kotor di tempat sampah staniless steel dengan kasar. Nampaknya dia sedang melampiaskan kejengkelannya karena dua orang itu telah menambah pekerjaannya untuk ngepel.

Begitulah. Menggunakan toilet  memang harus diajarkan. Kalau ada saudara kita yang akan bepergian naik pesawat dan hal itu merupakan pengalaman pertama dia, ada baiknya kita memberi tahu bagaimana menggunakan toilet bandara.

Pelajaran menggunakan toilet juga perlu diberikan oleh para pemilik biro perjalanan, termasuk biro perjalanan umroh dan haji. Perilaku sebagian calon jamaah umroh dan haji itu begitu memprihatinkan. Maklum, mungkin ini pengalaman pertama mereka naik pesawat dan mengunjungi bandara.

Twin Hotel Surabaya, 13 Juni 2014

Wassalam,
LN 

Rabu, 11 Juni 2014

Menyogok

Ini malam yang melelahkan bagi kami, para juri dan panitia. Sejak pagi bergelut dengan para calon guru, kepala sekolah, pengawas SD, SMP, SMA, SMK, SLB berprestasi se-Jawa Timur. Ada yang menilai portofolio, menilai presentasi karya ilmiah, dan melakukan wawancara. Ada yang kegiatannya di Hotel Purnama, ada yang di Hotel Batu Suki. Saya kebetulan kebagian di Hotel Batu Suki, Batu.

Saya sendiri, bersama dua orang teman, satu widyaiswara dan satu pengawas sekolah senior dan mantan Plt. Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya, adalah kelompok juri yang melakukan wawancara pada para pengawas SD. Kedua juri dalam tim saya itu, dilihat dari usia, keduanya jauh lebih senior, dan pasti jauh lebih berpengalaman. Saya, sambil menjuri, sambil ngangsu kawruh pada beliau berdua.

Ada 25 pengawas yang harus kami wawancarai. Setiap pengawas kami wawancarai dalam waktu sekitar 15-30 menit. Dengan jumlah sebanyak itu, kami akan memerlukan waktu sekitar 10 jam. Maka, meskipun sebenarnya kami diberi waktu dua hari, kami bertekad menyelesaikannya dalam waktu sehari. Semalam apa pun, wawancara harus selesai. Tugas-tugas yang lain sudah menunggu di Surabaya. Nampaknya para pengawas yang akan kami wawancarai juga sepakat dengan pengaturan jadwal itu. Ikan sepat ikan gabus. Semakin cepat semakin bagus. Yang penting tidak mengorbankan mutu dan target kegiatan.

Sepanjang wawancara yang kami lakukan, tentu saja ada banyak tipe pengawas yang kami temui. Pengawas yang tidak memahami substansi terkait dengan tupoksi kepengawasan, banyak. Pengawas yang tidak memahami dasar hukum kepengawasan, juga banyak. Pengawas yang sudah beberapa tahun tidak pernah meneliti, ada. Pengawas yang tidak bisa menjelaskan proses supervisi manajerial, supervisi akademik, dan evaluasi pendidikan, lumayan banyak. Pengawas yang....nah ini yang paling banyak, tidak memiliki keterampilan berbahasa Inggris dan tidak memiliki atau melakukan aktivitas di bidang seni budaya, hampir semua.

Tapi di antara para pengawas yang saya sebut itu, ada sekitar lima sampai enam orang pengawas yang sangat bagus, kecuali, ya, keterampilan berbahasa Inggris. Para pengawas itu sangat kreatif, mereka tipe orang-orang yang mau 'soro', tidak puas hanya dengan melakukan hal-hal yang rutin. Mereka sangat memahami masalah-masalah yang dihadapi sekolah-sekolah binaannya, mampu mendorong guru melakukan inovasi proses pembelajaran dan penilaian, dan bahkan menciptakan metode-metode pembelajaran yang kreatif. Ada metode pembelajaran 'Asyik', ada 'Galaksi', dan lain-lain, yang semuanya adalah hasil rekayasa mereka sendiri, dan diterapkan untuk pembelajaran di sekolah-sekolah binaan mereka. Di antara pengawas itu, ada yang juga rajin menulis di media ilmiah, ada yang juara tari, ada yang pintar memainkan keyboard, ada yang suaranya persis Bang Haji Rhoma Irama. Keren. Asyik banget mengobrol dengan para pengawas yang super itu.

Proses wawancara berjalan lancar sekali. Kami tidak beristirahat kecuali hanya untuk makan dan salat. Mulai pukul 10.30 sampai pukul 23.00. Semua lancar dan menyenangkan. Meski, harus diakui, kami sangat lelah.

Sampai tiba pada pengawas terakhir yang harus kami wawancarai. Seorang ibu dari sebuah kabupaten (tidak perlu saya sebutkan nama orang dan nama kabupatennya), sangat enerjik, nampak cerdas, dan ternyata memang cerdas. Dia paham betul bagaimana tugas-tugas kepengawasan dan melakukannya dengan relatif baik. Dia juga jago menari dan prestasinya dalam bidang menari juga cukup banyak. Dia rajin menjalin kerja sama dengan lembaga lain untuk benchmarking dan membawa sekolah-sekolah binaannya untuk belajar pada lembaga-lembaga tersebut. Karya ilmiahnya, berupa Penelitian Tindakan Sekolah (PTS), bejibun, 14 karya, selama lima tahun. Hebat kan?

Kami sangat senang mengobrol dengannya. Sampai tak terasa, mungkin sampai memakan waktu hampir lewat setengah jam. Begitu selesai, kami menyalaminya.

"Selamat ya, Bu. Sukses ya."
"Inggih, Bu, Pak. Maturnuwun." Dia mengulurkan tangannya, ramah.

Lantas kami bertiga sibuk mengisi form nilai. Lega. Akhirnya selesai sudah wawancara ini. Ibu itu masih berdiri di depan kami, membereskan berkas-berkasnya. Tiba-tiba....

"Bu, nyuwun sewu, sekedar oleh-oleh." Dia meletakkan map di depan kami bertiga.
"Apa ini, Bu?" Tanya saya spontan.
"Kain, Bu. Oleh-oleh."
"Waduh, jangan, Bu. Maaf, saya tidak bisa menerima. Maaf, Bu, mohon dibawa kembali." Saya kembalikan barang itu, spontan juga. Tanpa meminta pertimbangan pada dua juri yang lain.

Begitu ibu itu berlalu dan membawa semua barangnya keluar ruangan, saya meminta maaf pada kedua juri di sebelah kanan dan kiri saya.
"Bapak, maaf, langsung saya tolak, tidak apa-apa kan?"
"O, tidak apa-apa, Ibu. Harus. Itu yang bener. Dari pada nanti kita musti cari orangnya untuk mengembalikan barang pemberiannya, lebih baik begitu, langsung ditolak."

Syukurlah. Senang karena kami satu tim seide. Bahkan kami akhirnya bersepakat, skor bagus dari kami untuk ibu pengawas tadi, langsung kami 'plorotkan' pada skor terendah, tanpa mengubah skor pada tiap item, dan hanya memberi catatan pada skor yang kami bubuhkan: "kejujuran, sportivitas, karakter, tidak terpuji. Tidak layak jadi pengawas berprestasi."   

Selidik punya selidik, ternyata ibu pengawas yang 'loman' itu juga melakukan hal yang sama di meja-meja yang lain. Yang dia masukkan ke map itu, tidak hanya kain, Saudara, tapi juga amplop. Tentu saja amplop berisi uang. Ingin tahu berapa jumlahnya? Mana saya tahu? Karena tidak ada satu juri pun yang sempat membukanya. Ada juri yang sempat membuka mapnya, dan begitu tahu di situ terselip amplop berisi uang, dia langsung mengembalikan pada yang bersangkutan.

Menyogok. Ya, itulah yang sedang terjadi di acara seleksi guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah se-Jawa Timur ini. Praktik yang hanya dilakukan oleh satu orang saja, di antara ratusan para tenaga pendidik dan kependidikan itu, namun cukup membuat prihatin kita semua.

Praktik menyogok atau suap ini sudah belasan bahkan puluhan kali saya alami. Sepanjang pengalaman saya jadi asesor akreditasi sekolah di Jawa Timur dan di Kota Surabaya, banyak sekolah yang saya visitasi, berusaha untuk melakukan penyuapan dengan berbagai cara. Tidak semua sekolah, memang, tapi banyak sekolah. Kalau hanya memberi kalender dan jam dinding berlogo sekolah, mungkin masih bisa ditolerir. Tapi kalau sudah memberi amplop berisi uang, ini benar-benar pelecehan kredibilitas asesor. Saya dan teman-teman yang seide, menolak keras praktik tersebut, dan benar-benar merasa dilecehkan oleh sekolah-sekolah yang melakukannya pada kami. Marah, sekaligus prihatin. Ini dunia pendidikan gitu loh. Kalau praktik sogok-menyogok seperti ini menjadi 'budaya', mau dikemanakan dunia pendidikan kita?

Tentu saja tidak hanya dalam hal-hal yang saya ceritakan itu saja praktik itu terjadi. Sudah menjadi rahasia umum jika seseorang musti mengeluarkan sejumlah dana untuk bisa lolos menjadi CPNS guru, menjadi kepala sekolah, menjadi kepala bidang, kepala sub-bidang, dan lain-lain. Tidak semuanya memang. Tapi banyak terjadi, di banyak tempat. Hadeh. Bergidik. Ngeri. Sedih. Prihatin. Entah bagaimana caranya  menghentikan semuanya ini...

Batu, 10 Juni 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 08 Juni 2014

Menengok Ibu

Subuh menjelang. Kami berdua salat berjamaah. Arga sedang tidak di rumah. Semalam dia pamit ke Bromo, bersama teman-teman SMA-nya. Biasa, berburu matahari terbit. Matahari terbit kok diburu.

Selesai salat, Mas Ayik menyiapkan mobil. Saya menyiapkan baju-baju. Pagi ini, kami akan meluncur ke Tuban, menengok ibu. Sudah sekitar dua bulan kami tidak menengok ibu. Sejak bapak Tanggulangin gerah, opname di rumah sakit, sampai saat ini, sudah lewat empat puluh hari kepulangan bapak ke rumah-Nya. Kesibukan yang luar biasa tidak memberi keleluasaan bagi saya sekeluarga untuk menengok ibu.

Lama tidak menengok ibu, membuat kami seperti dibebani hutang segunung. Biasanya, kami pulang ke kampung halaman sekitar sebulan sekali. Kalau waktunya agak longgar, kami bahkan bisa pulang sebulan dua kali. Karena itulah, ketika sudah lebih dari sebulan kami tidak juga bisa menengok ibu, rasanya seperti terbebani. Kepikiran terus.

Sebenarnya ibu juga tidak terlalu menuntut kami harus menengok kampung halaman sesering mungkin. Paling-paling beliau hanya bertanya: "apa kabar, sayang? Gak onok rencana pulkam?" Kalau saya jawab "meniko taksih rapat wonten Jakarta, Mik. Dereng saget matur mbenjang menopo saget wangsul." Ibu selalu mengerti. "Yo wis, ora popo, sing penting awak sehat, donga dinonga. Ojo lali sholawat."

Saya tahu, ibu sebenarnya ingin sekali kami pulang. Tapi beliau selalu berusaha memahami kesibukan kami. Pernah suatu ketika, beliau telepon, saya posisi di Yogya. Besoknya, beliau telepon, saya posisi di Jakarta. Besoknya lagi, saat beliau telepon, saya sudah ada di Malang. "O walah ngger....ngger. Wis mugo-mugo Gusti Allah paring kuat lan sehat, awakmu sakeluargo slamet wilujeng kabeh." Begitu kata ibu. "Inggih, Mik.... Matur nuwun. Pangestunipun nggih, Mik."

Dua hari yang lalu, saat saya berada di Kupang, ibu telepon. Ibu memang sangat sering menelepon, menanyakan keadaan kami, dan memastikan kami baik-baik saja. Saya bilang kalau saya sedang ada tugas di Kupang. "Gak onok rencana pulkam?" Tanya ibu. "Insyaallah, Mik. Dalem wangsul saking Kupang Sabtu sonten. Menawi saget, Sabtu sonten dalem pulkam". Jawab saya, ragu-ragu tapi berusaha yakin. "Yo, mugo-mugo iso. Ponakanmu wis podho kangen."

Ternyata, pesawat saya yang seharusnya membawa saya terbang dari Kupang pukul 15.00, delayed. Pukul 16.00 baru boarding. Maghrib baru landed Surabaya. Begitu saya menghidupkan ponsel setibanya di Juanda, SMS ibu masuk. "Yen isih kesel, ora usah mekso pulkam. Umik paham kok." Hati saya seketika basah. Terharu dengan pengertian ibu. Saya memang lelah luar biasa. Tapi tidak tega untuk menunda pulkan karena sudah terlanjur janji pada ibu. Tapi, seperti memahami kelelahan saya, ibu malah SMS dulu. "Inggih, Mik...ningali sikon rumiyin nggih, Mik." Balas saya.

Dan pagi ini, akhirnya, kami berdua meluncur ke Tuban. Sisa lelah tak saya hiraukan. Kalau saya bisa menahan lelah untuk melakukan berbagai aktivitas, mestinya saya juga bisa menahan lelah untuk menengok ibu. Fisik boleh lelah, tapi psikis tidak. Semangat harus tetap terjaga. Termasuk semangat untuk bersilaturahim. Dan dengan semangat itulah kami berdua akhirnya berada di depan ibu, mencium tangannya, dan membaui aroma keberkahannya.

Terima kasih, Tuhan. Telah Kau hadirkan kami berdua kepada ibu kami tercinta....

Tuban, 8 Juni 2014

Wassalam,
LN

Sabtu, 07 Juni 2014

Learning by Doing

Dua hari ini saya berada di Kupang, tepatnya di Hotel Royal Kupang. Saya dijadwalkan untuk mengisi pelatihan kurikulum 2013 bagi para guru SD, SMP, SMA dan SMK, selama dua hari. Kegiatan ini sudah terlanjur saya sanggupi sejak sekitar sebulan yang lalu. Sehingga meskipun sebenarnya saya ada undangan rapat di Jakarta untuk hari Jumat sampai Minggu, saya terpaksa tidak bisa hadir. Kalah janji. 

Pelatihan diikuti oleh sekitar 100 orang guru. Syukurlah, tidak terlalu banyak. Saya bisa leluasa dan lebih intens berinteraksi dengan para peserta. Peserta yang terlalu banyak akan membuat narasumber cepat lelah, karena bicara saja mesti ngotot. Selain itu, pengendaliannya juga tidak bisa maksimal. Kalau pun bisa, pasti melelahkan, karena perlu energi besar untuk mobile kesana kemari melakukan interaksi dengan para peserta. Saya pernah mempunyai pengalaman menjadi narasumber dengan jumlah peserta 800-an orang. Selesai acara, panitianya saya amuk. "Yo lek kampanye, tidak apa-apa mau peserta sebanyak apa pun." Kata saya. "Kalau seperti ini, tidak usah mengundang saya." Saya nggondok, dan panitia berkali-kali minta maaf.

Hari pertama, kami berdiskusi tentang rasional perubahan K-13, elemen perubahan, SKL, KI, KD, pembelajaran, dan penilaian. Waktunya mulai pukul 09.00-16.00. Hanya diselingi istirahat satu jam, pukul 12.00-13.00.

Saya menggunakan pendekatan saintifik dalam pelatihan ini. Peserta saya bagi dalam kelompok-kelompok, ada 15 kelompok dengan jumlah anggota kelompok antara 5-7 orang. Guru SD berkelompok dengan guru SD, guru SMP dengan guru SMP, guru SMA dengan guru SMA dan SMK (karena guru SMK hanya ada satu).

Setiap topik saya mulai dengan informasi singkat, kemudian peserta saya minta untuk membaca sendiri materi, berdiskusi, dan mengerjakan tugas-tugas yang sudah saya siapkan di materi yang mereka miliki. Setelah itu setiap kelompok diberi kesempatan untuk presentasi dan ditanggapi oleh kelompok lain.

Tidak terasa, diskusi berjalan sangat gayeng. Guru-guru itu begitu bersemangat. Bahkan ketika makan siang, mereka sampai dipaksa-paksa oleh panitia untuk beranjak dari kursi karena mereka maunya menuntaskaskan tugas pertama dulu. Begitu juga ketika tiba waktunya pelatihan usai, mereka juga tidak segera berhenti berdiskusi. Sampai akhirnya saya paksa mereka berhenti karena besok masih ada waktu untuk melanjutkan.

Saya bertanya kepada mereka, "apakah bapak ibu belajar sesuatu hari ini?" Saya panggil kelompok per kelompok. "Kelompok Komodo, apakah hari ini belajar sesuatu?"
"Ya." Mereka menjawab serempak.
"Kelompok Tulip?"
"Ya."
"Kelompok Mawar?"
"Ya."
Ada 15  kelompok, dan mereka menjawab "ya" dengan penuh semangat.

Mereka telah belajar menerapkan pendekatan siantifik dengan begitu mudahnya. Mengalir, sangat mengasyikkan, sangat menyenangkan. Mereka tidak menyangka, bahwa pendekatan saintifik bisa diterapkan dengan sesederhana itu. Sebelumnya mereka membayangkan, pendekatan saintifik hanya bisa dilakukan di lab, memerlukan fasilitas yang memadai, penuh dengan penyelidikan, eksperimen, dan hal-hal yang sulit dilakukan, terutama oleh sekolah-sekolah di pelosok. Mereka baru menyadari, bahkan mata pelajaran sejarah, bahasa, seni, dan olah raga, bisa dengan mudah menerapkan 5M itu, mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan. Mereka sudah membuktikan, saat mempelajari K-13, mereka melakukan pengamatan dengan cara membaca dan mendengarkan. Mereka juga menampilkan banyak pertanyaan yang tidak sekedar membutuhkan jawaban mudah, namun pertanyaan yang membutuhkan analisis dan sintesis. Mereka juga mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu dengan memanfaatkan materi yang mereka miliki, berdiskusi, dan bertanya pada narasumber. Setelah itu, mereka berusaha menghubungkan pemahaman mereka dengan pengalaman di lapangan, dan juga dengan sumber-sumber lain. Selanjutnya, mereka mengkomunikasikan hasilnya untuk memperoleh kesimpulan bersama.

Ya. Para guru itu baru saja membuktikan, betapa pembelajaran yang interaktif, menantang dan membebaskan, akan sangat menyenangkan dan membuat betah siapa pun yang belajar. Mereka juga menyadari, dalam proses itu, sikap jujur, tanggung jawab, teliti, tangguh, juga dikembangkan. Begitu juga keterampilan berkolaborasi dan berkomunikasi. Artinya, sikap, pengetahuan dan keterampilan yang disyaratkan dalam pembelajaran dengan K-13, dapat dibangun melalui pendekatan saintifik.

Sore itu saya memberi hadiah buku bagi empat kelompok terbaik. Mereka senang sekali menerima "Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita", "Ibu Guru, Saya Ingin Membaca", "Jangan Tinggalkan Kami", dan "Berbagi di Ujung Negeri." Buku-buku itu lekat dengan kehidupan mereka. Selain karena sebagian besar setting-nya di NTT, juga karena tulisan-tulisan di dalam buku itu sangat menggugah.

Hari kedua, diskusi dilanjutkan dengan penyusunan RPP. Saya memberikan materi RPP lengkap dengan peraturan-peraturan menteri, terkait kerangka kurikulum serta kompetensi inti dan kompetensi dasar semua jenjang pendidikan. Saya juga memberi contoh RPP yang menerapkan pendekatan saintifik, bagaimana mengemas proses pembelajarannya sampai pada penilaiannya. 

Seperti hari kemarin, diskusi begitu gayeng. Tidak henti-hentinya guru-guru itu berdebat, saling menanggapi, saling melengkapi. Saya sampai merasa tidak sedang berada di Kupang, salah satu wilayah di Indonesia bagian timur yang katanya SDM-nya sangat rendah kualitasnya itu. Saya baru sadar, guru-guru ini pasti bukanlah termasuk SDM yang rendah itu. Mereka datang jauh-jauh untuk ikut pelatihan di tempat ini atas inisiatif mereka sendiri. Mereka membayar biaya pelatihan dengan uang mereka sendiri. Mereka datang dari tempat-tempat yang jaraknya puluhan kilometer, ada yang dari Amarasi Barat, Amarasi Selatan, Semau Selatan, Besmarak, bahkan dari Amfuang Timur, wilayah yang berbatasan dengan Timur Leste. Mereka seperti orang-orang yang kehausan dan ingin sepuas-puasnya minum dari sumber air pengetahuan. Sampai takjub saya melihatnya.

Saya bertanya kepada mereka: "adakah guru yang paling bapak ibu ingat, ketika bapak ibu bersekolah di SD, SMP, SMA atau SPG? Apa yang membuat bapak ibu selalu mengingatnya?"

Para guru itu berebut menjawab. Ada yang mengatakan, dia ingat selalu seorang guru SMP-nya karena guru itu sangat menyenangkan ketika mengajar, dia juga tidak suka menghukum seperti guru-guru lain. Ada juga yang mengatakan, dia ingat seorang gurunya saat SMA karena guru itu suka memukul dan membentur-benturkan kepala anak-anak ke tembok.

"Jadilah guru yang dikenang oleh siswa-siswa karena hal-hal baik, bukan karena hal-hal buruk. Apakah bapak ibu ingin dikenang karena hal-hal baik atau karena hal-hal buruk, itu adalah pilihan." Kata saya. "Tentu kita ingin, siswa-siswa kita mengenang kita, karena hal-hal baik yang telah kita tanamkan pada diri mereka, hal-hal baik yang itu berguna untuk bekal mereka menjalani kehidupan mereka."

"Apakah kita ingin menjadi guru yang dinantikan kehadirannya, ataukah menjadi guru yang menakutkan, momok, bagi siswa-siswa kita?"

Guru-guru itu menjawab serempak, mereka ingin menjadi guru yang dirindukan, yang dinantikan kehadirannya oleh para siswa.

"Maka kita harus menjadi teladan bagi siswa kita. Kata pepatah, poor teacher tells, good teacher teaches, best teacher inspires the students. Kita harus bisa menjadi guru-guru yang mampu menginspirasi. Untuk bisa menjadi guru-guru yang mampu menginspirasi, kita harus menjadi teladan. Jangan menuntut siswa untuk berdisiplin kalau kita sendiri tidak bisa disiplin, datang ke sekolah seenaknya, mengajar hanya formalitas, tidak menghargai siswa, suka memukul, suka menyalah-nyalahkan, dan seterusnya."

Di akhir pelatihan, saya memanggil peserta yang paling tua di ruangan itu. Seorang ibu, usianya 74 tahun, ya, 74 tahun, dengan sigap maju ke depan. Disusul dengan seorang bapak dan seorang ibu juga, yang ternyata usia mereka 'masih' 59 tahun. Dua orang itu terpaksa mundur karena kalah tua. Saya memberikan hadiah buku pada ibu yang paling senior itu (saya lupa namanya). Meski usianya 74 tahun, dia masih aktif mengajar, karena di yayasan tempat dia mengajar masih terus menugasi dia. Semangat belajar yang terus menyala, sangat nampak dari caranya berbicara, mendapatkan applaus dari semua peserta.

Saya juga memanggil peserta yang termuda. Ada empat peserta yang maju. Yang termuda dari mereka, Ibu Maria, 24 tahun, memperoleh hadiah buku. Satu lagi, meskipun tidak termuda, 25 tahun, juga mendapatkan hadiah buku, karena tepat hari ini, dia berulang tahun. Wow, betapa senangnya dia mendapatkan hadiah buku di hari ulang tahunnya. Dia juga mendapatkan ucapan selamat dari para peserta yang lain.

Kemudian saya juga memanggil peserta yang rumahnya paling jauh. Ada tujuh peserta yang maju dan mengklaim bahwa merekalah peserta yang rumahnya paling jauh. Padahal buku tinggal tiga. Maka saya bertanya pada para peserta yang lain, "siapa tiga di antara tujuh orang itu yang berhak menerima buku?" Dan riuh-rendahlah ruangan. Tidak hanya para peserta yang ramai, tapi juga tujuh orang itu ramai sendiri di depan. Mereka berdebat dan berusaha meyakinkan saya dan semuanya bahwa merekalah yang datang dari tempat yang paling jauh. Kami juga terpingkal-pingkal menyaksikan betapa mereka bertengkar sendiri gara-gara memperebutkan buku itu. Akhirnya, setelah dibantu oleh para peserta, saya memutuskan untuk memberikan buku kepada tiga peserta. Yang lainnya, saya minta untuk menuliskan alamatnya, dan saya janjikan bahwa saya akan mengirimkan buku di alamat tersebut. Legalah mereka. Tanpa dikomando lagi, mereka bergegas menuliskan alamat mereka di secarik kertas, dan diserahkannya kepada saya. Bahkan yang tidak termasuk nominasi pun, ikut-ikutan menyerahkan alamat mereka ke saya.

Senang sekali bisa bersama para guru yang hebat itu.  Rasa lelah saya terobati dengan semangat mereka. Mereka juga nampak sangat puas dengan apa yang mereka pelajari selama dua hari ini. Wajah mereka berseri-seri.  Usai pelatihan, mereka berebut ingin berfoto dengan saya, dan beberapa dari mereka bahkan berusaha mencium tangan saya ketika bersalaman, sesuatu yang bukan kebiasaan orang NTT. Saya katakan ke mereka, apa yang kita pelajari dua hari ini tidak akan ada gunanya kalau kita tidak mencoba menerapkan dan membagikannya pada rekan guru yang lain. Ilmu itu bermanfaat kalau diamalkan. Kita akan tahu kelebihan dan kekurangan K-13 kalau kita mau memahaminya dengan baik dan mencoba menerapkannya. Learning by doing.

Selamat berjuang, guru-guru yang baik. Selamat jalan dan kembali ke pelosok-pelosok tempat kalian mengabdi. Nyalakan lilin-lilin untuk menerangi kegelapan....

Kupang, 7 Juni 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 05 Juni 2014

Tamu Istimewa dari Jauh

Hari ini saya kedatangan tamu istimewa dari jauh. Tidak tanggung-tanggung. Tamu saya itu dari Kabupaten Mamberamo Raya, Papua. Namanya, Isak Torobi. Beliau adalah Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mamberamo Raya.

Sebenarnya Pak Kadis, begitu kami menyebutnya, sudah tiba di Surabaya sejak dua hari yang lalu. Tetapi karena saya masih bertugas di Yogya, maka baru hari ini kami bertemu.

Siang ini saya membawa Pak Kadis menghadap Pak Rektor. Di ruang rektor yang sejuk, ditemani PR 1 dan secangkir teh manis serta kletikan, Pak Kadis menyampaikan maksud kedatangannya. Beliau menunjukkan setumpuk berkas surat kesanggupan para peserta SM-3T untuk kembali ditugaskan ke Mamberamo Raya.

"Saya ingin menyampaikan kepada Bapak Rektor, bahwa para guru SM-3T sanggup untuk kembali ditugaskan ke Mamberamo Raya. Tentu saja kalau Bapak merelakan mereka.." Begitu kata Pak Kadis. Lelaki hitam tinggi besar tapi ramah itu menjelaskan. Kata-katanya runtut, mengalir lancar dengan suaranya yang agak serak namun jelas. Mata tajamnya yang bersembunyi di wajah hitamnya menyiratkan kesungguhan.

"Kami merasa sangat terbantu dengan kehadiran para guru itu. Kami sangat kekurangan guru. Bupati mengharapkan mereka semua akan menetap di sana. Mereka akan diangkat sebagi guru kontrak, sambil menunggu formasi untuk CPNS. Mereka nantinya akan diprioritaskan."

Tentu saja Pak Rektor menyambut dengan tangan terbuka. Para guru itu sudah membuat surat kesanggupan yang sudah mereka tandatangani sendiri. Atas inisiatif mereka sendiri. Apa yang harus ditolak? Ketika anak-anak muda itu merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari pembangungan pendidikan di pelosok negeri, bukankah itu pilihan yang hebat. Tidakkah itu membanggakan?

"Tapi, kalau nanti mereka selesai bertugas di Mamberamo Raya, saya dengar, mereka masih harus setahun mengikuti program PPG, benarkah begitu?"
Pak Rektor mengangguk. Menjelaskan bahwa selepas dari Program SM-3T, mereka akan mengikuti Program PPG.
"Tidak bisakah itu ditunda?" Tanya Pak Kadis.
Tentu saja tidak, itulah jawaban Pak Rektor. Namun dengan bahasanya yang rileks dan mencerahkan. Ternyata Pak Kadis datang, selain ingin menyampaikan surat kesanggupan para peserta SM-3T, juga untuk memohon supaya mereka boleh tidak mengikuti Program PPG.

Saya katakan itu program yang penting untuk mereka. Juga menguntungkan bagi Pemda Mamberamo Raya. Karena begitu mereka nanti bertugas di sana, mereka tidak lagi direpotkan dengan kewajiban harus ikut sertifikasi guru. Mereka sudah memiliki sertifikasi itu. Artinya, begitu bertugas, mereka tidak akan pergi-pergi dalam jangka waktu yang lama untuk menempuh pendidikan profesi.

"Berarti mereka akan pergi selama setahun? Bisakah kami dijamin bahwa kami diberi guru-guru untuk menggantikan mereka, Pak Rektor? Sementara mereka pergi untuk menempuh PPG? Kami sangat kekurangan guru, dan kehadiran mereka begitu berarti bagi kami. Kalau kami harus kehilangan mereka selama setahun, saya khawatir dengan anak-anak, guru-guru, dan sekolah-sekolah yang sudah terlanjur mencintai mereka." Lanjut Pak Kadis.

Pak Rektor spontan melihat saya. Saya mengangguk, terharu. Juga meyakinkan Pak Rektor. "Bisa, Bapak." Suara saya pelan. Dada saya agak sesak tiba-tiba. Suara Pak Kadis barusan, begitu menghunjam ulu hati saya. Membayangkan rasa kehilangan itu. Setahun memang waktu yang singkat. Namun ketika dalam setahun itu kebersamaan begitu intens, bersama-sama membangun pemahaman dan pengertian, memaknai suka-duka karena keberagaman, dan lantas terjalin perasaan saling membutuhkan dan saling mencintai, betapa berat sebuah perpisahan.

"Mungkin ada baiknya Pak Kadis menulis surat ke Dikti, supaya nanti Mamberamo Raya dikirim lagi guru-guru ke sana." Kata Pak Rektor.
"Ke Dikti?" Tanya Pak Kadis. Ragu.
"Ke Unesa saja juga tidak apa-apa, Bapak." Tukas saya, mencoba memahami keraguan Pak Kadis. Beliau pasti merasa akan kehilangan jalur emas kalau harus berkirim surat ke Dikti. "Ke Unesa saja, Bapak, nanti kita yang membawa suratnya ke Dikti."
"Ya ya, begitu juga bagus." Kata Pak Rektor.

Tiba-tiba Bu Kisyani, tersenyum, menarik perhatian kami. "Ada apa, Bu Kis?" Tanya saya.
"Gelangnya Pak Kadis...bagus sekali."
Kami tertawa berderai. Gelang perak di pergelangan tangan Pak Kadis serta merta menjadi pusat perhatian kami. Pak Kadis tertawa lebar, memperlihatkan lesung pipitnya.

Tentang lesung pipit itu, tadi, menjelang masuk ruangan Pak Rektor, saat saya memperkenalkan Pak Kadis ke Bu Kis, Bu Kis juga spontan berkomentar. "Aduh, Bapak manis sekali....punya lesung pipit ...." Tentu saja Pak Kadis tersipu-sipu dengan sapaan yang tidak terduga itu.
 
Kami keluar dari ruangan rektor saat jam menunjukkan pukul 14.00 lewat. Sebenarnya ada kegiatan pembukaan Pekan Olah Raga (POR) Peserta PPG siang ini, dan saya diharapkan bisa membuka acara. Namun saya sudah berpesan ke Pak Sulaiman dan Pak Heru tadi, kalau acara sudah dimulai dan saya belum tiba, Pak Sulaiman bisa mewakili saya untuk memberi sambutan dan membuka acara.

Tiba di PPG, ternyata acara baru akan dimulai. Benar-benar tepat momennya. Upacara Pembukaan POR ini tidak hanya dihadiri oleh kami para pengelola, namun juga dihadiri Kepala Dinas Mamberamo Raya sebagai tamu kehormatan. Saat saya memberi sambutan, saya memperkenalkan kepala dinas dari seberang timur itu, dan menyampaikan maksud kedatangannya. Maka sambutan yang hangat pun riuh rendah dari para peserta PPG.

Kami membawa Pak Kadis berkeliling, melihat gedung PPG dari satu lantai ke lantai yang lain. Saya sempat memisahkan diri karena saya harus menghadiri pertemuan dengan para mahasiswa S2 peserta penelitian Hibah Pasca Sarjana, yang memang sengaja saya undang ke PPG, biar saya bisa nyambi-nyambi. Sementara itu, Pak Heru dan Pak Julianto, mendampingi Pak Kadis mengunjungi asrama. Bercengkerama dengan para peserta PPG, yang kebetulan beberapa ada yang asli Papua, dan sempat makan malam bersama dengan anak-anak muda itu.

Begitu tiba di ruangan saya sekembalinya dari asrama, Pak Kadis berkata. "Luar biasa. Saya yakin, kita bisa mengembalikan jati diri kita bila proses pendidikan guru dikemas seperti ini." Wajahnya menyiratkan kebanggaan.
"Ya, Bapak. Oleh sebab itu, biarkan para guru yang saat ini bertugas di Mamberamo Raya, pulang dan belajar di sini setahun, dan baru kembali lagi ke Mamberamo. Untuk melengkapi bekal mereka sebagai guru."
"Ya ya, saya sangat setuju. Saya akan laporkan ke Pak Bupati nanti, bahwa para guru itu harus mengikuti program ini, supaya Mamberamo Raya nantinya mendapatkan guru-guru yang benar-benar guru."

Malam itu, lewat waktu Isya, kami mengakhiri pertemuan dengan makan malam di Rumah Makan Lombok. Pak Kadis dan Pak Heru menikmati sup buntut, saya dan Anang menyeruput sayur asem, dan Pak Julianto melahap gurami bakarnya. Pertemuan sehari ini begitu indah dan penuh makna. Semoga memberi makna juga bagi hal-hal baik yang telah terbangun dan terus dibangun.

Surabaya, 4 Juni 2014.

Wassalam,
LN
(5 Juni 2014. 19.10. Di Juanda, nunggu boarding)

Senin, 02 Juni 2014

Please Note Your Boarding Time

Pagi ini saya kembali menyapa Juanda. Hari ini saya dan besok terjadwal melakukan monitoring dan evaluasi (monev) Program PPG di UNY. Bila on time, saya akan menumpang Wings Air menuju Yogyakarta pada pukul 07.10. Diperkirakan pukul 08.20, saya akan tiba di Yogyakarta.

Di pintu masuk bandara, saya bertemu Mendikbud M. Nuh, bersama ajudannya, Mas Rizal, polisi yang tinggi semampai  dan ngganteng itu. Pak Nuh  tersenyum lebih dulu ke saya. "Selamat pagi, Pak." Saya mengulurkan tangan, tapi, tidak seperti biasanya, beliau menolak bersalaman. Mungkin beliau habis wudhu dan bersiap salat dhuha. Atau mungkin karena sebenarnya beliau tidak suka bersalaman dengan lain jenis, khas kyai NU, kecuali terpaksa. Hehe. Mas Rizal, yang dalam kondisi rileks biasanya sangat 'celelekan', kali ini 'macak' sopan, formal, dan tidak banyak cakap.

Saya mengantri di barisan penumpang Wings Air. Pak Nuh dan ajudannya berlalu, Mas Rizal bilang, 'bapak' naik Twin Air.

Setelah menerima boarding pass, saya langsung naik ke lantai dua. Dua orang gadis menyambut di ujung tangga, dengan membawa papan kecil berwarna biru dengan tulisan putih. Saya sempat membaca di salah satu papan itu. "Please note your boarding pass." Oya, saya jadi ingat, beberapa waktu yang lalu, saya mendengarkan informasi dari televisi kalau sejak Juni 2014, pengumuman naik pesawat tidak lagi akan dilakukan di Bandara Juanda. Penumpang harus mencermati waktu boarding-nya masing-masing, karena kalau tidak, mereka bisa ketinggalan pesawat.

Maka saya bayangkan Bandara Juanda sejak hari ini akan sunyi dan tenang, tidak ramai oleh pengumuman-pengumuman masuk pesawat yang sambung-menyambung seperti biasanya. Dan benar. Beberapa waktu duduk di ruang tunggu, saya tidak mendengar pengumuman apa pun. Bagus. Ini akan membuat penumpang lebih hati-hati dan lebih cermat terkait dengan waktu boarding. Ini juga akan membuat penghematan energi karena bandara tidak harus menggunakan loud-speaker terus-menerus. Juga lebih ramah lingkungan, mengurangi polusi suara.

Tapi, olala. Ternyata perkiraan saya meleset. Pengumuman pertama terdengar di seantero gedung. Pengumuman untuk penumpang yang mengandung, membawa bayi di bawah enam bulan, serta yang sedang sakit cacar, supaya mereka lapor. Juga pengumuman kedua, untuk penumpang Lion Air yang membawa bagasi lebih dari satu koli, yang diminta melapor kembali ke konter check in.

Baiklah, kalau pengumuman terkait dengan hal-hal itu, bolehlah. Itu pengumuman penting. Untuk pengumuman waktunya naik pesawat, mungkin tidak akan diumumkan seperti yang sudah diinformasikan.

Tapi, sekali lagi, dugaan saya meleset. Pengumuman demi pengumuman ternyata masih juga berkumandang. Mulai Lion Air yang akan terbang ke Balikpapan, dan lain-lain, sampai akhirnya Wings Air jurusan Yogyakarta. Itu pesawat saya. Maka masuklah saya ke badan pesawat ATR itu.

Mungkin karena saat ini masih masa transisi, meski Bandara Juanda sudah menyampaikan kalau setiap penumpang harus memperhatikan waktu boardingnya masing-masing, informasi waktu naik pesawat masih juga diumumkan. Ya sudahlah, karena masih masa transisi, bisa dimaklumi. Yang akan datang, pasti semuanya akan berjalan sesuai rencana.

Jadi, perhatian untuk semua penumpang yang akan berangkat dari Bandara Juanda, please note your boarding time....


Yogyakarta, 2 Juni 2014

Wassalam,
LN