Pages

Sabtu, 17 November 2012

Pernikahan Emas Bapak dan Ibu

Hari ini tepat 50 tahun pernikahan bapak dan ibu. Lima puluh tahun masa pernikahan, tentulah sebuah 'prestasi' yang patut disyukuri. Berbagi rasa syukur dan kebahagiaan ini kami wujudkan dengan acara tasyakuran, dengan mengundang tetangga kiri kanan dan sanak saudara.

Saudara-saudara bapak dan ibu datang dari Jakarta, Malang, Ponorogo, Bekasi, Bogor, dan lain-lain. Rupanya mereka semua tidak ingin kehilangan momen bahagia ini. Sejak kemarin, rumah kecil di perum TAS 2 tempat tinggal bapak ibu ini sudah penuh dengan sanak saudara. Kami juga menyewakan beberapa kamar di penginapan PKPRI di Sidoarjo untuk menampung tamu-tamu istimewa tersebut. Ibu dan kakak 'mbarep' saya beserta istrinya juga rawuh dari Tuban. Rencananya, ibu Tubanlah nanti yang akan 'maringi ular-ular' pada acara tasyakuran ini.

Sesuai undangan, acara akan dimulai pukul 19.00. Sebuah tenda hijau lumut memayungi jalan di depan rumah. Puluhan kursi tertata rapi. Sebuah panggung di satu sisi, dan sebuah meja makan untuk prasmanan di sisi yang lain. Kursi-kursi mulai terisi. Selain para tetangga, termasuk tetangga-tetangga dari Bibis Karah Sawah, juga beberapa sahabat saya dan teman-teman adik. Ada beberapa teman dosen yang juga hadir, bu Hani dan pak Dewanto, suami istri dosen FT. Ada pak Hasan Dani, dosen FT juga. Dia hadir bersama istrinya, dik Tatik, adik kelas saya ketika kuliah. Bu Lucia dan suaminya, mas Primanto, juga datang. Juga dik Hendro dan mas Putu beserta istri dan seorang anaknya, dua-duanya alumni FT. Sebagian besar teman-teman yang datang itu adalah para anggota Kobamin (Komunitas Mbambung Indonesia). 

Oya, ada juga sahabat saya yang selama ini telah banyak membantu saya menulis dan menerbitkan buku. Siapa lagi kalau bukan mas Rohman. Dia datang sendirian, tapi--seperti biasa-- dengan menenteng kameranya. Maka tepatlah kalau malam ini mas Rohman 'didapuk' sebagai seksi dokumentasi. 

Teman-teman yang tidak bisa hadir sudah menyampaikan permohonan maafnya. Senin nanti jurusan PKK akan divisitasi untuk akreditasi dari BAN-PT, dan teman-teman sejak beberapa hari ini kerja lembur untuk mempersiapkan segala sesuatunya. 

Salah satu asesor yang akan melakukan visitasi itu adalah sahabat saya, bu Yuswati, dosen UNY. Saat ini dia juga sedang duduk di antara para keluarga besar kami, termasuk para besan bapak ibu. Dia memang kami undang juga untuk menghadiri acara ini. Bu Yus, begitu panggilannya, sudah kenal baik dengan bapak ibu dan adik-adik. Rumahnya yang besar di Yogya juga sudah pernah kami kunjungi, bahkan kami 'inapi' beramai-ramai waktu itu, ketika kami sekeluarga, lengkap dengan bapak ibu dan adik-adik rekreasi ke Yogya.

Acara demi acara dipandu oleh  mas Marsudi, yang menyediakan diri menjadi pembawa acara. Beliau putra menantu budhe kami. Guru Besar di Fakultas Perikanan Unibraw. Acara pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Quran, yang dibawakan oleh Ibu Rochim (ketua kelompok pengajian di RT).  

Setelah bu Rochim mengakhiri lantunan ayat-ayat sucinya, tibalah pada acara sambutan oleh bapak dan ibu. Dengan terbata-bata, bapak menyampaikan sepatah dua patah kata. Benar-benar hanya sepatah dua patah, karena bapak belum memungkinkan untuk bicara banyak. Stroke yang menyerang beliau menyebabkab suaranya sangat pelan dan tidak terlalu jelas. Bapak hanya mengantarkan ibu untuk memberikan sambutan. Ibulah yang akhirnya menyampaikan rasa terimakasihnya pada para tamu, permohonan maafnya, dan juga rasa syukurnya karena Allah telah memberikan kesempatan pada bapak dan ibu mencapai 50 tahun pernikahan dengan selamat. 

Setelah itu adalah acara sungkeman. Mas Ayik, saya, Arga, memulai sungkem dulu ke bapak ibu. Disusul Iwuk dan istrinya, dik Diah. Kemudian Rini dan anaknya, Ichiro. Adik laki-laki kami, Dedi, suaminya Rini, tidak bisa hadir karena sedang menunaikan tugas di Laos. 

Keharuan yang sudah sejak tadi mewarnai kata sambutan ibu, akhirnya pecah ketika acara sungkeman. Bapak dan ibu memeluk kami satu persatu, nyaris tanpa kata-kata, kalau pun ada hanya gumaman yang tidak jelas, karena tertutup oleh tangis. Bapak dan ibu memerah matanya, dan bergumam dengan bibir bergetar. Saya sendiri merasakan sakit sekali di tenggorokan karena menahan haru. 

Dilanjutkan dengan acara pemberian kenang-kenangan dari bapak ibu untuk semua 'putro wayah'. Kami menerima kado dengan penuh suka cita. Ichiro, cucu terkecil pun, juga tertawa-tawa girang menerimanya. Acara ini juga sekaligus untuk memperingati ultahnya yang kelima. Anak itu mengacung-ngacungkan hadiahnya, sehingga mengundang para tamu tertawa. Ichiro, keponakan kami itu, adalah anak dengan kebutuhan khusus, yaitu down syndrom. Namun di mata kami, anak itu begitu cerdas dan, sebagaimana anak kecil pada umumnya, dia sangat lucu dengan segala tingkah polahnya.

Menginjak acara berikutnya, yaitu pemberian kenang-kenangan dari 'putro wayah' untuk bapak dan ibu. Mas Ayik yang mewakili kami semua. Dia memberikan kata sambutan sebelum menyerahkan kado pernikahan emas dari kami sekeluarga. Apa yang dia sampaikan membuat kami semua kembali diliputi keharuan. Mas Ayik menjadi begitu cengeng ketika mengungkapkan rasa syukurnya, rasa terimakasihnya pada bapak dan ibu, dan juga kepada para tetangga dan sanak keluarga yang selama ini telah ikut serta menjaga bapak dan ibu. 

Di ujung sambutannya, mas Ayik menyerahkan kado dari kami sekeluarga untuk bapak dan ibu. Sebuah buku. Judulnya 'Jejak-jejak Penuh Kesan'. Buku yang saya tulis sendiri. Mas Ayik juga tidak lupa mengucapkan terimakasih pada mas Rohman yang telah membantu menerbitkan buku itu. Dalam buku kecil bersampul indah itu, mas Rohman telah mengatur dengan sangat manis tulisan-tulisan saya dalam tema-tema:  Religi, Birrul Walidain, My Family, Orientasi, Misi, Travelling, Sosok, dan Sisi Lain. Buku dengan 282 halaman itu bersumber dari tulisan-tulisan saya yang ada di website saya. 

Ibu mendekap buku kado kami itu dengan penuh haru. Buku itu pasti menjadi kejutan yang manis bagi beliau. Dipeluknya saya erat-erat sebagai ungkapan terimakasihnya. Ibu sangat suka membaca. Sebuah hadiah berupa buku, apalagi ditulis sendiri oleh anaknya, mungkin menjadi sesuatu yang sangat berarti. Saya bisikkan ke telinga bapak, ibulah yang nanti akan membacakan buku itu untuk bapak.  
                          
Setelah acara yang cukup menguras air mata itu, tampillah acara selingan, yaitu musik patrol. Belasan anak-anak usia SD dan SMP memainkan alat-alat musik tradisional dengan irama yang rancak dan kadang-kadang mengundang tawa karena kocaknya. Menurut dik Diah, istri Iwuk, anak-anak itu rela berlatih hampir tiap malam selama berhari-hari demi mempersiapkan penampilan mereka ini. Menyenangkan sekali menyadari, bahkan anak-anak dan para remaja pun menyayangi bapak dan ibu.

Setelah musik patrol selesai, tibalah acara yang saya tunggu-tunggu. Ya, bagi saya, inilah acara yang paling spesial di antara acara spesial yang lain. Mauidhoh dari ibu Basjiroh Zawawi. Dialah ibu saya. Perempuan 79 tahun itu bergerak dari tempat duduknya dengan penuh percaya diri. Meski posturnya kecil, ibu seperti menyimpan keperkasaan yang memancar dari dalam. Suaranya yang agak serak karena batuk, tetap terdengan cukup lantang dan tegas. Mata bulatnya memancarkan kecerdasan dan kearifan. Kata-katanya yang 'penuh gizi' meluncur deras, memukau kami semua. Entah kenapa, saya selalu terpesona setiap kali menyimak 'pidato' ibu. Saya selalu merasa bukan siapa-siapa bila mendengarkan nasehat-nasehat bijaknya. Merasa kecil, merasa begitu bodoh, dan merasa betapa banyak pelajaran hidup dan kehidupan yang harus terus saya pelajari. Ibu, adalah perempuan terhebat dalam hidup saya. Bahkan sampai saat ini. Dengan segala kesederhanaan, kerendahatian, dan kearifannya.

Ibu mengakhiri mauidhohnya dengan membaca doa. Doa untuk kesejahteraan kami semua. Untuk bapak ibu, untuk semua keluarga dan anak turun kami, untuk para tamu dan keluarganya. 

Setelah itu, pembawa acara menyilakan kami menikmati hidangan. Nasi pecel pincuk khas ponorogo, sate ayam ponorogo, sate gule kambing (dari aqiqoh dik Diah), dan juga hidangan yang lain. Sebagai hidangan penutup adalah buah potong dan es menado. 

Selama acara ramah tamah itu, musik keroncong mengalun. Grup keroncong langganan kami melantunkan lagu-lagu yang sebagian besar sudah kami kenal. Bapak dan adiknya, pak Hariyadi (adik ragil Bapak yang datang dari Jakarta), 'nggetu' di depan panggung. Bapak 'request' lagu 'Jali-Jali'. Beberapa kali pak Hariyadi ikut menyanyi. Lagu yang dinyanyikan salah satunya adalah 'Pahlawan Merdeka', karena bertepatan dengan Hari Pahlawan.  Juga, tentu saja, dik Diah dan Iwuk. Iwuk menyanyikan lagu 'Stambuel Chacha'. Dia juga menyanyikan lagu 'Ayah', dengan begitu penuh perasaan, sehingga membuat banyak orang kembali berurai air mata.

Beberapa tetangga juga ikut menyumbang lagu dan berjoget beramai-ramai. Tidak mau ketinggalan, anak lanang kami, ikut turun menyanyi dengan gayanya yang kocak dan mengundang gelak tawa. Lagunya adalah 'Layang Suworo'.  Dia berjoget lucu di depan akungnya sampai akungnya terpingkal-pingkal. Selain Arga, teman Arga yang juga masih saudara, namanya Dio, ikut juga menyanyi. Lagunya 'Bengawan Solo'. Dio ini putranya kakak misan, dan kebetulan dia sekelas dengan Arga. Mas Ayik, seperti biasa, menyanyikan lagu kesukaannya, 'Esok kan Masih Ada'.

Musik keroncong masih mengalun ketika para tamu mulai berpamitan. Ibu dan kakak saya malam ini 'nyare' di rumah kami, di Karah. Beliau tidak 'kerso' 'nyare' di penginapan yang sebenarnya sudah kami siapkan. Beliau merasa lebih nyaman di Karah, semua tersedia, dan selalu ada mbak Iyah yang siap sedia membantu apa pun kebutuhan ibu. Beberapa saudara dari Jakarta, Ponorogo, Malang, menginap di penginapan yang sudah kami sediakan.

Menjelang tengah malam, acara tasyakuran dan suka ria itu berakhir. Panggung dan segala alat musik beserta sound system-nya dikemasi. Meja-meja dibersihkan. Piring dan gelas kotor dicuci. Kursi-kursi ditumpuk-tumpuk di sudut-sudut halaman. Petugas katering sudah mengusung semua panci dan alat makan ke mobilnya. Para tamu dan pemain musik sudah meninggalkan tempat sejak beberapa saat tadi. Tinggal kami: bapak ibu, paklik Hariyadi dan tante Is (istri paklik), Iwuk dan dik Diah, bu Eko (tetangga yang membantu kami), serta saya dan mas ayik. 

Seperti serba otomatis, kami pun berbagi tugas. Dik Diah dan bu Eko mencuci pecah belah di dapur. Mas Ayik dan Iwuk membereskan kursi-kursi dan meja-meja. Saya benah-benah di dalam rumah. Kado-kado yang berserakan, remah-remah makanan dan kue-kue yang berceceran, dan  sisa-sisa hidangan yang masih memenuhi meja makan. 

Dini hari menjelang. Kami selesai bekerja pada 02.30-an. Tubuh lelah dan mata mengantuk. Tapi hati senang. Esok pagi, ketika bapak ibu bangun dari tidurnya, beliau akan menyambut hari dengan keceriaan dan kebahagiaan. Rumah tempat tinggal sudah rapi, dan aktivitas rutin bisa dimulai sebagaimana biasa. 

Satu babak baru dalam hidup bapak ibu telah terlewati. Semoga babak-babak selanjutnya mampu dijalani. Insyaallah. 


Perum TAS 2, Tanggulangin, Sidoarjo,
Sabtu 10 November 2012. 

Wassalam,
LN

2 komentar

Unknown 17 Desember 2013 pukul 19.22

Assalamualaikum Wr Wb ... saya terharu membaca ini sampai menitikan air mata , karena tgl 22 Desember 2013 nanti ini orang tua saya jg merayakan "Pernikahan Emas" . Saya Bob Dwi Prabowo , di Cinere Depok.... Wass Wr.Wb ...

Anonim

Terima kasih atensinya, Bapak Bob Dwi Prabowo... Salam kenal....
Luthfiyah N

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...