Pages

Rabu, 16 Desember 2015

Meru Betiri dan Kisah Kehidupan Penyu yang Dramatis

TAMAN Nasional Meru Betiri. Pasti Anda pernah mendengar nama ini. Ya, sebuah taman nasional yang berada di Sukamade, pelosok Banyuwangi. Berjarak sekitar enam jam perjalanan darat dari Surabaya, ditambah dua jam perjalanan di tengah hutan lindung yang medannya berbatu-batu, naik turun, dan berkelok-kelok. 

Meru Betiri tidak hanya dikenal dengan hutan lindungnya, namun juga dikenal sebagai tempat penangkaran penyu. Di salah satu pantainya, yaitu Pantai Sukamade, ratusan bahkan ribuan telur penyu dirawat. Diberikan kondisi yang optimal agar ribuan telur putih lunak itu menetas dan melahirkan generasi baru penyu yang akan mengisi perairan Samudera Indonesia.

Tahukah Anda, sekali bertelur, seekor penyu bisa menghasilkan lebih dari seratus butir setiap kali. Di Meru Betiri, rekor tertinggi pada 2010, sebanyak 215 butir telur dihasilkan dari hanya seekor penyu. Tahun ini, 2015, paling banyak dihasilkan 192 butir telur dari seekor penyu.

Begitu telur-telur itu menetas, petugas akan mengambil dari pantai dan memindahkannya di tempat penangkaran. Puluhan atau ratusan telur yang dihasilkan oleh setiap penyu dipendam dalam pasir dan dikurung dengan kawat-kawat dengan diameter kurungan sekitar 30 cm. Setiap kurungan itu diberi label, berapa jumlah telur, kapan diambil, dan dari jenis penyu apa. Ada empat jenis penyu yang ditangkar di Taman Nasional Meru Betiri, yaitu penyu hijau, penyu lekang, penyu sisik dan penyu belimbing. 

Puluhan atau ratusan telur dalam sangkar-sangkar itu tidak menetas bersamaan. Biasanya terjadi tiga kali masa menetas. Begitu juga, tidak semua telur akan menetas. Kemungkinan telur yang menetas sekitar 70 persen. Bila penyu-penyu mungil itu sudah keluar dari tanah, mereka dibiarkan sekitar seminggu tetap dalam kurungan mereka, sampai plasenta di perut mereka tertutup. Baru kemudian mereka akan dilepas di pantai.

Kehidupan penyu sangatlah dramatis. Sejak masih berupa telur, predator yang mengancam kehidupan telur itu sudah mengintai dari segala penjuru. Mengambilnya segera dari pantai tempat telur-telur itu dihasilkan oleh penyu, dan menyimpannya dalam ruang penangkaran, adalah upaya awal untuk menyelamatkan hidup mereka. Begitu telur-telur itu menetas, dan bayi-bayi penyu sudah saatnya dilepas di laut, maka merangkaklah kaki-kaki mungil mereka di atas pasir pantai yang basah menuju samudera luas di hadapan mereka. Saat itu, bahaya yang luar biasa ganas mengancam. Ratusan jenis predator bisa memangsanya tanpa ampun.

Menurut Pak Tri, salah satu petugas yang memandu kami melepaskan bayi-bayi penyu ke laut pada suatu pagi yang cerah, peluang hidup penyu-penyu itu hanya satu di antara seribu. Ya. Satu dibanding seribu. Betapa dramatis.

Lantas saya bertanya pada Pak Tri.
"Satu di antara seribu? Terus buat apa ditangkarkan sebegini rupa?"
"Kalau tidak ditangkar, mereka akan punah."
"Tapi hanya satu di antara seribu?"
"Bila tidak ditangkar, kemungkinan peluangnya jauh lebih kecil dari itu. Kehidupan kura-kura itu sangat rumit. Predator mengintai mereka sejak mereka masih dalam bentuk telur. Dan bahaya terus mengancam mereka sampai kapan pun."

Saya tercenung. Teringat pengalaman traumatis yang pernah saya alami sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu, saya sedang melaksanakan tugas di sebuah pelosok di Maluku Barat Daya. Di atas Kapal Marsela yang saya tumpangi, orang-orang, sebagian besar anak buah kapal (ABK), menangkap seekor penyu besar yang panjangnya sekitar satu meter. Penyu itu diikat dengan tali di banyak bagian tubuhnya. Orang-orang, pada umumnya ABK, bergotong royong menarik penyu dari laut masuk ke kapal. Pada kondisi telentang, dia ditarik-tarik. Badannya hanya mampu bergerak-gerak kecil tak berdaya. Kepalanya terkulai, dan matanya....menangis. Ya, penyu itu mengeluarkan air mata. Hati saya teriris-iris melihatnya. Tak terbayangkan betapa kesakitannya dia. Saya beringsut menjauh darinya, tidak tega melihat matanya yang seperti memohon. Saya masuk kamar, meninggalkan orang-orang yang sedang bersorak-sorai dan sibuk memotret-motret. Di dalam kamar, saya termangu-mangu dengan bayangan penyu besar itu memenuhi kepala saya.

Tak berapa lama, penyu itu disembelih. Tentu saja saya tidak tega melihatnya. Konon, dalam keadaan batok sudah dilepas, bahkan ususnya pun sudah diangkat, penyu itu masih hidup. Dagingnya terus berdenyut sampai akhirnya denyutannya hilang setelah dagingnya dipotong kecil-kecil. Daging itu diolah menjadi makanan atau bahan makanan. Ususnya juga bisa diisi dengan daging penyu yang sudah dipotong kecil-kecil dan dicampur garam, kemudian dijemur sampai kering. Bahan makanan semacam sosis itu namanya pepeta. Dia tahan lama, dan bisa menjadi persediaan makanan sampai bertahun-tahun.

Betul juga kata Pak Tri. Predator mengancam kehidupan penyu sepanjang hidupnya. Dan predator itu termasuk manusia. Di banyak tempat, telur penyu dijual bebas dan manusia memakannya dengan lahap.

"Lagi pula, Bu..." Lanjut Pak Tri. "Bayangkan kalau semua penyu itu hidup. Laut akan dipenuhi oleh populasi penyu yang tak terkendali. Bayangkan, seekor penyu sekali bertelur bisa menghasilkan puluhan bahkan ratusan butir."

Benar juga. Tuhan Maha Adil. Alam sebenarnya telah mengatur sedemikian rupa untuk kelangsungan hidupnya. Ada keseimbangan yang begitu alamiah supaya kelestariannya terjaga. Namun demi lebih menjaga kelangsungannya, diperlukan tangan-tangan dingin untuk memastikan segala sesuatunya berjalan lebih sempurna. 

Taman Wisata Meru Betiri, Sukamade, Banyuwangi, 12 Desember 2015

#edisi kangen milis ganesha#

Salam,
LN

4 komentar

Alvino Mahameru 19 Januari 2016 pukul 06.16

Kota saya ini bu heheee....
Semoga tidak kapok maen lagi kesini bu..
Banyuwangi terlalu indah untuk dianggurin..
Alfin

Alvino Mahameru 19 Januari 2016 pukul 06.18

Kota saya lho ini bu... hehee
Thanks for coming, mom..
Semoga tidak kapok "menyesatkan" diri di kota ini..
Banyuwangi terlalu indah untuk dianggurin..

Alvino Mahameru 19 Januari 2016 pukul 06.18

Kota saya lho ini bu... hehee
Thanks for coming, mom..
Semoga tidak kapok "menyesatkan" diri di kota ini..
Banyuwangi terlalu indah untuk dianggurin..

Alvino Mahameru 19 Januari 2016 pukul 06.18

Kota saya ini bu heheee....
Semoga tidak kapok maen lagi kesini bu..
Banyuwangi terlalu indah untuk dianggurin..
Alfin

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...