Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Unesa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Unesa. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 Agustus 2013

Banda Aceh (3): Selendang dan Tas Khas Aceh

Luar biasa orang-orang ini. Sudah rajin, cantik, ramah, dermawan lagi. Haha.

Setelah setengah hari bersama mereka, saatnya untuk penutupan. Seorang peserta, guru SMK, namanya bu Herti, mewakili kesan-pesan selama pelatihan. Semua yang disampaikannya bagus, dia katakan apa yang diperoleh sejak kemarin, benar-benar hal baru. Benar-benar bermanfaat untuk acuan pengembangan kurikulum dan perangkat pembelajaran. Selama ini, mereka belum pernah menerima materi itu. Hanya sayangnya, menurut Bu Herti, waktunya terlalu singkat. Dan, ini yang terpenting, setelah mengikuti pelatihan sejak kemarin, semakin dirasakan betapa masih begitu banyaknya hal-hal yang belum dipahami. Sebuah kesadaran yang membangkitkan motivasi untuk terus belajar dan belajar.
Saat ini juga, saya mendapatkan hadiah sebuah selendang dengan bordir khas Aceh. Ibu Aminah, dosen paling senior, memasangkannya di kepala saya. Saya senang sekali. Beliau berbisik di telinga saya, 'sudah seperti orang Aceh...'. Saya tertawa lepas, dan terkejut lagi karena ternyata masih ada hadiah lain. Sebuah tas besar, maunya untuk isi oleh-oleh mungkin, tas khas Aceh juga. Wow, keren.....

Siang yang terik, dan kami berkendara menuju pusat oleh-oleh khas Aceh, yaitu arah ke Lhoknga, kemudian ke arah Aceh Besar. Di kejauhan, nampak Gunung Lhoknga, tempat ketinggian yang menjadi tumpuan para pengungsi saat tsunami dulu. Ke sanalah ribuan orang yang sedang dilanda kepanikan luar biasa itu terbirit-birit untuk menyelamatkan diri dari terjangan tsunami. 

Kami berkonvoi, empat mobil. Ya, empat mobil itu semua dikemudikan oleh para perempuan cantik, berbusana muslimah cantik,  dan, insyaallah, berakhlak cantik juga. Saya kali ini duduk di sebelah ibu Aya yang memegang kemudi, ditemani bu Fitri dan bu Kartini yang duduk di jok tengah. Di tiga mobil yang lain, adalah ibu Asmah beserta rombongan, ibu Suryati beserta rombongan, dan ibu...(Haduh, lupa..) beserta rombongannya juga.
 
Di sepanjang perjalanan, bu Kartini, bu Fitri dan bu Aya, bahu-membahu menjadi pemandu untuk saya. Kami melewati Masjid yang kubahnya berbentuk seperti kupiyah meuketuk, sebutan untuk kopiah yang digunakan saat perang oleh Teuku Umar. Sekarang, bentuk kopiah seperti itu digunakan sebagai kopiah pengantin pria Aceh.

Kami juga melewati Taman Ratu Safiatudin, sebuah taman yang di dalamnya menghampar berbagai rumah adat etnik Aceh. Ratu yang merupakan putri Sultan Iskandar Muda ini pernah memerintah kerajaan Aceh pada waktu itu, selama 35 tahun. Dia membentuk barisan perempuan yang ikut berperang melawan penjajah pada saat perang Malaka. Sri Ratu yang cerdas dan cakap ini konon suka menulis sajak dan cerita. Maka tidak heran pada masanya, hukum, pemerintahan dan sastra, berkembang dengan sangat baik. Ratu Safiatudin dianggap sebagai lambang kemegahan perempuan Aceh.

Sultan Iskandar Muda sendiri merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh mencapai kejayaannya pada waktu itu, di mana daerah kekuasannya semakin besar dan memiliki reputasi internasional sebagai pusat perdagangan dan pendidikan Islam.

Sebagai wilayah yang menerapkan syariat Islam, Aceh dipenuhi dengan simbol-simbol Islami. Banyak bangunan kantor yang  berkubah. Jembatan juga berkubah. Bagus. Namun sayang, kata teman-teman saya ini, ornamen-ornamen itu cenderung menenggelamkan hasil-hasil kerajinan Aceh sendiri, misalnya ukiran, lukisan, kain-kain dan lain-lain khas Aceh.

Siang ini, selain untuk membeli oleh-oleh khas Aceh, kami juga akan menyempatkan diri mengunjungi Unsyiah. Ya, tentu saja saya tidak akan membuang kesempatan untuk sekaligus melakukan semacam studi banding kilat ke jurusan PKK Unsyiah. Prodi yang bernaung di bawah FKIP itu (bukan FT sebagaimana di universitas eks-IKIP), sudah sangat akrab dengan PKK FT Unesa. Waktu yang tidak banyak ini musti harus digunakan sedemikian rupa supaya semua dapat. Oleh-oleh dapat, kunjungan ke Unsyiah dapat.

Untuk mencapai Unsyiah, kami melewati Tugu Pena, tugu yang  melambangkan kawasan pelajar/mahasiswa. Di kawasan Darussalam itu, setidaknya ada dua kampus besar, yaitu Usyiah dan IAIN.

Tugu Syah Kuala, berada di dalam kawasan Unsyiah, merupakan tugu untuk menandai berdirinya Unsyiah. Ada juga Gedung Dayan Dawood, sebuah nama yang dimaksudkan untuk mengabadikan salah satu mantan Rektor Unsyiah yang wafat karena penembakan.  Beliau, merupakan salah satu calon kuat Gubernur Aceh, menjadi korban penembakan pada masa konflik tahun 2001, saat Aceh masih menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Konon, penembaknya adalah dari kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dayan Dawood dibunuh antara lain dengan alasan karena beliau tidak mau membantu perjuangan GAM. 

Alhamdulilah, menjelang pukul 14.30, konvoi sudah memasuki halaman Bandara Sultan Iskandar Muda. Tepat waktu. Garuda akan membawa saya pada 15.25. Meski tiket sudah di-check in-kan, tapi saya musti membagasikan oleh-oleh. Oleh-oleh itu, termasuk kopi Aceh. Pesanan khusus ibu mertua. Harus saya penuhi, atau anak laki-lakinya akan diminta lagi...haha.

Kami berpelukan di ujung pintu masuk. Serombongan perempuan cantik itu mengucapkan selamat jalan dan doa untuk kelancaran perjalanan saya ke Surabaya. Juga harapan semoga bisa bertemu lagi pada kesempatan lain, dengan waktu yang lebih leluasa. Semoga.....

Banda Aceh, 27 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Senin, 26 Agustus 2013

Banda Aceh (2): Luka Duka Tsunami

Sore yang cerah. Ya, meski sudah pukul 17.30, Banda Aceh masih terang benderang. Matahari nampaknya bahkan masih memerlukan lebih dari satu jam untuk benar-benar tenggelam di peraduannya. 

Kami mengakhiri workshop sore ini. Setelah kelompok tata busana tampil dengan hasil diskusi perangkat pembelajarannya, presentasi akan dilanjutkan besok, mulai pukul 08.00, oleh kelompok tata boga. Selain karena waktu sudah sore, listrik juga tiba-tiba mati, pet. Menurut ibu Asmah, listrik tiba-tiba mati seperti itu sudah biasa terjadi di Banda Aceh. Tapi bukan hanya karena listrik mati, sore ini, saya akan dibawa jalan-jalan menikmati Banda Aceh oleh ibu-ibu cantik ini. Memanfaatkan sedikit waktu sebelum malam jatuh.

Kami berkendara dengan dua mobil. Saya sempat terkejut. Ibu Asmah menyetirnya sendiri. Juga bu Yuli, di mobil yang satunya. Bukan apa-apa. Ibu Asmah sudah cukup senior, dan ini beliau yang akan membawa saya dan teman-teman jalan-jalan. 

Di Surabaya, saya pun biasa membawa mobil sendiri. Tapi kalau untuk membawa tamu jalan-jalan, saya suka meminta driver atau teman untuk menyetirnya. Sekedar untuk menghemat energi. Dengan kondisi Surabaya dan sekitarnya yang rawan macet, dan adanya kemungkinan salah jalan karena saya seringkali tidak hafal jalan, maka membawa driver akan memastikan perjalanan jauh lebih nyaman. Bahkan belakangan ini, saya nyaris tidak pernah membawa mobil sendiri. Aktivitas yang begitu padat, bertarung dengan kemacetan di jalan bisa memicu stres. Maka ke mana-mana saya lebih senang meminta Anang, driver PPPG, untuk mengantar saya.

Kami keluar dari halaman SMK 3 Banda Aceh. Mungkin kami tidak akan singgah di banyak tempat, karena waktu kami memang tidak terlalu leluasa. Saya duduk di sebelah ibu Asmah, yang begitu anggun memegang setir (perempuan Aceh, bahkan saat menyetir mobil pun, terihat begitu anggun). Ibu Kartini dan ibu...(Aduh, saya lupa namanya), duduk di jok tengah. Bu Yuli, bu Zahara, dan ibu....(siapa ya, lupa lagi namanya), ada di mobil yang lain.

Obyek wisata yang pertama kali kami lihat adalah Museum Tsunani. Sebuah bangunan yang bentuknya mirip kapal besar sekali. Di dalam bangunan itulah tersimpan dan terekam berbagai hal terkait dengan musibah tsunami yang telah memporakporandakan Aceh pada akhir tahun 2004. Meluluhlantakkan segalanya menjadi puing-puing dalam waktu sekejap. Tak kurang 250 ribu orang menjadi korban. 

Duka itu begitu saja menggelayut di wajah ibu Asmah. "Ibu, kita tidak usah mampir ke museum ya...." Bu Asmah menghela nafas. Panjang dan berat. Lantas bibirnya mengucap Nama Allah. Suaranya bergetar. Saya langsung saja menjawab, "Baik, ibu, tidak masalah. Monggo, saya ikut saja apa kata driver..." Saya tertawa menggoda beliau.

"Ibu Asmah kehilangan banyak keluarga saat tsunami itu, bu Luthfi...." Jelas ibu Kartini. "Ada berapa, bu Asmah?" 

Bu Asmah menghela nafas berat lagi. Saya yang di sebelahnya, tiba-tiba merasakan dada saya sesak. "Ya...kalau diurut dari keluarga nenek, ada sekitar dua ratusan...". Jawab beliau, dengan suara sedih. "Sampai saat ini pun....saya tidak ingin memasuki museum itu...".

Tenggorokan saya terasa sakit. Tsunami telah menyisakan duka berkepanjangan bagi orang-orang yang telah menyaksikan dan kehilangan keluarganya. Betapa pun mereka menyadari semua kita adalah milik Allah dan betapa kita akan kembali kepada-Nya, namun bayangan kengerian itu ternyata masih lekat dalam ingatan mereka. Saya akhirnya harus memahami, mengapa justeru orang-orang Banda Aceh, seperti bu Asmah dan kawan-kawan yang lain, tidak ingin melihat seperti apa bagian dalam Musium Tsunami itu. Melihatnya, hanya akan membangkitkan luka duka dan kesedihan yang bertahun-tahun telah berusaha ditimbunnya dalam-dalam.

Ibu Kartini, meski beliau sekeluarga selamat, rumahnya terbakar, karena ada kapal terbakar yang menabrak rumahnya. Tapi ada sejumlah kerabatnya yang menjadi korban. Begitu juga ibu Suryati. Ibunya, ya, ibu kandungnya, dan beberapa saudaranya menjadi korban, meski beliau baru beberapa menit bertelepon setelah terjadi gempa. Ya, begitu cepat semuanya terjadi. Hanya dalam waktu sekitar lima menit, ketika air itu tiba-tiba datang dari bibir pantai, menyapu semuanya, termasuk membawa sanak keluarga mereka yang telah menjadi mayat.

Kami meneruskan perjalanan dengan keheningan yang tiba-tiba menyelimuti. Saya sendiri berdoa dalam hati, semoga semua korban tsunami diberikan tempat yang layak di sisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan tambahan kekuatan lahir dan batin. 

Kami akhirnya sampai di Kapal Apung. Meski sebenarnya obyek wisata itu sudah tutup, tapi petugasnya berbaik hati untuk menyilakan kami, begitu tahu kami (maksudnya saya) dari Surabaya. Bahkan dia mengantar kami ke banyak sudut kapal besi yang besar itu, menceritakan peristiwa yang mengikutinya. Juga menyediakan diri untuk menjadi fotografer supaya kami bisa narsis. Hehe....

Kapal itu, sesuai nama yang tertera di badannya, adalah PLTD Apung I. Tulisan di tugu yang ada di bagian depan halaman obyek wisata itu, berbunyi: 'PLTD Apung I adalah pembangkit listrik tenaga diesel lepas pantai dengan bobot 2600 ton yang didorong sejauh 5 km ke daratan oleh kedasyatan tsunami. Sekarang berlokasi di Gampong Punge Blang Cut, Kota Banda Aceh'. Di bagian sisi yang lain, tulisan bermakna yang sama, namun dalam Bahasa Inggris. 

Kemudian di tugu prasasti, di dekatnya, tercatat nama-nama korban. Ditulis memenuhi kelima sisi prasati. Tulisan itu meliputi: Dusun Krueng Doy 68 jiwa; Dusun Lampoh Lubhok 276 jiwa; Dusun Tuan Dikandang 350 jiwa; Dusun Tuan Dipakeh 212 jiwa; Dusun Tuan Balik Ayei 171 jiwa. Di bawah masing-masing tulisan itu, dicantumkan nama para korban dan usianya. 

Kapal besi yang besar itu adalah kapal pembangkit listrik yang awalnya berada di tengah laut. Tsunami telah menyeretnya sampai sejauh sekitar lima kilometer, menggerus rumah, manusia, dan apa saja uang dilaluinya. Dan dia baru berhenti, di tempat ini, ketika air mulai surut. Allahu Akbar. Saya bergidik membayangkannya. Tidak mungkin kapal itu akan berada di tempat ini tanpa ada campur tangan kekuatan dari Yang Maha Perkasa. Kapal sebesar itu... Dibuat dari besi lagi... Terapung-apung dari laut. Betapa dahsyatnya tsunami itu...

Bu Asmah juga membawa kami melewati makam Sultan Iskandar Muda, tempat mandi istri Sultan Iskandar Muda, juga tempat bermainnya. Lapangan Blang Padang yang di situ bertengger pesawat Seulawah, kapal bantuan rakyat Aceh kepada RI. Beliau dan teman-teman yang lain adalah pemandu yang andal. Hampir semua detil diceritakannya terkait dengan situs-situs itu.

Kami akhirnya sampai di sini. Di Pantai Olee Leu. Pantai yang berada di ujung barat Pulau Sumatra. Di ujung sana, adalah Masjid Baiturrahim, masjid yang tetap berdiri kokoh meski semua yang ada di sekitarnya porak-poranda saat tsunami dulu. Di seberang sana, adalah Pulau Sabang. Sebenarnya hanya memerlukan waktu sekitar 45 menit dengan kapal cepat untuk mencapainya. Di sana banyak obyek yang menarik. Namun saat ini tidaklah memungkinkan. Disimpan untuk kunjungan yang akan datang. Insyaallah....

Senja telah benar-benar jatuh. Kami duduk di pinggir pantai, menikmati matahari jingga, yang sinarnya memantul di permukaan laut. Membiaskan warna-warna merah dan kelabu yang berpadu. Menyajikan pantai Olee Leu ibarat lukisan yang luar biasa indah. Ditemani sebuah jagung bakar dan sebutir kelapa muda, kami mengagumi semua yang tersaji di depan mata. Menunggu adzan maghrib. Untuk menuju ke tempat sujud, di mana kami bisa melabuhkan seluruh hati dan jiwa kami. Melantunkan rasa syukur dan permohonan atas kekuatan lahir dan batin dari-Nya untuk menemani setiap langkah kami......

Banda Aceh, 26 Agustus 2013

LN

Banda Aceh (1): Di sinilah saya....

Minggu, 25 Agustus 2013. Pukul 23.40. Di sinilah saya saat ini, di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda. Akhirnya kaki saya menginjak Bumi Serambi Mekah. Di Tanah Rencong. Wilayah paling barat Indonesia. Setelah sejak pukul 13.40 terbang dari Bandara Juanda. Ya, sepuluh jam lebih di perjalanan. Diwarnai dengan delay sejak di Bandara Soekarno Hatta dan di Kualanamu Medan. Diwarnai juga dengan kegaduhan di Kualanamu karena beberapa penumpang mengamuk dan membentak-bentak petugas, akibat delay yang 'hanya' sekitar satu setengah jam. Teriakan mereka menggelegar memenuhi hampir setiap ruang di Kualanamu yang besar itu. Para penumpang yang lain berkerumun, mereka seperti mendapat tontonan dadakan yang menegangkan.

Begitu mencapai pintu luar bandara, saya sudah melihat wajah itu. Ibu Fitriana, dosen jurusan PKK Universitas Syah Kuala (Unsyiah), yang selama ini menjadi contact person saya untuk kegiatan di Banda Aceh. Wajahnya yang putih bersih, begitu cantik di bawah temaram lampu teras bandara yang hiruk pikuk. Kami berpelukan. Suaminya, bapak Rusman, dosen Kimia di Unsyiah juga, tersenyum ramah mengulurkan tangannya. Mencoba meraih koper saya, tapi saya menolaknya halus.

Di bawah langit Banda Aceh yang gelap, mobil kami menyusuri jalan meninggalkan bandara, menuju kota. Bu Fitri memaksa saya harus makan dulu, dan kami berhenti di sebuah rumah makan. Kami memesan mie goreng, dan pak Rusman memesan martabak telur. Mie gorengnya berasa tajam, khas mie Aceh, dan martabak telurnya lebih mirip omelette, berbentuk persegi. Saya menghabiskan separo porsi, bukan karena mie-nya tidak enak. Namun kelelahan di tubuh saya membuat selera makan tidak terlalu bagus. Separo porsi itu cukuplah untuk memastikan perut saya terisi setelah sejak terbang dari Surabaya tadi tidak sempat menikmati makan siang dan malam. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 00.50 saat kami memasuki pintu hotel Madinah.  Bu Fitri bilang, sebetulnya dia sudah berusaha memesankan kamar di beberapa hotel terbaik di Banda Aceh, tapi semua full-booked. Ada event  Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) yang akan dihelat pada September nanti, tapi panitia dari berbagai daerah di Aceh sudah memenuhi Banda Aceh untuk mempersiapkan kegiatan besar itu. Jadilah saya diinapkan di Hotel Madinah, sebuah hotel melati yang bagi saya tidak terlalu masalah, tapi bu Fitri berkali-kali meminta maaf karenanya. Nama hotel yang Islami, membuat saya merasa nyaman-nyaman saja. Apa lagi, hotelnya juga cukup besar, bersih, dan kamarnya juga luas.

Saya merebahkan kelelahan saya di tempat tidur yang bersih dan nyaman, membiarkan tas koper dan sepatu saya berserak di lantai. Mengirim kabar pada keluarga dan sahabat yang terus memantau perjalanan saya, kalau saya sudah mencapai hotel. 

Besok, saya harus mengisi acara pelatihan pengembangan perangkat pembelajaran di SMK 3 Banda Aceh. Acara yang sudah dipesan sejak lama oleh teman-teman jurusan PKK Unsyiah, namun baru bisa saya penuhi. Di antara berbagai kesibukan yang padat dan menyita waktu, saya sudah tidak mungkin mengulur-ngulur lagi. Semakin ke sini, kegiatan semakin padat. Prakondisi SM-3T, pemberangkatan angkatan ke-3, penarikan angkatan ke-2, ngajar, PLPG....

***

Senin, 26 Agustus 2013. Pukul 05.15. Saya bangun dengan sisa kelelahan semalam. Mengintip keluar melalui jendela. Gelap. Ya, meski tidak ada perbedaan waktu dengan Surabaya, namun jam segini di Aceh masih gelap seperti saat subuh di Surabaya.

Pagi ini saya musti bergegas. Pukul 8.15, bu Fitri dan pak Wildan, PD 3 FKIP, akan menjemput saya. Pak Wildan, sudah saya kenal dengan sangat baik. Beliau adalah koordinator SM-3T Unsyiah. Seperti layaknya satu tim, kami sering bertemu di berbagai kegiatan, bersama para koordinator SM-3T dari LPTK lain. Program SM-3T ini menyatukan kami semua, dan mengakrabkan pertemanan kami sebagai teman-teman seperjuangan.

Sebenarnya saya ingin segera bersiap setelah salat subuh dan mandi, namun SMS dan telepon dari peserta SM-3T dan para calon peserta, menyibukkan saya. Nama saya dipasang sebagai contact person di Dikti sebagai koordinator SM-3T Unesa, dan belasan bahkan puluhan SMS dan telepon membanjiri saya sejak perekrutan dan pengumuman kelulusan SM-3T beberapa pekan yang lalu, tak peduli pagi, siang, malam, bahkan tengah malam. Juga pagi buta seperti ini. Saya, pada posisi seperti ini, benar-benar dilatih untuk menjadi pelayan yang baik, sabar, tawakkal, dan menerima segala sesuatu sebagai berkah, bukan cobaan, dari Allah SWT. Haha...

Kami bertiga sampai di SMK 3 Banda Aceh, tempat pelatihan, pada menjelang pukul 9.00. Sekolah yang bersih, luas dan hijau. Wajah-wajah yang subhanallah...cantik-cantiknya. Ya, yang saya temui adalah dosen dan guru-guru yang 99,9 persen perempuan. Hanya ada satu, satu-satunya laki-laki. Dan para perempuan itu semuanya menarik, busana mereka bagus-bagus, perhiasan gemerlap, dan wangi. Cara mereka berbusana, begitu menawan, dengan blus panjang dan rok yang di beberapa bagiannya ada aksen bordir atau hiasan dari benang yang mengkilat. Untuk ukuran kita di Surabaya, cara mereka berbusana dan mengenakan aksesoris, sudah seperti busana pesta. Jadi nampaknya sayalah orang yang busananya paling kasual di antara para dosen itu. Kecuali para guru, yang saat ini mengenakan seragam mengajar yang berwarna hijau.

Tua maupun muda, semua orang di ruangan ini cakep. Hidup mancung, kulit bersih, mata indah. Dilengkapi dengan keramahan yang tulus, saya merasakan kehangatan berada di tengah-tengah mereka.

Di antara para dosen itu, saya sudah mengenal beberapa di antaranya dengan sangat akrab. Ibu Kartini, ibu Suryati, Ibu Asnah, dan bu Fitriani. Keempatnya juga sudah pernah beberapa kali berkunjung ke Unesa untuk menghadiri seminar Bosaris, yang kami helat setahun sekali. Selain itu, kami juga bertemu di beberapa kali di kegiatan dikti. Di situlah mereka mengenal saya, sebagai narasumber, moderator, dan fasilitator. Saat ini, mereka mengundang saya, untuk sekedar berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Betapa beruntungnya saya. Mendapatkan kesempatan mengunjungi Banda Aceh, bertemu dengan banyak teman, dan berbagi pengalaman. Dan yang tak kalah pentingnya, nilai silaturahim itu....tak bisa dinilai hanya dari sekedar uang atau materi.

Pelatihan ini diikuti oleh 35 orang, terdiri dari 5 orang guru SMK, 1 orang guru SMIK, 2 orang dari dunia usaha/dunia industri, 25 orang dosen, dan  2 orang mahasiswa. Didanai dari Badan Operasional Perguruan Tinggi (BOPT).

Di sini, saya menemukan semangat belajar yang dibalut dengan religiusitas yang kental. Semua peserta duduk manis dan mengikuti acara demi acara dengan penuh perhatian. Pembukaan dimulai dengan membaca ummul qur'an bersama-sama, dan kegiatan pelatihan dibuka dengan membaca wal'ashri. 

Pukul 16.00, dan mereka tetap di tempatnya. Setelah saya presentasi sejak pagi sampai pukul 12.30, memahamkan pada mereka tentang SKL, KI, KD dan Keterampilan Berpikir, juga memberikan contoh-contoh menuangkannya dalam silabus dan RPP, mereka bertekad untuk bisa menghasilkan satu silabus dan RPP yang musti dipresentasikan sore ini. Sesuai kelompok masing-masing, yaitu tata boga, tata busana, tata kecantikan, tekstil, kerajinan dan kewirausahaan. 

Saya menikmati keseriusan para ibu cantik itu. Membiarkan diskusi mengalir di antara mereka. Sesekali saya menghampiri kelompok-kelompok itu, melibatkan diri dalam diskusi, atau sekedar mengecek pekerjaan mereka. 

Sore semakin beranjak. Namun meski waktu sudah menapak pada pukul 17.30, matahari masih bersinar cerah. Maghrib di sini jatuh pada sekitar pukul 19.00. 

Kantuk dan lelah sisa perjalanan panjang semalam mulai menghampiri, namun tidak saya hiraukan. Sore di Banda Aceh, sungguh sangat sayang kalau dilewatkan begitu saja....

Bersambung....

Banda Aceh, 26 Agustus 2013

Senin, 12 Agustus 2013

Hari Pertama Ngantor

Alhamdulilah, meski dengan hidung mampet karena flu, saat ini saya sudah duduk manis di mobil. Meluncur menuju kampus. Anang, driver PPPG, memegang kemudi. Saya memanfaatkan waktu memainkan BB, duduk di jok tengah.

Kemarin, adalah puncak 'perayaan' idul fitri bagi kami sekeluarga. Setelah mudik ke Tuban, dan sampai di rumah pada Sabtu sore tempo hari, kami langsung bahu-membahu membereskan semuanya. Baju-baju kotor masuk mesin cuci. Berbagai macam uborampe bawaan dari kampung mulai dari jajanan sampai hasil kebun, semua tertata pada tempatnya.

Setelah rapi semua, kami mandi, salat maghrib, dan berangkat ke Carefour, belanja. Lho? Ya, karena besok, kami ketempatan halal bihalal kelompok haji, sekaligus rapat panitia Wisata Religi. Meskipun perkiraan hanya sekitar 15-20 orang yang akan hadir, tapi namanya juga mau ada tamu, maka segala sesuatunya harus disiapkan dengan sebaik-baiknya demi menghormati tamu.

Untunglah apa yang saya cari semua ada di Carefour. Bahan-bahan untuk menyajikan hidangan dengan menu sambal goreng labu siam, sambal goreng udang dan telur puyuh, opor ayam, dan es buah, semua tersedia. Udangnya besar-besar, dan bisa minta dikupaskan lagi. Yang masih ribet tinggal satu, mengupas telur puyuh.

Malam itu, semua hidangan sudah siap. Paginya tinggal memanaskan, menggoreng kerupuk udang, menggoreng pisang dan tape, serta membuat es buah, dan membeli kupat di pasar Karah,  terus menatanya. Beres.

Acara halbil keesokan harinya (kemarin) berjalan dengan lancar. Di kelompok itu, ketuanya adalah mas Ayik, dan saya sekretarisnya. Sekali lagi, nepotisme. Begitulah teman-teman paguyuban mempercayakan ke kami, dan meski pun begitu, kekompakan kami membuat semua urusan menjadi mudah. 

Acara ditutup dengan makan siang, hasil kerja nyonya rumah yang baik hati (hehe), dan alhamdulilah.....semuanya enak, sedap, joss. Itulah kalau memasak dengan hati. Apa pun bahan dan bumbunya, rasanya pasti huwenak... (Ciyusss.....). 

Dan ini hari pertama ngantor setelah libur lebaran. Mungkin karena kecapekan menikmati gegap-gempitanya idul fitri, saya dan mas Ayik kompak, kena flu. Masih mending mas Ayik baru besok masuk kantornya, jadi masih bisa istirahat di rumah (meski saya yakin dia nggak bakalan istirahat, nguteekkk aja...., seperti biasa). 

Saya sendiri harus sudah berangkat ke PPPG pagi ini, karena jam 10, ngundang rapat. Agendanya, persiapan Program Pengenalan Akademik (PPA) S1 KKT, persiapan survei lokasi untuk Jatim Mengajar, dan persiapan prakondisi SM-3T angkatan ketiga. Benar. Tak ada warming-up. Langsung tancap gas, masuk perseneling empat. Wussss......

Baru saja seorang mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan menelepon, minta bertemu karena mau mengantar berkas-berkas tesis untuk ujian minggu ini. Saya sudah membayangkan tumpukan berkas bersampul hijau itu. Tadi, di FT, juga sempat bertemu Prof. Munoto, Kaprodi S2 PTK, dan meminta jadwal kosong saya pada bulan ini. Setumpuk tesis juga sudah siap untuk diujikan. Dan malam-malam saya, seperti biasa, akan diwarnai dengan 'nggetu' baca tesis.

Yo wes, kerjo yo kerjo.....

Surabaya, 12 Agustus 2013

Wassalam,
LN

Senin, 18 Maret 2013

Ujian Terbuka Rita Ismawati

Pagi tadi, saya menghadiri ujian terbuka teman baik saya, Rita Ismawati, S.Pd, M.Si. Dia adalah dosen di program studi Pendidikan Tata Boga, PKK FT Unesa. Lulusan IKIP Surabaya tahun 1993. Perempuan kelahiran Lamongan itu adalah yudisiawan terbaik jurusan PKK pada saat itu. 

Tempat acara di aula Fakultas Kedokteran Unair. Saya bersama beberapa teman diundang sebagai undangan akademik. Di sebuah ruang ujian yang dingin, bersih, sangat berwibawa, kami disilakan duduk setelah mengisi daftar hadir. Ada 16 kursi yang tersedia untuk undangan akademik, 10 kursi berada di depan untuk para penguji dan penyanggah, dan satu podium di sisi kanan untuk promovendus. Di tengah-tengah barisan meja untuk penguji, adalah kursi pimpinan sidang, yang tepat di belakangnya adalah backdrop berwarna hijau, bertuliskan: Universitas Airlangga, Fakultas Kedokteran, Program Studi S3 Ilmu Kedokteran, Ujian Akhir Doktor Tahap II (Terbuka), Rita Ismawati, S. Pd, M. Kes. Surabaya, 18 Maret 2013. Lengkap dengan logo Unair. Ditulis dengan lugas, sederhana, namun penuh kharisma.

Di ruang lain, terpisah dengan undangan akademik, ada keluarga, kerabat, kolega, mahasiswa, dan para undangan yang lain. Mereka semua berada di aula FK Unair ini untuk menjadi saksi atas pencapaian prestasi akademik Rita Ismawati.

Ujian dimulai tepat pukul 10.00. Para penguji dan penyanggah, dipandu oleh pimpinan sidang, Prof. Dr. Teddy Ontoseno, duduk di kursi masing-masing. Berbusana resmi, berjas dan berdasi. Tanpa toga. Tidak seperti di Unesa, para penguji di ujian terbuka selalu bertoga. Beda institusi, beda budaya. 

Beberapa dari para penguji itu saya kenal dengan sangat baik, termasuk promotor, Prof. Dr. Bambang Wirjatmadi. Sebagai promotor, beliau yang dikenal sebagai konsultan gizi itu diberi kesempataan pertama untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan. Dilanjutkan dengan kopromotor pertama dan kedua, serta penguji. Beliau-beliau itu duduk di sebelah kiri pimpinan sidang. Setelah itu dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan dari para penyanggah. Ada lima penyanggah, salah satunya adalah Prof. Dr. Burhan Hidayat, dokter spesialis anak yang sangat terkenal itu. Para penyanggah itu duduk di sebelah kanan pimpinan sidang. Setelah semua penyanggah melontarkan pertanyaan-pertanyaannya dan bisa dijawab dengan sangat baik dan lancar oleh Rita, pertanyaan dilanjutkan oleh pimpinan sidang sendiri. Sebenarnya bukan pertanyaan, tapi lebih sebagai ungkapan kekaguman.

Ya, ujian terbuka ini memang diwarnai dengan ungkapan kekaguman dari para promotor, penguji dan penyanggah. Ketekunan, keuletan, dan daya juang Rita Ismawati begitu luar biasa. Betapa tidak. Rita Ismawati meneliti tentang pengaruh suplementasi seng, lisin, dan vitamin A terhadap peningkatan respon imun seluler, nafsu makan, dan berat badan penderita tuberkulosis paru. Ini mungkin bukan penelitian istimewa kalau penelitinya adalah dokter atau setidaknya mahasiswa yang latar belakang pendidikannya kedokteran. Tapi Rita bukan dokter. Dia juga tidak memiliki sejarah pendidikan yang berbau kedokteran. Sekolah menengah diselesaikannya di SPG, ya, Sekolah Pendidikan Guru. Bukan SMA-IPA. Pendidikan sarjananya adalah Pendidikan Tata Boga. Memang S2-nya adalah Gizi Masyarakat, namun bidang ini pun tidaklah cukup memadai sebagai bidang kedokteran, makanya payungnya pun bukan Fakultas Kedokteran, tetapi Fakultas Kesehatan Masyarakat.  

Rita benar-benar 'orang biasa', yang terpaksa harus meneliti bidang kedokteran karena dia mengambil program studi ilmu kedokteran. Ketika tahun 2008 dia ingin melanjutkan studinya di S3, Program Doktor Gizi Masyarakat belum dibuka. Untuk menjamin linieritas bidang keilmuannya, tidak ada pilihan, prodi Ilmu Kedokteranlah yang terdekat. 

Maka dia belajar ilmu kedokteran nyaris dari nol. Bahkan di awal-awal studinya, Rita sempat ragu apakah dia akan mampu mempelajari ilmu-ilmu yang semuanya relatif baru itu. Namun hari ini dia sudah membuktikan, sesulit apa pun ilmu itu, dengan ketekunan, keuletan, dan kepasrahan pada Yang Maha Memiliki Ilmu, semuanya bisa diselesaikannya dengan baik, bahkan dengan sangat baik. 

Salah seorang kopromotor, Prof. Dr. Ni Made Mertaningsih mengungkapkan, beliau tidak hanya kagum dengan keuletan dan ketekunan Rita; tapi beliau juga kagum karena Rita berani mengambil risiko dengan sampel penelitiannya adalah pasien penderita tuberkulosis paru. Dia menjadi orang awam yang akhirnya harus bergulat dengan istilah-istilah kedokteran yang asing, eksperimen-eksperimen yang rumit, dan pengukuran indikator-indikator sebelum dan sesudah perlakuan untuk memastikan apakah suplemen yang dia tawarkan itu berpengaruh secara signifikan atau tidak.

Dalam penelitiannya, Rita melakukan identifikasi subyek dengan melakukan pemeriksaan terhadap pasien yang datang ke Rumah Sakit Khusus Paru (BP4) Surabaya, sebagai langkah awalnya. Pasien dengan indikator batuk produktif lebih dari 3 minggu (klinis positif), pemeriksaan sputum dengan pewarnaan secara Zielh Nielsen positif, serta memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, yang menjadi subyek penelitiannya. Selanjutnya dilakukan kultur metode standar pada Lowenstein-Jensen untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis, yang jika hasilnya positif, maka subyek ini dijadikan sampel penelitian.

Selanjutnya, Rita melakukan pemeriksaan prasuplementasi yaitu pemeriksaan kadar albumin, taste acuity, recall,  berat badan, seng saliva, kadar vitamin A, IFN-gamma, CD4, dan ghrelin. Kemudian dia lakukan randomisasi yang dibagi dalam 3 kelompok, yaitu kelompok 1 diberi OAT + suplemen (seng+lisin), kelompok 2 diberi OAT + suplemen (seng+lisin+vitamin A), sedangkan kelomppk 3 hanya diberi OAT saja. OAT sendiri kepanjangan dari Obat Anti Tuberkulosis.

Pengamatan dilakukan selama 2 bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan yang sama pada saat dan sesudahnya. Dari hasil penelitiannya, Rita menemukan adanya peningkatan yang signifikan terhadap respon imun seluler dan nafsu makan pada kelompok yang diberi suplemen seng, lisin dan vitamin A. Respon imun seluler dan nafsu makan ini sangat berperan dalam penyembuhan tuberkulosis. Bahkan ada indikasi, dengan pemberian suplemen yang ditawarkan, pengobatan tuberkulosis yang biasanya menggunakan OAT minimal 6 bulan, waktunya bisa diperpendek. 

Untuk masalah tuberkulosis (TB), Indonesia sendiri masih menempati urutan ke lima setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria, dalam hal jumlah penderita terbesar. Menurut data dari Depkes RI (2002),  TB di Indonesia menyebabkan 175.000 kematian per tahun atau berkisar 500 orang per hari, dan 450.000 penderita baru muncul setiap tahunnya. Sementara itu, di antara kabupaten/kota di Jawa Timur, Surabaya menduduki tempat teratas dengan jumlah penderita TB sebanyak 1.859 orang.

Rita menawarkan suplemen dalam penelitiannya karena TB seringkali ditemukan bersamaan dengan kondisi malnutrisi, yaitu defisiensi gizi makro dan mikro, di antaranya: protein, seng, besi, vitamin A, vitamin C. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberkulosis paru adalah juga daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya karena kurang gizi. Berdasarkan beberapa alasan inilah Rita menawarkan suplemen yang bisa meningkatkan status gizi penderita TB serta meningkatkan imunitasnya. 

Karena waktu ujian hanya dua jam, pada sesi pertanyaan dari undangan akademik, hanya saya dan Dr. Meda Wahini yang diberi kesempatan. Namun pada dasarnya pertanyaan kami hanyalah 'aksesoris'. Yang terpenting, Rita telah mampu membuktikan bahwa alur pikir penelitiannya, sumbangan terhadap bidang ilmu dan penerapannya, juga ketangguhannya dalam menjawab semua pertanyaan dengan mendasarkan diri pada teori-tori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya, serta kecintaannya pada ilmu, membawanya pada tahap ini, di mana dia layak menyandang gelar doktor. Tidak hanya itu. Rita Ismawati, yang pada 2012 sempat mengikuti program sandwich di Australia,  dinyatakan lulus dengan predikat 'dengan pujian'. Cumlaude. 

Saya bahagia dan bangga, juga terharu. Hari ini saya belajar sesuatu pada sosok sederhana dan rendah hati itu. Rita tidak hanya seorang ilmuwan yang tekun dan ulet, tapi dia adalah istri yang patuh pada suami, anak yang taat pada orang tua, ibu yang penuh kasih untuk ketiga putra-putrinya, teman dan rekan kerja yang menyenangkan untuk para koleganya, serta guru yang mengagumkan bagi para mahasiswanya. Dia akan menjadi kekuatan baru bagi Unesa, khususnya bagi Prodi Pendidikan Tata Boga. Dia juga akan menjadi sumber inspirasi bagi kami semua untuk terus belajar dan mengembangkan diri. 

Selamat dan sukses, sahabatku. Semoga keberhasilanmu berkah bagi semua. Amin YRA.


Surabaya, 18 Maret 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 08 Maret 2013

Wisuda ke-76 Unesa


Unesa pagi ini menyelenggarakan Wisuda Pascasarjana, Sarjana dan Diploma ke-76. Wisuda ini diikuti oleh 1515 wisudawan. Pada pagi hari dimulai pukul 08.00-11.30, sebanyak 754 wisudawan yang diwisuda. Selebihnya diwisuda pada siang hari.

Seperti biasa, ketika kami, rombongan prosesi yang tediri dari pimpinan universitas dan anggota senat, memasuki  Gedung Olah Raga (GOR) Kampus Unesa Lidah Wetan, suasana hening menyambut kami. Semua wisudawan, dengan toga mereka, terlihat begitu anggun dan gagah. Para orang tua dan keluarga, yang juga sedang berdiri menyambut kami, ada di balkon. Di bagian kanan depan balkon, adalah grup orkestra dan paduan suara, sedang memainkan musik penyambutan. Di ujung tengah balkon, adalah panggung tempat duduk prosesi, yang menjadi 'centerpiece'. 

Entah kenapa, saya selalu terharu di saat-saat seperti ini. Bahkan saat menyanyikkan lagu Indonesia Raya, yang diiringi musik orkestra yang sedemikian syahdu, mata saya sempat kabur karena basah. Di depan kami adalah ratusan wisudawan, dan orang tua serta keluaga mereka, memenuhi lebih dari tiga perempat bagian balkon. Saya sangat bisa merasakan kebahagiaan dan kebangaan di wajah-wajah cerah itu. Meski mungkin sebagian besar dari para orang tua itu dalam keadaan lelah karena telah menempuh jarak yang jauh dari tempat asal mereka, namun kelelahan itu tentu terbayar dengan apa yang dipersembahkan oleh para wisudawan. Lulus. Sebagai doktor, magister, sarjana atau ahli. Bahwa ada masalah lain yang membayang-bayangi setelah kelulusan ini, misalnya bagi para wisudawan yang masih belum bekerja, itu adalah urusan lain. Setidaknya, saat ini, satu urusan sudah selesai. Satu Tahap telah tuntas. Lulus.

Pidato Rektor, seperti biasa, sangat mencerahkan. Tentang pencapaian Unesa sampai detik ini. Keberhasilan dalam meraih hibah-hibah bergengsi, peningkatan peringkat Unesa sebagai perguruan tinggi yang mulai diperhitungkan, dan pencapaian jumlah pendaftar yang sangat membanggakan. Tembus ke angka 40 ribu. Melampaui target yang ditetapkan. Padahal kuota yang tersedia hanya 2400-an. Tentu saja kita yakin bahwa peningkatan jumlah input ini akan dibarengi dengan peningkatan mutu. Dengan meningkatnya mutu input, maka mutu proses dapat diharapkan meningkat, begitu juga mutu output dan outcome. 

Unesa memang sudah seharusnya semakin berkibar. Semoga semakin jaya.

Selamat untuk para wisudawan. Semoga jalan panjang ke depan terbentang luas dan semakin cerah. Selamat berjuang. Jangan lupa daftarkan diri Anda sebagai anggota alumni Unesa di www.ikaunesa.net.

Wassalam,
LN

Selasa, 19 Februari 2013

Orasi Ilmiah dalam Rangka Upacara Dies Natalis ke-37 dan Wisuda Universitas Nusantara PGRI Kediri

Assalamualaikum wr.
wb.

Yang saya hormati:
- Walikota atau yang mewakili
- Kopertis wilayah 7
- Muspika Kota Kediri
- PB PGRI Provinsi
- Pembina YPLP-PT PGRI Kediri
- Ketua YPLP-PT PGRI Kediri, Prof. Dr. Sugiyono
- Rektor UNP Kediri, Drs. H. Samari, SE. MM
- Anggota senat UNP dan segenap undangan, serta para wisudawan yang berbahagia.

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia dan hidayah-Nya, sehingga kita semua dapat bertemu pada Upacara Dies Natalis ke-37 dan Wisuda UNP Kediri ini, dalam keadaan sehat wal afiat dan selalu dalam lindungan-Nya. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah pada junjungan kita Rasulullah SAW.

Bapak ibu dan hadirin yang saya hormati, saya berdiri di sini dalam rangka mewakili Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Prof. Dr. Muchlas Samani, yang saat ini tengah melaksanakan tugas untuk menjajagi berbagai peluang membangun jaringan kerjasama dengan universitas-universitas di luar negeri, khususnya pada saat ini, di Negeri Belanda. Sebuah upaya yang tidak bisa tidak harus kita lakukan bila kita ingin memiliki institusi yang kompetitif. Selain dimensi akuntabilitas, relevansi, kualitas dan otonomi kelembagaan, jaringan kerjasama merupakan salah satu dimensi penting dalam mengembangkan perguruan tinggi di era global ini.

Bapak ibu dan hadirin yang saya hormati, izinkan saya menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam orasi ilmiah ini, dengan sebuah judul: "Membangun Sumber Daya Manusia yang Sehat dan Berkarakter melalui Peningkatan Daya Saing Universitas (khususnya LPTK)".

Kalau kita melakukan flash back mengacu pada hasil evaluasi Bank Dunia terhadap 150 negara pada tahun 1995, dikemukakan bahwa faktor penentu keunggulan suatu negara adalah: innovation (45 persen), networking (25 persen), technology (20 persen), dan natural resources (10 persen). Lebih dari lima belas tahun yang lalu, namun inovasi dan jejaring, juga teknologi, sudah mengambil posisi yang sangat penting dalam menyumbang keunggulan suatu negara. Kita yang mengalami masa itu tahu, belum banyak di antara kita yang memiliki laptop, telepon seluler, dan seterusnya. Persewaan PC ada di mana-mana, begitu juga dengan jasa telepon umum. Sangat berbeda dengan kondisi saat ini.

Belasan tahun berikutnya, Wagner (2008) mengemukakan konsep 'the survival skills for new generation'. Menurutnya, keterampilan-keterampilan penting untuk bisa bertahan hidup pada generasi baru ini meliputi: critical thinking and problem solving; collaboration across networks and leading by influence; ability and adaptability; initiative and entrepreneurialism; effective oral and written communication; accessing and analyzing information; serta curiousity and imagination. Kalau kita perhatian, semua ini lebih kepada pengembangan soft skills, selain juga, sebagaimana temuan Bank Dunia pada belasan tahun sebelumnya, networking dan teknologi tetap menjadi prioritas. Yang juga mungkin di luar pikiran kita adalah komunikasi tertulis dan kemampuan imajinasi. Dua hal yang ternyata sangat diperlukan untuk mampu survive dalam era saat ini.

Kita juga mengenal apa yang disebut "The 21st century knowledge and skills rainbow", di mana core subject dan tema-tema pada abad ke-21 ini juga tidak berbeda jauh dengan apa yang sudah dikemukakan oleh Bank Dunia dan Wagner, yaitu meliputi: life and career skills; learning and innovation skills; serta information, media and technology skills. Hal ini sangat relevan dengan sebuah artikel tentang tren skill masa depan, di mana semua yang berbasis rutinitas dan manual (routine cognitif, routine manual) cenderung menurun grafiknya. Sebaliknya hal-hal yang melibatkan expert thinking dan complex communication meningkat dengan sangat pesat.

Bapak ibu dan hadirin yang saya banggakan, maka tidak salah bila dikatakan, pada era global ini, hard skill/specific skil dan soft skill/generic skill/karakter, adalah ibarat dua sisi mata uang: tak terpisahkan.

Maka mari kita menjadi profesional. Berbagai penelitian menggambarkan, profesionalitas ternyata hanya ditentukan oleh 10 persen knowledge, 15 persen skill. Selebihnya yang sangat menentukan adalah interpersonal relationship (25 persen), dan yang paling menentukan lagi adalah attitude (50 persen). Dalam attitude inilah karakter melekat erat.

Tepatlah bila kementerian pendidikan nasional sejak tahun 2010 mencanangkan pendidikan karakter dalam rangka membangun karakter bangsa (nation character building). Perilaku berkarakter yang ditekankan meliputi olah pikir, olah hati, olah rasa/karsa dan olah raga; dengan nilai-nilai luhurnya: cerdas, jujur, peduli dan tanggung jawab. Kalau kita kembalikan pada sifat-sifat Nabi berati fathonah (cerdas), siddiq (jujur), tabligh (peduli) dan amanah (tangguh). Kesimpulannya, kita harus memiliki IQ (intellectual quotient), SQ (spiritual quotient), EQ (emotional quotient) dan AQ (adversity quotient).

Bapak ibu dan hadirin, saat ini, dalam rangka implementasi kurikulum 2013, kita mengenal adanya pergeseran paradigma belajar abad 21. Ciri abad 21 ini adalah: informasi (tersedia di mana saja dan kapan saja); komputasi (lebih cepat memanfaatkan mesin); otomasi (menjangkau segala pekerjaan ruitn); dan komunikasi (dari mana saja dan ke mana saja). Berdasarkan ciri-ciri ini, maka model pembelajaran diarahkan untuk mendorong peserta didik mencari tahu dari berbagai sumber, melakukan observasi, dan bukan diberi tahu; pembelajaran diarahkan untuk mampu merumuskan masalah (bertanya) bukan hanya menyelesaikan masalah (menjawab);  pembelajaran diarahkan untuk melatih berfikir analitis (pengambilan keputusan) bukan berfikir mekanistis (rutin); pembelajaran menekankan pentingnya kerjasama dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah.

Selanjutnya apa yg dimaksud daya saing? Daya bermakna kekuatan, saing berarti mencapai lebih dari yang lain dari segi mutu, atau memiliki keunggulan tertentu. Daya saing bermakna kekuatan untuk berusaha menjadi lebih baik dari yang lain, atau unggul dalam hal tertentu, baik yang dilakukan seseorang, kelompok, maupun institusi tertentu. Kemampuan daya saing meliputi: kemampuan memperkokoh posisi pasar, kemampuan menghubungkan dengan lingkungannya, kemampuan meningkatkan kinerja tanpa henti, dan kemampuan menegakkan posisi yang menguntungkan.

Untuk memiliki daya saing, perguruan tinggi harus memiliki visi dan misi yang berorientasi pada dimensi lokal sekaligus global. Dimensi lokal seperti akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan dan jaringan kerjasama, akan membawa perguruan tinggi menjadi institusi yang unggul. Akuntabilitas berkaitan dengan sejauh mana perguruan tinggi mempunyai makna dari the share holder, yaitu masyarakat. Perguruan tinggi bukanlah menara gading, oleh sebab itu diperlukan adanya partisipasi masyarakat. Perguruan tinggi tidak hanya berfungsi menggali dan mengembangkan ipteks, tapi juga suatu industri jasa untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Selanjutnya dalam aspek relevansi, perguruan tinggi seharusnya dapat memenuhi kebutuhan nyata di lapangan (ipteks, moral, etika dan agama). Dalam kaitan ini juga, sangat diperlukan adanya partisipasi dunia kerja dan industri. Pada dimensi kualitas, perguruan tinggi merupakan sumber SDM tingkat tinggi (kaum intelek). Sebagai agent of change. Pada aspek otonomi kelembagaan, institusi perguruan tinggi harus memiliki kebebasan akademik dan mimbar akademik, manajemen, penyusunan program, penganggaran, dan seterusnya. Sedangkan pada dimensi jaringan kerjasama, sepenuhnya kita menyadari bahwa perguruan tinggi bukanlah self-sufficient institution, dengan demikian perlu kemitraan yang sejajar antara semua perguruan tinggi, dunia usaha dan industri, lembaga riset, pemerintah daerah dan sebagainya.

Sebagai mana pada dimensi lokal, pada dimensi global, perguruan tinggi harus kompetitif, berorientasi pada kualitas, dan juga harus membangun jaringan kerjasama. Supaya memiliki daya kompetitif global, perguruan tinggi harus memiliki program unggulan. Kualitas perguruan tinggi juga sangat dipengaruhi oleh fasilitas dan mutu riset, serta terbitan dalam bentuk jurnal ilmiah internasional. jaringan kerjasama dengan perguruan tinggi terbaik di tingkat regional dan internasional, misalnya dalam bentuk pertukaran tenaga pengajar dan mahasiswa, riset bersama, dan sebagainya, akan menjadikan perguruan tinggi memiliki keunggulan dan daya saing.

Bagi perguruan tinggi, strategi untuk menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dalam era global ini adalah tiga kata kunci, yaitu quality, efficiency dan relevance. Quality harus ditingkatkan terus-menerus secara terprogram (continuous improvement) sehingga diperoleh tingkat efisiensi terbaik dan kompetitif (competitive advantage), dibuktikan melalui kepuasan konsumen (customer focus); dan semua ini hanya bisa tercapai dalam sistem organisasi yang sehat dengan tatalaksana organisasi yang baik (good university governance).

Dalam kaitan ini, maka revitisasi LPTK harus dilakukan. Lesser (2001) mengemukakan suatu lembaga (termasuk LPTK) yang modern dan berkualitas memerlukan modal dasar: pengetahuan (intellectual capital); fisik (physical capital); sosial (social capital); dan manajemen berbasis mutu (total quality management). Kampus seharusnya merupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, nilai-nilai, keterampilan dan pengembangan kapasitas pribadi (modal intelektual). Fasilitas fisik kampus termasuk ICT dan instrumen manajerial untuk memastikan proses pendidikan dan pembelajaran harus belangsung secara berkualitas dan nyaman (modal fisik). Di lain pihak, kampus harus merupakan entitas di dalam dan di luar kampus (modal sosial). Terakhir, prinsip-prinsip total quality management harus menjadi pedoman pengelolaan kampus (sistem manajemen yang berbasis mutu).

Selain itu kurikulum LPTK juga harus mendapat perhatian tersendiri. Didesain secara khusus dengan memperhatikan karakteristik khas profesi pendidikan yang mengedepankan: penguasaan keilmuan yang kuat; penguasaan ilmu pendidikan, filsafat pendidikan, psikologi pendidikan dan perkembangan, etika, dan pendidikan multi kultural; praktek pengajaran yang bukan sekedar praktek tetapi harus didesain di mana calon guru harus berada di lingkungan sekolah secara terus-menerus dalam waktu tertentu dengan pembinaan yang jelas dan terstruktur; mengamati dan mendiskusikan permasalahan yang ditemui di kelas, dan melakukan ujian berulang-ulang dengan karakteristik yang berbeda-beda sehingga dia dapat menghayati bagaimana menjadi seorang guru yang sesungguhnya; dan pengembangan kepribadian seperti kepemimpinan, peduli dan sayang kepada anak-anak, serta cinta profesi.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah penataan aktivitas mahasiswa. Aktivitas kehidupan kampus bukan hanya pada upaya menumbuhkan kecintaan dan penguasaan teknologi, tetapi juga diarahkan pada penguasaan keterampilan yang berhubungan dengan pertumbuhan profesinya sebagai bekal kelak manakala menjadi guru. Dengan demikian dapat diharapkan, kita akan mampu menghasilkan anak Indonesia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, inovatif (pasal 1 UU Sisdiknas).

Bapak ibu dan hadirin yang saya hormati, guru profesional menjadi bagian dari guru yang efektif. Karakteristik guru profesional menurut Hay McBer (2000) adalah: kematangan pribadi, percaya diri, dapat dipercaya dan respek pada orang lain; kemampuan berpikir analitis dan konseptual; kemampuan perencanaan dan ekspektasi, inisiatif, dan senantiasa melakukan perbaikan; memiliki jiwa kepemimpinan seperti fleksibilitas, mengelola siswa secara akuntabel dan cinta belajar; serta hubungan dengan orang lain seperti bekerja di dalam tim dan memahami orang lain.

Tentang guru yang profesional, kita juga pasti sangat mengenal ungkapan ini: "Poor teacher tells, good teacher teaches, best teacher inspires the students".

Terakhir, bapak ibu dan hadirin yang saya banggakan, rahasia perusahaan yang berumur panjang bukan karena terkuat, melainkan yang paling adaptif. Maka marilah kita menjadi individu-individu yang adaptif dan memiliki kemampuan untuk berkembang. Mari kita  membentuk habit, selanjutnya, biarlah habit yang akan membentuk kita. Sebagaimana yang dikatakan Aristotle: "we are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit".

Untuk menutup orasi saya, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada pembina dan ketua yayasan, rektor, dan segenap civitas UNP Kediri. Kesempatan ini telah mempertemukan saya dengan orang-orang hebat yang sedang menjalankan sebuah institusi yang hebat. Kesempatan ini juga telah mempertemukan saya dengan bapak saya, Drs. Moeljadi, beliau adalah mantan PR2 di Unesa; juga dengan sahabat saya, Dr. Atrup, MM, teman seperjuangan ketika menempuh studi S3 di Universitas Negeri Malang.
Saya juga ingin mengucapakan selamat kepada para wisudawan serta para orang tua dan keluarga. Selamat, satu tahap telah sukses terlampaui. Semoga jalan ke arah masa depan yang cemerlang terbentang luas, dan semoga Saudara semua bisa meraih cita-cita luhur Saudara, serta mampu membawa Indonesia menjadi lebih baik dan bermartabat.

Terakhir, mohon maaf bila ada kekhilafan dalam kata-kata dan perilaku saya. Billahi taufiq wal hidayah, wassalamualaikum wr wb.

Kediri, 19 Februari 2013

LN

Jumat, 28 Desember 2012

Outbond PPS Unesa

Akhirnya saya memutuskan mengikuti kegiatan ini. Outbound Keluarga Pascasarjana (PPS) Unesa. Tahun-tahun sebelumnya saya tidak pernah ikut. Saya lebih memilih berakhir pekan dengan keluarga di rumah. Liburan akhir pekan merupakan kesempatan yang mahal, dan menghabiskannya dengan orang-orang dekat kita tanpa keluarga, betapa tidak menyenangkan. Tapi mas Ayik mendorong saya untuk ikut. Itu kesempatan baik yang bisa saya gunakan untuk membangun keakraban dengan anggota keluarga PPS yang lain, mulai dari direktur, para asisten direktur, kaprodi dan sekprodi, tata usaha sampai dengan teman-teman di bagian kebersihan, keamanan, dan parkir.

Baiklah, akhirnya saya ikuti saran mas Ayik. Bergabung dengan teman-teman PPS. Dalam satu bus pariwisata kami berangkat dari halaman pasca. Saya bersisian dengan Prof. Siti Masitoh, asisten direktur 2. Begitu bus berangkat sekitar pukul 07.15, kami langsung terlibat obrolan tentang pentingnya acara semacam ini. Ya, tentu saja. Ketika semua dari kita berkegiatan di lapangan, saling bantu-membantu dalam berbagai aktivitas, tanpa sekat, bebas lepas, maka akan robohlah tembok-tembok pembatas. Tidak ada direktur dan tukang sapu. Tidak ada kaprodi dan tukang parkir. Ice breaking, team building, dan games lain yang menantang sekaligus menyenangkan.

Pagi ini kami sarapan pagi di rumah makan Mojorejo di Porong. Lantas melanjutkan perjalanan ke Bakti Alam, menikmati wisata alam di agrowisata ini. Bagi saya, ini kedua kalinya kunjungan saya ke Bakti Alam. Beberapa waktu yang lalu, kami sekeluarga bersama adik kami, juga bersama keluarganya, berkunjung ke Bakti Alam.

Wisata di Bakti Alam diperkirakan sampai pukul 12.00. Makan siang di Bakti Alam. Selepas dari sana, perjalanan dilanjutkan menuju hotel Grand Pujon View, di Pujon, Kota Batu. Check in, acara bebas, makan malam, dan malam keakraban. Nah, pada malam keakraban inilah dibuka dialog terbuka. Prof. Masitoh mengatakan, acara tersebut sebagai momen curhat. Brainstorming. Siapa saja boleh ngomong apa saja, boleh usul apa saja, boleh mengeluhkan apa saja. Boleh nyanyi-nyanyi juga. Tentu saja setelah acara curhat itu selesai.

Sepanjang perjalanan saya banyak berkaraoke, bergantian dengan teman-teman. Tidak peduli suara bagus atau tidak, yang penting ramai dan semua senang. Namanya juga acara suka ria....

Besok pagi, acara dimulai dengan senam pagi, tracking gunung Banyak, baru makan pagi. Setelah makan pagi, inilah acara yang ditunggu-tunggu, outbond. Selesai outbond, persiapan check out,  makan siang, dan check out. Melanjutkan perjalanan menuju Kasembon untuk kegiatan rafting. Rafting diperkirakan selesai pukul 16.00. Makan malam di Kasembon, kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke Surabaya. Diperkirakan pukul 21.00 baru akan tiba di Surabaya. Wow, padat juga acaranya yaaa......

Pandaan, 29 Desember 2012

Wassalam,
LN

Rabu, 26 Desember 2012

Dies Natalis Unesa 2012: Bangsa, Negara, Nasionalisme dan HAM

Pagi ini, bertempat di Gedung Serba Guna Unesa, dilaksanakan Rapat Terbuka Senat Universitas Negeri Surabaya dalam Rangka Dies Natalis ke-48. Seperti biasa, acara dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dilanjutkan dengan mengheningkan cipta dan pembukaan Rapat Terbuka oleh Rektor Unesa, Prof. Dr. Muchlas Samani.

Selanjutnya acara dilanjutkan dengan orasi ilmiah oleh Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (HAM). Dr. Otto Nur Abdullah, Ketua Komisi HAM, mengemukakan berbagai hal terkait dengan awal mula terbentuknya Komisi HAM, tujuan, pengertian, dan juga menjelaskan panjang lebar tentang relasi historis antara bangsa dan negara.

Inilah sekelumit tentang konsep relasi historis antara bangsa dan negara itu.

Pertama, untuk negara-negara modern yang terlebih dahulu ada seperti Perancis, Spanyol dan Inggris, maka negara yang menciptakan bangsa. Negaralah yang mendefinisikan bangsa sehingga identitas nasional merupakan proyek politik para elite.

Kedua, untuk negara-negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia I dan II, maka bangsa lebih dahulu terbentuk daripada negara. Bangsa membentuk negara. Bangsa mendefinisikan negara. Oleh karena itu negara-negara demikian diperjuangkan oleh bangsa, bahu-membahu antar warganegara. Karena itu pula negara disebut sebagai sebuah republik, untuk menegaskan bahwa negara diperuntukkan bagi bangsa, bukan sebaliknya.

Untuk Indonesia, menurut Otto, bila kita mengacu pada sejarah politik, dengan kemunculan gerakan kebangsaan, yakni gerakan nasionalisme sessionist yang bangkit sejak awal abad 20, maka Indonesia merupakan negara yang dibentuk oleh bangsa. Bangsa Indonesia-lah yang melahirkan Republik Indonesia, sehingga peruntukan negara bagi bangsa direfleksikan dalam mukaddimah konstitusi, UUD 1945, yakni negara diciptakan dalam perspektif HAM, untuk memberikan hak-hak asasi manusia yang melekat pada setiap warganegara Republik Indonesia.

Namun dalam perjalanan politik setelah negara dibentuk, seakan-akan bangsa menjadi persembahan untuk negara. Nasionalisme menjadi proyek elite politik. Nasionalisme dikonstruksi untuk memobilisasi setiap warganegara bagi kepentingan politik elite. Nasionalisme menjadi ideologi yang memaksa. Akibatnya negara bukan berkembang menjadi inklusif terhadap bangsa, akan tetapi tumbuh menjadi ekslusif terhadap bangsa sehingga tidak mampu menampung kemajemukan atau ke-bhinneka-an warga bangsa. Padahal kemajemukan itu selalu hadir dalam interaksi politik (bernegara) dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini.

Otto juga mengingatkan betapa bahayanya apabila nasionalisme menjadi proyek elite politik. Negara akan menelan bangsa yang justeru telah menciptakan negara. Menurut Otto, di sinilah pentingnya kehadiran akademisi, atau kaum intelektual pada umumnya, yakni untuk menyumbangkan pemikirannya yang dapat mengingatkan asal-usul kita berbangsa dan bernegara dan, secara kritis mengoreksi pemikiran tentang nasionalisme yang telah didominasi oleh elite negara, lalu mengorientasikan ke arah yang sesungguhnya sehingga warga bangsa dapat hidup sehat.

Tentu saja masih banyak hal yanh dikemukakan oleh Otto. Termasuk beberapa lontaran pertanyaan: sudahkah negara, dalam hal ini pemerintah, melakukan penegakan HAM dengan memberikan kebenaran pada para korban pelanggaran HAM dan ahli warisnya? Apakah negara, dalam hal ini pemerintah, sudah dan sedang melakukan perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi setiap warganegara?

Menutup orasinya, Otto mengucapkan terimakasih dan penghargaan pada Unesa yang telah memberikan kesempatan pada Komnas HAM untuk berpartisipasi dalam acara peringatan berdirinya akademi ini yang ke-48. Sebuah usia yang sudah sangat matang dalam berakademi di Republik ini. 

Dirgahayu, Unesa. Semoga tetap jaya, sebagaimana yang selalu dikumandangkan dalam lagu Mars Unesa.

"Semangat berjuang mengabdi nusa bangsa
Kembangkan ilmu dan seni, membangun berdasarkan Pancasila
Siaga bela negara, tingkatkan peranan sumber daya manusia, demi Indonesia tercinta.
Wujudkan, amalkan ilmu, iman dan takwa,
UNESA TETAP JAYA....."

Gedung GSG, Kampus Unesa, 27 Desember 2012

Wassalam,
LN

Selasa, 11 Desember 2012

Ujian Terbuka Sahabatku: Suryanti

Sore ini, saya menghadiri ujian terbuka seorang dosen PGSD, Dr. Suryanti, S. Pd. Dosen cantik ini adalah istri Dr. Wahono Widodo, M. Si, dosen Pendidikan Sains. Keduanya adalah sahabat saya, sahabat kami sekeluarga. Begitu dekatnya persahabatan kami, sampai hubungan kami sudah seperti saudara.

Judul disertasi bu Yanti, begitu panggilan akrabnya, adalah "Model Pembelajaran untuk Mengajarkan Keterampilan Pengambilan Keputusan dan Penguasaan Konsep IPA bagi Siswa Sekolah Dasar". Keterampilan pengambilan keputusan merupakan salah satu tujuan mata pelajaran IPA di SD dan merupakan keterampilan yang sangat penting, baik untuk sukses dan mandiri dalam bisnis dan kehidupan, serta kepemimpinan dan organisasi. Begitulah salah satu hal yang melatarbelakangi penelitiannya. Selain itu juga didasarkan pada kenyataan di lapangan yang menunjukkan keterampilan pengambilan keputusan siswa SD masih rendah. 

Temuan penelitian Suryanti cukup menarik, berupa model pembelajaran Multi Siklus DEAL, dengan langkah pembelajaran Discussion, Exploration, Analysis, dan Look-back. Penerapan model pembelajaran ini memberikan hasil penguasaan konsep dan keterampilan pengambilan keputusan lebih baik dibanding dengan pembelajaran IPA yang selama ini dilakukan. Penguasaan konsep sendiri menyumbang 10,2 persen terhadap penguasaan keterampilan pengambilan keputusan. 

Suryanti, yang background-nya pendidikan Fisika itu,  diangkat sebagai dosen di Prodi PGSD-FIP IKIP Surabaya sejak 1993. Perempuan berusia 44 tahun ini selain pernah menjabat sebagai sekretaris dan ketua jurusan PGSD, juga terlibat sebagai Tim Fasilitator IPA SEQIP, Tim Pengembang Instrumen Sertifikasi Guru, Tim MBS PGSD Ditjen Dikti, Tim Pengembang Modul DBE 2, dan Tim Pengembang Pendidikan Karakter Ditjen Dikdas. Yang juga membanggakan, Suryanti sejak 2011 dipercaya sebagai Ketua Umum Asosiasi Dosen PGSD Indonesia. 

Sepanjang pengalaman saya, ujian terbuka kali ini adalah ujian terbuka 'terpenuh'. Semua kursi berpenghuni. Bahkan di luar ruangan, para 'supporter' berjubel. Saya lihat di barisan para undangan itu adalah Prof. Sunarto, Prof. Mega, Prof. Suyono, Dr. Yuni Sri Rahayu, Dr. Manuharawati, dan banyak lagi. Dosen FMIPA dan dosen FIP, mahasiswa PPs, mahasiswa S1 juga. Nampaknya bu Yanti ini banyak penggemarnya.

Dr. Wahono hadir bersama kedua putranya yang ngganteng-ngganteng: Achmad Danang Rizki Pratama dan Ahmad Nizar Permana. Kedua remaja ini juga bersahabat dengan anak saya, Arga. Sejak anak-anak kami masih kecil-kecil, kami sering melakukan acara keluarga bersama, sehingga hubungan kami memang sangat dekat. 

Penampilan bu Yanti sangat menarik. Bukan karena dia nampak begitu cantik dan anggun dengan kebaya hijau mudanya. Namun juga karena dia bisa menjawab semua pertanyaan dewan penguji dengan sangat lancar dan meyakinkan. Perempuan berjilbab itu memang cerdas, komunikasinya bagus, dan memiliki manajerial skill yang menonjol. Saya prediksi, beberapa tahun ke depan, dia akan menjadi salah satu srikandi kuat di Unesa, setidaknya selevel Prof. Kisyani. He he....

Suryanti merupakan lulusan pertama Prodi S3 Sains PPs Unesa. Saat ini dia ada di depan kami, didampingi pendamping prosesi, pak Budi Jarwanto. Asdir 1 PPs yang memimpin ujian terbuka, Prof. Muslimin, membacakan hasil penilaian Dewan Penguji. Suryanti lulus, dengan predikat sangat memuaskan, dan berhak menyandang gelar doktor. Suryanti tersenyum lega, manis sekali. Dan keharuan menyeruak di hati saya begitu saja.... Seperti apa rasanya 'lulus', seolah masih begitu membekas di benak saya, meski itu telah terjadi bertahun-tahun silam. 

Hari ini telah saya saksikan kebahagiaan itu, kebahagiaan yang sudah lama-lama ditunggu, oleh Suryanti, oleh keluarganya, dan oleh semua sahabat dan sanak saudaranya. Kebahagiaan yang membanggakan prodi S3 Pendidikan Sains dan Unesa.

Btw, biasanya saya memilih tidak bertoga ketika menghadiri ujian terbuka. Selama belasan kali saya menghadiri ujian terbuka, baru tiga kali saya mengenakan toga, dan duduk di jajaran prosesi. Pertama, ketika ujian terbuka sahabat saya, Dr. Nanik Indahwati, tim inti SM-3T. Kedua, ketika ujian terbukanya ibu Rektor yang lulus dengan predikat cum laude itu. Yang ketiga ya sekarang ini. Kalau sudah duduk di depan, konsekuensinya kita harus mengikuti acara sampai selesai, tidak bisa 'nyambi', misalnya 'nyambi' ngajar atau melayani konsultasi. Artinya, kita tidak bisa menyelinap keluar ruangan sebelum acara selesai. Itulah yang membuat saya seringkali agak enggan untuk bergabung di barisan prosesi (He he, jujur.com). 

Tapi saya sudah siap untuk mengenakan toga lagi ketika nanti saya menghadiri ujian terbuka sahabat-sahabat saya yang lain. Termasuk sahabat dan guru saya, Sirikit Syah....

Auditorium Pascasarjana, 11 Desember 2012

Wassalam,
LN

Sabtu, 08 Desember 2012

Seminar Pendidikan: PPG Lagi...

Pagi sampai siang tadi saya diundang sebagai pembicara seminar di Gedung I FIS Unesa. Penyelenggaranya adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan PPKN. Saya ditandemkan dengan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur dan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur. Tema seminar yaitu 'Eksistensi LPTK dengan Adanya Kebijakan PPG'.

Saya disambut oleh ibu Listyaningsih, pembina BEM PPKN. Begitu memasuki ruang seminar, saya langsung merasakan aroma penuh semangat, baik dari panitia maupun para peserta. Lebih-lebih ketika ketua panitia menyampaikan laporannya, dilanjutkan dengan sambutan Ketua BEM dan sambutan Ketua Jurusan. Tepuk tangan riuh rendah menggema setiap kali ada pernyataan-pernyataan yang 'cocok' dengan pikiran-pikiran mereka. Bahwa PPG seharusnya hanya untuk lulusan LPTK, bahwa mestinya semua lulusan LPTK tidak perlu lagi mengikuti PPG, dan bahwa profesi guru adalah bagi orang-orang yang sejak awal hatinya sudah terpanggil sebagai guru dan oleh sebab itu seharusnya hanya untuk lulusan LPTK. Juga, menurut versi mereka, pada UU Sisdiknas maupun UUGD-pun tidak pernah ada istilah PPG, yang ada hanyalah istilah sertifikasi. Rupanya saya sedang berada di antara beberapa tokoh unjuk rasa PPG di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Selain juga sedang berada di antara para mahasiswa yang memang benar-benar ingin memahami PPG dengan berbagai seluk-beluknya. 

Oleh karena bapak Sulistiyanto Soeyoso, ketua Dewan Pendidikan Jatim dan bapak Herry Bagus yang mewakili Dr. Harun belum hadir, maka saya diberi waktu untuk presentasi lebih dulu. Moderatornya, Wahyu, saya goda kalau dia lebih cocok jadi provokator daripada jadi moderator. Dia tertawa saja. 

Apa yang saya sampaikan lebih banyak sebagai klarifikasi atas pemahaman mereka yang belum utuh mengenai PPG. Saya katakan bahwa pada berbagai hal saya sepaham dengan pikiran mereka. Di sisi lain, mereka juga harus melihat fakta. Lulusan LPTK yang jumlahnya luar biasa setiap tahunnya, dan sebagian besar dari mereka tidak dihasilkan dari LPTK yang bermutu. Fakta bahwa LPTK belum mampu menghasilkan guru di semua bidang yang dibutuhkan di lapangan. Juga pemahaman terhadap istilah sertifikasi, yang hanya dipahami lewat jalur PLPG, tentulah itu pemahaman yang kurang tepat. Sertifikasi juga bisa ditempuh melalui PPG dengan berbagai bentuk penyelenggaraannya.  

Saya sangat beruntung siang ini bisa bergabung dengan pak Sulistyanto dan pak Herry Bagus. Hampir semua pikiran pak Sulis sejalan dengan pikiran-pikiran saya. Beliau memulai presentasinya dengan mengajak kita semua bicara tentang Indonesia. Peran apa yang bisa kita ambil supaya Indonesia menjadi lebih baik. Unesa adalah universitas yang sangat kecil. UI adalah universitas yang sangat kecil. MIT dan semua universitas terkenal di dunia ini adalah universitas yang kecil. Kita semua sedang ada di universitas yang sangat besar, yaitu universitas kehidupan. Di universitas ini, setiap kita adalah guru. Kurikulum kita sendirilah yang menentukan. Tergantung kurikulum yang kita buat itu ketat atau tidak. Kalau ketat, kita akan menjadi someone. Kalau tidak ketat, kita akan menjadi noone. Bedanya, someone itu do something, dan noone itu do nothing.

Pak Sulis yang nyentrik itu juga menambahkan bahwa faktor keunggulan bangsa ke depan tidak lagi ditentukan oleh teknologi, tetapi oleh mental dan karakteristik kita, letak dan kondisi geografis, renik-renik kebudayaan, dan keunikan ekologis. Semua hal ini kalau dikembangkan dengan baik akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang unggul karena hal-hal tersebut tidak bisa direproduksi dan diduplikasi. Sayang sekali kebijakan kita tidak mengarah kepada pengembangan keempat hal tersebut.

Ketika bicara tentang pentingnya kewirausahaan, pak Sulis secara bercanda melontarkan ide, seharusnya ijazah sarjana diubah. Ijazah sebaiknya dibuat dari batu, ukurannya 1 meter kali 2 meter, biar tidak bisa dibawa ke mana-mana untuk difotokopi dan dilegalisir serta digunakan melamar pekerjaan, termasuk menjadi pegawai negeri sipil. He he, geli juga dengan ide konyolnya itu.

Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang bermental baja untuk bisa membangkitkan keindonesiaan. Maka kita harus jujur. Pendidikan kita harus dirombak. Kurikulum dibuat sebagus apa pun, kalau UN tetap seperti ini, maka kurikulum itu tidak ada gunanya. Pendidikan hanya menghasilkan orang-orang yang bertambah tua, tapi tidak bertambah dewasa.

Pada sesi tanya jawab, saya dicecar dengan berbagai pertanyaan seputar PPG. Salah seorang peserta, Zaim namanya, dari jurusan Pendidikan Sendratasik, bertanya dengan suara keras dan berapi-api. Kata-katanya tajam. Tubuh kecilnya itu seperti mau meledak ketika dia menyampaikan ketidaksetujuannya pada konsep PPG. Saya senang dengan pikiran-pikiran kritisnya. Sayang sang seniman itu tidak mudah dipuaskan. Waktu tidak cukup kalau hanya untuk melayani dia. Maka saya janjikan saya akan 'memberinya kepuasan' di luar forum. He he.... 

Surabaya, 8 Desember 2012

Wassalam,
LN