Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Unesa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Unesa. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Agustus 2014

Empat Buku Di Pisah Kenal Rektor

Pisah Kenal Rektor. Mungkin ini bukan nama yang tepat untuk acara yang dihelat di Auditorium Kantor Pusat Unesa pada Rabu, 20 Agustus 2014, pukul 10.00-12.00 siang tadi. Dengan rektor lama, periode 2010-2014, yaitu Prof. Dr. Muchlas Samani, tidak bisa dikatakan 'pisah', karena meskipun beliau mungkin setelah tidak menjabat menjadi Rektor Unesa akan banyak beraktivitas di mana-mana, namun 'rumah' beliau tetaplah di Unesa. Dengan rektor baru, periode 2014-2018, yaitu Prof. Dr. Warsono, tidak tepat juga kalau dikatakan 'kenal (an)'. Siapa yang tidak kenal beliau yang juga PR 3 Unesa ini?

Tapi tidak masalah. Apalah arti sebuah nama. Pisah Kenal, sepertinya sudah menjadi judul pakem dalam acara-acara semacam ini.

Acara dihadiri oleh anggota senat Unesa, pimpinan universitas dan fakultas, pengurus jurusan, ketua lembaga dan UPT, kepala biro, karyawan, wakil mahasiswa, para mitra Unesa serta para awak media. Ruang auditorium penuh. Rupanya acara pisah kenal ini diminati oleh banyak kalangan.

Menariknya, acara juga diramaikan oleh kelompok musik yang menyanyikan lagu-lagu keroncong. Mereka menyanyikan lagu-lagu yang hampir semua orang kenal dan bisa menikmati, mulai dari lagu yang asli keroncong sampai lagu yang aslinya bukan lagu keroncong tapi dikeroncongkan, termasuk lagu-lagu dangdut dan lagu-lagu Barat.

Menariknya lagi, kedua rektor itu, sama-sama lihai berorasi. Orasinya sangat bernas, dalam sekali maknanya, dan penting. Tentang bagaimana Unesa dulu, kini, dan yang akan datang. Nampaknya, Prof. Warsono akan mampu mengimbangi gerak langkah super cepat pendahulunya, yaitu Prof. Muchlas Samani. Banyak hal yang sudah digagas, diwujudkan, dan dimulai oleh Prof. Muchlas. Prof. Warsono diharapkan mampu meneruskan semua yang sudah dimulai itu, melengkapi yang belum, menambal yang perlu ditambal, dan mencetuskan ide-ide baru serta merealisasikannya untuk kemajuan Unesa ke depan. 

Dalam acara itu juga menghadirkan tiga orang untuk menyampaikan kesan pesan, mewakili mahasiswa, dosen, dan karyawan.  Mahasiswa diwakili oleh anggota Menwa, dosen diwakili oleh M. Khoiri (dosen Bahasa Inggris), dan karyawan diwakili oleh Sri Supriatin (Staf PR 4). Ketiga orang itu, semuanya menarik dalam menyampaikan kesan pesan dan harapan-harapannya. Beberapa lontarannya bahkan mengundang gelak tawa berkepanjangan sekaligus keharuan.

Yang lebih menarik lagi, suvenir acara itu, adalah empat buku. Ya, empat buku. Plus satu majalah. Empat buku itu berjudul: Mohon Maaf, Masih Compang-Camping  (ditulis oleh Muchlas Samani sendiri); Manapaki Setengah Abad (persembahan dari Humas Unesa); Muchlas Samani, Aksi dan Inspirasi (penyuting M. Khoiri dan Luthfiyah Nurlaela); dan Pancasila-isme dalam Dinamika Pendidikan (ditulis oleh Warsono). Sebuah majalah, yaitu Forum, yang di dalamnya memuat profil Prof. Warsono, dengan judul: Selalu Memberi yang Terbaik, juga dibagikan.

Kesan yang tertangkap dari kedua sosok itu, Muchlas Samani dan Warsono, adalah orang yang sama-sama cerdas, pergaulannya luas, pengetahuan dan wawasannya luas, rendah hati, santun, kharismatik, dan cinta buku (baca cinta membaca dan menulis). Buku yang ditulis Muchlas Samani, benar-benar buku yang luar biasa menarik. Baru melihat tampilannya saja, buku itu begitu memesona. Cover-nya, layout-nya, isinya, gambar-gambar dalam buku itu, semuanya, sangat mengesankan. Menunjukkan kalau buku itu benar-benar dipersiapkan dengan baik, digarap dengan cermat. Sangat berbobot tapi juga sangat artistik.

Buku yang ditulis oleh Prof. Warsono, menggambarkan kepakarannya dalam bidang filsafat dan pengembangan karakter. Covernya lugas, dengan warna merah putih yang menegaskan nasionalismenya, sangat sesuai dengan apa yang dituliskannya dalam buku itu.

Dua buku yang lain juga tidak kalah menariknya. Semuanya memuat perjalanan Unesa sejak dipimpin Muchlas Samani, dan harapan ke depan yang diungkapkan oleh banyak pihak. Belasan dosen berpartisipasi sebagai kontributor dalam penyusunan buku itu. 

Dari semua itu, apa yang paling menarik? Ya, budaya untuk mengabadikan perjalanan sebuah kepemimpinan dengan sebuah buku. Bukan sekedar buku semacam nota akhir jabatan yang ditulis oleh para staf untuk pimpinan yang mengakhiri masa jabatan. Tapi buku yang ditulis oleh pelaku itu sendiri, oleh pimpinan itu sendiri. Berisi semua catatan tentang apa yang menjadi janji-janji di awal-awal menjabat dulu, apa yang sudah ditepati, apa yang belum dipenuhi. Sebuah tulisan yang ditulis dengan jujur, apa adanya. Merupakan sebuah pertanggungjawaban pribadi dan lembaga. Tentu hal ini akan menjadi catatan sejarah bagi sebuah perjalanan kepemimpinan seseorang, sekaligus menjadi dokumen penting yang akan mewarnai sejarah perjalanan sebuah lembaga besar seperti Unesa.

Selamat untuk Prof. Muchlas Samani yang sudah memberikan banyak hal untuk kemajuan Unesa, menjadi bapak dan sahabat untuk semua, menjadi motivator dan advisor untuk siapa saja. Semoga semangat beliau menginspirasi Prof. Warsono dan siapa pun civitas akademika, agar lebih giat memajukan Unesa tercinta.

Surabaya, 20 Agustus 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 15 Mei 2014

Olala....Sriwijaya....

Saya sedang mengajar di kelas saat sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Saya meminta izin mahasiswa untuk mengecek ponsel.

Ya, meski saya tidak membolehkan mahasiswa untuk menghidupkan ponsel ketika perkuliahan sedang berlangsung, tapi sejak awal saya sudah meminta keistimewaan, aturan itu tidak berlaku bagi saya. Posisi saya sebagai koordinator SM-3T mengharuskan saya untuk selalu menyediakan diri mengangkat telepon dan SMS sepanjang waktu, 24 jam nonstop. Para peserta SM-3T tidak mudah untuk mendapatkan sinyal, mereka harus menaiki bukit atau berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk bisa telepon atau mengirim SMS. Dengan kondisi seperti itu, maka saya harus senantiasa siap sedia mengangkat telepon dan membalas SMS secepatnya. Pernah suatu ketika saya telat membaca SMS, akhirnya SMS balasan saya tidak berhasil terkirim. Saya telepon ponselnya, tidak ada nada sambung sama sekali kecuali "tulalit....tulalit...." Yang bersangkutan pasti sudah turun dari bukit sinyal. Di SMS-nya dia bilang "Ibu, mohon SMS saya segera dibalas. Saya sedang di atas bukit, tapi ini mendung. Saya tidak bisa berlama-lama, harus segera turun."

Saya mengecek SMS, ternyata dari Sriwijaya Air. "Kpd YTH pelanggan Sriwijaya Air kami informasikan utk tgl 16MAY SJ225 SURABAYA-SEMARANG jam 11.25 Berubah MAJU  menjadi jam 10.10.
Mohon maaf atas ketidak nyamanan ini. Untuk keterangan lebih lanjut hub 031-5491777 atau call center 021-29279777 atau -031.8688538 -08041777777 atau kantor perwakilan Sriwijaya Air terdekat."

Duh. Padahal saya lagi nggetu-nggetunya mengajar. Saya sudah memperhitungkan waktu dengan baik. Saya akan mengajar sampai pukul 08.30, lantas ke Pasca untuk menyerahkan nilai dan menitipkan tugas-tugas mahasiswa ke sekuriti, lanjut ke LPPM, bertemu dengan tamu penting, yaitu Bapak Nanang Ahmad Rizali dari Pertamina Foundation, baru meluncur ke Bandara Juanda. Kalau penerbangan sesuai jadwal awal, yaitu pukul 11.25, waktu saya lumayan leluasa. Tapi kalau tiba-tiba jadwalnya dimajukan begini, wah, bisa kacaulah rencana saya.

Saya melihat jam. Pukul 8.10. Saya mendekati Pak Leksono, partner mengajar.
"Cak, penerbanganku maju, jek tas onok SMS soko Sriwijaya, piye iki?"
"Yo wis ora opo-opo, Jeng. Wis, ndang budhal, kelas tak atasane."
"Ngono yo, Cak? Sepurone yo, Cak?" Saya bersiap-siap. Mengemasi laptop dan buku-buku saya.
"Sama Pak Leksono dulu ya, anak-anak..." Pamit saya pada mahasiswa. Seperti guru SD ke murid-muridnya.
"Ya, Bu Guru..." Serentak jawaban mahasiswa.

Saya meminta Anang, driver PPG, untuk mengantar saya ke Pasca. Terus yergesa-gesa lanjut ke Bandara Juanda. Di tengah perjalanan, Pak Nanang mengirim pesan di whatsapp.
"Ass. Ww. Bu Prof, saya sdh di mobil keluar jln bandara. LP2M itu dekat gd Rektoratkah?"
Saya langsung mengangkat telepon. Menghubungi Pak Nanang. Menyampaikan permintaan maaf tidak bisa menemui beliau, meskipun sangat ingin. Saya juga katakan kalau Pak Isbondo dan Prof. Wayan Susila, Ketua LPPM, sudah menunggu beliau di LPPM. Dan berharap semoga suatu saat ada kesempatan bagi saya untuk bertemu.

Sampailah saya di Bandara Juanda. Langsung masuk dan menuju tempat check in. Selagi mengantri, ada sepasang suami istri yang marah-marah pada seorang petugas di konter check in itu. Saya tidak terlalu menghiraukan. Tapi begitu giliran saya sampai di depan petugas, saya jadi ngeh, kenapa orang-orang itu marah. Ternyata SMS dari Sriwijaya yang mengatakan kalau jadwal penerbangan dimajukan itu, tidak benar. Ternyata ada miscommuniation di internal Sriwijaya, dan terkirimlah SMS untuk para pelanggan itu. Padahal sebenarnya, ternyata, jadwal tidak berubah. Tetap. Tidak maju tidak mundur.

"Hah, apa?" Tanya saya pada petugas.
"Ya, Bu. Mohon maaf, ada miscommunication, Bu. Jadi jadwal seperti semula."
Rasanya ingin saya ngremus petugas itu. Ingat kelas yang saya tinggalkan sebelum waktunya, ingat pertemuan penting dengan tamu penting yang saya harus abaikan, ingat bagaimana saya meminta Anang untuk ngebut di tol sewaktu mengantar saya tadi. Tapi melihat wajah petugas yang  seperti sudah siap menerima kemarahan itu, hati saya tidak tega. Sepertinya dia sudah sejak tadi menerima komplain dari satu pelanggan ke pelanggan lain. Melihat wajah dan sorot matanya yang memelas, saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja.
"Kok bisa sih..." Kata saya lirih. "Maaf, bu..."

Ya sudah. Saya pun naik. Masuk ke sembarang kafe. Pesan jus jambu dan kentang goreng. Makan, meski tidak sedang lapar. Pelampiasan rasa jengkel dan kecewa. Kecewa sama Sriwijaya. Olala....Sriwijaya.....

Bandara Juanda, 16 Mei 2014


Wassalam,
LN

Sabtu, 03 Mei 2014

Pendidikan Memberikan Multiplier Effect

Pagi tadi, di Gedung Dekanat FMIPA yang baru, dilaksanakan acara peresmian gedung dan Kuliah Umum Penguatan Kurikulum 2013. Peresmian ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Mendikbud M. Nuh, dan kuliah umum langsung diberikan oleh Mendikbud juga.

Gedung baru ini adalah gedung tiga lantai. Merupakan pengganti dari gedung dekanat dan Pusat Sains dan Matematika Sekolah (PSMS) yang dulu terbakar. Secara berseloroh, dalam sambutannya, Rektor Unesa Muchlas Samani melontarkan, "lek kepingin oleh gedung baru, bakar sik gedungmu..."

Pembangunan gedung baru tersebut sepenuhnya dibiayai oleh kemdibud. Menurut Mendikbud, karena kebakaran yang terjadi adalah murni kecelakaan, bukan sebab sengaja dibakar misalnya karena demo-demo, maka kementerian bisa membantu membangunnya kembali. Tapi kalau kebakarannya karena demo, yang berarti sengaja dirusak, kementerian tidak akan membantu serupiah pun. Bahkan kalau perlu program studi yang bersangkutan ditutup dulu, begitu jelas menteri sambil menyebut sebuah LPTK yang gedungnya dibakar oleh mahasiswa dan kementerian tidak memberikan bantuan untuk membangunnya kembali.

Gedung yang dinamakan Gedung D1 ini selain untuk dekanat, juga untuk Laboratorium Pembelajaran Matematika dan Sains Sekolah (LPMSS, pengganti PSMS). LPMSS merupakan laboratorium untuk mendukung proses pembelajaran di sekolah khususnya untuk bidang Matematika dan Sains. 

Dalam kuliah umumnya, M. Nuh menyampaikan, tidak ada satu pun di antara kita yang tidak percaya bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh SDM. Oleh sebab itu, pengembangan SDM mejadi hal yang sangat prioritas.

Kualitas SDM sebagaimana yang kita tahu, diukur melalui indeks pembangunan manusia  (IPM) atau human development index (HDI). Ada tiga komponen dalam IPM, meliputi pendidikan, kesehatan, dan pendapatan per kapita. Ketiga-tiganya penting. 
"Masia pinter pol," begitu kata Pak Nuh, " tapi lara-laranen, ya tidak baik. Kalau ada dosen matematika, daftar log dia hafal, tapi saat mengajar dia batuk-batuk terus, mahasiswa yang mau  tanya bisa nggak tega. Mengko tak takoni muntah getih..." Seloroh Pak Nuh, tentu saja mengundang gelak tawa.
"Seorang perempuan, cantik pol...tapi buta huruf....nggilani. Sama dengan wong lanang, gede duwur, ngguwanteng, tapi hahok. Begitu juga kalau ada dosen MIPA Unesa, ganteng, gede duwur, puwinter, tapi utange akeh."

Contoh-contoh di atas hanya untuk menunjukkan betapa pendidikan, kesehatan dan pendapatan per kapita sama-sama pentingnya. Tapi yang mana dari ketiga hal itu sebagai prime-mover-nya? Sebagai penggerak utamanya?

Hasil kajian Unesco dan World Bank menunjukkan hubungan antara pendidikan dengan pendapatan perkapita, pendidikan dengan kesehatan, dan pendidikan dengan IPM secara keseluruhan. Kesimpulannya, pendidikan ternyata memberikan multiplier effect.

Hubungan pendidikan dengan pendapatan per kapita dalam bahasa statistik digambarkan r = 0,93. Artinya hubungannya sangat erat. Sedangkan bila pendidikan dihubungkan dengan pendapatan per kapita dan kesehatan, ternyata menghasilkan r=0,98. Berarti, pendidikan mempunyai multiplier effect terhadap komponen lain.

Oleh sebab itu, pendidikan harus digenjot sedemikian rupa agar bisa memberikan efek pada peningkatan kesehatan dan pendapatan per kapita. Pendidikan harus mampu memotong mata rantai kemiskinan. Masyarakat menjadi miskin karena mereka tidak mendapatkan akses. Akses meliputi ketersediaan dan keterjangkauan. Di pelosok, daerah perbatasan, daerah-daerah terpencil, ada masalah dengan ketersediaan. Sedangkan untuk masalah keterjangkauan, tidak hanya menjadi masalah di daerah pelosok, tapi juga di perkotaan, misalnya karena biaya pendidikan yang mahal. Karena keterjangkauan terkait masalah ekonomi, penyelesainnya dari bidang ekonomi. BOS, BOSDA, dan berbagai beasiswa adalah untuk mengatasi masalah ekonomi tersebut.


M. Nuh juga menambahkan, lima sampai sepuluh tahun lagi akan terjadi kebangkitan kaum dhuafa. Pada saat itu akan ada puluhan ribu lulusan S1, S2, S3, generasi baru yang berasal dari keluarga tidak mampu. Anak-anak bidik misi sekarang sudah lulus S1, saat ini sedang dipersiapkan S2 dan S3-nya. Mereka bisa memasuki perguruan tinggi terbaik di dalam maupun di luar negeri. Mereka akan menjadi para motor penggerak dan agen perubahan dalam pembangunan. Inilah yang dimaksudkan memotong kemiskinan melalui dunia pendidikan.

Untuk Unesa, M. Nuh berharap, agar Unesa terus memperkuat intellectual capital. Karena kekuatan Unesa ada di situ. Tulisan-tulisan, hasil-hasil riset, itulah harga termahal yang dimiliki Unesa. Buka seluas-luasnya bagi para dosen yang belum S3 supaya menempuh S3. Namun riset-riset eksperimental jangan sekadar berhenti di paper-work, tapi ditawarkan ke sekolah-sekolah, sehingga hal itu menjadi lahan riset bagi Unesa dan semua pihak yang berkepentingan. 

Di sinilah salah satu letak kemuliaan Unesa, begitu kata menteri. Mengurus pendidikan adalah jalan yang benar. Tidak semua orang ditakdirkan mencintai dunia pendidikan. Kita harus bersyukur karena di dalam diri kita ditanamkan rasa cinta itu.


Surabaya, 3 Mei 2014

Wassalam,
LN

Jumat, 02 Mei 2014

Pamit Mendikbud dan Rektor

Upacara Hari Pendidikan Nasional pagi ini dimulai pukul 07.30. Bertempat di halaman Rektorat, upacara diikuti oleh perwakilan semua unsur di Unesa, mulai dari fakultas, pascasarjana, karyawan, dharma wanita, Senat, dan PPPG. 

Dalam sambutannya, Rektor Prof. Dr. Muchlas Samani membacakan sambutan Mendikbud. Salah satu harapan Mendikbud adalah, pendidikan yang semakin terjangkau dan semakin berkualitas bisa segera berhasil diwujudkan. 

Tema Hardiknas tahun ini adalah "Pendidikan untuk Peradaban Indonesia yang Unggul". Artinya, pendidikan tidak hanya untuk menjawab masalah-masalah yang sifatnya praktis dan teknis. Tapi tujuan pendidikan adalah  memanusiakan manusia untuk membangun peradaban unggul.

Salah satu program dalam rangka mencapai peradaban yang unggul adalah perluasan akses pendidikan. BOS, Bantuan Siswa Miskin, program rehabilitasi sekolah, sekolah berasrama, dan lain-lain, termasuk pengiriman guru di daerah 3T dalam Program SM-3T, merupakan perwujudan dari upaya itu. Setidaknya berbagai program tersebut saat ini sudah berhasil meningkatkan angka partisipasi kasar pada tingkat 
SMP, SMA, dan perguruan tinggi.

Terkait dengan program peningkatan kualitas pendidikan, Mendikbud menyebut salah satunya adalah penerapan Kurikulum 2013. Tahun 2014-2015 ini merupakan momentum yang tepat untuk peningkatan kapsitas para guru, kepala sekolah, dan pembenahan perbukuan. Penerapan Kurikulum 2013 diharapkan dapat membentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan anak didik agar menjadi manusia yang unggul. 

Mendikbud juga menyampaikan, tahun 2014 ini adalah tahun terakhir sebagai Mendikbud. Ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya atas kerjasama, partisipasi dan dukungan semua pihak. Prestasi yang telah diraih adalah prestasi kita semua. Masih banyak kekurangan di sana-sini dan juga kekhilafan, oleh sebab itu Mendikbud memohon maaf yang sebesar-besarnya pada seluruh pemangku kepentingan. Di akhir sambutannya, Mendikbud menyampaikan harapannya, mudah-mudahan dunia pendidikan kita ke depan semakin maju. Dan semua yang telah disumbangkan bagi dunia pendidikan, baik oleh guru, anak didik, kepala sekolah, pemerhati pendidikan, dan lain-lain, semoga menjadi bagian dari amal kerbajikan kita.

Mengakhiri pembacaan sambutan Mendikbud, Rektor meminta waktu dua menit untuk menyampaikan sesuatu. Rektor mengemukakan, pada tanggal 26 Juni nanti, masa jabatannya sebagai Rektor Unesa akan berakhir. Tinggal 54 hari. Rektor menyampaikan permintaan maaf bila selama masa kepemimpinannya, ada banyak kekurangan dan kekhilafan. Rektor juga berharap, Unesa ke depan akan semakin baik dan maju. 

Selamat untuk Pak Nuh dan Pak Muchlas. Selamat sudah mengemban amanah dengan sebaik-baiknya, dengan segala suka dukanya, dengan segala dukungan dan kritik yang mewarnainya. Semoga Allah SWT selalu memberikan berkah kesehatan dan kesuksesan.

Selamat memperingati Hardiknas... 


Surabaya, 2 Mei 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 05 Maret 2014

Kisah Mobil Dinas

Hari ini saya memperoleh mobil dinas. Merk-nya Toyota Avanza, keluaran tahun 2008. Sama seperti mobil dinas para Dekan dan Direktur Pasca serta Kepala Lembaga dan UPT di lingkungan Unesa. 

Saya menandatangani Berita Acara Serah Terima mobil itu siang tadi, di kantor kabag perlengkapan. Setelah tanda tangan, saya menerima kunci kontak dan STNK. Satu kunci kontak dan STNK mobil, dan satu kunci kontak dan STNK sepeda motor. Sepeda motor itu untuk digunakan staf PPG yang tugasnya sebagai pengantar surat.

Karena mobil dinas, mobil itu berplat merah. Saya bilang mobilnya bengesan (pakai lipstick). Saya langsung menyerahkan kunci kontak dan STNK kepada Anang, driver PPG.

"Kamu ambil mobil dinasnya, di kabag perlengkapan. Biar aku nyetir sendiri bawa mobilku."
"Terus, ibu, saya bawa ke mana mobilnya?"
"Ke PPG."
"Terus ibu ke PPG-nya gimana? Masak ibu mau nyetir sendiri."
"O iya ya..." Saya berpikir sejenak. Malas juga nyetir sendiri ke Lidah. Macetnya itu lho, apa lagi kalau sore hari, waktunya pulang, bisa bikin stres di jalan. "Bagaimana sebaiknya ya?"
"Apa ibu saya antar ke PPG dulu, terus nanti saya balik ke sini untuk ambil mobil dinas?"
"Terus, pulangnya aku gimana?"
"O iya ya...." Gantian Anang yang linglung.
"Gini aja. Aku akan parkir mobilku di rumah, kamu nyusul. Ntar kita ke PPG pakai mobil dinas saja."
"Inggih, ibu."

****

Siang ini, saya meluncur ke PPG dengan mobil dinas. Mobil itu, maaf, baunya apek. Saya membuka jendela meski AC menyala, berharap bau apek dan aroma tembakau tidak mulek di dalam. Jok mobil juga kotor di beberapa bagian, karpetnya berdebu, dan ada bekas-bekas oli di beberapa bagian dinding dan langit-langitnya. 
"Nang, ini mobil jorok banget sih..." Kata saya.
"Iya, ibu....kurang terawat."
"Padahal sebelum diserahkan ke kita, bu Ratih bilang kalau mobil diservis, di-balancing, di-spooring...." Bu Ratih adalah kabag perlengkapan.
"Ya, tapi kan bu Ratih tidak bilang kalau dibersihkan, ibu..."
"Iya ya... Bener juga."
Saya gebres-gebres. Aroma di dalam mobil benar-benar memancing penyakit alergi saya kambuh.
"Nang, ntar minta duit mbak Evi, bawa mobil ini ke salon mobil. Biar bersih, biar wangi."
Mbak Evi adalah PUMK PPG.
"Inggih, ibu."
"Dirawat, Nang, mobilnya. Cek olinya, cek rodanya, cek semua. Ini fasilitas, musti dirawat dengan baik. Jangan mentang-mentang punya negara. Ngerti ya, Nang."
"Inggih, ibu..."

***
Mas Ayik, suami saya, setelah beberapa tahun bekerja sebagai kabag personalia di PT Jacobs Biscuits, sejak 2004 dapat mobil dinas. Panther Touring. Karena mas Ayik bekerja di perusahaan swasta, mobil dinasnya tidak berplat merah, tapi hitam.

Mobil dinas itu bukan mobil baru. Tapi mobil itu terawat. Mas Ayik juga merawatnya dengan baik, seperti mobil milik sendiri. Memang BBM dan biaya perawatan dari perusahaan, namun meskipun begitu, mas Ayik sesekali tidak eman mengeluarkan dana pribadi untuk perawatan-perawatan kecil yang dia merasa cukup pakai dana pribadinya.

Untuk masalah sifat 'melu handarbeni', mas Ayik adalah tauladan saya. Waktu kami masih belum punya rumah sendiri, ketika baru saja menikah, kami mengontrak rumah. Rumah itu masih baru, belum ada plafonnya, dindingnya belum diplamir apalagi dicat, kamar mandinya juga masih semipermanen.

Dengan menyisihkan sedikit demi sedikit gajinya (waktu itu saya belum bekerja selain jadi koasisten di jurusan PKK), mas Ayik membeli plamir dan cat. Dia melakukan sendiri, saya membantunya sebisa saya, me-mlamir dan mengecat rumah kontrakan kami, setiap hari sepulang kerja. Dia juga minta izin pada pemilik rumah untuk memasang plafon. Tentu saja pemilik rumah senang-senang saja. Mas Ayik tidak minta pemilik rumah untuk 'nguruni'. Prinsipnya, meski pun rumah kontrakan, tidak milik sendiri, toh kami sekeluarga yang menempati. Kalau tidak nyaman, kami juga yang merasakan. Kalau nyaman, kami juga yang menikmati. Jadi rawatlah rumah seperti milik sendiri.

Seperti itu jugalah sikap mas Ayik pada mobil dinasnya. Sampai suatu ketika, mas Ayik ingin mobil dinas itu jadi miliknya, saking sayangnya. Dia sampaikan keinginannya itu pada manager perusahaan, bahwa dia ingin membeli mobil dinas itu. Ternyata tidak dikabulkan. Sebagai gantinya, mas Ayik malah diberi mobil baru. Tapi mas Ayik harus membayar sebesar 40 persen dari harga mobil itu, yang 60 persen dibayar perusahaan. Ya tentu saja mas Ayik mau-mau saja. Mobil pun dikirim ke rumah. Mas Ayik memilih Swift saja, yang terjangkau dengan uangnya, dan supaya ada mobil kecil. Sementara ini, yang kami miliki adalah mobil keluarga.

***

Sebelum saya memperoleh mobil dinas, saya tentu saja menggunakan mobil saya pribadi. Unesa menyediakan driver. BBM saya atasi sendiri. Saya, waktu itu hanya meminta ke pak PR 2, supaya saya diberi driver. Kondisi jalan yang macetnya luar biasa bila pergi pulang dari rumah ke PPG dan sebaliknya, membuat saya suka stres di jalan.

Bila ada keperluan ke bank, ke jasa pengiriman, menjemput tamu, dan sebagainya, PPG selalu pakai mobil pribadi saya. Kadang-kadang, kalau saya sedang tidak di PPG, mobil bu Yanti atau pak Sulaiman, juga digunakan untuk berbagai keperluan. 

Belakangan ini, para staf, sering menanyakan, kapan PPG dapat mobil dinas. Memang volume kegiatan di PPG semakin lama semakin besar, sehingga keberadaan mobil operasional sangat penting. Teman-teman staf kadang merasa sungkan kalau harus pakai mobil pribadi kami untuk berbagai keperluan itu. Makanya mereka menanyakan tentang mobil dinas untuk PPG.

*** 
Mobil dinas itu, inginnya saya parkir di kantor, di PPG sana. Atau di parkiran di kampus Ketintang.  
"Gimana kalau kamu setiap pagi ambil mobil di kantor, Nang, baru jemput saya?" Saya meminta pertimbangan Anang,
"Ibu, apa tidak riskan?"
"Maksudnya?"
"Rumah saya di Driyorejo. Kalau harus ambil di PPG atau di Ketintang, apa tidak riskan telat, ibu? Di Wiyung dan Gunungsari itu macetnya luar biasa. Belum lagi kalau ibu ngajar jam tujuh pagi..."
"Jadi gimana sebaiknya?" 
"Seperti biasa saja, ibu, saya langsung ke rumah ibu, parkir motor di rumah ibu.."
"Maksudmu, mobil dinas diparkir di rumah saya?"
"Iya, ibu..."
"Alamakkkk..."
Anang tertawa. 

Kalau boleh memilih, sebenarnya saya lebih senang mobil dinas itu tidak parkir di rumah saya. Rumah saya yang kecil mungil dan sangat sederhana, sepertinya tidak cocok menjadi tempat parkir mobil berplat merah. Apa lagi kalau mempertimbangkan segi kenyamanan jiwa dan raga, mobil berplat hitam tentulah lebih nyaman.

Tapi tentu saja saya harus mempertimbangkan banyak hal. PPG membutuhkan mobil operasional, dan driver di PPG adalah Anang. Saya membutuhkan Anang untuk mengantar saya mondar-mandir, dan sangat tidak praktis kalau dia harus mengambil mobil ke kampus dulu, baru menjemput saya di rumah. 

Tapi saya sudah woro-woro ke para staf, siapa pun yang memerlukan mobil itu untuk keperluan dinas, mobil bisa digunakan, dan tidak perlu sungkan-sungkan. Kalau kemarin ada rasa sungkan karena berurusan dengan mobil pribadi, sejak saat ini, rasa sungkan itu tidak perlu lagi. Para staf nampaknya ikut bersuka ria menyambut mobil dinas itu.....

Surabaya, 4 Maret 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 19 Februari 2014

Himapala: Aksi Kecil untuk Kemanusiaan

Selasa, 18 Februari 2014, bertempat di Gedung Pusat Jaminan Mutu (PJM) Unesa, telah dilaksanakan kegiatan donor darah. Pelaksana kegiatan adalah Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam (Himapala) Unesa. Donor Darah ini merupakan rangkaian kegiatan untuk menandai Ulang Tahun Himapala yang ke 36.

Hadir pada upacara pembukaan antara lain Pembantu Rektor III, Prof. Dr. Warsono, dan Pembina Himapala, Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd, serta perwakilan dari Palang Merah Indonesia (PMI) Surabaya. Dalam sambutannya, Prof. Warsono menyampaikan apresiasinya pada Himapala karena kegiatan donor darah merupakan kegiatan yang sangat mulia. Darah adalah kehidupan, dan sebagaimana slogan PMI, setetes darah kita  sangat besar artinya bagi jiwa-jiwa yang membutuhkan. 

Ibu Vera, wakil dari PMI, menyampaikan rasa terima kasihnya yang tak terhingga atas kegiatan donor darah tersebut. Beliau juga mengemukakan harapannya, agar kegiatan seperti ini tidak hanya dalam rangka menandai ulang tahun Himapala, tapi bisa dilakukan secara periodik, misalnya tiga bulan sekali, di bawah koordinasi Himapala. 

Perlu disampaikan, donor darah hari ini memang bukanlah kegiatan pertama. Himapala sudah melaksanakan kegiatan tersebut belasan kali, dan animo masyarakat kampus untuk menyemarakkan kegiatan sosial ini cukup membanggakan. Dosen, karyawan dan mahasiswa berbondong-bondong untuk mendonorkan darahnya. Bahkan sebelum pembukaan acara dimulai, kru PMI telah melayani para pendonor tersebut. Ke depan, Prof. Warsono berharap, kegiatan donor darah bisa disosialisasikan lebih luas, sehingga masyarakat di luar kampus juga mengetahuinya, dan mereka akan berbondong-bondong datang untuk mendonorkan darahnya. Selain untuk membangun kepedulian, juga sekaligus sebagai wahana untuk lebih mendekatkan Unesa pada masyarakat. 

Selanjutnya pada hari Rabu, 19 Februari 2014 (siang ini), Himapala juga memberangkatkan sejumlah tim relawan yang akan membawa bantuan bagi para pengungsi korban erupsi Gunung Kelud. Bantuan diperoleh dari berbagai pihak, antara lain dari PPPG, BEM Jurusan Teknik Elektro, BEM Universitas, UKKI, dan dari para donatur perseorangan, yang berhasil dihimpun oleh anggota Himapala. 

Upacara pemberangkatan dihelat di halaman Rektorat, dihadiri Rektor (Prof. Dr. Muchlas Samani), PR I (Prof. Dr. Kisyani), PR III, dan Pembina Himapala. Selain itu juga dihadiri oleh delegasi dari BEM-U, BEM-Teknik Elektro, dan UKKI. 

Selain tim yang akan berangkat tersebut, beberapa anggota Himapala sudah bergabung dengan para relawan yang lain di tempat-tempat pengungsian, sejak hari kedua Kelud meletus. Mereka juga yang memberikan informasi kepada para relawan yang akan berangkat, di titik-titik mana sebaiknya bantuan disalurkan. 

Dalam kondisi di mana rasa kepedulian pada lingkungan, baik lingkungan fisik mau pun sosial, yang semakin menipis di kalangan anak muda, kegiatan donor darah dan pemberian bantuan bagi para korban bencana alam, menjadi salah satu tumpuan harapan untuk terus memercikkan rasa kepedulian itu. Meskipun mungkin merupakan aksi yang kecil, namun hal tersebut sangat berarti untuk menempa kepekaan dan kepedulian mereka, sekaligus demi sebuah misi kemanusiaan. 

Surabaya, 19 Februari 2014

Wassalam,
LN

HIMAPALA UNESA, AJANG PENGEMBANGAN KARAKTER

Oleh Luthfiyah Nurlaela

Sejarah Himapala

Istilah pecinta alam, di luar negeri disebut aktivis lingkungan, merujuk pada sekelompok anak muda yang suka berpetualang, naik gunung, lintas hutan, dan beberapa aktivitas di alam yang lain, termasuk di dalamnya adalah aktivitas yang mencerminkan adanya kepedulian pada kelestarian alam. Penghijauan, pengelolaan sampah, konservasi alam, dan sebagainya, adalah sebagian kecil kegiatan kepecintaalaman.

Konsep pecinta alam dicetuskan oleh Soe Hok Gie pada tahun 1964. Gie sendiri meninggal pada tahun 1969 karena menghirup gas beracun Gunung Semeru. Pada awalnya, gerakan pecinta alam merupakan gerakan murni perlawanan sipil atas invansi militer, dengan doktrin militerisme-patriotik. "Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi (kemunafikan) dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung" (Soe Hok Gie - Catatan Seorang Demonstran). 

Era pecinta alam sesudah meninggalnya Soe Hok Gie ditandai dengan adanya ekspedisi besar-besaran. Pada era 1969 - 1974 merupakan era antara masa kematian Gie dan munculnya Kode Etik Pecinta Alam. Tatanan baru dalam dunia kepecinta-alaman muncul dengan disahkannya Kode Etik Pecinta Alam pada Gladian IV di Ujungpandang, 24 Januari 1974. Pada saat itu di Barat juga sudah dikenal 'Etika Lingkungan Hidup Universal' yang disepakati pada 1972. Era ini menandakan adanya suatu babak monumental dalam aktivitas kepecinta alaman Indonesia dan perhatian pada lingkungan hidup di negara-negara industri. Lima tahun setelah kematian Gie, telah muncul suatu kesadaran untuk menjadikan pecinta alam sebagai aktivitas yang teo-filosofis, beretika, cerdas, manusiawi/humanis, pro-ekologis, patriotisme dan antirasial (Anonim, 2012). 

Dalam 'Etika Lingkungan Hidup Universal' ada tiga hal yang merupakan prinsip dasar dalam kegiatan petualangan yaitu: “Take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill noting but time”.  Sejalan dengan hal tersebut, dalam Kode Etik Pecinta Alam Indonesia disebutkan: 1) Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa; dan 2) Pecinta alam Indonesia sadar bahwa pecinta alam sebagai makhluk yang mencintai alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam (Himapala) Universitas Negeri Surabaya (Unesa), sebagai salah satu dari puluhan, bahkan ratusan perhimpunan pecinta alam di tanah air, memiliki sejarahnya sendiri, meskipun tidak terlepas dari sejarah pecinta alam di Indonesia. Oleh karena adanya kecintaan terhadap alam yang terwujud dalam berbagai kegiatan di tengah alam, sekelompok mahasiswa IKIP Surabaya (sekarang Unesa), pada tanggal 13 Januari 1978 mendirikan sebuah organisasi yang bernama Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam Keluarga Mahasiswa IKIP Surabaya (disingkat Himapala KM IKIP Surabaya). 

Jauh sebelum Himapala berdiri, embrio Himapala sudah ada saat bendera Dewan Mahasiswa (DEMA) masih tegar berdiri di bumi kampus IKIP Surabaya. Tepatnya pada penghujung 1977, sekelompok Mahasiswa IKIP yang mempunyai kesamaan hobi mendaki gunung, mempunyai ide membentuk suatu wadah organisasi yang dapat menampung segala kegiatan di alam bebas. Ide tersebut diajukan kepada DEMA untuk mendapat perlindungan dan nasehat untuk pembentukan selanjutnya.

Sebagai tindak lanjut dari usulan tersebut, dibentuklah sebuah tim yang terdiri dari 12 orang untuk menyiapkan pembentukan organisasi. Tim tersebut adalah Heru Nooryanto, Fatah Hadi Susanto, Ram Surya Wahono, Bambang, Arethank, Wahyu Choirot, Ahli Budi, M. Tis Amin, Hadi Purnomo, Mulyono serta Sigit Satata. Setelah tim terbentuk, mulailah tim bekerja untuk membuat proposal dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).

Setelah melalui proses yang agak panjang dan melelahkan, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1978, AD/ART selesai dan ditandatangani oleh tim 12 tersebut. Dalam AD/ART tercantum bahwa nama organisasi adalah Himapala KM IKIP Surabaya. Namun sebelum nama ini ditetapkan, organisasi tersebut diusulkan bernama GMPA (Gerakan Mahasiswa Pencinta Alam). Karena pada saat itu mahasiswa dihadapkan pada problema kelesuan politik, dikhawatirkan nama tersebut berbau borjuis yang nantinya ditafsirkan sebagai organisasi politik. Walaupun AD/ART sudah jadi, Himapala belum bisa dikatakan berdiri karena pada saat itu proposal belum ditandatangani ketua DEMA sebagai pelindung.

Peristiwa yang menandai berdirinya Himapala adalah Pataka, yaitu berjalan dari ketinggian 0 meter di atas laut (mdpl) sampai ketinggian 3129 mdpl di puncak Gunung Welirang. Pelarungan bendera Pataka dilaksanakan pada tanggal 10 Januari 1978. Setelah melalui upacara dengan khidmat sekitar pukul 24.00 WIB, tim mulai berjalan dari Pantai Kenjeran menuju puncak gunung Welirang. Tepat pukul 13.00 WIB tanggal 13 Januari 1978, berkibarlah bendera pataka di puncak Gunung Welirang diiringi lagu syukur yang menandai lahir dan berdirinya Himapala. Pada akhir pelaksanaan Pataka tersebut proposal ditandatangani oleh ketua DEMA Heru Noorjanto, dan lengkaplah kelahiran bayi Himapala di bumi kampus IKIP Surabaya.


Aktivitas Himapala

Saat terbentuk, Himapala masih berupa badan semi otonom di bawah naungan DEMA IKIP Surabaya. Setelah periode DEMA dihapus dari peredaran kampus karena permasalahan politik yang bergejolak, yang diwarnai dengan maraknya aksi mahasiswa turun ke jalan menjelang Sidang Umum MPR pada Maret 1978, maka kehidupan diperbaharui dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tanggal 19 April 1978 Nomor 0156/U/91778 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), serta tanggal 24 Februari 1978 No. 037/U/1979 tentang bentuk susunan organisasi kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi. Berdasar SK Mendikbud tanggal 24 September 1980 Nomor 0230/U/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) universitas dan institut negeri yang disebut periode NKK/BKK, maka Himapala merupakan badan otonom yang bertanggung jawab langsung kepada Rektor. Lingkup kegiatan adalah menampung seluruh kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas kepencinta alaman.

Aktivitas Himapala tertuang dalam program kerja tahunan, yang terbagi menjadi program kerja rutin dan insidental. Program kerja rutin antara lain adalah: 1) Latihan Keterampilan dan Kepemimpinan Himapala (LKKH) dalam rangka perekrutan anggota baru dan pengembangan keterampilan dan kepemimpinan anggota baru, 2) Musyawarah Anggota dalam rangka melakukan reformasi Badan Pengurus Harian (BPH) Himapala, 3) Program Unggulan, misalnya Program Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), 4) Ekspedisi, dan 5) Silaturahim Himapala dalam bentuk reuni atau halal bi halal. Sedangkan program insidentil, misalnya berupa: 1) Peringatan Hari Bumi dan Hari Lingkungan, 2) Pengelolaan sampah, dan 3) Penggalangan bantuan untuk bencana.

Tidak hanya berkecimpung di dunia outdoor sport, himapala unesa juga mengambil bagian di bidang sosial salah satunya dengan kegiatan Pekan Pengabdian Masyarakat (PPM). PPM adalah program unggulan Himapala Unesa yang dilangsungkan hampir setiap tahun. Kegiatan tersebut bertujuan agar para anggota Himapala mempunyai rasa tanggung jawab dan jiwa pengabdian, serta dapat berperan aktif di masyarakat. Tanggal 24 Juni 2010 yang lalu, misalnya, dalam rangka PPM, Himapala bekerja sama dengan BSMI Surabaya dan YDSF (Yayasan Dana Sosial Al Falah) memberikan pelayanan medis dan penyerahan paket susu bagi warga Desa Douro Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Beberapa kegiatan yang lain dalam rangka PPM ini adalah:  membantu mengajar di TPQ; membimbing kelompok belajar untuk siswa SD; pelatihan seni tari, baca pusi dan tartil; outbond dan flying fox, electric fun, puzzle, spider wrap; dan berbagai lomba untuk siswa SD dan pemuda. Untuk ibu-ibu PKK diberikan pelatihan daur ulang sampah plastik yang pematerinya langsung dari dosen biologi Unesa, tentu saja dibantu oleh para anggota Himapala sendiri; papanisasi, pembibitan lele, pelatihan servis dan servis gratis dari UPM Unesa.

Pada kesempatan lain, Himapala mengajak seluruh sivitas akademika dan masyarakat umum untuk peduli pada lingkungan. Dalam rangka mengurangi efek pemanasan global, maka bertepatan dengan Hari Bumi, Senin 25 April 2011 yang lalu, Himapala mencanangkan agenda yang bertema “Satu Hari Tanpa Asap.” Kegiatan semacam itu terus menjadi kegiatan setiap tahunnya.

Tentu saja banyak aktivitas lain yang telah mewarnai Himapala sejak awal berdirinya. Beberapa aktivitas sekaligus prestasi tersebut antara lain adalah: 1) Ekspedisi pulau tidak berpenduduk di Nusa Barung, Long March Rute Anyer- Panarukan (1982); 2) Penelitian Gua II (Juara II dalam lomba karya tulis ilmiah Nasional) (1986); 3) Tour de East java Mountain (Welirang, Arjuno, Semeru, Bromo, Ijen dan Raung) (1987); 4) Pemandu pemanjat dunia Prancis (Patrick Berhault) di Tebing Lingga (1988); 5) Penelitian Goa Pongangan Gresik (1988); 6) Pendakian Gunung bersalju Cartenz Pyramide Irian Jaya (1989); 7) Penelitian Pengangkatan Air Gua Suling Pacitan (1992);  8) Lomba peranserta masyarakat dalam KSDA dan lingkungan Hidup Tingkat Nasional (Juara I) (1993); 9) Lomba perahu karet (HUT KODIKAL) (Juara) (1995); 10) lomba Arung Brantas Kediri s/d Surabaya HARDIKAL (Juara I) (1997); 11) Panitia Gladian nasional XII Pencinta Alam Indonesia (2001); 12) Penghijauan kaki gunung Penaggungan (2003); 13) Pusat informasi Daerah (PID) Mapala Jatim periode 2005-2006; 14) Triangle Expedition (ekspedisi 3 divisi; caving, KSDAH, rock climbing); dan 15) Ekspedisi Malang selatan (Panjat Tebing dan Susur Gua).

Pada tahun 2013 yang lalu, Himapala juga mengukir prestasi nasional maupun internasional, khususnya dalam bidang arung jeram. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan, yaitu Ekpedisi Lawe Alas di Aceh, merupakan salah satu kegiatan unggulan, yang sekaligus sebagai persiapan untuk kegiatan ekspedisi Rafting di New Zealand menjelang akhir tahun 2014 ini. Rencananya, ekspedisi ini akan menjadi kado ulang tahun Unesa yang ke-50.  


Sarat dengan karakter

Sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Unesa, Himapala merupakan ajang untuk mengembangkan karakter mahasiswa. Melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, anggota Himapala tidak hanya dituntut kuat secara fisik, namun yang lebih penting adalah kuat mentalnya. Selain itu, kemampuan untuk memecahkan masalah secara mandiri sekaligus bekerja sama, kemampuan untuk bisa memimpin diri sendiri sekaligus memimpin orang lain, sikap peduli dan setia kawan, serta keberanian untuk berkompetisi sekaligus berkolaborasi, merupakan nilai-nilai karakter yang senantiasa terus dikembangkan. 

Nilai-nilai karakter tersebut sebenarnya telah tertuang dalam lambang Himapala. Nilai-nilai karakter yang diharapkan akan mewarnai setiap anggotanya. 
Makna dari lambang tesebut adalah: (1) Unsur kepencintaalaman digambarkan dengan mata angin berwarna merah putih yang berkesan tajam dan kaku, menunjukkan arah dan tujuan Himapala yang dijiwai oleh keberanian dan kebenaran; 2) Unsur Unesa digambarkan dengan sayap berkembang yang merupakan unsur dominan dari lambang Unesa, berwarna kuning emas dan berkesan luwes karena lekukan-lekukan sayapnya, berjumlah sembilan dari tiap sisinya yang terdiri empat sayap besar dan lima sayap kecil, yang mengandung makna berkembang dengan semangat proklamasi tahun 1945 dan berdasarkan keluhuran budi, yang merupakan arti dari warna kuning; 3) Perpaduan antara kedua unsur tersebut saling berkait dengan erat sehingga kesan tajam dan kaku dari mata terpadu dengan sayap terkembang yang berkesan lembut dan luwes, menjadi paduan yang harmonis. Dari perpaduan tersebut bisa diartikan: dengan dilandasi keluhuran budi, semangat proklamasi dan dijiwai oleh keberanian dan kebenaran, kita kembangkan Himapala mencapai tujuan.

Selanjutnya permaknaan dari mata angin sebagai tujuan Himapala adalah sebagai berikut: Secara harfiah, mata angin adalah petunjuk arah dan telah diketahui bersama bahwa arah ke atas menunjukkan arah utara, arah ke bawah menunjukkan arah selatan, sedangkan arah ke kanan untuk arah timur, ke kiri untuk arah barat. Namun dalam lambang ini maknanya adalah sebagai berikut: 1) Arah ke atas mengandung makna: meningkatkan kualitas anggota dalam rangka mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan menjunjung tinggi almamater; 2) Arah ke samping kiri dan kanan mengandung makna: mengembangkan pribadi, potensi, kreativitas, keilmuan dan budaya mahasiswa agar berperan aktif dan positif demi darma baktinya pada masyarakat dan negara; mengembangkan dan meningkatkan persatuan dan kesatuan serta rasa kekeluargaan terhadap sesama pencinta alam khususnya, dan masyarakat pada umumnya; 3) Arah ke bawah mengandunga makna: melestarikan alam semesta dan memupuk cinta tanah air.

Berdasarkan gambaran tentang aktivitas Himapala serta makna lambang Himapala, jelaslah bahwa Himapala Unesa memberi perhatian yang penting pada pengembangan karakter, sejak awal berdirinya. Hal tersebut juga tergambar pada Kode Etik Himapala, meliputi: 1) Bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa; 2) Menjunjung tinggi nama almamater; 3) Mempunyai rasa solidaritas terhadap sesama pecinta alam; 4) menghormati adat-istiadat setempat; dan 5) Mencintai alam semesta.


Dihimpun dari berbagai bacaan:

Anonim. 2012. Sejarah Singkat Pecinta Alam Indonesia.http://www.belantaraindonesia.org/2012/01/sejarah-singkat-pecinta-alam-indonesia.html

Anonim. 2012. Sejarah Gladian Nasional pecinta Alam Indonesia.http://uplmpa.unsoed.ac.id/profile/kode-etik-pencinta-alam/sejarah-gladian-nasional-pecinta-alam-indonesia

Anonim. 2010. Baksos Himapala Unesa BSMI Surabaya hingga ke Jombang.http://bsmisurabaya.or.id/baksos-himapala-unesa-bsmi-surabaya-hingga-ke-jombang

himapala.unesa@rocketmail.com

Tim Penyusun. 2011. Materi LKKH 2011. Tidak diterbitkan.

Tim Penyusun. 2011. Laporan Pertanggungjawaban Badan Pengurus Harian Periode 2011 Himapala Unesa. Tidak diterbitkan. 

Catatan:
Tulisan ini sedianya akan dimuat dalam sebuah buku antologi "pengembangan karakter melalui unit kegiatan kemahasiswaan". Buku yang seharusnya terbit pada 2012 oleh Unesa. Tetapi oleh karena minimnya artikel, maka buku tersebut nampaknya tidak jadi diterbitkan.  

Senin, 27 Januari 2014

Workshop Pengembangan Kurikulum PPG Prajabatan

PPG SM-3T angkatan kedua akan segera dilaksanakan di  LPTK penyelenggara yang ditunjuk oleh Dikti. Dalam rangka penyelenggaraan tersebut, berbagai persiapan telah dan sedang dilakukan oleh Dikti dan Tim MBMI (Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia) bentukan Dikti 

Sesuai agenda yang sudah ditetapkan, calon peserta PPG angkatan kedua dijadwalkan melakukan registrasi secara online mulai tanggal 15 Desember 2013 sampai dengan 15 Januari 2014. Tahap selanjutnya yaitu lapor diri ke LPTK. Kegiatan ini dijadwalkan pada 24-26 Februari 2014. Diteruskan dengan Program Orientasi Akademik, pada 26 Februari sampai dengan 2 Maret 2014. Program PPG sendiri dilaksanakan mulai 3 Maret 2014.

Sebagaimana Peserta PPG SM-3T angkatan pertama, peserta PPG SM-3T angkatan kedua ini adalah para sarjana pendidikan yang telah melaksanakan pengabdian sebagai guru di daerah 3T selama setahun. Sebagai penghargaan atas pengabdian mereka, para peserta tersebut  dapat mengikuti program PPG berasrama berbeasiswa.

Dalam rangka mempersiapkan penyelenggaraan PPG angkatan kedua inilah, pada saat ini (27-30 Januari 2013), di Hotel Acacia Jakarta, sedang dilaksanakan workshop pengembangan kurikulum prajabatan. Workshop yang diselenggarakan oleh Direktorat Diktendik Dikti ini mengundang Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penjaminan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidikan (Badan PSDM dan PMPTK), Prof. Dr. Syawal Gultom, M. Pd, sebagai narasumber utama. Narasumber yang lain adalah Dr. Ridwan Abdul Sani, M. Si dan Prof. Dr. Bornok Sinaga. Keduanya dari Unimed. Selain itu, workshop juga akan difasilitasi oleh para instruktur nasional, yang akan memandu para peserta untuk mengembangkan Kurikulum PPG sampai kepada penyusunan perangkat pembelajarannya.

Peserta workshop adalah perwakilan dosen dari 15 program studi penyelenggara PPG SM-3T di semua LPTK. Selain itu, Pembantu Dekan I/ketua penyelenggara PPG SMK Kolaboratif juga diundang.  Jumlah peserta workshop seluruhnya 45 orang.

Dalam sambutannya, Direktur Diktendik Dikti, Prof. Dr. Supriadi Rustad, menyampaikan bahwa revisi kurikulum PPG harus dilakukan, mengingat kurikulum sekolah yang digunakan pada saat ini adalah Kurikulum 2013. Roh Kurikulum 2013 tersebut harus mewarnai Kurikulum PPG.

Prof. Supriadi Rustad juga mengemukakan, peserta PPG SM-3T merupakan agen yang sangat penting dan strategis dalam mempercepat implementasi Kurikulum 2013. Oleh sebab itu, dosen pengajar program PPG harus paham lebih dulu bagaimana mengintegrasikannya dalam Kurikulum PPG, termasuk bagaimana pengembangan perangkat pembelajarannya. 

Beberapa hal yang disampaikan oleh Prof. Syawal Gultom adalah berbagai fakta yang mendasari pentingnya implementasi Kurikulum 2013, kecenderungan perubahan di masa depan yang harus diantisipasi, proses pembelajaran dan evaluasi, strategi implementasi, serta format pelaporan proses dan hasil belajar siswa. Selain itu, Prof. Syawal juga menekankan bahwa sebaik apa pun kurikulum, bila gurunya tidak kompeten, maka kurikulum itu tidak ada gunanya. Hal ini dikarenakan kurikulum itu sesungguhnya adalah guru itu sendiri. Fakta menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan di negara-negara maju seperti Finlandia dan Singapura bukanlah pada kurikulum sekolah, tapi justeru pada kompetensi guru. Guru yang inspiratif, bisa membawakan pembelajaran melebihi dari kurikulum yang tertulis.

Informasi penting lain yang disampaikan oleh Prof. Syawal adalah bahwa sertifikasi melalui PLPG akan berakhir pada tahun 2014. Setelah itu, sertifikasi akan dilaksanakan melalui PPG Dalam Jabatan. 

Sebuah kata kunci yang juga perlu dicatat adalah: tugas guru bukanlah mengejar-ngejar pikiran anak, tapi menyentuh hatinya. Pengetahuan amat mudah dibentuk, tapi membentuk sikap memerlukan waktu yang sangat lama. Bila sikap telah dimiliki, maka pengetahuan dan keterampilan dapat dibentuk oleh sikap tersebut. Apa pun yang menjadi tindakan orang, tindakan itu akan senantiasa dibungkus dengan sikap.

Oleh sebab itu, sekali lagi, guru harus menginspirasi. Guru yang menginspirasi akan membawa anak didik untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu kebermanfaatan. Bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat luas. Bermanfaat bagi lingkungan, baik lingkungan alam maupun sosial. Inilah hakekat tujuan pendidikan yang sebenarnya. 


Hotel Acacia Jakarta, 27 Januari 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 01 Januari 2014

Menyambut Tahun Baru 2014

Tahun baru ini, kami memutuskan tidak ke mana-mana. Tentu saja setelah menimbang-nimbang dari beberapa alternatif agenda. Antara lain: ke Tuban, bawa tenda, nge-camp di pantai, di hutan mangrove. Di hutan mangrove itu, tentu saja, penuh dengan tanaman mangrove. Menghampar sekitar tiga kilometer, mulai dari sisi terminal baru ke arah barat. Di hutan mangrove itu ada camping ground-nya, ada juga penginapan dan tentu saja para penjual makanan dan pernak-pernik khas wisata pantai. Rumah kami, di Desa Jenu, tidak terlalu jauh dari hutan mangrove itu, hanya sekitar tiga kilometer. Kami membayangkan nge-camp di hutan itu, bersama para keponakan, sambil bakar-bakar jagung, ketela, sosis, bakso, dan makan mie instan. Menikmati malam tahun baru. Tentu mengasyikkan, namun untuk saat ini, rasanya belum memungkinkan.  

Agenda kedua, ke Ponorogo, Menemani bapak dan ibu. Namun karena ada adik-adik yang juga berkeinginan ke Ponorogo, akhirnya adik-adiklah yang menemani bapak dan ibu. Kami cukup meminjamkan mobil dan menyiapkan bensinnya saja. 

Agenda ketiga, di rumah saja. Kebetulan saya kemarin baru saja dari dokter. Saya kena radang tenggorokan, tiga hari menahan sakit di tenggorokan dan rasa njarem di leher, akhirnya harus menyerah pada suntik dan obat dokter.  Sebelumnya saya coba mengobati sendiri dengan obat herbal yang biasanya cukup manjur. Namun mungkin selama sakit itu aktivitas saya cukup tinggi, maka sakitnya nggak hilang-hilang. Dengan obat dan antibiotik dari dokter, sakitnya berangsur berkurang, meski setelah minum obat, rasa kantuk selalu menyerang nyaris tanpa bisa ditahan. Artinya, saya dipaksa istirahat. Ya sudah, sejak kemarin, saya menikmati tidur sore, maksudnya tidur malam tapi sebelum pukul 21.00. Biasanya saya tidur menjelang tengah malam atau bahkan lewat tengah malam.

Kami memilih alternatif ketiga. Di rumah saja. Pagi tadi adik yang tinggal di Gedangan, SMS dan mau bergabung di Karah. Suaminya kerja di Laos. Melewati malam tahun baru hanya berdua dengan anak semata wayangnya, di lingkungan perumahan yang sepi karena para penghuninya banyak yang keluar kota, membuat dia merasa kurang nyaman. Maka sejak sore tadi, dia sudah boyongan ke rumah kami, di Karah.

Hari ini saya memasak seperti biasa, hanya jumlahnya saja yang lebih banyak. Belanja juga di tukang sayur langganan saja. Seadanya yang dibawa tukang sayur. Ayam kampung dan kepiting. Ayam kampung saya masak opor, kepiting saya masak kare, sudah ada kering tempe bikinan ibu, dan sambal terasi. Juga krupuk udang. Selebihnya buah-buahan: salak, buah naga, pepaya, apel, pear. Buah-buahan itu sebagian besar datang sendiri, tidak beli. Juga pisang rebus. Oya, juga rengginang lorjuk, kacang bawang dan emping goreng. Full asam urat. Hehe.

Selepas maghrib, mas Ayik pasang tenda di depan rumah. Lengkap dengan kursi-kursi santai. Begitu tenda siap, kasur dan bantal dimasukkan, keponakan kami, Ichiro, langsung menyerbu masuk tenda bersama mamanya, tidur. Jam 20.00 sudah sepi. Arga sendiri sudah berangkat keluar rumah sejak lepas maghrib tadi, ada 'tanggapan' nge-band. 

Saya dan mas Ayik bersiap-siap. Mengeluarkan sepeda, helm, senter dan lampu sepeda, dan perbekalan.  Tepat pukul 21.00, kami keluar rumah, tentu saja setelah pamit pada adik dan berpesan padanya untuk pindah masuk ke dalam rumah kalau sudah bosan di tenda. 

Bersepeda menuju Bungkul. Apa lagi kalau tidak demi car free night. Sejak keluar ke jalan besar, kami langsung terjebak kemacetan. Sebenarnya saya sendiri agak enggan ke Bungkul, tidak nyaman, karena pasti macet. Tapi mas Ayik mengajak ke sana, ya sudah, mengikuti ritme suami saja.

Di Taman Bungkul, manusia tumplek bleg, tua muda laki perempuan bahkan bayi-bayi pun mememuhi jalanan. Pesepeda tidak banyak, yang banyak manusianya. Ada banyak panggung, ada banyak pertunjukkan, terompet bersahut-sahutan, ingar bingar. Sama sekali tidak nyaman. Ini hiburan yang justeru bikin stres. Sebenarnya seperti itulah memang yang sudah saya bayangkan kondisi Bungkul pada malam ini. Tapi apa boleh buat, setidaknya sudah tahu suasananya seperti apa.

Rencana menikmati Taman Bungkul barang sebentar, kami urungkan. Kami langsung ambil jalan pulang, menuju arah kampus, lewat jalan Kutai, tembus Gunungsari, lanjut Ketintang, masuk kampus. Sejak sebelum masuk pintu gerbang, beberapa anggota Menwa sudah menyapa, begitu juga sampai di pos satpam. Ternyata banyak juga yang mengenal saya, sehingga tidak perlu bernego dengan satpam untuk dibukakan palang pintu. Ya, malam ini keamanan kampus dikendalikan super ketat. Hanya orang-orang yang jelas-jelas saja yang boleh masuk kampus. Yang kurang jelas, meski bilang mau ke himapala atau ke humas, tidak diperbolehkan. Alasannya, tidak ada surat pemberitahuan kalau malam ini di kedua sekretariat itu ada acara. Ya, memang. Namanya juga acara spontanitas saja, jadi nggak pakai surat pemberitahuan.

Di Humas, teman-teman sedang 'cethik geni', belum ada bakar-bakar. Padahal tadi mas Rohman, sahabat kami yang juga tim Humas Unesa, SMS kalau sedang siap-siap untuk bakar jagung. Saya kira jagungnya sudah dibakar dan saya tinggal melahapnya...hehe, maunya...

Karena di Humas masih siap-siap, kami bergeser ke sekretariat Himapala. Lumayan ramai. Mereka menggelar tikar dan karpet. Memasang TV besar di depannya. Masak penyetan. Ada acara game-game yang bikin ger-geran. Seru. 

Sekitar sepuluh menit menjelang tengah malam, kami pamit. Geser ke Humas lagi, karena mas Rohman beberapa kali SMS minta kami mampir ke sana. Teman-teman Humas sedang berkumpul di busem, siap-siap menyalakan kembang api. Ada sekitar dua puluh-an mereka, laki-perempuan, sebagian besar adalah para reporter. 

Detik-detik pergantian tahun pun tiba. Suara menggelegar ada di mana-mana, warna terang benderang memercik-mercik dan bersemburat di atas. Di mana-mana suara berdebum bersahut-sahutan. Saya seperti sedang dalam medan perang dan dikepung dari segala penjuru. Pada dasarnya saya tidak suka suara petasan dan sejenisnya. Tapi kilatan-kilatan kembang api di angkasa itu begitu indahnya, dan memaksa saya untuk terus menikmatinya.

Selamat datang 2014.
Semoga semakin berkah untuk kita semua, untuk negara dan bangsa. Amin YRA.


Surabaya, 1 Januari 2014. 01.10 WIB.

Wassalam,
LN

Selasa, 17 Desember 2013

Guru Besar 'Tertua' Unesa: Prof. Dr. Poedjiastoeti, M.Si

Wanita itu tidak lagi muda. Usianya 66 tahun. Saat ini, dia sedang berdiri di podium. Membacakan makalahnya yang berjudul 'Upaya Menyajikan Pembelajaran Kimia untuk Siswa SMALB Tunarungu'. Suaranya lantang, tegas, penuh percaya diri. 

"Perkenankan saya pada kesempatan ini, di usia 66 tahun, menyampaikan pidato pengukuhan ini." Begitu dia mengawali pidatonya. Ya, wanita itu, hari ini dikukuhkan sebagai guru besar Unesa. Bersama dengan dua guru besar yang lain, Prof. Dr. Endang Susantini (FMIPA) dan Prof. Dr. Ali Maksum (FIK). 

Apa yang menjadikan wanita itu begitu istimewa di mata saya adalah ketekunan dan kesabarannya. Perjalanan panjang telah ditempuhnya untuk sampai pada tahap ini, dikukuhkan sebagai guru besar, jabatan tetinggi dalam bidang akademik. Jabatan itu diperolehnya pada tanggal 1 Juni 2011 atau tepatnya pada usia 63 tahun 6 bulan 6 hari. Itu merupakan usia tertua dalam memperoleh jabatan guru besar di antara guru besar di Unesa. 

Namun tidak lama setelah diperolehnya jabatan itu, dia harus menerima kenyataan, bahwa masa kerjanya sudah menjelang berakhir. Proses pengajuan pensiun telah diluncurkan oleh Senat Unesa ke Pusat. Artinya, jabatan sebagai guru besar itu hanya sekejap saja dinikmatinya. Permohonannya pada Senat Unesa untuk memperpanjang batas usia pensiunnya, dengan berbagai pertimbangan, tidak diluluskan.

Ternyata Allah SWT berkehendak lain. Turunnya peraturan mendikbud tentang batas usia pensiun guru besar sampai usia 70 tahun, memberinya kesempatan untuk terus mengabdikan diri di Unesa. Subhanallah.

Poedjiastoeti adalah sosok teladan tentang ketekunan dan kesabaran. Wanita kelahiran Wonosobo itu menyelesaikan pendidikan sarjananya di IKIP Surabaya pada tahun 1977 dalam program studi Kimia. Selanjutnya dia melanjutkan ke UGM, mengambil program studi Kimia Analitik, dan mendapatkan gelar Magister Sain pada tahun 1995. Baru pada tahun 2010, dia mendapatkan gelar Doktor Pendidikan IPA dari UPI. Ya, setelah lima belas tahun dia memperoleh gelar magisternya.

Ketekunannya juga tercermin dari karya-karyanya baik dalam bidang penelitian, pengabdian masyarakat, maupun karya ilmiah dalam bentuk buku maupun artikel yang dipublikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah serta berbagai seminar nasional dan internasional. Beberapa hasil karya itu terbaca di daftar riwayat hidupnya, dan betapa dia adalah dosen yang cukup produktif.

Dalam usianya yang tidak lagi muda, Poedjiastuti adalah tauladan bagi kita semua. Dengan ketekunan, kesabaran, berhusnudzon dan pasrah sepenuhnya pada kehendak Illahi, apa yang nampaknya tidak mungkin menjadi sangat mungkin. Berikhtiar sekuat tenaga, fokus, dan biarkan Allah SWT yang menentukan. Do the best, let God does the rest. itulah kuncinya.

Selamat, Prof. Poedji. Semoga jabatan guru besar ini menjadi berkah bagi semua. Amin YRA.

Gedung Serba Guna Unesa, 17 Desember 2013. 11.10 WIB.

Wassalam,
LN

Rabu, 23 Oktober 2013

Theresia Taur dan PLPG

Perawakannya tinggi besar, kulit coklat, rambut ikal, mata bulat, garis wajah keras, semuanya khas NTT. Wanita 54 tahun itu adalah guru SMP  Katolik San Karlos Habi, Maumere. Tergolong wanita mahal senyum. Wajahnya lebih banyak seperti menyimpan beban, hal itu nampak juga dari sorot matanya yang terlindung kaca mata.

Ini kali kedua saya bertemu dengannya. Dalam momen yang sama, yaitu PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Ya, setahun yang lalu, dia sudah mengikuti program sertifikasi guru ini. Karena belum lulus, dia diberi kesempatan lagi untuk ikut pada tahun ini.

Saya bisa merasakan betapa beratnya beban ini bagi dia. Selama sepuluh hari terkurung dalam ruangan, mulai pagi sampai sore. Jauh dari kampung halaman, jauh dari keluarga, kerabat dan teman-teman. Malamnya masih harus mengerjakan tugas-tugas, atau minimal, membaca modul. Lebih-lebih bila saat kegiatan peer teaching, dia harus menyiapkan RPP dan kelengkapannya. Besoknya, melakukan praktik mengajar di bawah bimbingan dosen. 

Di bawah bimbingan dosen, baginya, mungkin lebih tepatnya adalah di bawah pengawasan dosen. Pengalaman gagal tahun lalu mungkin telah membuatnya begitu trauma sehingga sebuah bimbingan pun bahkan dia anggap lebih seperti pengawasan. Aktivitas untuk mencari-cari kesalahan. Mungkin. Meski pada kenyataannya, tidaklah seperti itu.

Belum lagi beban mental yang memenuhi pikirannya, kemungkinan tidak lulus lagi dalam PLPG kedua ini. Bila itu yang terjadi, maka 'habislah' dia sebagai guru. Dia akan dikembalikan ke Dinas Pendidikan di kabupatennya sana, dan entahlah, jadi apa dia nanti....

Saya melihat wanita itu sudah begitu lelah. Dia tidak terlalu bersemangat mengikuti sesi demi sesi dalam PLPG. Dia duduk menghadapi modul dan kertas-kertas. Kadang matanya memejam sekejap, kepalanya terangguk-angguk, lantas geragapan melihat ke saya yang sedang menjelaskan, mencoba sekuat tenaga mencurahkan perhatiannya pada penjelasan saya. Tidak selalu berhasil memang. Tak lama kemudian, kejadian yang sama berulang lagi. Mata memejam, kepala terangguk....dan seterusnya. 

Saya membiarkan semuanya itu tanpa mencoba untuk mengganggunya. Suara saya mungkin cukup lembut untuk meninabobokan wanita itu. Saya meneruskan saja diskusi dengan 16  peserta PLPG yang lain. Tiga di antaranya adalah mahasiswa saya dulu ketika S1. Selebihnya lulusan dari berbagai perguruan tinggi. Juga ada yang lulusan SMA. Termasuk wanita itu. 

Wanita yang bergaris wajah keras, namun bermata sayu itu, bernama Theresia Taur. Di antara para peserta PLPG Tata Boga, nampaknya dialah yang paling senior. Meski nampaknya dia tidak terlalu bersemangat mengikuti sesi demi sesi, namun keberadaan dia di sini membuktikan, sesungguhnya dia menyimpan  semangat terpendam. 

Ya, selain bu Theresia, begitu saya memanggilnya, sebenarnya ada dua temannya yang lain yang tahun lalu tidak tulus PLPG Tata Boga, serta belasan yang lain di bidang lainnya. Tapi beberapa di antara mereka, tidak mau menempuh kembali PLPG-nya. Sudah kapok, dengan berbagai alasan. Biaya yang harus dikeluarkan dari tempatnya yang nun jauh di sana, atau karena sudah pesimis duluan, atau sudah 'nggak butuh', acuh, apatis, masa bodoh.

Ibu Theresia, tidak termasuk golongan itu. Dia, meski dengan tubuh dan pikirannya yang lelah, hadir di ruang ini. Duduk menghadapi modul dan berkas-berkasnya. Kadang-kadang sambil terkantuk-kantuk. Tanpa senyum.

******

Tapi itu hari kemarin. Hari ini, saya melihat wajah lelah di depan saya itu banyak tersenyum. Saat mereka sedang melakukan diskusi kelompok untuk melakukan analisis kurikulum 2013, saya bergerak dari satu kelompok ke kelompok lain. Lantas memutuskan berhenti di kelompok ibu Theresia. Berhenti di situ. Mengobrol ringan untuk mencairkan kebekuan, di antara aktivitas diskusi mereka.

Dan saya menikmati senyum tulus dari wajah yang sudah mulai menua itu. Mata bulatnya yang indah, seperti kemarin, nampak lelah. Namun bibirnya beberapa kali menyunggingkan senyum manis. 

Tiga puluh tahun dia mengajar. Cukup dengan ijazah SMA. Saat ini, golongannya III-C. Bukan PNS, tapi guru tetap yayasan. Oleh karena masa kerjanya sudah lebih dari dua puluh tahun, dia memenuhi syarat untuk mengikuti PLPG.

Lulus PLPG, saat ini, baginya, bukanlah melulu demi tunjangan profesi pendidik (TPP). Pendapatan dari suaminya yang guru PNS, dan anak sulungnya yang sudah bekerja di kapal, cukuplah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Lulus PLPG, bagi dia, lebih pada kebutuhan untuk pencitraan diri. Pertaruhan akan nama baik dan harga diri. Mungkin tidak seekstrim itu....mungkin. Namun lulus PLPG, apa lagi dia sudah menempuhnya untuk yang kedua kalinya ini...adalah amat sangat penting. Pertaruhan akan profesinya sebagai guru. Lulus, berarti dia layak disebut sebagai guru profesional. Tidak lulus, berarti....dia tidak layak untuk menjadi guru.

Tidak layak menjadi guru. Adakah sebutan yang lebih menyedihkan dari seorang guru yang sudah mengabdi lebih dari tiga puluh tahun?

*****

Bagi saya, tidak terlalu mudah mengajar peserta PLPG. Usia mereka yang sebagian besar sudah tidak muda lagi, bahkan ada banyak yang jauh di atas usia saya, dengan motivasi belajar yang tidak bagus-bagus amat, dan kelelahan fisik dan mental karena stres. Ditambah lagi dengan pengetahuan mereka yang pada umumnya sudah out of date, sudah aus, akibat tidak pernah di-upgrade. Belum lagi materi PLPG yang padat berisi. Mulai dari materi Kebijakan Peningkatan Profesi Guru, Kurikulum 2013, Pembelajaran, Asesmen, Penelitian Tindakan Kelas, dan seterusnya....

Kalau hanya berorintasi pada ketuntasan materi, gampang. Kalau cuma transfer of knowledge, mudah. Tapi tentu saja bukan itu tugas kita sebagai instruktur. Memahamkan mereka, memastikan mereka memegang kata-kata kunci, intisari dari tiap materi, kemanfaatan materi dan penerapannya untuk peningkatan kinerja mereka sebagai guru, itulah yang penting. Membawakan materi dengan menarik, mempertahankan perhatian mereka untuk terus bertahan pada materi, jauh lebih berat dibandingkan mengajarkan materi itu sendiri.

Maka saya pun lebih senang mengajar dengan cara sebisa mungkin menghindari ceramah. Kalau pun ada ceramah, itu hanya penjelasan singkat. Itu pun, meski singkat, sudah cukup berhasil membuat satu dua dari mereka terangguk-angguk kepalanya karena mengantuk. 

Selanjutnya adalah mereka akan bekerja sendiri. Bisa secara individual, bisa kelompok. Kemarin, saya meminta mereka untuk mebuat peta konsep saat belajar tentang model-model pembelajaran. Saya memberi contoh bagaimana membuat peta konsep yang baik. Saya pastikan juga, peta konsep yang baik, hanya dihasilkan oleh orang yang memiliki pemahaman yang baik pada materi yang dipetakonsepkan. Maka mereka pun terpaksa membaca modul. 

Begitu juga ketika membahas asesmen. Satu per satu mereka saya minta membaca alinea demi alinea. Sambil mendiskusikannya. Lantas saya minta mereka menggarisbawahi ide-ide pokok, kata-kata kunci, dan kalimat-kalimat yang dianggap penting. Yang saya tayangkan dengan powerpoint, adalah contoh-contoh bentuk asesmen langsung dalam bidang boga. Seperti apa lembar pengamatan dalam pembelajaran tata boga, lembar penilaian kinerja, lembar penilaian proyek, portofolio, dan penilaian diri.

Siang ini, saat membahas PTK, saya minta mereka langsung bekerja secara kelompok. Mengerjakan soal-soal latihan yang ada di modul. Potong kompas. Untuk bisa menjawab, toh mereka harus membaca modul. Ya, waktu pertemuan yang hanya dua jam tatap muka, sungguh tidak memadai untuk menjelaskan PTK sampai mereka paham. Jadi yang terpenting, mereka tidak mengantuk, semua aktif, dan tetap bersemangat membaca. Saat setiap kelompok menampilkan hasil diskusinya dalam menjawab soal-soal, saya baru memberikan penekanan-penekanan pada kata-kata kunci, hal-hal yang penting, dan memberikan gambaran utuh tentang apa itu PTK.

****

Sore ini, adalah sesi terakhir saya bersama mereka. Besok sampai hari minggu, mereka akan bersama dengan instruktur yang lain, kawan-kawan saya. Saya ingin mengakhiri sesi saya dengan manis, memastikan mereka akan terus bersemangat. Selalu menjadi 'a learning person', supaya pengetahuan dan keterampilan mereka terus terasah. Berusaha sebaik mungkin. Urusan lulus dan tidak, biarlah Tuhan yang memutuskan. Apa pun keputusan-Nya, yakinlah, bahwa itu pilihan terbaik.

Dan mata lelah itu berbinar-binar saat saya menghadiahinya buku 'Khasanah Kuliner Tradisional Jawa Timur'. Meski bukan orang Jawa Timur, dia sangat bersuka cita dengan buku itu. Menghadiahkan buku untuk ibu Theresia Taur, bukanlah tanpa alasan. Dialah peserta PLPG paling senior di kelas ini, yang datang dari tempat yang paling jauh, dan keberadaannya di tempat ini tidak mungkin terjadi tanpa semangat dan keinginannya untuk terus maju. 

Buku kedua juga saya serahkan pada peserta termuda, namanya Siti Fatimah, guru dari Madura. Saya selalu menggoda dan memintanya tersenyum, karena wajahnya yang selalu sedih itu sebenarnya sangat manis dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Dengan penuh suka cita dia menerima buku itu, dan mencium tangan saya dengan penuh haru.

Tiga buku 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca', saya hadiahkan juga untuk tiga guru dari NTT yang lain. Kisah-kisah inspiratif para peserta SM-3T saat mengabdi di Sumba Timur, NTT, yang tertuang di buku itu, saya harapkan bisa memacu semangat dan motivasi mereka untuk lebih meningkatkan kompetensinya sebagai guru, demi membagun pendidikan di NTT ke arah yang lebih baik.
  
Bagi dua belas peserta yang lain, yang sore ini belum kebagian buku, saya janjikan, tetap akan saya beri buku masing-masing satu, besok atau besoknya. Buku yang akan saya hadiahkan itu adalah 'Berbagi di Ujung Negeri'. Ya, baru besok, buku itu dikirim kepada saya. 

Semoga buku-buku itu menjadi kenangan yang manis untuk mereka.  Sebentuk bukti persahabatan dan pertemanan, yang tidak hanya dibatasi oleh empat dinding kelas bernama kelas PLPG.


Gedung PPPG, 22 Oktober 2013

Wassalam,
LN