Pukul 11.03 waktu Sorong. Kapal cepat Berkat Mulia bergerak, meninggalkan Pelabuhan Rakyat. Kapal berkapasitas 300-an orang ini membawa kami menuju Raja Ampat.
Ya, Raja Ampat. Tentu semua orang tahu tempat apa itu. Benar. Tempat wisata yang terkenal dengan ekspedisi bawah lautnya yang luar biasa. Anda bisa menikmati keindahan wisata bahari itu dengan snorkeling atau diving. Tentu saja juga pulau-pulau dan pantainya yang juga menakjubkan.
Tapi kedatangan kami ke Raja Ampat ini bukanlah untuk berwisata. Meski, mungkin, yang terjadi adalah sambil menyelam minum air. Ya, karena, di mana-mana, hampir di semua tempat, Raja Ampat memiliki keindahan. Melakukan perjalanan ke Raja Ampat, meski bukan perjalanan wisata, suguhan keindahan alamnya tetap bisa dinikmati di sepanjang perjalanan.
Kedatangan kami ke Raja Ampat ini dalam rangka melaksanakan Program SM-3T. Kami, terdiri dari saya, Pak Yoyok Yermiandhoko dan Bu Lucia, serta dua puluh sarjana pendidikan yang tergabung dalam Program SM-3T. Kami bertiga adalah dosen pendamping yang akan menyerahkan anak-anak muda ini kepada Kepala Dinas Pendidikan Raja Ampat. Mereka akan mengabdikan diri sebagai guru di sekolah-sekolah miskin di wilayah yang terkenal dengan potensi wisatanya yang tergolong unggulan ini.
Waisai. Ya, ke sanalah kapal cepat yang kami tumpangi ini menuju. Waisai merupakan ibukota Kabupaten Raja Empat. Adalah pulau yang jaraknya sekitar dua jam bila menumpang kapal cepat, atau sekitar empat jam dengan menumpang kapal kayu. Bisa juga ditempuh melalui jalur udara, dengan menumpang pesawat-pesawat kecil sejenis Suzie Air. Biaya ketiga jenis kendaraan ini tidak terlalu mahal. Tidak lebih dari 250 ribuan untuk sekali jalan.
Para guru SM-3T belum tentu akan bertugas di Waisai. Di tempat ini, mereka hanya akan disambut dalam sebuah acara seremonial penerimaan, oleh Bupati dan Kepala Dinas Pendidikan. Setelah itu, mereka akan menerima pembekalan dari Dinas, baru kemudian didistribusikan ke distrik-distrik yang berada di pulau-pulau lain.
Raja Ampat memang surga kecil yang jatuh ke bumi, sebagai mana tanah Papua pada umumnya. Begitulah kata Edo Kondolegit. Sepanjang perjalanan adalah pemandangan yang indah permai. Laut, pantai, pulau-pulau, bukit-bukit rimbun, dan bahkan langit yang digelayuti mendung.
Raja Ampat sendiri, konon, merupakan kepulauan yang terdiri dari empat kerajaan tradisional. Kerajaan tersebut adalah Waigeo, dengan pusat kekuasaannya di Wewayai; Kerajaan Salawati, dengan pusat kekuasaannya di Samate, Pulau Salawati Utara; Kerajaan Sailolof dengan pusat kekuasaannya di Sailolof, Pulau Salawati Selatan; dan Kerajaan Misol, dengan pusat kekuasaannya di Lilinta, Pulau Misol.
Kabupaten Raja Ampat menurut sebuah sumber memiliki 610 pulau. Empat di antaranya adalah Pulau Misool, Salawati, Batanta dan Waigeo. Keempat pulau tersebut merupakan pulau-pulau besar. Dari seluruh pulau, hanya 35 pulau yang berpenghuni. Pulau lainnya tidak berpenghuni, dan sebagian besar belum memiliki nama.
Di atas kapal, kami bercengkerama dengan dua orang turis yang ramah. Bermain dengan dua anak asli Papua, laki dan perempuan, usianya masih sekitar 4-7 tahun. Kedua anak itu, begitu sempurna. Mata mereka, rambut kriwulnya, kulit sawo matangnya yang bersih, dan senyumnya, betapa indah. Khas anak Papua. Seila dan Reinhart, begitu nama mereka. Adalah dua bocah yang hangat, bersahabat, dan sadar kamera. Mereka bersama orang tuanya, akan mengunjungi keluarga mereka di Waisai.
"Seila sudah sekolah?" Tanya saya, pada gadis kecil berambut kriwul itu.
"Sudah." Senyum manisnya malu-malu.
"Di mana?"
Dia menyebut sebuah nama sekolah, namun tidak terlalu jelas di telinga saya. Deru mesin kapal dan angin laut yang keras menerbangkan suara Seila ke laut lepas.
Pukul 12.50, saat kapal kami merapat di pelabuhan Raja Ampat. Udara panas langsung menerpa wajah begitu kami keluar dari kapal. Panas yang menyengat, terasa sakit menerpa kulit.
Bagasi dikeluarkan dari kapal oleh lima lelaki, para peserta SM-3T, dibantu awak kapal. Pelampung dikumpulkan. Para peserta perempuan menggeser barang-barang itu, dihimpun jadi satu. Dimasukkannya ke mobil yang telah menunggu. Satu mobil khusus barang dan untuk mengangkut para lelaki. Satu mobil khusus penumpang perempuan.
Seorang petugas dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Raja Ampat, Pak Budiono, memandu kami. Menelusuri jalan-jalan di Waisai menuju penginapan. Cuaca panas semakin menyengat. Pantai-pantai yang indah dan barisan pohon kelapa menjadi penyejuknya. Juga ratusan umbul-umbul, baleho, serta pernak-pernik lain sisa-sisa perayaan besar Sail Raja Ampat 2014 yang baru saja berlalu.
Siang ini, kami hanya ingin menyapa Waisai. Kami akan menikmati hidup yang rileks tanpa dibebani tugas-tugas. Ada cukup waktu untuk menghempaskan kantuk dan kelelahan karena perjalanan dari Surabaya sejak pukul 21.00 semalam.
Besok, adalah acara seremonial penerimaan dan pembekalan guru SM-3T. Ya, masih besok. Jadi, mari kita bergegas mandi, salat, makan siang, dan tidur.....
Waisai, Raja Ampat, Papua Barat, 28 Agustus 2014.
Wassalam,
LN
Ya, Raja Ampat. Tentu semua orang tahu tempat apa itu. Benar. Tempat wisata yang terkenal dengan ekspedisi bawah lautnya yang luar biasa. Anda bisa menikmati keindahan wisata bahari itu dengan snorkeling atau diving. Tentu saja juga pulau-pulau dan pantainya yang juga menakjubkan.
Tapi kedatangan kami ke Raja Ampat ini bukanlah untuk berwisata. Meski, mungkin, yang terjadi adalah sambil menyelam minum air. Ya, karena, di mana-mana, hampir di semua tempat, Raja Ampat memiliki keindahan. Melakukan perjalanan ke Raja Ampat, meski bukan perjalanan wisata, suguhan keindahan alamnya tetap bisa dinikmati di sepanjang perjalanan.
Kedatangan kami ke Raja Ampat ini dalam rangka melaksanakan Program SM-3T. Kami, terdiri dari saya, Pak Yoyok Yermiandhoko dan Bu Lucia, serta dua puluh sarjana pendidikan yang tergabung dalam Program SM-3T. Kami bertiga adalah dosen pendamping yang akan menyerahkan anak-anak muda ini kepada Kepala Dinas Pendidikan Raja Ampat. Mereka akan mengabdikan diri sebagai guru di sekolah-sekolah miskin di wilayah yang terkenal dengan potensi wisatanya yang tergolong unggulan ini.
Waisai. Ya, ke sanalah kapal cepat yang kami tumpangi ini menuju. Waisai merupakan ibukota Kabupaten Raja Empat. Adalah pulau yang jaraknya sekitar dua jam bila menumpang kapal cepat, atau sekitar empat jam dengan menumpang kapal kayu. Bisa juga ditempuh melalui jalur udara, dengan menumpang pesawat-pesawat kecil sejenis Suzie Air. Biaya ketiga jenis kendaraan ini tidak terlalu mahal. Tidak lebih dari 250 ribuan untuk sekali jalan.
Para guru SM-3T belum tentu akan bertugas di Waisai. Di tempat ini, mereka hanya akan disambut dalam sebuah acara seremonial penerimaan, oleh Bupati dan Kepala Dinas Pendidikan. Setelah itu, mereka akan menerima pembekalan dari Dinas, baru kemudian didistribusikan ke distrik-distrik yang berada di pulau-pulau lain.
Raja Ampat memang surga kecil yang jatuh ke bumi, sebagai mana tanah Papua pada umumnya. Begitulah kata Edo Kondolegit. Sepanjang perjalanan adalah pemandangan yang indah permai. Laut, pantai, pulau-pulau, bukit-bukit rimbun, dan bahkan langit yang digelayuti mendung.
Raja Ampat sendiri, konon, merupakan kepulauan yang terdiri dari empat kerajaan tradisional. Kerajaan tersebut adalah Waigeo, dengan pusat kekuasaannya di Wewayai; Kerajaan Salawati, dengan pusat kekuasaannya di Samate, Pulau Salawati Utara; Kerajaan Sailolof dengan pusat kekuasaannya di Sailolof, Pulau Salawati Selatan; dan Kerajaan Misol, dengan pusat kekuasaannya di Lilinta, Pulau Misol.
Kabupaten Raja Ampat menurut sebuah sumber memiliki 610 pulau. Empat di antaranya adalah Pulau Misool, Salawati, Batanta dan Waigeo. Keempat pulau tersebut merupakan pulau-pulau besar. Dari seluruh pulau, hanya 35 pulau yang berpenghuni. Pulau lainnya tidak berpenghuni, dan sebagian besar belum memiliki nama.
Di atas kapal, kami bercengkerama dengan dua orang turis yang ramah. Bermain dengan dua anak asli Papua, laki dan perempuan, usianya masih sekitar 4-7 tahun. Kedua anak itu, begitu sempurna. Mata mereka, rambut kriwulnya, kulit sawo matangnya yang bersih, dan senyumnya, betapa indah. Khas anak Papua. Seila dan Reinhart, begitu nama mereka. Adalah dua bocah yang hangat, bersahabat, dan sadar kamera. Mereka bersama orang tuanya, akan mengunjungi keluarga mereka di Waisai.
"Seila sudah sekolah?" Tanya saya, pada gadis kecil berambut kriwul itu.
"Sudah." Senyum manisnya malu-malu.
"Di mana?"
Dia menyebut sebuah nama sekolah, namun tidak terlalu jelas di telinga saya. Deru mesin kapal dan angin laut yang keras menerbangkan suara Seila ke laut lepas.
Pukul 12.50, saat kapal kami merapat di pelabuhan Raja Ampat. Udara panas langsung menerpa wajah begitu kami keluar dari kapal. Panas yang menyengat, terasa sakit menerpa kulit.
Bagasi dikeluarkan dari kapal oleh lima lelaki, para peserta SM-3T, dibantu awak kapal. Pelampung dikumpulkan. Para peserta perempuan menggeser barang-barang itu, dihimpun jadi satu. Dimasukkannya ke mobil yang telah menunggu. Satu mobil khusus barang dan untuk mengangkut para lelaki. Satu mobil khusus penumpang perempuan.
Seorang petugas dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Raja Ampat, Pak Budiono, memandu kami. Menelusuri jalan-jalan di Waisai menuju penginapan. Cuaca panas semakin menyengat. Pantai-pantai yang indah dan barisan pohon kelapa menjadi penyejuknya. Juga ratusan umbul-umbul, baleho, serta pernak-pernik lain sisa-sisa perayaan besar Sail Raja Ampat 2014 yang baru saja berlalu.
Siang ini, kami hanya ingin menyapa Waisai. Kami akan menikmati hidup yang rileks tanpa dibebani tugas-tugas. Ada cukup waktu untuk menghempaskan kantuk dan kelelahan karena perjalanan dari Surabaya sejak pukul 21.00 semalam.
Besok, adalah acara seremonial penerimaan dan pembekalan guru SM-3T. Ya, masih besok. Jadi, mari kita bergegas mandi, salat, makan siang, dan tidur.....
Waisai, Raja Ampat, Papua Barat, 28 Agustus 2014.
Wassalam,
LN