Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 26 Januari 2014

Kencan Sore Ini

Selepas mengecek dan menunggui kegiatan Ujian Tulis Nasional (UTN) PPG SM-3T sore ini, saya ditelepon seorang teman. Tri Widyaningrum, teman saya itu, bilang kalau beberapa menit lagi dia akan tiba di Kampus Ketintang, dan akan menjemput saya untuk bertemu dengan teman-teman yang lain. 

Ida, nama panggilan teman saya itu, memang sejak beberapa hari yang lalu sudah menghubungi saya dan minta bertemu.
"Prof, apa kabar?" Tanyanya di BB waktu itu.
"Hallloooo, Ida membleee...." Teriak saya di BB. Kaget campur senang. Kawan saya itu memang julukannya Ida Memble. Itu karena dia punya bibir memble (baca: sensual). 

Dia langsung tertawa ngakak. Terlihat dari emoticon tertawa lebar di BB saya. "Maluuuu akyuuu...." Katanya. "Kangen rekkkk.... Ketemuan yuk, diluuutt aja. Tak jemput"
"Ayo, kapan?"
"Kapan prof ada waktu, aku nyesuaikan saja. Ntar kuhubungi Yanti, Ridha, dan yang lain.

Yanti, Ridha, Ida dan saya, adalah teman seangkatan waktu kuliah. Meski berbeda jurusan, ketiganya jurusan Administrasi Perkantoran,  kami cukup akrab. Ya, karena kami sama-sama anggota Himapala.

Anggota Himapala di angkatan kami saat itu, seingat saya, jumlahnya hampir seratus orang, kalau tidak malah lebih. Ceweknya lebih banyak dari cowoknya. Seingat saya juga, ceweknya cantik-cantik (maksudnya bukan termasuk saya lho....saya sih manis, hehe). Ida, terhitung yang cantik. Yang lain, banyak sih... Tapi pada umumnya memang cewek-cewek Himapala cantik-cantik kok....(narsis.com).

Ida adalah pramugari Garuda. Tahun ini dia cuti terbang. Dua anaknya, nomor satu kelas 3 SMA, yang satu lagi kelas 3 SMP, keduanya sedang bersiap menempuh UNAS. Itulah alasan Ida untuk mengambil cuti. Selain itu, Ida berencana tahun iki akan menunaikan ibadah haji bersama suami dan ibunya, jadi dia sudah niat cuti terbang untuk mempersiapkan kedua urusan penting itu. 

Ida bercerita, saat menyampaikan maksudnya untuk cuti, suaminya yang PNS di Dinas Perhubungan, menyambut dengan suka cita. "Alhamdulilah lek mama insyaf..." Kata suaminya.
"Lho, lha opo selama ini mama tersesat?" Seloroh Ida.

Kami berkendara menuju Royal Plaza. Ida sudah memesan tempat untuk lima orang di Quali. Lima orang itu, yang satu adalah mbak Lies, dia teman sejurusan Ida dan kawan-kawan, yang sekarang mengajar di SMK 4. Mbak Lies sendiri tetangga saya di Bibis Karah. Kami juga sudah lama sekali tidak saling bertemu. Klop sudah. Kencan sore ini pasti menyenangkan.

Ida masih seperti yang dulu, ceria, spontan dan tulus. Bicaranya ceplas-ceplos, nyetirnya srodak-srodok, rodo kosro. Sepertinya dia raja jalanan juga. Tidak hanya jam terbangnya saja yang sudah teruji, tapi jam berkendaranya juga. Saya berkali-kali cekakakan melihat cara dia nyetir, termasuk berebut tempat parkir di Royal Plaza yang padat. 

Di Quali, telah menunggu Ridha dan Mbak Lies. Begitu bertemu, tak ayal, kami seperti lupa daratan, saling peluk, saling berkabar dengan gaduh, seperti tidak peduli kami sedang berada di tempat umum. Sebentar kemudian, Yanti menyusul. Dia sudah sempat mau balik kucing tadi, pulang, putus asa karena tidak dapat tempat parkir. Tapi lewat telepon, Ida memintanya untuk tidak menyerah, sampai akhirnya dia berhasil menghentikan mobilnya di tempat parkir paling atas.

Teman kami yang satu ini, penampilannya seperti Yuni Sara. Posturnya juga kecil mengil seperti Yuni Sara, tapi lebih bohay (pinjam istilahnya Must Prast) Yuni Sara. Dandanannya tidak kalah dengan selebriti sekelas Yuni Sara juga. Cara berpakaiannya, cara berjalannya, pede abissss. Sepertinya dia juga punya gaya hidup yang agak berbeda dengan kami-kami ini. Makanya ketika dia menunjukkan foto-fotonya yang membuat kami semua terkagum-kagum dan terperangah, saya sempat nyeletuk..."Beda dunia...", yang kemudian dibenarkan oleh Ida dengan cara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tawa kami pecah berantakan dengan istilah beda dunia itu.

Sore ini kami menghabiskan waktu sampai senja menjelang. Sambil makan dan minum. Ngobrol ngalor-ngidul. Cekakakan dan merencanakan bertemu lagi. Berfoto-foto dengan gaya yang narsis pollll. Saling bertukar foto. Lantas berpisah setelah saling peluk dan titip salam hangat untuk keluarga kami masing-masing. 

Saya berjalan ke tempat parkir bersama Ida. Dia harus mengembalikan saya ke tempat di mana dia tadi menculik saya, yaitu di sekretariat Himapala. Mobil saya ada di sana. Sengaja saya tidak mau bawa mobil sendiri karena malas cari tempat parkirnya. Apa lagi Ida menawarkan diri untuk menjemput saya di kampus.

Senang sekali bisa bertemu kawan-kawan lama dalam keadaan yang sehat dan ceria seperti ini. Seperti habis minum suplemen, energi saya menjadi berlipat-lipat. Saya menyibak keremangan senja yang mendung dengan hati berbunga-bunga, merasakan indahnya kencan di sore ini....  
Surabaya, 26 Januari 2014

Wassalam,
LN
(27 Januari 2014, 02.50. Waktunya bermunajat)

PPG, Boleh Tidak Lulus

Hari ini, Minggu, 26 Januari 2013, secara serentak, dilaksanakan Ujian Tulis Nasional (UTN) PPG SM-3T angkatan I. UTN secara online ini dilaksanakan di 12 LPTK penyelenggara PPG SM-3T, yaitu di UNG, UNM, Unimed, UNP, UNJ, UPI, UNY, Unnes, Unesa, UM, dan Undiksha.

Peserta UTN adalah mahasiswa PPG SM-3T program studi nonPGSD-PAUD. Mereka adalah para sarjana pendidikan yang telah melaksanakan pengabdian setahun di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T), yang kemudian  memperoleh penghargaan untuk mengikuti PPG.

Untuk program studi PGSD dan PAUD, UTN sudah dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 yang lalu. Mereka menempuh UTN lebih dulu karena pelaksanaan PPG mereka hanya satu semester. Saat ini, bagi mereka yang sudah lulus, sudah mengantongi sertifikat sebagai guru profesional. Sesuai dengan Permendikbud Nomor 87 Tahun 2013, para lulusan ini berhak menyandang sebutan Gr, sebutan bagi guru profesional yang telah lulus PPG.  

UTN saat ini diikuti oleh 2184 mahasiswa PPG seluruh Indonesia. Jumlah tersebut sudah termasuk 125 peserta dari prodi PGSD dan PAUD yang akan mengikuti UTN ulangan, karena mereka belum lulus pada UTN yang lalu. Khusus di Unesa, jumlah peserta UTN sebanyak 232 mahasiswa, termasuk 6 peserta dari prodi PGSD-PAUD yang mengulang.

UTN di Unesa dilaksanakan di Laboratorium Komputer Jurusan Elektro FT dan di Unit Layanan Komputer (Ulakom) FMIPA. Ujian dilaksanakan dalam tiga gelombang, yaitu pukul 08.00-09.30, 10.00-11.30, dan pukul 13.00-14.30. Selain pengelola PPG beserta staf dan tim ahli, kapuskom dan staf beserta pengelola Ulakom FMIPA juga terlibat sepenuhnya dalam pelaksanaan UTN. 

Saat ini, PPG dinilai sebagai benteng pertahanan terakhir LPTK sebagai lembaga penghasil guru. Setelah berbagai upaya, termasuk sertifikasi dengan portofolio dan PLPG, masih belum menunjukkan hasil yang signifikan terhadap peningkatan kompetensi guru, PPG diharapkan mampu menjadi tumpuan harapan. 

Dengan komitmen seperti itu, maka input, proses dan output PPG diupayakan sebaik mungkin, terjaga mutunya. Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Diktendik Dikti), Prof. Dr. Supriadi Rustad, dan Tim MBMI (Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia) Dikti, beserta pengelola PPG di seluruh LPTK penyelenggara PPG SM-3T bersepakat, bahkan mahasiswa PPG 'boleh tidak lulus'. Artinya, meski tetap diberikan kesempatan mengulang UTN bagi para mahasiswa yang belum lulus, namun bila hasilnya tetap tidak memenuhi standar (dengan passing grade 50), maka yang bersangkutan tetap tidak bisa lulus, dan dengan sendirinya tidak berhak memperoleh sertifikat sebagai guru profesional.

Semoga PPG benar-benar bisa melahirkan para guru profesional, guru yang mampu mengantarkan pendidikan di Tanah Air ini menuju kejayaannya. Semoga.

Surabaya, 26 Januari 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 24 Januari 2014

Ngorok Bombardir dan Gagal Mendarat (Lagi)

Pukul 09.25. Masuk pesawat Garuda Indonesia. Menuju Semarang. Tidak seperti penerbangan saya beberapa waktu belakangan ini yang ke mana-mana sendiri, saat ini saya dikawal banyak laki-laki. Pak Edy Sulistyo, Kapuskom Unesa, Prof. Ekohariadi, PD 1 FT, dan Mislahuddin, tenaga IT FT. Juga ada beberapa teman dari UM dan UNM yang kebetulan bertemu di Bandara Juanda. Semua para bapak.

Setiap kali saya pergi keluar kota, ibu saya di Tuban selalu menanyakan, 'kowe lungo karo sopo?" Saya selalu jawab," kalih konco-konco, mik..." Dengan begitu ibu akan tenang. Saya menyampaikan yang sebenarnya. Berangkat bersama konco-konco sak pesawat. Hehe.

Sudah tiga puluh menit duduk manis di dalam pesawat, belum ada tanda-tanda pesawat mau segera terbang. Deru mesinnya masih datar-datar saja. Saya perkirakan, pesawat sedang menunggu giliran untuk lepas landas. Beberapa kali saya lihat pesawat terbang rendah menuju landasan, mendarat. Mungkin karena itulah, pesawat ini harus sabar menunggu. 

Deru mesin Garuda tipe bombardir yang saya tumpangi ini ternyata kalah dengan deru ngorok seorang penumpang, entah di mana dia duduknya. Ngoroknya terdengar keras banget. Seorang ibu dan anaknya yang duduk di belakang saya tertawa cekikikan karenanya. Suara ngorok itu seperti gergaji. Kadang-kadang diselingi suara  seperti letupan-letupan kecil. Bapak-bapak di sebelah saya juga senyum-senyum mendengar irama ngorok itu.
Saya bayangkan, pemilik ngorok itu pasti lelah sekali. Saking lelahnya sampai dia tidak menyadari kalau suara ngoroknya itu telah mempengaruhi stabilitas keamanan di dalam ruang pesawat. Mengganggu penumpang sepesawat. Kasihan betul dia. Tapi tunggu dulu, buat apa dikasihani, orang dia lho cuek saja...hehe. Mungkin dia sudah niat, mumpung naik Garuda tipe Bombardir, maka dia pun akan bikin ngorok bombardir juga...

Hampir lima puluh menit menunggu di dalam pesawat, akhirnya deru mesin pesawat pun meraung. Inilah saatnya. Bombardir pun bergerak. Pelan sebentar, terus kencang, menuju angkasa. Berguncang-guncang menembus mega-mega. Gelap di sekeliling beberapa saat karena mendung gelap dan hitam. Lantas berganti terang saat mega-meganya berwarna putih. Begitu tanda kenakan sabuk pengaman padam, saya menutup jendela di samping saya. Warna putih di luar menyilaukan.

Ajaib. Deru ngorok itu tetap lantang, tak tergoyahkan. Tetap dengan ritmenya yang tadi. Hhrrrr.......ghroookkkkkk.....ghehhhhh.....(susah nulisnya). Orang ini sepertinya luar biasa lelahnya, sampai-sampai deru Bombardir yang begitu kencang pun tak mampu mengusiknya.

Saya jadi ingat diri saya sendiri. Jujur saja, saya juga sering mengalami hal serupa. Begitu masuk pesawat, berdoa, termasuk doa mau tidur, terus pulas. Saat pesawat lepas landas, saya mungkin akan terganggu sebentar, tapi terus kembali dalam mimpi lagi. Pulas lagi. Seringkali tahu-tahu meja saya sudah terbuka dan ada sekotak kue di atasnya. Saya akan mengambil kotak itu, menutup meja, tidur lagi, dan terbangun oleh deru pesawat yang siap mendarat atau bahkan sudah mendarat. Saat ini saya berdoa, mudah-mudahan dalam tidur saya yang pulas itu, saya tidak ngorok. Maluuu sekali kalau sampai terjadi seperti itu. Hhhrrrr.....hhhrrr.....hhhrrrr....
Nanti dirasani orang....ayu-ayu kok ngorok....haha. 

Sesuai informasi dari awak kapal, sebenarnya jarak tempuh Surabaya-Semarang hanya memerlukan waktu 34 menit. Dan benar. Sekitar 25 menit mengangkasa, pesawat mulai menurun. Lampu tanda kenakan sabuk pengaman menyala. Awak pesawat menginformasikan, beberapa saat lagi pesawat akan mendarat. Sawah-sawah pun nampak. Penuh dengan air. Jalan-jalan yang berkelok-kelok, berkilau-kilau karena basah. Hijau menghampar di mana-mana. Juga kotak-kotak merah oranye seperti korek api, yang semakin lama  semakin kelihatan jelas.

Sampai tiba-tiba....persis seperti yang saya alami sewaktu mau mendarat di Bandung tempo hari, pesawat tiba-tiba mengarah ke atas. Derunya kencang. Menembus mega-mega yang hitam, putih, kelabu, hitam lagi, panjaaang sekali...... Landasan yang di bawah, yang sudah nampak, dengan barisan pesawat berjejer, ditinggalkan. Terus dan terus mengangkasa...

Ya. Pesawat gagal mendarat. Dalam seminggu ini, saya mengalami dua kali pesawat gagal mendarat karena cuaca buruk. Sama seperti yang saya alami tempo hari, awak pesawat mengumumkan tentang kejadian tersebut, dan mengatakan, kalau pesawat sedang berputar-putar di atas bandara Ahmad Yani dan menunggu beberapa saat untuk mencoba mendarat lagi saat cuaca membaik. Dia juga meminta maaf atas ketidaknyamanan tersebut.

Saya penasaran. Apa sih yang dia maksud dengan berputar-putar di atas bandara itu? Sepertinya kalimat itu sudah seperti kalimat baku untuk menjelaskan kejadian gagal mendarat. Beberapa kali mengalami gagal mendarat, di Denpasar dan di Kupang dulu, kalimat itulah yang selalu saya dengar. Bagaimana mungkin pesawat sebesar ini berputar-putar di atas bandara? 

Saya memperhatikan keluar. Tumpukan awan putih dan kelabu ada di bawah saya. Pesawat sepertinya melaju lurus saja. Lurus terus. Sampai beberapa saat. Kemudian, pesawat membelok ke kiri, ke kiri lagi, kembali ke arah dia datang. Yes. Inilah ternyata yang disebut memutar. Memang tidak persis di atas bandara. Tapi jelas dia tidak akan jauh-jauh dari bandara.

Pesawat itu terus melaju. Sekarang posisinya di atas laut. Terbang rendah. Saya pikir, dia akan langsung mendarat. Ternyata tidak. Dia memutar lagi. Seorang penumpang di sebelah saya nyeletuk, "perlu satu putaran lagi". Ya, benar, kami berada di atas laut lagi. Jelas terasa kalau pesawat ini sedang memutar. Tapi putaran yang sekarang ini lebih kecil daripada yang tadi. Oke, oke. Saya paham sekarang. Inilah yang disebut berputar-putar di atas bandara. 

Alhamdulilah. Akhirnya Bombardir mendarat dengan mulus. Landasan basah. Saat keluar dari pesawat, gerimis kecil menyambut kami. Puluhan payung bertumpuk di dekat tangga pesawat. Sengaja diisediakan bagi para penumpang. 

Kami berempat meninggalkan Bandara Ahmad Yani, menumpang taksi, menuju Hotel Patra Jasa, tempat rapat persiapan Ujian Tulis Nasional PPG SM-3T dilaksanakan. Ada para koordinator PPG dan tim IT yang diundang. Pukul 14.00 nanti rapat akan dimulai.

Biasanya, kami akan rapat sampai larut malam, bahkan sampai menjelang tengah malam. Dengan begitu, besok pagi sudah bisa selesai, dan bisa pulang ke tempat masing-masing, menemui tugas-tugas yang lain....

Hotel Patra Jasa, Semarang, 24 Januari 2014

Wassalam,
LN
(Siap-siap rapat)  

Rabu, 22 Januari 2014

Suami dan Istri Muda

Setelah menikah lebih dari dua puluh tiga tahun, saya harus menerima kenyataan. Suami memiliki istri kedua. Kondisi ini bahkan sudah terjadi sejak lama, sejak bertahun-tahun. Saya berusaha untuk menerimanya saja setelah protes saya tidak pernah didengar. 

Sebagai istri pertama, tentu saja saya seringkali merasa dinomor duakan. Bagaimana tidak. Perhatiannya kepada istri mudanya itu dalam pandangan saya terlalu berlebihan. Bahkan tanpa sungkan-sungkan, dia seringkali mencumbui, mengelus-elus istri keduanya itu di depan mata saya. Ya, di depan mata saya. Bisakah Anda membayangkan bagaimana perasaan saya?

Karena rumah yang kami tinggali sekarang ini hanya memiliki dua kamar, dan itu hanya untuk kamar kami dan anak kami Arga, maka suami menempatkan istri keduanya itu di rumah lama kami. Rumah lama kami itu ada empat kamar, plus satu kamar pembantu. Tempatnya hanya di seberang jalan saja. Dekat saja. Artinya, suami tidak perlu waktu lama kalau ingin menengok istri mudanya. Bahkan sewaktu-waktu dia bisa lakukan itu. 

Dan memang begitulah yang terjadi. Nggak peduli siang atau malam, dia selalu ke rumah lama kami. Demi apa lagi kalau tidak demi menengok istri mudanya itu. Kadang begitu bangun pagi, setelah salat, dia tanpa ba bi bu, langsung keplas ke rumah lama. Tak peduli saya sedang ngapain. Padahal saya sedang memasak untuk dia dan anak kami. Ya, tega bener kan? Parahnya, tiba-tiba dia muncul, dan membawa istri mudanya itu. Menggandengnya mesra, mengelus-elusnya, mencumbuinya, kadang di teras, kadang di ruang belakang dekat kolam ikan, kadang di dekat meja makan. Seperti sengaja memamerkannya pada saya kemesraan itu.

Ya sudahlah. Saya harus bersabar. Saya harus menerima kenyataan. Saya harus bisa menerima keadaan suami seperti apa pun dia. Saya sudah terlanjur sangat mencintainya. 

Sedihnya, sudah sejak beberapa tahun ini juga, dia meminta izin untuk mencari istri tambahan lagi. Oh Tuhan, begitu sampai hatinya dia...

Setelah dia merayu-rayu, akhirnya hati saya pun luluh. Saya izinkan dia, meski tentu saja, dengan berat hati. 

Olala, dasar laki-laki, dia tetap saja tidak puas dengan dua istri mudanya itu. Minta izin untuk nambah lagi. Memohon-mohon sambil merayu-rayu lagi. Herannya, saya kok ya mau saja dirayu-rayu begitu. Kok ya manut saja. Entah punya ilmu apa dia, begitu menurutnya saya pada kemauannya.

Akhirnya, karena saya begitu mencintainya, saya mengizinkannya. Begitu terus, berulang lagi. Sampai tahu-tahu, sekarang ini, istri muda suami jumlahnya mencapai belasan. Bayangkan, belasan. Bisakah Anda membayangkan bagaimana perasaan Anda jika ada pada posisi saya?

Oleh sebab itu, suatu ketika, ketika suami meminta izin untuk membeli Kawasaki, dan minta saya nguruni karena duwit dia kurang, dengan sewot saya bilang: "jual saja istri-istri mudamu itu..."

Lho? Apakah saya marah? Tidak. Apakah saya cemburu? Tidak. Apakah saya sedang merendahkan para istri muda itu sehingga saya meminta suami untuk menjualnya saja? Tidak. Apakah saya serius dengan kata-kata saya, supaya suami saya menjual istri-istri mudanya itu? Ya. Saya serius. Saya sangat serius. Kenapa? Karena istri-istri mudanya itu adalah....sepeda pancal....

Lha lapo kok akeh-akeh ngumpulno sepeda pancal. Ngebek-ngebeki omah....


OTW PPG, 23 Januari 2013

Wassalam,
LN

Bye Bye Bandung dan UN

Pukul 05.30. Saya sudah di lobi hotel. Menyerahkan kunci kamar, meminta resepsionis untuk memesankan taksi atau mobil hotel. Udara dingin menusuk tapi cuaca nampaknya cukup cerah. Tidak ada gerimis, tidak ada genangan atau kilau air di halaman hotel.

Dengan mobil hotel, saya diantar menuju Bandara Husein Sastranegara. Menyibak pagi yang masih penuh dengan gemerlap lampu-lampu kota. Mencuri waktu sebelum jalanan dipenuhi oleh kemacetan. Meski pesawat Air Asia yang akan membawa saya ke Surabaya dijadwalkan terbang pada 08.15, saya memilih lebih baik secepatnya saja berada  di bandara. Di Bandung ini, meski tidak separah Jakarta, jalan dari Hotel Horison menuju bandara rawan kemacetan. Saya sudah pernah nyaris ketinggalan pesawat di Bandung, dan saya tidak ingin mengulanginya lagi.

Tiba di bandara sebelum pukul 06.00. Luar biasa. Hanya memerlukan waktu sekitar dua puluh menit. Ya, karena jalan masih sangat lengang, Padahal, kalau pada jam-jam padat, perjalanan bisa ditempuh hampir satu jam, bahkan lebih.  

Saya memasuki konter Air Asia. Mencetak tiket. Tiket ini akan diperlukan untuk SPJ, jadi memang harus saya cetak. 

Selesai, saya masuk ke ruang check in. Tidak seperti kalau kita naik Garuda atau pesawat lain, naik Air Asia musti check in dulu secara swalayan di  mesin check in yang mirip ATM itu. Bayar boarding pass, dan masuk ke ruang tunggu. Duduk manis sambil memainkan keypad BB.

Tiba-tiba sebuah SMS masuk ke ponsel saya.
"assalamualaikum wr. wb. mohon maaf, kalau kondisi sekolahan dsini, UNASnya tidak dibantu kerja oleh guru, kemungkinan besar tidak lulus semua. tapi hati kecil saya berkata, berarti mengajari ketidakjujuran kepada siswa. lalu apakah saya harus membantu anak2 d daerah 3T ini, atau membiarkan mereka tidak lulus? terima kasih sebelumnya"

Saya tersenyum kecut. Pertanyaan semacam ini, sudah belasan bahkan puluhan kali saya terima dari para peserta SM-3T. Mereka galau kalau sudah berhadapan dengan UN. Terjebak di antara idealisme dan keadaan yang tidak berpihak. Tapi bagi anak-anak muda yang berprinsip, idealisme adalah idealisme. Segencar apa pun gempuran yang menyerang idealisme mereka, mereka tetap setegar batu karang. Bahakan semakin tak tergoyahkan. 

Hal ini sudah terbukti beberapa kali. Mereka bersikeras tidak mau melakukan kecurangan saat UN. Meski harus dimusuhi guru-guru dan kepala sekolah, mereka tetap teguh menarik diri dari lingkaran konspirasi mensukseskan UN. 

"Bertanyalah pada hati nurani....
Ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab.
Sekali lagi, bertanyalah pada hati nurani, dan kamu akan menemukan jawabannya.
Btw, ini siapakah?" Saya membalas SMS itu.

"Ini Tia, ibu..."

"Baik, Tia. Semoga kamu bisa memilih yang terbaik ya. Sekali lagi, ikuti hati nuranimu ya. Oke? Jaga diri baik-baik, Tia..."

Sejujurnya, saya agak lupa ini Tia yang mana. Keberadaan ratusan peserta SM-3T membuat saya lebih sering hafal wajah dan kurang hafal nama. Tia bertugas di mana, saya juga tidak tahu. Yang jelas bukan di Papua, karena hampir semua peserta yang bertugas di Papua saya hafal namanya, dan mereka semua adalah laki-laki. Tia, sepertinya nama perempuan. Mungkin dia bertugas di Sumba Timur, Aceh Singkil, Maluku Barat Daya, atau di Talaud. 

Saya kembali pada keypad BB saya. Air Asia sudah tiba dan mungkin tak berapa lama lagi penumpang akan disilakan masuk ke pesawat. Tidak seperti pengumuman untuk penumpang di pesawat yang lain, Air Asia mengumumkannya seperti ini: "para penumpang Indonesia, dimohon masuk ke ruang tunggu". Begitu masuk ke ruang tunggu, dua orang petugas yang cantik-cantik sudah menyambut: "Air Asia Surabaya....Air Asia Surabaya?" Lantas mereka mengecek boarding pass, memastikan setiap calon penumpang sudah stand by. Tertib banget. Kalau di pesawat lain umumnya check in ditutup 30 menit sebelum keberangkatan, Air Asia menentukan 45 menit sebelumnya.  

Tepat pukul 08.15, akhirnya terdengar informasi yang kami tunggu-tunggu itu. "Penumpang Indonesia, dimohon masuk pesawat". Maka kami para penumpang pun masuk ke pesawat dengan tertib. 

Dan terbanglah Air Asia meninggalkan Bandung, menembus mega-mega, mengarungi angkasa....

Surabaya, 22 Januari 2013

Wassalam,
LN

Selasa, 21 Januari 2014

Serabi Oncom dan Kembang Tahu

Sore ini lumayan melelahkan. Dari pagi berkutat dengan draf petunjuk teknis dan permendikbud tentang pemberian insentif bagi guru/peserta SM-3T. Kami nyaris tak beristirahat kecuali hanya untuk makan siang dan salat. Itu pun tak lebih dari 45 menit. Seperti sudah jadi kesepakatan, kami maunya kerja cepat. Lupakan istirahat siang. Kerja, kerja dan kerja.

Pukul 16.00, akhirnya draf selesai. Tapi ini waktu yang serba tanggung. Mau langsung balik ke Surabaya, sudah tidak ada pesawat. Pesawat terakhir dari Bandung ke Surabaya  sekitar pukul 16.00. Mau jalan-jalan ke Pasar Baru, sekedar cuci mata karena tidak ada keinginan membeli apa-apa, pukul 17.00 Pasar Baru juga sudah tutup. Maka pilihannya adalah masuk kamar, istirahat. Pulang besok pagi saja. Terpikir juga mau naik kereta malam, tapi membayangkan kedinginan semalaman di kereta api, badan saya sudah sakit semua.

Saya pun leyeh-leyeh di kamar. Menyalakan TV, melihat update banjir Jakarta, Subang, Pekalongan, Bogor dan Pati. Juga banjir bandang Menado dan korban letusan Gunung Sinabung. Berita wapres Budiono yang meninjau Menado dan rencana SBY yang akan menengok Sinabung. Miris hati saya melihat para kurban, salah satunya seorang nenek 70 tahun yang nyaris pingsan saat dievakuasi. Juga bayi-bayi dan balita di Kampung Pulo, Jakarta Timur, yang rumahnya terendam air sekitar enam meter.  Petamburan dan Kampung Muara yang juga tergenang air. Hujan seharian ini, meski tidak terlalu lebat, telah membuat air kembali naik di banyak tempat. Para pengungsi di kawasan Petamburan yang kondisinya jauh dari layak. Hanya tidur beralas karpet dan tikar, tanpa kasur, bantal dan selimut. Meski ada posko dan dapur umum, juga bantuan dari masyarakat berupa makanan dan pakaian, namun kondisi mereka masih sangat memprihatinkan. Mereka sudah berada di tempat pengungsian itu sekitar 4-5 hari. 

Di tengah ketermanguan saya menyaksikan semua kemalangan itu, tiba-tiba ponsel saya berdering. Bu Yoyoh, seorang teman dosen jurusan PKK UPI, menyapa. Menyampaikan progress penulisan buku. Oya, saat ini saya bersama dua orang teman dosen dari UNY dan UPI sedang menulis buku bersama. Judulnya adalah Ilmu Kesejahteraan Keluarga (IKK). Buku ini nanti akan digunakan sebagai buku referensi untuk mata kuliah IKK, setidaknya di tiga universitas, Unesa, UPI dan UNY. 

Baru beberapa menit selesai mengobrol dengan bu Yoyoh, bu Ana menelepon. Bu Ana juga dosen PKK UPI. Waktu mengambil S3 di UNY, saya salah satu promotornya. Dia menyapa dan bertanya: "Ibu pingin makan apa?"
"Apa ya?"
"Kalau bakso, jam segini udah tutup, bu".
Kami mempunyai langganan bakso, kami namakan 'bakso keterlaluan', karena porsinya yang besar. Setiap kali ke Bandung, saya dan bu Ana, juga pak Dadang, teman dosen UPI juga, selalu menyempatkan makan bakso di gang Sa'ad, gang yang berada di dekat Gedung Asia Afrika itu. Bakso dan mienya enak sekali, juga es campurnya. Tapi ya itu...porsinya gede banget, maka kami menjulukinya 'bakso keterlaluan'.

"Pingin makan apa ya?" Saya balik bertanya. " Nggak usahlah, bu Ana, kan di hotel juga disediakan".
"Makan di luar aja, bu, ntar habis maghrib saya jemput ya?"
"Baik deh." Tiba-tiba saya ingat sesuatu. "Oya, bu Ana, saya pingin makan serabi oncom".
"Hah?" Bu Ana tertawa berderai. "Ibu kayak orang ngidam saja...."

Akhirnya malam ini, saya dan bu Ana, beserta seorang anak perempuannya yang masih TK, pengasuh anaknya dan supirnya, nongkrong di sebuah tempat makan di Jalan Burangrang. Di sepanjang Jalan Burangrang itu, mau makan apa saja ada. Batagor Riri yang terkenal itu juga ada. Juga martabak San Fransisco (waduh, jauh ya?). Juga kambing bakar Qairo. Bakso Malang bahkan di beberapa tempat. Dan juga...serabi dengan berbagai macam variasi isi dan rasa.

Saya pesan serabi oncom, tentu saja. Bu Ana juga. Supir dan pengasuh anaknya pesan serabi kuah kinca. Untuk minumnya, kami berempat pesan wedang kembang tahu. Bu Ana bilang, minuman itu cocok untuk hawa dingin seperti saat ini. 

Tahukah Anda, apakah minuman kembang tahu itu? Ya, betul. Di Surabaya, dikenal dengan nama tahuwa. Ada juga yang menyebutnya tauwa. Minuman yang terbuat dari puding sari kedelei dengan kuah rasa jahe ini memang sangat cocok untuk mengusir dinginnya udara Bandung malam ini. Begitu disruput, hangatnya yang menyentuh tenggorokan seperti menjalar ke seluruh tubuh.

Bagaimana dengan serabi oncom? Wow, makanan ini tidak kalah ganasnya. Gundukan putih bernoda itu (nodanya dari oncom berbumbu), aromanya sedap sekali. Disajikan dengan sambal botol. Tapi boro-boro menyentuh sambalnya, makan serabinya saja sudah luar biasa pedasnya. Saya dan bu Ana sampai ngoweh-ngoweh kepedasan. Hidung bolong blong dan telinga terasa berasap. Haha, saking pedasnya. 

Malam ini saya semakin menyadari betapa Maha Pemurahnya Allah SWT. Baru sore tadi saya berdoa, semoga bisa menikmati serabi oncom, ternyata malam ini doa saya terkabul. Bahkan tidak hanya dapat serabi oncom, tapi juga wedang kembang tahu.

Semoga Allah SWT juga segera mengembalikan Jakarta dan tempat-tempat lain terbebas dari banjir, meringankan penderitaan para kurban bencana banjir dan letusan gunung Sinabung. Semoga Dia juga membangkitkan kesadaran para pemimpin negeri untuk lebih peka pada penderitaan para kurban bencana dan melakukan tindakan yang nyata dan tidak sekedar formalita. Semoga Dia juga menumbuhkan keinsyafan setiap insan agar lebih menyayangi dan peduli pada bumi, hutan, udara, langit, dan seluruh alam sekitar. Semoga. 

Hotel Horison, Bandung, 21 Januari 2014

Wassalam,
LN

Surabi Banjur

Hari ini, saya mengawali pagi dengan bangun siang. Pukul 06.05 baru melek. Beginilah kalau lagi tdk ada tanggungan  salat dan masak. Bermalas-malasan.

Saya mengintip keluar dari jendela kamar di lantai lima Hotel Horison tempat saya menginap. Seperti kemarin, Bandung mendung dan basah. Udara dingin di luar menembus sampai di dalam kamar. Semalaman saya matikan AC, tapi selimut tebal tetap saya perlukan untuk menghangatkan tubuh saya. 

Mandi, berdandan, selesai.  Waktunya makan pagi.

Di ruang makan, teman-teman sedang sibuk dengan menu pilihannya masing-masing. Saya duduk semeja dengan bu Ernawulan, dosen PGSD UPI. Wanita cantik yang usianya dua tahun di atas saya itu sudah menyiapkan kursi untuk saya, semeja dengannya, berdua saja. 

Seperti biasa, saya muter-muter sebelum menentukan pilihan. Yang jelas, saya akan memulai dengan buah atau salad, atau kedua-duanya, sebagai appetizer. Ya, buah, yang sebenarnya berkedudukan sebagai dessert dalam menu Indonesia maupun Kontinental itu, selalu saya santap di depan. Fungsinya untuk menyiapkan organ pencernaan, supaya kerjanya dimulai dari yang ringan-ringan dulu, tidak langsung kerja berat. Fungsi yang lain, untuk 'nglambari' perut dengan serat, supaya bisa menyaring penyerapan makanan-makanan yang berlemak. Dan, ini yang terpenting, untuk menkondisikan perut, supaya perut terasa kenyang duluan sebelum mengkonsumsi main course yang penuh dengan kalori itu. Ya, mengelabui perut. Untuk orang-orang seusia saya, mengurangi asupan kalori sangatlah disarankan demi kesehatan dan menjaga tubuh supaya tidak terus melar. 

Salad dan buah sudah saya habiskan. Sepiring penuh. Waktunya berkeliling lagi. Dari satu meja ke meja lain. Roti, bubur ayam, soto Aceh, omelet, sederet menu Kontinental, dan....ini dia. Satu sudut khusus yang isinya menu khas Bandung. Nasi tutug oncom yang warnanya lebih hitam dari yang kemarin, dengan oncom bakarnya yang sebagian lumatannya masih kasar. Ada juga nasi liwet dengan lombok gendut, hm...aromanya membangkitkan selera. Juga aneka gorengan: cireng, tahu gimbal, dan ote-ote (di Bandung disebut bala-bala). Sambal, lalapan tomat dan mentimun.

Untuk memuaskan rasa penasaran saya, saya mengambil semuanya. Sesendok nasi tutug oncom, sesendok nasi liwet, sebutir cireng, sebutir bala-bala, dan sebutir tahu. Benar-benar hanya memuaskan rasa penasaran, karena sebenarnya perut saya sudah terasa penuh. Tapi semua makanan itu saya habiskan juga, sebagai  wujud tanggung jawab..hehe. Dalam acara makan dengan sistem buffet, apa pun makanan yang sudah diambil, etikanya harus dihabiskan. Kalau tidak dihabiskan, ya....kurang etislah. Begitu salah satu pelajaran table manner yang masih saya ingat. 

Masuk ruang kerja. Melanjutkan pekerjaan menyusun petunjuk teknis dan draf permendikbud. Melanjutkan diskusi semalam. Oya, semalam, kami berdebat lama sejak pukul 19.00-an sampai hampir pukul 23.00. Baru tahap brainstorming untuk merumuskan arah petunjuk teknis pemberian insentif bagi guru SM-3T, supaya sinergi antara program P2TK dan program Dikti. Menyangkut tujuan program, sasaran, mekanisme penyaluran insentif, sampai kepada monitoring dan evaluasinya. Juga payung hukum yang diperlukan untuk mengawal program tersebut. 

Diskusi pagi ini berlangsung gayeng. Kami berbagi tugas. Semua dengan kelompoknya masing-masing. Saya sendiri dengan dua orang teman kebagian menyusun draf mekanisme penyaluran isentif.

Waktunya break. Ada banyak kue yang menunggu. Pastry mini, pastel, keripik talas, dan.......surabi banjur. Ya, surabi bulat dengan warna hijaunya yang menarik hati. Dilengkapi dengan saus santan gula merah yang manis. Dibilang serabi banjur karena santannya dituangkan ke atas serabinya. Banjur adalah Bahasa Sunda, artinya tuang.

Saya mengambil sebutir surabi, meletakkannya di piring kecil. Mengambil sesendok kuah coklat susu itu, menuangkannya di atas surabi. Cairan itu membasahi gundukan serabi dan sekitarnya. Cantik. Saya potret dulu sajian menarik itu. Buat dokumentasi pribadi. Siapa tahu suatu saat saya memerlukannya untuk menulis buku serba-serbi serabi. Hehe.

Saya mengambil sendok. Memotong surabi, memasukkannya ke mulut. Menikmati legitnya sebelum mengunyahnya pelan-pelan, sambil menghayati keempukannya. Benar-benar enak. Satu surabi, habis tandas. Cukup. Tidak perlu menambah lagi. Kalau dipaksakan...enaknya hilang sudah. Berganti eneg.

Lho, kok bisa? Ya. Surabi itu terlalu manis untuk saya. Mungkin karena saya tidak terlalu suka makanan yang rasanya manis, ya, mengingat saya sendiri sudah cukup manis, eit...hehe. 

Tapi benar. Surabi banjur tak bisa mengalahnya lezatnya serabi Tuban. Mulai dari tekstur, keempukan, penampilan dan rasanya. Inilah bukti, bahwa preferensi seseorang terhadap pangan itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun teman sepermainan. Sejak kecil, saya mengenal serabi ya yang seperti serabi Tuban itu. Warna bagian atasnya putih, bagian bawahnya coklat kehitaman, nyempluk-nyempluk, dimakan dengan santan atau kelapa. Rasanya gurih. Karena rasanya yang gurih, ada citarasa gosong yang menambah selera, maka saya bisa menghabiskan dua potong sekali makan, bahkan lebih.

Dibanding dengan serabi Tuban, surabi banjur, serabi Solo, serabi Aceh, serabi Makasar, serabi Jakarta, serabi Amerika, serabi Belanda, serabi Arab, serabi mana pun...., serabi Tuban tak terkalahkan. Tak ada duanya. Suwerrr....hehe.

Ajaib. Setelah beberapa hari berdiskusi tentang oncom dan serabi di milis keluarga Unesa, saling gojlok, saling sindir, penuh canda, saya menemukan dua makanan itu di Bandung. Oncom dalam bentuk nasi tutug oncom dan serabi dalam bentuk surabi banjur. 

Semoga saya juga segera  menemukan serabi oncom. Ya Allah, kabulkanlah doa saya....
Amin Ya Rabbal Alamin.


Hotel Horison, Bandung, 21 Januari 2014

Wassalam,
LN