Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 29 Agustus 2014

Raja Ampat (1): Menyapa Waisai

Pukul 11.03 waktu Sorong. Kapal cepat Berkat Mulia bergerak, meninggalkan Pelabuhan Rakyat. Kapal berkapasitas 300-an orang ini membawa kami menuju Raja Ampat.

Ya, Raja Ampat. Tentu semua orang tahu tempat apa itu. Benar. Tempat wisata yang terkenal dengan ekspedisi bawah lautnya yang luar biasa. Anda bisa menikmati keindahan wisata bahari itu dengan snorkeling atau diving. Tentu saja juga pulau-pulau dan pantainya yang juga menakjubkan.

Tapi kedatangan kami ke Raja Ampat ini bukanlah untuk berwisata. Meski, mungkin, yang terjadi adalah sambil menyelam minum air. Ya, karena, di mana-mana, hampir di semua tempat, Raja Ampat memiliki keindahan. Melakukan perjalanan ke Raja Ampat, meski bukan perjalanan wisata, suguhan keindahan alamnya tetap bisa dinikmati di sepanjang perjalanan.

Kedatangan kami ke Raja Ampat ini dalam rangka melaksanakan Program SM-3T. Kami, terdiri dari saya, Pak Yoyok Yermiandhoko dan Bu Lucia, serta dua puluh sarjana pendidikan yang tergabung dalam Program SM-3T. Kami bertiga adalah dosen pendamping yang akan menyerahkan anak-anak muda ini kepada Kepala Dinas Pendidikan Raja Ampat. Mereka akan mengabdikan diri sebagai guru di sekolah-sekolah miskin di wilayah yang terkenal dengan potensi wisatanya yang tergolong unggulan ini.

Waisai. Ya, ke sanalah kapal cepat yang kami tumpangi ini menuju. Waisai merupakan ibukota Kabupaten Raja Empat. Adalah pulau yang jaraknya sekitar dua jam bila menumpang kapal cepat, atau sekitar empat jam dengan menumpang kapal kayu. Bisa juga ditempuh melalui jalur udara, dengan menumpang pesawat-pesawat kecil sejenis Suzie Air. Biaya ketiga jenis kendaraan ini tidak terlalu mahal. Tidak lebih dari 250 ribuan untuk sekali jalan.

Para guru SM-3T belum tentu akan bertugas di Waisai. Di tempat ini, mereka hanya akan disambut dalam sebuah acara seremonial penerimaan, oleh Bupati dan Kepala Dinas Pendidikan. Setelah itu, mereka akan menerima pembekalan dari Dinas, baru kemudian didistribusikan ke distrik-distrik yang berada di pulau-pulau lain.

Raja Ampat memang surga kecil yang jatuh ke bumi, sebagai mana tanah Papua pada umumnya. Begitulah kata Edo Kondolegit. Sepanjang perjalanan adalah pemandangan yang indah permai. Laut, pantai, pulau-pulau, bukit-bukit rimbun, dan bahkan langit yang digelayuti mendung. 

Raja Ampat sendiri, konon, merupakan kepulauan yang terdiri dari empat kerajaan tradisional. Kerajaan tersebut adalah Waigeo, dengan pusat kekuasaannya di Wewayai; Kerajaan Salawati, dengan pusat kekuasaannya di Samate, Pulau Salawati Utara; Kerajaan Sailolof dengan pusat kekuasaannya di Sailolof, Pulau Salawati Selatan; dan Kerajaan Misol, dengan pusat kekuasaannya di Lilinta, Pulau Misol. 

Kabupaten Raja Ampat menurut sebuah sumber memiliki 610 pulau. Empat di antaranya adalah Pulau Misool, Salawati, Batanta dan Waigeo. Keempat pulau tersebut merupakan pulau-pulau besar. Dari seluruh pulau, hanya 35 pulau yang berpenghuni. Pulau lainnya tidak berpenghuni, dan sebagian besar belum memiliki nama.

Di atas kapal, kami bercengkerama dengan dua orang turis yang ramah. Bermain dengan dua anak asli Papua, laki dan perempuan, usianya masih sekitar 4-7 tahun. Kedua anak itu, begitu sempurna. Mata mereka, rambut kriwulnya, kulit sawo matangnya yang bersih, dan senyumnya, betapa indah. Khas anak Papua. Seila dan Reinhart, begitu nama mereka. Adalah dua bocah yang hangat, bersahabat, dan sadar kamera. Mereka bersama orang tuanya, akan mengunjungi keluarga mereka di Waisai. 

"Seila sudah sekolah?" Tanya saya, pada gadis kecil berambut kriwul itu.
"Sudah." Senyum manisnya malu-malu.
"Di mana?"
Dia menyebut sebuah nama sekolah, namun tidak terlalu jelas di telinga saya. Deru mesin kapal dan angin laut yang keras menerbangkan suara Seila ke laut lepas.

Pukul 12.50, saat kapal kami merapat di pelabuhan Raja Ampat. Udara panas langsung menerpa wajah begitu kami keluar dari kapal. Panas yang menyengat, terasa sakit menerpa kulit. 

Bagasi dikeluarkan dari kapal oleh lima lelaki, para peserta SM-3T, dibantu awak kapal. Pelampung dikumpulkan. Para peserta perempuan menggeser barang-barang itu, dihimpun jadi satu. Dimasukkannya ke mobil yang telah menunggu. Satu mobil khusus barang dan untuk mengangkut para lelaki. Satu mobil khusus penumpang perempuan.

Seorang petugas dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Raja Ampat, Pak Budiono, memandu kami. Menelusuri jalan-jalan di Waisai menuju penginapan. Cuaca panas semakin menyengat. Pantai-pantai yang indah dan barisan pohon kelapa menjadi penyejuknya. Juga ratusan umbul-umbul, baleho, serta pernak-pernik lain sisa-sisa perayaan besar Sail Raja Ampat 2014 yang baru saja berlalu.

Siang ini, kami hanya ingin menyapa Waisai. Kami akan menikmati hidup yang rileks tanpa dibebani tugas-tugas. Ada cukup waktu untuk menghempaskan kantuk dan kelelahan karena perjalanan dari Surabaya sejak pukul 21.00 semalam. 

Besok, adalah acara seremonial penerimaan dan pembekalan guru SM-3T. Ya, masih besok. Jadi, mari kita bergegas mandi, salat, makan siang, dan tidur.....

Waisai, Raja Ampat, Papua Barat, 28 Agustus 2014.

Wassalam,
LN 

Raja Ampat (2): Muslim, Ojek, dan Negeri Tujuh Matahari

Namanya Nasrul. Dia kelas 8 di sebuah SMP. Bapaknya, orang asli Cirebon, seorang guru PNS, yang ditugaskan di Waisai, dan menetap sampai saat ini.  Mamanya, orang asli Tasikmalaya, ibu rumah tangga. Nasrul mempunyai seorang kakak dan dua orang adik.

Pagi ini, Nasrul sedang memancing. Dia berdiri di atas jembatan yang menjorok beberapa meter dari bibir pantai. Dia memain-mainkan batang pancingnya dan beberapa ikan kecil sudah berhasil diperolehnya. Ikan kecil-kecil sebesar jari-jari. Ada sekitar dua puluh ikan di dalam timba plastiknya. Ikan itu bergerak-gerak, berjuang, bertahan hidup.

"Nasrul tidak sekolah hari ini?" Tanya saya.
"Sekolah masuk siang." Jawabnya sambil terus melihat kail pancingnya.
"Nasrul setiap hari memancing?"
"Ya."
"Disuruh orang tua?"
"Tidak."
"Untuk apa ikannya?"
"Digoreng, buat makan."
"Sampai jam berapa mancingnya?"
"Kalau su dapat banyak, pulang."

Nasrul pagi ini tidak sendirian. Dia bersama adik laki-lakinya. Namanya Bahari, kelas 2 SD. Bahari juga sudah memperoleh belasan ikan kecil-kecil. 

Di sepanjang jembatan kayu itu, ada beberapa anak seusia Nasrul, laki-laki dan perempuan. Tidak seperti Nasrul dan Bahari yang berkulit sawo matang, mereka berkulit hitam legam dan berambut keriting. Khas anak Papua. Ada juga dua orang mama, juga khas orang Papua.

Tapi tunggu dulu. Waktu saya tanya, siapa nama mereka, saya jadi tahu, mereka ternyata tidak Papua-Papua banget.

"Mama siapa namanya?" Tanya saya pada seorang ibu yang sedang memancing.
"Saidah."
"Lho? Itu bukan nama Papua. Apa Mama bukan orang asli Papua?"
"Saya asli Papua. Itu su nama saya."
"Suami ibu?"
"Dari Sulawesi. Namanya Anwar."
"Berapa anak Mama?"
"Lima."
"Siapa nama anak pertama?"
"Eka Dewi Lestari?"
"Lho? Itu Jawa banget?"
"Itu kepala sekolah dari Jawa yang kasih nama."
"O Pantas. Anak kedua siapa namanya?"
"Irianto. Yang ketiga Iriawan, yang keempat Irwan, yang kelima Irman."
"Wah...." Saya tertawa mendengar jawaban Mama Saidah.
"Mama muslim?"
"Ya. Kami sekeluarga muslim."

Keluarga muslim, memang banyak ditemukan di Waisai. Adalah para nelayan dan transmigran dari Maluku dan Sulawesi Selatan yang datang ke Waisai, menetap, menikah dengan perempuan-perempuan asli Papua. Juga orang-orang dari Jawa, berdagang, membuka warung, membuka toko, menikah dengan orang-orang asli Papua. Beranak-pinak. Menambah populasi penganut Islam. Disinyalir, populasi muslim di Raja Ampat mulai seimbang dengan nonmuslim. Malah ada yang menduga, saat ini, populasi muslim di Raja Ampat hampir menyamai Fak-fak, yang dijuluki 'Serambi Mekah"-nya Papua.

Anak-anak mereka, adalah anak-anak muslim yang wajahnya manis, kulit sawo matang, mata bulat dinaungi bulu-bulu lentik, dan rambut mereka ikal cenderung keriting. Nama mereka adalah nama-nama muslim, atau setidaknya, bukan nama khas Papua.

Pagi tadi, saat saya sedang berjalan menuju pantai, saya bertemu dengan seorang anak laki-laki yang membawa timba plastik berisi ikan. Dia memainkan botol air mineral kosong, disepak-sepaknya seperti bola.

"Nama kamu siapa, Dik?"
"Is."
"Is siapa?"
"Iskandar."
"Lho, kamu muslim?"
"Ya."

Sebelum saya bertanya lebih lanjut, seorang bapak berteriak memanggil Iskandar.
"Is...." Tangan bapak itu melambai, dia sudah ada di atas sepeda motor yang siap melaju. Laki-laki itu tersenyum ke arah saya.

"Itu bapak?"
Is mengangguk. Bergegas ke arah bapaknya. 
"Sa mau pulang." Katanya.

Di mana-mana di Waisai, ditemukan banyak perempuan berjilbab, juga anak-anak sekolah. Masjib besar dan terawat, suara adzan menggema setiap waktu shalat tiba. Belasan bahkan puluhan orang memenuhi masjid untuk menunaikan shalat berjamaah.

Di Waisai ini, Anda bisa melihat sebuah contoh tentang toleransi. Orang dari berbagai suku dan agama tumplek blek di wilayah kepulauan yang indah ini. Kerukunan mereka seindah pulau yang mereka huni. Keramahan, kesahajaan, dan ketulusan. Anda boleh memarkir sepeda motor dan mobil di mana Anda mau, tak akan ada seorang pun mengusiknya. Anda bisa berkendara melaju di kegelapan malam menembus hutan, tak ada seorang begal pun mencelakai. Hidup rukun dan damai, sepertinya cocok dengan sebutan Waisai sebagai kota "Bersatu." Bersih, Elok, Ramah, Sejuk, Aman, Tertib dan Unik. 

Selain tentang toleransi, Waisai juga memiliki keunikan dalam hal mengelola transportasi. Di sini, jangan harap Anda menemukan angkutan umum, semacam angkot atau angkodes. Jenis angkutan ini dilarang di sini, karena dikawatirkan akan menyebabkan macet, polusi, dan merusak lingkungan.

Angkutan umum hanya ada satu, yaitu ojek. Ojek akan mengantar Anda ke mana pun. Mereka, para tukang ojek itu, bertebaran di mana-mana, mengenakan kostum khas, berjaket dan berhelm dengan tulisan 'Raja Ampat'. Biaya menumpang ojek tidak terlalu mahal, masih sangat terjangkau, karena memang angkutan ini disediakan untuk semua kalangan.  

Kalau Anda ingin pergi berombongan, Anda bisa menyewa truk. Ya, truk terbuka, bisa memuat lebih dari dua puluh penumpang beserta barang-barang mereka. Truk itu jugalah yang kami sewa untuk mengangkut para peserta SM-3T dari penginapan ke Asrama Training SMK 2, tempat penampungan sementara sebelum mereka dijemput oleh kepala sekolah masing-masing. Dengan truk itu juga kami membawa para guru muda itu mengunjungi pantai Waiwo serta berbelanja keperluan mereka di kios dan pasar tradisional. 

Di Raja Ampat, hampir semua komoditi ada. Dari beras sampai makanan kaleng, frozen food seperti nugget, sosis, serta berbagai minuman dan snack. Juga buah-buahan import. Bila sedang musim, durian, langsep, dan rambutan, ada di mana-mana, dengan harga yang sangat murah. Ya, hampir semua yang dijual di kota-kota besar, di sini ada. Termasuk menu makanan jajanan, mulai bakso, soto, nasi penyetan, siomay, juga roti-roti modern. Tapi kalau Anda ingin restoran fast food semacam KFC, Mc Donald dan lain-lain, tunggu dulu ya, belum ada....

Kehadiran para pendatang mempercepat laju kehidupan sosial-ekonomi penduduk Raja Ampat yang baru resmi sebagai kabupaten sendiri pada tahun 2004 yang lalu. Infrastruktur yang cukup memadai sepanjang lebih dari 50 kilometer, yang menghubungkan satu titik dengan titik yang lain di Waisai sangat membantu laju pertumbuhan kota kecil ini. 

Transportasi di Raja Ampat dari satu pulau ke pulau lain tentu mengandalkan transportasi laut. Kapal bodi (perahu nelayan), speedboat, kapal cepat, kapal kayu, merupakan kebutuhan vital. Alat transportasi ini yang akan mengangkut orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pulau ke pulau lain.

Suhu di Raja Ampat, sebagaimana wilayah pesisir pantai, sangatlah panas. Di Waisai ini, yang suhunya sudah kami rasakan sangat panas, melebihi suhu di Surabaya, masih belum seberapa. Menurut orang-orang Waisai, di pulau-pulau lain, ada yang mataharinya tidak hanya satu sebagaimana di Waisai, tapi dua, tiga, bahkan tujuh. Di satu pulau, namanya Ayao, berbatasan dengan Philipine, bahkan mataharinya ada tujuh. 
"Matilah orang kalau hidup di sana." Kata Edi, driver asli Ambon, yang kami sewa hari ini. "Di sana air juga susah."
"Tapi di sana ada sekolah." Tukas saya.
"Ya, tapi berat sekali kalau guru-guru itu ditugaskan di sana, Bu. Cari makan susah di sana, harus bawa bahan makanan dari sini."

Eva dan Joli, dua guru SM-3T, bakal ditugaskan di Pulau Ayao, yaitu di SMA Negeri 9 dan di SMP Persiapan Abidon. Kami memberitahu mereka, supaya kedua anak muda itu siap dengan kondisi seburuk apa pun. 
"Bagaimana, kalian siap?"
"Insyaallah siap, Ibu."
"Baik, selamat mengabdi di Negeri Tujuh Matahari...."

Waisai, Raja Ampat, 30 Agustus 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 20 Agustus 2014

Empat Buku Di Pisah Kenal Rektor

Pisah Kenal Rektor. Mungkin ini bukan nama yang tepat untuk acara yang dihelat di Auditorium Kantor Pusat Unesa pada Rabu, 20 Agustus 2014, pukul 10.00-12.00 siang tadi. Dengan rektor lama, periode 2010-2014, yaitu Prof. Dr. Muchlas Samani, tidak bisa dikatakan 'pisah', karena meskipun beliau mungkin setelah tidak menjabat menjadi Rektor Unesa akan banyak beraktivitas di mana-mana, namun 'rumah' beliau tetaplah di Unesa. Dengan rektor baru, periode 2014-2018, yaitu Prof. Dr. Warsono, tidak tepat juga kalau dikatakan 'kenal (an)'. Siapa yang tidak kenal beliau yang juga PR 3 Unesa ini?

Tapi tidak masalah. Apalah arti sebuah nama. Pisah Kenal, sepertinya sudah menjadi judul pakem dalam acara-acara semacam ini.

Acara dihadiri oleh anggota senat Unesa, pimpinan universitas dan fakultas, pengurus jurusan, ketua lembaga dan UPT, kepala biro, karyawan, wakil mahasiswa, para mitra Unesa serta para awak media. Ruang auditorium penuh. Rupanya acara pisah kenal ini diminati oleh banyak kalangan.

Menariknya, acara juga diramaikan oleh kelompok musik yang menyanyikan lagu-lagu keroncong. Mereka menyanyikan lagu-lagu yang hampir semua orang kenal dan bisa menikmati, mulai dari lagu yang asli keroncong sampai lagu yang aslinya bukan lagu keroncong tapi dikeroncongkan, termasuk lagu-lagu dangdut dan lagu-lagu Barat.

Menariknya lagi, kedua rektor itu, sama-sama lihai berorasi. Orasinya sangat bernas, dalam sekali maknanya, dan penting. Tentang bagaimana Unesa dulu, kini, dan yang akan datang. Nampaknya, Prof. Warsono akan mampu mengimbangi gerak langkah super cepat pendahulunya, yaitu Prof. Muchlas Samani. Banyak hal yang sudah digagas, diwujudkan, dan dimulai oleh Prof. Muchlas. Prof. Warsono diharapkan mampu meneruskan semua yang sudah dimulai itu, melengkapi yang belum, menambal yang perlu ditambal, dan mencetuskan ide-ide baru serta merealisasikannya untuk kemajuan Unesa ke depan. 

Dalam acara itu juga menghadirkan tiga orang untuk menyampaikan kesan pesan, mewakili mahasiswa, dosen, dan karyawan.  Mahasiswa diwakili oleh anggota Menwa, dosen diwakili oleh M. Khoiri (dosen Bahasa Inggris), dan karyawan diwakili oleh Sri Supriatin (Staf PR 4). Ketiga orang itu, semuanya menarik dalam menyampaikan kesan pesan dan harapan-harapannya. Beberapa lontarannya bahkan mengundang gelak tawa berkepanjangan sekaligus keharuan.

Yang lebih menarik lagi, suvenir acara itu, adalah empat buku. Ya, empat buku. Plus satu majalah. Empat buku itu berjudul: Mohon Maaf, Masih Compang-Camping  (ditulis oleh Muchlas Samani sendiri); Manapaki Setengah Abad (persembahan dari Humas Unesa); Muchlas Samani, Aksi dan Inspirasi (penyuting M. Khoiri dan Luthfiyah Nurlaela); dan Pancasila-isme dalam Dinamika Pendidikan (ditulis oleh Warsono). Sebuah majalah, yaitu Forum, yang di dalamnya memuat profil Prof. Warsono, dengan judul: Selalu Memberi yang Terbaik, juga dibagikan.

Kesan yang tertangkap dari kedua sosok itu, Muchlas Samani dan Warsono, adalah orang yang sama-sama cerdas, pergaulannya luas, pengetahuan dan wawasannya luas, rendah hati, santun, kharismatik, dan cinta buku (baca cinta membaca dan menulis). Buku yang ditulis Muchlas Samani, benar-benar buku yang luar biasa menarik. Baru melihat tampilannya saja, buku itu begitu memesona. Cover-nya, layout-nya, isinya, gambar-gambar dalam buku itu, semuanya, sangat mengesankan. Menunjukkan kalau buku itu benar-benar dipersiapkan dengan baik, digarap dengan cermat. Sangat berbobot tapi juga sangat artistik.

Buku yang ditulis oleh Prof. Warsono, menggambarkan kepakarannya dalam bidang filsafat dan pengembangan karakter. Covernya lugas, dengan warna merah putih yang menegaskan nasionalismenya, sangat sesuai dengan apa yang dituliskannya dalam buku itu.

Dua buku yang lain juga tidak kalah menariknya. Semuanya memuat perjalanan Unesa sejak dipimpin Muchlas Samani, dan harapan ke depan yang diungkapkan oleh banyak pihak. Belasan dosen berpartisipasi sebagai kontributor dalam penyusunan buku itu. 

Dari semua itu, apa yang paling menarik? Ya, budaya untuk mengabadikan perjalanan sebuah kepemimpinan dengan sebuah buku. Bukan sekedar buku semacam nota akhir jabatan yang ditulis oleh para staf untuk pimpinan yang mengakhiri masa jabatan. Tapi buku yang ditulis oleh pelaku itu sendiri, oleh pimpinan itu sendiri. Berisi semua catatan tentang apa yang menjadi janji-janji di awal-awal menjabat dulu, apa yang sudah ditepati, apa yang belum dipenuhi. Sebuah tulisan yang ditulis dengan jujur, apa adanya. Merupakan sebuah pertanggungjawaban pribadi dan lembaga. Tentu hal ini akan menjadi catatan sejarah bagi sebuah perjalanan kepemimpinan seseorang, sekaligus menjadi dokumen penting yang akan mewarnai sejarah perjalanan sebuah lembaga besar seperti Unesa.

Selamat untuk Prof. Muchlas Samani yang sudah memberikan banyak hal untuk kemajuan Unesa, menjadi bapak dan sahabat untuk semua, menjadi motivator dan advisor untuk siapa saja. Semoga semangat beliau menginspirasi Prof. Warsono dan siapa pun civitas akademika, agar lebih giat memajukan Unesa tercinta.

Surabaya, 20 Agustus 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 07 Agustus 2014

Selamat Jalan, Sahabat (4) (Puisi untuk Rukin Firda)

Aku tahu, tangis ini tidak akan mengembalikanmu padaku, pada kami semua
Namun kesedihanku tak juga sampai pada ujungnya
Kenapa harus dirimu, yang begitu berarti?
Seseorang yang dengan sepenuh hati mengabdikan diri pada perjuangan ini?
Siapa pun bisa melebihi dirimu dalam hal kebolehan
Namun kecintaan itu, kerelaan itu, keteguhan hati dan semangat itu, dirimulah satu-satunya
Begitulah cara Tuhan menunjukkan cintanya kepadamu
Merenggutmu dari kami dengan begitu tiba-tiba
Aku teringat kata-katamu
Manusia itu jangan kemilikan
Sifat yang terlalu mencintai sesuatu atau seseorang, sehingga tidak siap kehilangan
Padahal kita dan semua milik kita di dunia ini adalah kepunyaan-Nya
Sewaktu-waktu, kapan pun, tanpa kita tahu pasti, Dia akan mengambilnya...
Sekali waktu dirimu juga berkata
Jangan menaruh harapan yang terlalu besar pada sesuatu
Kita akan kecewa jika harapan itu tak terwujud
Maka bersiapkan gagal dan kecewa untuk setiap harapan dan optimisme kita
Sahabat
Inikah arti semua itu?
Inikah saat-saat itu?
Saat di mana kami harus kehilanganmu, dengan begitu tiba-tiba?
Betapa pun kau telah mempersiapkan diriku dan kami semua untuk bisa tegar ketika harus menghadapi saat-saat itu, namun sungguh, rasa kehilangan ini begitu menyesakkan
Sahabat,
Kebaikan dan keindahanmu membekas di mana-mana
Membangkitkan kenangan demi kenangan saat kau berada di setiap jejak yang kau pernah ada
Mengingatkan pada mimpi-mimpi dan cita-cita yang akan kita gapai bersama
Bagaimana mungkin kami bisa melupakan semuanya ini, menepiskan kesedihan ini?
Betapa kami semua merindukanmu
Namun hanya doalah yang mampu kami panjatkan untukmu
Semoga Dia dengan sepenuh cinta merengkuhmu
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu wa akrim nuzulahu wa wassi' madkhalahu waj'al al-jannata matswahu bi rahmatika ya Arhama ar-Rahimin, waj'al ahlahu min as-shabirin.

Tanggulangin, 7 Agustus 2014
(Tahlil tujuh hari)
Wassalam,
LN

Senin, 04 Agustus 2014

Muhibah Lebaran (4): Ngumpulke Balung Pisah

Sekitar pukul 21.30, kami pamit pada Paklik Mujab sekeluarga. Perasaan bahagia karena bisa bertemu dengan Paklik Mujab dan putro-wayah masih terasa membuncah di dada. Benar. Pertemuan seperti ini menjadi barang langka, mahal dan sangat berharga. Begitu mahalnya sehingga perlu pengorbanan, tenaga, waktu dan tentu saja sumber daya yang lain, untuk mewujudkannya. 

Saya jadi ingat pada Simbah Kakung Solo, Kyai Shoimuri. Simbah Kakung adalah putra dari Kyai Siroj. Kalau ingin tahu siapa Kyai Siroj, yang biasa disebut Mbah Siroj, googling saja, Anda akan banyak menemukan tautan tentangnya. Kyai Siroj dikenal sebagai pendakwah yang luas pergaulannya, moderat, dan bersahabat dengan semua suku, agama dan ras. Sampai saat ini pun, khoul Kyai Siroj tetap diperingati setiap tahun di Solo,  dan dihadiri oleh jamaah dari berbagai penjuru Tanah Air. Acara khoul ini, juga menjadi ajang reuni bagi kami semua, keluarga besar Bani Siroj. 

Kembali pada cerita tentang Simbah Kakung saya. Beliau dikenal sebagai ahli silaturahim. Jarak sejauh apa pun akan beliau tempuh untuk menjumpai para sanak saudara, kerabat, dan santri. Beberapa kali beliau rawuh di rumah kami, di Jenu, membawa kerabat baru, yang ternyata masih saudara kami yang telah puluhan tahun hilang, tak terendus jejaknya. Begitu kuatnya kemauan beliau untuk terus-menerus 'ngumpulke balung pisah' hingga sampai akhir hayatnya, sampai saat ini balung-balung yang sudah terkumpul itu terus menikmati dan mensyukuri berkah silaturahim itu. Tersambung dan menyatu dengan anggota Bani Siraj yang lain.

Saya bandingkan dengan apa yang kami lakukan sekarang, pengorbanan kami untuk bersilaturahim, tentulah tidak ada apa-apanya. Kami memiliki sarana untuk melakukannya. Ada kendaraan pribadi. Kalau pun tidak ada, ada kendaraan umum yang sepanjang waktu tersedia. Ada juga sepeda motor yang seringkali membuat perjalanan lebih mengasyikkan, touring sekaligus silaturahim. 

Saya sekeluarga sudah mengalami semua, naik kendaraan umum, naik sepeda motor, dan naik kendaraan pribadi. Tidak hanya saya sekeluarga yang melakukan itu, hampir semua saudara saya melakukannya juga. Bapak ibu kami mengajarkan pentingnya silaturahim, sehingga sowan-sowan dari ujung ke ujung ketika lebaran menjadi tradisi keluarga. Kadang-kadang, bila kesempatannya cocok, kami melakukannya dengan berkonvoi. Begitulah. Mungkin yang melihat tradisi keluarga kami ini akan mbatin, kok mau-maunya.... Ya. Nikmatnya bersilaturahim hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang mencintai silaturahim.

Sekitar pukul 23.00, kami tiba di rumah ibu, di desa Jenu, Tuban. Rumah besar yang sekompleks dengan sekolah RA, MTs dan MA itu, sepi. Pintu besarnya tertutup rapat. Setelah membuka dan menutup kembali pintu pagar, kami langsung memarkir mobil di halaman belakang. Sudah ada Karimun milik Dik Utik, adik saya, parkir di situ. Juga mobil Espass, milik ibu. Halaman belakang itu menyatu dengan rumah Mas Zen, kakak kami, kepala sekolah M.Ts Al-Hidayah, sekolah yang bernaung di bawah yayasan Al-Hidayah, yayasan yang dibangun oleh keluarga kami. Ketua yayasan adalah ibu saya, yang oleh orang-orang disebut Ibu Nyai Basjiroh.

Ibu sendiri bukan orang baru dalam bidang organisasi. Pengalamannya dalam organisasi IPPNU telah mengantarkan beliau pada jabatan sebagai sekretaris kepengurusan IPPNU Pusat pada periode pertama kepengurusan, dan sebagai Ketua pada periode kepengurusan kedua. Ibu juga terjun ke dunia politik dan itu mengantarkan beliau sebagai anggota DPRD Kabupaten Tuban pada tahun 70-an. Meskipun ibu sekarang mengaku muak dengan dunia politik, namun bagaimana pun ibu juga mengakui, dunia itu telah memberi banyak pengalaman dan pelajaran hidup baginya. Salah satu pelajaran hidup yang beliau tanamkan pada kami, "lek iso, ora usah melu-melu terjun ke dunia politik. Wis cukup ibu wae." Kebetulan, dari enam putra-putri ibu, tidak ada seorang pun yang tertarik terjun ke dunia politik, meski tawaran itu datang silih berganti. Saat ini, pada usia beliau yang menginjak 78 tahun, alhamdulilah, ibu dikaruniai kesehatan yang sangat baik, dan memungkinkan beliau untuk terus berdakwah serta mengabdikan diri pada pendidikan agama. Keterlibatan beliau dalam dunia politik saat ini hanya sebatas dimintai doa restu oleh para caleg yang akan maju. Ibu tentu saja paham betul apa yang dimaui para caleg itu dengan memohon doa restu beliau. Maka, beliau akan selalu bilang, "lek olehmu nyaleg iku ngko nggowo barokah, tak dongakno hasil. Ning lek malah ndadekno mudhorot, tak dongakno ora hasil." 

Saya membuka ponsel. Ibu yang terus memantau kami sepanjang perjalanan tadi berpesan, kalau kami sudah sampai, saya diminta menelepon, untuk membangunkan ibu. Kalau mengetuk pintu, ibu khawatir beliau tidak mendengar, karena jarak pintu belakang dengan kamar ibu yang lumayan jauh. 

Begitu pintu dibuka, saya langsung merengkuh tangan kurus itu, milik tubuh mungil yang begitu saya cintai. Ibu saya. 
"Assalamualaikum, Mik." Saya mencium punggung tangannya. "Ngaturaken sedoyo kalepatan, nyuwun pangapunten. Ngaturaken salam lan sungkem saking keluarga Ponorogo, Solo, Boyolali, Rembang lan Pamotan"

"Waalaikum salam. Iyo. Podho-podho, Umik yo semono ugo."

Kami memasuki ruang keluarga. Sepi. Dik Utik sekeluarga, yang juga baru datang dari Bojonegoro sore tadi, sudah pulas. Mas Ipung sekeluarga, saudara kami yang tinggal bersama ibu, sudah tak ada suaranya. 

"Sampun, Mik. Umik enggal istirahat malih, sampun dalu, mangke dalem ringkes-ringkesi. Lawangipun dalem mangke ingkang nutup."
"Ora tak gawekke teh disik?"
"Sampun, Mik. Mboten sisah, maturnuwun. Air putih kemawon. Lha meniko, kantun mendhet." Jawab saya.
"Yo wis, Umik sare maneh yo. Ojo lali nutup lawang."
"Inggih."

Malam itu, kami menurunkan hampir semua bagasi dari mobil. Kue-kue dan hadiah lebaran untuk ibu, para saudara, dan para keponakan. Inilah momen berbagi yang paling membahagiakan dalam hidup saya. Berbagi dengan para saudara, kerabat, dan tentu saja, orang tua. Mungkin tidak seberapa barang-barang yang kami bagikan, tapi bahwa itu sebagai bukti kalau kami selalu mengingat mereka, tentulah maknanya sangat bernilai. 

Larut malam mengantarkan kelelahan kami dalam tidur yang nyenyak. Masih ada serangkaian agenda selama tiga hari kami di Tuban ini. Apa lagi kalau bukan silaturahim. Ke sanak saudara, ke para sahabat. 

Arga yang kelelahan setelah menjadi driver jarak jauh, sudah tertidur pulas. Saya menatap wajah bulatnya yang tampan, mengelus rambutnya. Saya bersyukur pada Allah SWT, bagaimana pun, Arga yang cenderung sakarepe dewe itu, sudah terbiasa dengan tradisi silaturahim dalam keluarga besar kami. Dia tidak pernah mengeluh karena jauhnya jarak yang harus ditempuh, ditambah dengan kelelahan karena kemacetan di jalan, dan juga tugas tambahannya sebagai driver andalan. Dia nampak menikmati sekali pertemuan demi pertemuan dengan saudara-saudaranya, bercanda, bercerita, saling menggoda, dan berpisah setelah saling bersalaman dan saling mendoakan. Semoga kecintaannya pada silaturahim terus terjaga, sebagaimana kecintaan silaturahim yang telah diajarkan dan diwariskan oleh kakek nenek dan buyutnya.

“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman, musafir dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri”. QS. An-Nisa’: 36.


Tuban, 30 Juli 2014

Wassalam,
LN    

Muhibah Lebaran (3): Jangan Percaya Google Map

Pukul 08.30, kami berangkat dari Hotel Dana, Solo, tempat kami transit semalam. Kami meluncur ke arah Purwodadi. Persis saat adzan dhuhur, kami tiba di rumah Pak Leksono, dosen PKK Unesa, teman seperjuangan saya. Pak Leksono adalah teman seangkatan saya di Tata Boga, yang sekarang juga sekantor dengan saya. Ini kali kedua kami mengunjungi rumahnya di Desa Bugel, Kecamatan Godong, Kabupaten Purwodadi. Kunjungan pertama kami sudah beberapa tahun yang lalu, juga dalam rangka muhibah lebaran seperti ini. Pak Leksono dan keluarganya nampak bahagia sekali karena kunjungan kami. 

Selepas makan siang dengan menu mi kocok dan bakso yang lezat, jualannya adik Pak Leksono sendiri, kami melanjutkan perjalanan. Tujuan kami tentu saja ke Rembang, ke rumah bulik Muhsinah, adik ibu, istri almarhum Kyai Cholil Bisri. Seperti Solo dan Boyolali, Rembang juga banyak menyimpan kenangan masa kecil saya.

Menjelang maghrib, kami tiba di rumah Bulik Muhsinah, di Kompleks Pondok Pesantren Roudhotul Thalibin. Mobil kami parkir persis di samping kiri rumah. Beberapa santri kami lihat tersebar di beberapa tempat, di pintu samping kiri, di teras masjid, dan di depan rumah Gus Mus (Mustofa Bisri) di seberang jalan. 

Saat melintasi teras, kami sempat melihat dik Yahya, putra pertama Lik Ying (panggilan akrab Kyai Cholil Bisri), sedang njagongi para tamu di ruang tengah. Kami terus saja, menuju pintu samping sebelah kanan, pintu untuk para keluarga dan kerabat dekat. Bertemu dengan dik Inab, adik Dik Yahya, yang akan keluar sowan-sowan. Begitu melihat saya, dia teriak "Innalilah..." Dia menghambur memeluk saya. "Mbak Luluk....suweneng aku, suweeee gak ketemu...".
"Lha suwe gak ketemu kok innalillah." Kata saya.
"Haha...yo ngono iku, Mbak, aku lek surprise mbengokku keliru...haha."

Dik Inab berlalu ke arah mobil yang membawa rombongan keluarganya, yang sudah menunggu. Kami langsung masuk rumah, bertemu seorang santri putri, dan langsung disilakan naik ke lantai dua.

Di lantai dua inilah tempat pribadi Bulik Muhsinah dan keluarga Dik Yahya. Tentu saja hanya tamu-tamu khusus yang diperbolehkan mencapai ruang ini. Selain kamar dan ruang tamu pribadi Bulik, juga ada ruang-ruang lain yang dimanfaatkan untuk keluarga Dik Yahya. Oya, Dik Yahya, nama lengkapnya adalah Yahya Cholil Tsaquf, waktu Gus Dur jadi presiden, dia adalah salah satu juru bicaranya. 

Karena sudah Maghrib, saya minta izin ke santri putri itu, untuk berwudhu. Saat mau masuk toilet, Dik Nunik, istri Dik Yahya, tiba-tiba muncul. Saya menyalaminya.
"Njenengan sinten leh?" Tanyanya, dengan logat khas Rembang.
"Njenengan sinten, njenengan sinten." Sahut saya pura-pura sewot.
"Ya Allah, Mbak Luluuuukkkkkk...." Dik Nunik teriak, memeluk saya. "Sepuntene, Mbak...pangling kulo."

Saya salat di kamar Bulik Muhsinah. Mas Ayik dan Arga salat di ruang di depan kamar. Selesai salat, kami jagongan di ruang depan kamar itu. Bersama para putra putri anak menantu dan cucu Bulik. 

Tentu saja, kami tidak bisa berlama-lama, meskipun ingin. Bulik menggiring kami ke lantai bawah, ke ruang makan. Saat menuruni tangga, ingatan saya terbawa dalam kenangan puluhan tahun silam. Saat saya masih kanak-kanak, kalau kami sowan di rumah ini, ketika menyambut kami atau melepas kami, Lik Ying menuruni tangga, dengan baju dan jubah putihnya, sambil membawa lembaran-lembaran uang. "Iki gawe mundhut permen ya?" Begitu kata beliau, sambil membagikan sangu pada kami.

Di ruang makan, lagi-lagi, ingatan saya kembali ke masa silam. Tempe goreng tipis itu, saya masih ingat betul, adalah tempe kesukaan keluarga Lik Ying dan kami semua. Nyaris tidak ada menu makan tanpa tempe goreng itu. Kalau sarapan, lauk kami kadang-kadang hanya tempe goreng dan sambal bawang. Bahkan sampai sekarang, menu sederhana itu menjadi menu andalan saya sekeluarga. Dan setiap kali menyantap menu itu, ingatan saya selalu terbawa ke masa-masa kecil ketika berlibur di Rembang.

Kami menyelesaikan makan malam selepas adzan Isya. Kami pamit pulang, setelah saling bersalaman, berpelukan, dan saling mendoakan. Namun sebelum pulang, kami sowan ke rumah Paklik Makin, adik ibu yang lain, yang rumahnya di kompleks itu juga. Paklik Makin memukul-mukul lengan saya dengan gembira karena beliau tidak menyangka kami muncul malam itu. 

Malam sudah semakin larut, tapi masih ada satu tempat lagi yang musti kami kunjungi, yaitu rumah Paklik Mujab, adik ibu yang tinggal di Pamotan. Dengan berbekal sekantung makanan dan minuman, kami melanjutkan perjalanan, menembus hutan belantara dan puluhan kilometer jalan makadam. Ya, kami memang tidak melewati jalan yang biasanya. Dengan mengandalkan google map, kami memcoba mencari jalan dengan jarak terdekat. Memang berhasil. Rute Rembang-Pamotan yang biasanya perlu waktu sekitar empat puluh menit, saat ini bisa kami tempuh dengan waktu yang lebih lama. Ya, lebih lama, Saudara. Jaraknya memang mungkin lebih pendek, tapi kondisi jalan yang jeleknya minta ampun persis di daerah 3T, membuat mobil tidak bisa berjalan kencang. Hikmah hari ini, jangan percaya begitu saja pada google map. Beberapa kali sudah saya buktikan, ternyata dia tidak pintar-pintar amat.

Pamotan, 29 Juli 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 03 Agustus 2014

Selamat Jalan, Sahabat (3) (Puisi untuk Rukin Firda)

Seringkali kau berkata padaku
Terbang tinggilah, Bidadari
Kepakkan sayap-sayap cenderawasihmu
Jelajahi negeri ini sampai ke ujung-ujungnya
Lantas aku bertanya
Kenapa tidak kau temani diriku?
Kau menjawab dengan kata-kata bijak itu
Sahabat baik itu seperti bintang
Meski dia tidak selalu berada di dekatmu
Dia senantiasa mengikuti dan menerangi jalanmu

Bidadari bersayap cenderawasih, begitulah kau menyebutku
Bidadari itu kini sedang menangis pilu
Sayap-sayapnya patah hancur berserak
Betapa pun dia merelakan kepergianmu
Namun keindahanmu yang laksana bintang-bintang di langit telah menggoreskan luka-luka
Hati putihmu yang terpancar dari senyum tulusmu menyisakan kesedihan di mana-mana
Betapa menyakitkan rasa kehilangan ini

Hampir tiga dasa warsa aku mengenalmu
Segalanya begitu indah tentangmu

Selamat jalan, Sahabat
Doa tulusku mengiringi langkahmu
Semoga terang dan lapang jalan menuju rumah abadimu
Surga Jannatunna'im...

Surabaya, 3 Agustus 2014

Wassalam,
LN

SelamatJalan, Sahabat (2) (Puisi untuk Rukin Firda)

Senja mulai jatuh saat kami antar kau ke peristirahatan terakhirmu
Matahari jingga tersangkut di ranting-ranting pohon kamboja
Wangi bunganya semerbak mengabarkan semua keindahan yang abadi tentangmu

Betapa terpampang jelas kecintaanmu pada kehidupan
Pada istri dan ketiga buah kasihmu
Pada semua sanak saudaramu
Pada kerabat, pada sahabat
Saat ini, mereka tumpah ruah di pelataran sunyi yang tiba-tiba menjadi semarak ini
Ramai dengan alunan tahlil dan doa-doa
Mengantarkan kepergianmu menemui Rabb-mu

Sahabat,
Aku masih di sini
Menatap nanar pusaramu
Seperti tak percaya diri ini
Kaukah itu, yang terbaring di bawah taburan kembang merah yang menebarkan harum mewangi
Namun kenapa kulihat senyummu di mana-mana?
Seperti meyakinkan kami semua
"Aku baik-baik saja. Pulanglah. Lanjutkan perjuanganmu. Gapailah cita-citamu. Bukankah itu juga yang menjadi perjuangan dan cita-citaku?"

Sahabat, baiklah, kami memang harus rela melepasmu
Bukankah kau juga yang mengajarkan ketegaran
Tapi sungguh, rasa kehilangan ini begitu dalam
Tak terbayang hari-hari setelah kepergianmu
Tulisan-tulisan itu
Kelas-kelas itu
Anak-anak muda itu
Yang telah terlanjur mencintaimu
Yang selalu menunggu sapamu
Dan telah banyak menggantungkan harapan padamu
Entahlah....

Semoga Tuhan mengatur segala sesuatunya
Sebaik saat kau masih ada untuk kami semua

Selamat jalan, sahabat...
Damai selalu di sisi-Nya....

Tanggulangin, 2 Agustus 2014. 20.15 WIB

Wassalam,
LN

Selamat Jalan Sahabat (Puisi untuk Rukin Firda)

Siang ini, saat kami semua sedang bersama dalam acara halal bi halal Himapala, di Kampus Lidah
Yuni, istri tercintamu menelepon
"Mbak, apa Mas Rukin di situ?"
"Tidak, Yun, belum datang. Ada apa?"
"Iki lho mbak, tadi pagi dia keluar rumah, kok terus ada kabar dia kecelakaan. Tapi tak telpon hapenya kok gak nyambung-nyambung."
"Hah, kecelakaan? Yun, coba dihubungi lagi, aku juga coba hubungi. Moga Mas Rukin baik-baik saja."

Seketika perasaan cemas menyergapku
Saat kutelepon ponselmu, bukan dirimu yang mengangkat
Suara seorang perempuan di seberang menjelaskan semuanya
Dirimu mengalami kecelakaan, dan meninggal

Oh Tuhan
Sekujur tubuh ini seketika bergetar, dada sesak, tangis pun pecah
Tidak, itu tidak mungkin

Tapi itulah yang terjadi
Ini bukan mimpi

Begitu cepatnya semua berlalu
Masih kulihat senyummu di setiap jejak yang pernah kau ukir
Canda kelakarmu dan kata-kata penyemangatmu mengiringi langkah perjuangan para pengabdi di ujung-ujung negeri
Sumba Timur, Maluku Barat Daya, Mamberamo Raya, ke banyak tempat terdepan, terluar, tertinggal
Buku-buku ini, adalah saksi
Gambar-gambar ini, adalah bukti
Betapa kau cintai kami
Merelakan dirimu berjuang bahu-membahu selalu mendampingi
Kau adalah bagian penting dari perjuangan ini

Tahukah kau?
Kau adalah sahabat terbaik
Yang menjadi tempat berbagi cita-cita demi kemajuan pendidikan bangsa
Yang siap menjadi apa saja bagi kami semua, para pejuang kecil bercita-cita besar ini
Yang rela mengarungi samudera, menembus hutan belantara, mendaki bukit penuh onak duri
Demi menjangkau mereka yang tak terjangkau
Demi menyentuh mereka yang tak tersentuh

Dan orang baik itu, dirimu, sekarang sudah pergi, pergi untuk selamanya
Namun kenangan-kenangan itu tak mungkin sirna
Hal-hal baik yang telah kau wariskan
Juga ribuan cita-cita yang masih kau gantungkan
Semangat yang tak pernah padam untuk mengabdi pada kehidupan

Sahabat,
Kulantunkan Al Fatihah dan doa-doa,
Untuk mewakili kesedihanku, menggantikan cucuran air mataku, menyiratkan rasa kehilanganku
Di sini, aku, sahabatmu
Dan ratusan rekan baikmu, ratusan pendidik muda generasi setelahmu
Hanya mampu mengucap
Selamat jalan, sahabat kami, bapak kami, guru kami
Allah telah memanggilmu ke pangkuan abadi-Nya
Dalam rengkuhan kasih sayang-Nya
Semoga kau damai selalu di sisi-Nya

Amin Ya Rabbal Alamin

Tanggulangin, 2 Agustus 2014, 16.15 WIB

LN

Selasa, 29 Juli 2014

Muhibah Lebaran (2): Bani Wahabi dan Bani Tamami

Sekitar pukul 15.20, kami meninggalkan Kota Ponorogo. Meluncur menuju Solo. Kami mengambil rute Purwantara, Wonogiri, Sukoharjo, Solo.

Lalu lintas padat lancar. Sebenarnya cukup menyenangkan untuk perjalanan jauh. Tapi Arga yang hampir semalaman tidak tidur karena menyiapkan acara halal bi halal keluarga bersama Dio, memilih pensiun sementara jadi driver. Mas Ayik yang semalam melekan bersama teman-teman SMA-nya, terserang flu, dan obat flu yang diminumnya hanya membuatnya bertahan mengemudi sampai Purwantara. Akhirnya, sayalah yang harus pegang kemudi. Oh Tuhan, tidak terbayangkan, ternyata kedua laki-laki itu begitu teganya pada saya. Mereka berdua tidur mendengkur sementara saya mengukur jalan.

Tapi sebenarnya, pucuk dicinta ulam tiba. Dari dulu saya ingin nyetir di Jalur Ponorogo-Solo yang jalannya meliuk-liuk dan lumayan naik turun itu. Dari dulu Mas Ayik tidak pernah memberi saya kesempatan karena dia tidak tega. Katanya, medannya berbahaya.

Tapi kini, dia menyerah. Kondisi fisiknya yang teler karena obat flu tak memungkinkan dia untuk menolak kemauan saya. Wow, asyik sekali. Saya menguasai mobil sampai lepas Maghrib, saat kami tiba di rumah saudara di Jayengan, Solo. Kami salat dan makan malam, lantas pamit melanjutkan perjalanan menuju Boyolali.

Akhirnya, pada pukul 20.15, kami bertiga memasuki Kota Boyolali. Baru sekitar empat puluh menit yang lalu, kami meninggalkan Kota Solo. Solo dan Boyolali, dua kota yang menyimpan sejarah masa kecil saya.

Ibu saya lahir di Solo. Eyang dan buyutnya tersebar di Solo dan Boyolali. Sebagian saudara saya lahir di Solo. Masa kecil saya, sering saya habiskan di Solo dan Boyolali. Setiap liburan sekolah, kami sering dikirim bapak ibu ke Solo atau Boyolali, berlibur di rumah Mbah Putri dan Mbah Kakung, atau di rumah Pakde dan Bude Tamam. Ingatan masa kecil saya saat bersama Mbah Kakung, Mbah Putri, Pakde dan Bude Tamam, serta bersama para saudara sepupu, masih tersimpan rapi. Juga kenangan bersama Paklik Mubin almarhum, adik terkecil ibu, yang hobinya motret dan ngusungi para keponakan ke mana-mana, ke Sriwedari, Jurug, Tawangmangu, Pasar Kembang, Pasar Klewer dan Alun-alun.

Begitu kami tiba di depan rumah Pakde Tamam, keriuhan segera terdengar. Subhanallah. Di rumah itu ternyata sudah ada Bani Wahabi, para anak cucu Paklik Wahab. Mulai dari anak pertama sampai kelima, lengkap dengan anak-anak mereka. Bertemu dengan Bani Tamami, para anak cucu Pakde Tamam, mulai dari anak pertama sampai keenam, juga lengkap dengan anak-anak mereka. Suasana di ruang keluarga itu seperti sedang ada perayaan ulang tahun atau semacamnya. Lebih dari empat puluh orang berkumpul. Ramainya bahkan tidak kalah dengan ramainya PAUD atau kelompok bermain.

Begitu saya menginjakkan kaki ke ruang keluarga, mereka semua bahkan sudah menyiapkan acara penyambutan secara spontanitas. Mendendangkan salawat badar. Lengkap dengan bunyi-bunyiannya.

Kami bertiga geleng-geleng kepala melihat tingkah polah puluhan anak-anak kecil dan remaja itu. Sementara orang tua mereka tertawa cekakakan sambil memegangi perut masing-masing. Kami bergantian bersalaman, berangkulan, berpelukan. Saya bersimpuh di depan Bude Tamam, yang sedang duduk dan tersenyum manis menikmati tingkah polah anak-anak manusia yang tersaji di depannya. Saya cium punggung tangannya, kedua pipinya, dan menyampaikan permohonan maaf, serta menghaturkan salam takzim dari ibu saya dan saudara-saudara saya.

Bude Taman, sudah empat tahun gerah stroke. Sakit itu membuat beliau sulit berjalan. Tapi beliau secara mental sangat sehat, meski bicaranya sangat pelan. Dalam kondisi seperti itu, dalam usianya yang sudah mendekatai 80 tahun, bude Tamam tidak pernah meninggalkan salat tahajud dan dhuha, selain, tentu saja, tak pernah meninggalkan salat wajib lengkap dengan sunnat rawatibnya. Selama bulan puasa ini, beliau puasa penuh, meski dahar sahur nyaris tidak pernah kerso, kecuali hanya ngunjuk saja.

Kami sebenarnya ingin langsung menemui Pakde Tamam di kamar. Beliau sedang terbaring sakit. Namun masih ada beberapa tamu yang berada di kamar, menjenguk Pakde.

Sejak beberapa minggu ini, Pakde hanya bisa berbaring. Ibu dan saudara-saudara saya sudah menengok Pakde pada Ramadhan beberapa hari yang lalu. Kondisi beliau saat itu masih bisa berkomunikasi, masih sesekali bercanda dengan anak cucu, di antara waktu-waktu istirahatnya yang lebih banyak diisi dengan salat dan dzikir. Dalam kondisi tidur pun, lidah Pakde bergerak-gerak seperti melafalkan nama Allah.

Begitu kamar Pakde kosong, kami bertiga menghampiri beliau. Mbak Menuk, Mbak Umi, dua orang putri Pakde, juga Dik Iffah, putri almarhum Paklik Wahab, juga menemani. Mbak Menuk berbisik di telinga bapaknya.

"Bapak, Dik Luluk, Pak. Dik Luluk Bulik Basyiroh, Tuban, Pak."

Pade hanya sedikit menggerakkan matanya yang terpejam. Tidak berkata sepatah pun.

"Pakde..." Saya meraih tangannya yang tersembunyi di bawah selimut. "Pakde, ngaturaken sedoyo kalepatan, nyuwun pangapunten..." Saya mencium punggung tangannya dengan sepenuh perasaan. Hati saya meleleh. Sosok yang biasanya selalu ceria namun teduh itu begitu saja membuat hati saya menangis. "Pakde, ngaturaken salam lan sungkemipun Ibu lan sederek-sederek Tuban sedoyo..." Pakde tak bergeming. Saya menghela nafas panjang, melantunkan doa. Memberi kesempatan pada Mas Ayik dan Arga untuk menyapa Pakde.

"Waktu rene sing kapan iko, Pakde isih saget guyon lho, Mbak." Kata Dik Iffah. "Aku matur ngene. Pakde, kulo niki lek ningali Pakde remeeennn saestu. Terus Pakde ngendikan 'lha ngopo?' Pakde meniko pasuryanipun teduuuhhh sanget. Menopo Pakde Golkar to? Golkar meniko teduh Pakde, mergi pohon beringin. Wah, Pakde nggujeng kekel kae.."

Dik Iffah, anak perempuan satu-satunya Paklik Wahab dan Bulik Kafiyah (keduanya sudah almarhum), adalah saudara sepupu kami yang paling heboh. Ceriwisnya minta ampun. Kami pikir dulu karena dia masih kecil. Ternyata, sampai sekarang, di usianya yang sudah empat puluh tahun, ceriwisnya semakin menjadi. Dia bilang, sudah diobatkan ke mana-mana. Tidak ada obat yang cocok. Bahkan menurutnya, dia sudah kebal dengan berbagai macam obat. Tapi itu membuatnya sangat cocok menjadi guru PAUD, profesinya sekarang.

Setelah beberapa waktu menunggui Pakde, saya keluar kamar. Tiba-tiba barisan anak-anak kecil itu, anak turun Bani Wahabi dan Bani Tamami, melantunkan koor.

"Bude Luluk, Bulik Luluk.....sawerannya mannaaaaa?"
"Hah?" Saya kaget. Anak-anak itu tertawa keras. Para orang tua terpingkal-pingkal.
"Siapa yang ngajari kalian, hah?"
Spontan anak-anak itu menunjuk ke seseorang. Siapa lagi kalau bukan..... Dik Iffah.
"O.....dasar. Guru PAUD gak nggenah." Semprot saya. Dik Iffah tertawa berderai, puas sekali wajahnya. Saudara-saudara yang lain tidak kalah puasnya.

Malam itu, kami pamit sekitar pukul 21.30-an. Bani Wahabi akan melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing, ke Yogya, ke Solo Baru, dan di Boyolali saja. Bani Tamami, tentu saja, tetap tinggal bersama Pakde dan Bude Tamam, menunggui bapak ibu dan eyang mereka yang lagi gerah. Kami sendiri, delegasi Bani Zawawi, akan melanjutkan perjalanan, entah sampai di mana, sampai kami merasa perlu berhenti dan menginap di hotel untuk transit. Besok pagi, perjalanan dalam rangka muhibah lebaran ini berlanjut menuju Rembang, Pamotan, dan Tuban.

Rasa bahagia dan marem menyelimuti benak saya, ketika mobil kami menembus malam yang masih ramai. Bertemu dengan banyak saudara, bersilaturahim dengan para orang tua, seperti memberikan energi dalam jiwa. Rasanya ingin berlama-lama bersama mereka, namun perjalanan musti berlanjut untuk menemukan sumber energi yang lain.

Boyolali, 28 Juli 2014

Wassalam,

LN

Muhibah Lebaran (1): Tong Ting

Sabtu, 26 Juli 2014, sekitar pukul 22.30, kami berangkat dari rumah menuju Ponorogo. Arga pegang kemudi, Mas Ayik di sebelahnya sebagai navigator, saya dan ibu duduk di jok tengah. Ada berkotak-kota kue di belakang, tas pakaian, dan dua sepeda lipat di roof rack di atas.

Perjalanan lancar mulai Surabaya sampai Wilangan, Nganjuk. Sejak Wilangan, lalu lintas padat merambat. Tiba di Madiun, sekitar pukul 03.15. Masih terhitung normal. Kami makan sahur di Sego Pecel Bu Wo.

Kami tiba di Ponorogo menjelang shubuh. Bu Heni dan Pak Anwar, suami istri adik ibu, sudah menunggu. Tapi ngantuk berat yang menyerang membuat saya tidak betah berlama-lama beramah-tamah. Saya pun izin berselancar di Negeri Kapuk.

Sekitar pukul 08.00, saya dan Mas Ayik keluar, berkunjung ke rumah sanak saudara. Kami ditugasi ibu untuk ulem-ulem. Besok pagi, selepas salat Idul Fitri, kami ketempatan acara halal bi halal keluarga besar Ki Amat Drangi, punjernya keluarga besar Ponorogo. Acara akan dihelat di Terazz Cafe, sebuah cafe milik saudara sepupu.

Meski kami sekeluarga ketempatan halal bi halal, kami tidak terlalu repot. Semua makanan kami pesankan. Menunya sederhana, nasi uduk lengkap, rujak manis, dan kue kotak. Minumannya cukup air mineral dan soft drink.

Selepas salat Ied, kami sungkem-sungkeman, tradisi dalam keluarga besar kami. Cium tangan, cipika-cipiki, berpelukan, saling memaafkan, saling mendoakan. Setelah itu....ini yang juga sangat ditunggu-tunggu....pesta makan nasi uduk dan ayam ingkung.

Nasi uduk dan ayam ingkung, adalah menu utama tradisi keluarga setiap lebaran. Semua dimasak sendiri. Pak Anwar, adik ipar ibu, kepala rumah tangga di rumah keprabon ini, selalu menyembelih sendiri ayam kampung yang besar, meracik bumbu, dan mengolahnya, dibantu Bu Heni, istrinya, dan putro-putri.

Kebetulan hari ini, Dik Riris, putri pertama mereka, memasak nasi biriani. Dia khusus membeli beras jenis long grain untuk mendapatkan nasi biriani yang sempurna.

Dik Riris, saudara sepupu kami ini tinggal di Malang. Dua putrinya sudah mahasiswa. Bersama mereka ada seorang guru asli China yang bertugas mengajar di STT Telkom Malang, yang tinggal di rumah mereka. Tong Ting (entah seperti apa ejaannya), gadis China itu, juga ikut pulang mudik ke Ponorogo. Sebenarnya dia diajak temannya untuk berlibur ke Bali, tapi dia memilih ikut mudik host parent-nya. Saya bilang ke dia: "You do not just teach, you learn about the culture as well."

Acara halal bi halal keluarga besar kami dihadiri oleh sekitar 50 orang, yang semuanya keluarga, kecuali Tong Ting, yang panggilannya Tiny. Selain acara sebagaimana layaknya acara halal bi halal yang lengkap dengan tausiah yang diberikan oleh Pak Anwar, acara juga dimeriahkan oleh sajian live music. Iwuk, adik Mas Ayik, memegang keyboard, bergantian dengan Arga. Dio memegang biola. Penyanyinya bergantian, termasuk Tiny. Tiny menyanyikan lagu Hao Siang dan Yue Liang Dai. Tepuk tangan meriah mengikuti alunan suaranya yang nyengek-nyengek. Saat menyanyikan Yue Liang Dai, dia duet dengan Arga. Gadis 23 tahun itu nampak begitu menikmati berada di antara keluarga besar kami di acara family gathering ini.

Dio, adalah saudara sepupu Arga. Dia sekelas dengan Arga, di Pendidikan Sendratasik Unesa. Dio piawai memainkan Biola, Arga lebih suka Cello. Tapi biola yang dimainkan Dio saat ini, adalah biola milik Bapak almarhum. Ibu sengaja mengeluarkan biola itu dan meminta Dio untuk memainkannya. Lagunya, Jali-Jali, salah satu lagu kesukaan Bapak.

Selesai acara, kami semua beres-beres. Termasuk membereskan makanan yang masih cukup banyak tersisa, kami bagikan untuk keluarga dan tetangga-tetangga. Saya sendiri membawa puluhan kotak kue, kami akan bagi-bagikan nanti pada anak-anak dan orang-orang di perempatan jalan.

Puas rasanya bisa bertemu dengan para saudara, keluarga besar Ponorogo, mulai dari mbah-mbah sampai buyut-buyut. Tradisi tahunan ini selalu menjadi momen yang ditunggu oleh keluarga besar kami. Setelah setahun bersitegang dengan berbagai macam tugas dan urusan, bertemu keluarga besar seperti ini seperti mengurai semua rutinitas yang kadang menjemukan dan melelahkan.

Inilah salah satu berkah silaturahim.

Siang nanti, kami bertiga akan melanjutkan muhibah lebaran ke Solo dan Boyolali. Biasanya kami juga berkunjung ke Sragen, ke rumah Paklik Wahab dan Bulik Kafiyah. Namun beliau berdua telah berpulang sejak sekitar dua tahun yang lalu.

Setiap tahun, kerabat kami hampir selalu berkurang. Waktu acara halal bi halal tadi, kami juga berdoa bersama untuk Bapak Nurhadi, Bapak kami, yang berpulang sekitar seratus hari yang lalu. Juga untuk Mas Ranawi, saudara sepupu, yang berpulang hanya beberapa hari menjelang idul fitri.

Begitulah. Umur manusia benar-benar rahasia Illahi. Semoga kita masih dipertemukan dengan Ramadhan dan Idul Fitri yang akan datang. Amin.   

Ponorogo, 28 Juli 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 23 Juli 2014

Kisah Buah Mangga

Sekitar seminggu yang lalu, saya berkunjung ke Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Saya diundang oleh Konsorsium Pendidikan Kemdikbud untuk menjadi narasumber pada pelatihan Kurikulum 2013. Pesertanya adalah para guru, mulai dari guru SD, SMP, SMA dan SMK.

Hari pertama di Maumere, saya disambut cuaca yang sangat ramah. Awan tipis menutupi sebagian langit, dan sinar matahari masih bisa dinikmati kehangatannya. Sangat bersahabat, terutama bagi kami yang sedang berpuasa. Mendung, tapi tidak hujan.

Hari kedua, matahari sudah bersinar cerah sejak pagi. Saya memberi pelatihan sejak pukul 09.00 sampai pukul 15.00. Ada jeda istirahat sekitar tiga puluh menit, kesempatan menikmati makan siang bagi para peserta yang hampir semua pemeluk Katolik, dan kesempatan bagi kami yang muslim untuk menunaikan salat dhuhur.

Hari itu, adalah puasa terberat saya. Melatihkan K-13 pada para peserta yang sebagian besar masih nol pemahamannya, di cuaca yang sangat panas, di antara sekitar 150 peserta yang dengan bebasnya 'nyumak-nyamuk' dan 'srupat-sruput'. Tenggorokan saya sampai terasa pahit sekali saking 'ngorong'nya, dan kaki-kaki saya 'kemeng' luar biasa. Sekujur badan rasanya sakit semua.

Saya pernah merasakan kondisi mirip itu, ketika umroh pada Ramadhan 2011, tiga tahun yang lalu. Waktu itu, suhu di Makkah menembus angka 51 derajat Celcius. Udara panasnya tak terkira. Sekujur tubuh sakit terpapar panas, baju di badan terasa seperti baju yang baru saja diseterika, dan menyentuh benda apa pun di luar penginapan, hampir semuanya panas menyengat. Tenggorokan kering dan pahit, badan loyo, lungkrah, dan kepala serasa berasap. Benar-benar ruarrr biasa.

Di Maumere, memang rasanya tak seheboh seperti di Makkah. Namun karena saya menjadi kelompok minoritas, benar-benar minoritas, di antara para peserta yang dengan tenangnya 'telap-telep', ditambah suhu AC di ruang workshop yang tak bisa membendung suhu panas dari luar, sementara saya harus menjelaskan panjang lebar tentang K-13, 'nyerocos' terus, maka sensasi 'ngorong dan kemeng' yang saya rasakan mengingatkan saya saat di Makkah kala itu.

Begitu pelatihan selesai, saya langsung 'keplas' masuk mobil, minta pada driver supaya AC dihidupkan kuat-kuat, dan segera mengantar saya ke hotel Sylvia, tempat saya menginap. Saya ingin segera 'slulup', eh, maksud saya 'grujukan' di bawah shower. Saya mengalami dehidrasi parah, dan perlu digerojok air dingin yang berlimpah, sebelum sekujur tubuh saya 'kemlingkingen'.

Selesai mandi dan salat, saya turun ke lobi. Minta diantar driver muter-muter, ngabuburit. Saya ingin melihat-lihat kota Maumere. Saya diantar ke toko pusat oleh-oleh, ke Pelabuhan Lorosae, ke pasar tradisional melihat tenun ikat dan membeli buah-buahan.

Ya, buah-buahan. Dalam kondisi puasa, buah-buahan adalah makanan favorit saya. Buah apa saja. Yang penting buah beneran, bukan buah plastik atau buah kayu.

Sejak kemarin saya tidak makan buah. Sehari saja tidak ketemu buah, seperti ada yang kurang lengkap hidup ini. Maka sore itu, di Pasar Alok, saya membeli dua buah apel merah seharga Rp.15.000,- dan tiga buah mangga mengkal seharga Rp.20.000,-. Cukuplah. Karena besok toh saya sudah balik ke Surabaya. Di Surabaya, buah apa pun sudah tersedia.     

Sore itu, saya kembali ke hotel dengan sekantung buah, selembar kain tenun ikat, dua plastik kopi Manggarai, sebungkus nasi goreng, dan dua gelas es kelapa muda. Saya sengaja menolak ajakan panitia untuk buka puasa bersama di sebuah rumah makan. Saya ingin menikmati semuanya sendiri, di kamar, dengan menu buah segar, nasi goreng, dan es kelapa muda. Setelah itu, saya akan segera salat tarawih, ngaji sebentar, terus tidur. Lelah tubuh sehari ini harus terbayar lunas.

Dari sekian jenis makanan, bagi saya, yang paling menggiurkan adalah buah mangga. Mangga itu sejenis mangga arumanis, tapi masih mengkal. Bukan masak pohon, karena memang belum masak. Tapi justeru karena dia masih mengkal itu, rasanya begitu eksotis. Manis, asam, dan renyah. Pas dengan selera saya. Saya menikmatinya di setiap gigitan, sampai akhirnya gigi saya terasa ngiluuuu.

Saya berhenti. Mangga sebuah saja sudah cukup membuat gigi saya protes. Tapi saya puas. Dan bertekad untuk membawa serta dua buah mangga yang masih tersisa ketika saya pulang ke Surabaya besok.

Nah, sore ini, ya, sore ini, kedua buah mangga itu sudah masak. Saya mengupasnya dengan sepenuh hati, memotong-motongnya dalam bentuk kotak-kotak besar, menatanya di piring, melengkapinya dengan garpu. Saya siapkan mangga itu di atas meja makan, bersama hidangan yang lain, nasi putih, tempe goreng, bebek goreng, sambal dan lalapan, juga es garbis.

Begitu adzan maghrib terdengar, kami bertiga, bapak ibu dan anak ini, langsung menyerbu mangga yang warnanya oranye menggemaskan itu. Kami menikmatinya dengan penuh rasa syukur, lega, merasakan perjuangan sehari ini telah sampai pada batasnya. Insyaallah kami lulus. Insyaallah puasa kami diterima Allah SWT. Insyaallah kami termasuk golongan orang-orang yang diberi ampunan. Amin YRA.

Wuihh, mangga ini, rasanya.....manisnya....harumnya.... Ini benar-benar mangga istimewa. Bukan saja karena dia mangga pertama yang kami nikmati sepanjang Ramadhan ini. Tapi juga karena dia dibawa dari tempat yang sangat jauh, menyeberang laut, menyeberang pulau. Saya seperti mendengan sayup-sayup suara lagu Maumere Manise yang dinyanyikan oleh para guru peserta pelatihan menjelang pelatihan usai waktu itu. Seperti nama lagu itu, seperti tempat dia berasal, Maumere Manise, seperti itulah rasa mangga ini. Mangga manise.


Surabaya, 23 Juli 2014

Wassalam,
LN