Pages

Senin, 25 Maret 2013

Ujian Nasional (UN) Lagi

Malam ini saya terpekur. Beberapa tulisan yang baru saja saya baca, membuat perasaan saya sedih, gundah, marah, tak berdaya. Tulisan tentang Ujian Nasional (UN). Mohammad Ihsan (MI), sekjen Ikatan Guru Indonesia (IGI), mengirim tulisannya dengan judul 'CURHAT GURU MENYAKSIKAN KECURANGAN DI SEKOLAH' di mailing list (milist) Keluarga Unesa. 

Semula berawal dari status MI di facebook grup IGI. "Mengubah Lembar Jawaban Ujian Sekolah Demi Nilai Ijazah Yang Bagus", seperti itulah bunyinya. Status yang kemudian menjadi bahan diskusi yang sangat hangat. Berbagai tanggapan muncul, baik yang langsung di FB tersebut, maupun yang mengirimkannya ke jaringan pribadi MI. Salah seorang guru, menuliskan curhatnya. Tentang kecurangan yang terjadi di sekolah setiap kali UN tiba. Dia menyebutnya sebagai perilaku kecurangan yang dilegalkan. 

Tentu saja saya tidak heran dengan apa yang ditulis guru tersebut. Saya sudah sering membacanya. Saya sudah puluhan kali mendengarnya. Dari tahun ke tahun. Saya pergi ke berbagai pelosok di negeri ini, dan saya mendengar serta menyaksikan hal-hal yang luar biasa mengerikan tentang UN. Ya iyalah. Orang di Jakarta saja, ibu kota yang menjadi barometer segala hal, kecurangan UN tak terhindarkan. Apalagi di daerah-daerah yang berada nun jauh di sana. Daerah-daerah yang bahkan tidak ditemukan ketika dicari koordinatnya dengan google map. Daerah-daerah dengan sekolah yang bahkan kepala dinasnya saja belum tentu pernah berkunjung ke sana. Sekolah-sekolah miskin, terpencil, dengan kepala sekolah yang hadir seminggu sekali saja sudah bagus. Sekolah-sekolah yang guru-gurunya tidak saja 'kurang pintar', namun juga malas, miskin komitmen, dengan perilaku yang tidak bisa menjadi panutan. Tidak ada supervisi dari kepala sekolah, pengawas, apalagi kepala dinas. Nyaris tanpa dukungan orang tua dan stakeholder yang lain. Stakeholder?  Bahkan saya tidak yakin, apakah di tempat-tempat seperti itu, sekolah-sekolah itu memiliki stakeholder. Mereka ada namun tidak 'mengada'. Sepertinya juga tak ada pihak mana pun yang menganggap keberadaannya penting. Kecuali sekedar formalitas. Bahwa anak usia sekolah harus sekolah. Bahwa buta huruf harus diberantas. Bahwa mereka, ini yang terpenting, harus lulus UN.
  
Saya teringat tulisan saya tentang UN sekitar setahun yang lalu. Sebuah tulisan tentang keprihatinan saya. Betapa UN telah menjadi momok bagi siapa saja. Juga, betapa UN telah memberangus semua kebaikan yang telah ditanamkan dari hari ke hari oleh alam. Menepiskan hal-hal baik yang telah tumbuh dan berkembang dalam diri setiap individu. Hal-hal baik bernama  kerja keras, ketekunan, kepedulian, kebersamaan dan kearifan...(Nurlaela, 2012). 

Saya juga teringat jeritan hati para peserta SM-3T karena ketidakberdayaannya untuk menghindar dari kecurangan yang terjadi ketika UN. Dia, meskipun dengan hati berurai air mata, tidak bisa berkelit dan terpaksa masuk dalam lingkaran setan UN. Persis, persis seperti curhat guru yang disampaikan MI dalam milis. Juga testimoni Habe Arifin yang mewakili istrinya. 'Testimoni: Tim Sukses UN: Beban Moral, Hina di Depan Siswa'. Begitulah judulnya. Habe, mantan wartawan yang sekarang menjadi politikus di Ibu Kota itu membeberkan betapa menderitanya istrinya yang kebetulan adalah seorang guru fisika, di bilangan Jakarta Barat. Ia diperintahkan kepala sekolah menjadi anggota TIM SUKSES UN. Tugas yang tak kuasa dihindarinya itu menjadi beban berat yang dipikulnya dan membuatnya merasa sebagai orang yang paling hina di depan murid-muridnya yang telah dibantunya untuk lulus UN. 

Saat ini pikiran saya melayang pada anak-anak saya, 279 peserta PPG SM-3T Unesa yang sedang berjuang membangun kompetensinya. Juga ribuan peserta di seluruh Indonesia. Mereka belajar keras, sejak sebelum matahari terbit sampai matahari tenggelam, bahkan menjelang terbit lagi. Mereka dihadapkan pada berbagai aturan, tugas, pembelajaran, pelatihan, sebagai bekal hidup mereka menjadi guru yang profesional. Saya berharap mereka akan menjelma menjadi guru-guru yang cerdas, tangguh, berkepribadian dan kuat iman. Merekalah yang nanti akan mempersiapkan generasi emas Indonesia. Generasi yang akan menentukan apakah kita semua akan tetap ada, bukan sebagai manusia, tapi sebagai bangsa (Habibie, 2012).

Pada saat mereka telah menjadi guru nanti, saya tidak tahu, apakah UN akan tetap seperti sekarang ini. Menjadi indikator kelulusan siswa. Saya tidak tahu, apakah ketika mereka telah menjadi guru nanti, UN telah berubah sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan. Saya tidak tahu. Saya takut pesimis, tapi saya memang pesimis. Bila kemungkinan pertama yang terjadi, saya ingin, anak-anak saya tetap memegang teguh kejujuran. Tetap tangguh menggenggam daya juang dan kerja keras, dan terus-menerus menanamkannya pada anak-anak didik mereka. Tidak tergilas oleh sistem yang akan membawa generasi yang mereka didik menuju jurang kehancuran.

Tiba-tiba saya teringat lagi ketika setahun dua tahun yang lalu saya menghadiri peresmian sebuah sekolah di daerah pelosok di NTT. Yang meresmikan sekolah itu adalah Mendikbud. Momen itu juga dimanfaatkan untuk mendeklarasikan 'UN Jujur dan Berprestasi.' Ratusan siswa, guru, orang tua, aparat pendidikan, kepala dinas, bupati, gubernur, semuanya meneriakkan tekad untuk menegakkan UN jujur dan berprestasi. Sejujurnya, saya, yang ada di antara mereka saat itu, merinding. Bagaimana mungkin sekian ratus orang itu meneriakkan sesuatu yang tidak mungkin? Yang bahkan di dalam hati mereka saja saya tidak yakin mereka yakin? Saya saat itu malah teringat pada kue cucur yang baru saja saya beli di perjalanan ketika menuju tempat upacara. Sampai akhirnya, muncullah tulisan 'Kue Cucur dan Ujian Nasional' (Nurlaela, 2012).

Malam ini saya masih terpekur. Satria Darma (SD), Ketua IGI Pusat, menghimbau supaya kita semua menuliskan berbagai kecurangan tentang UN. Dia sarankan supaya semua tulisan anonim tentang kecurangan UN dicetak dan dikirimkan ke berbagai lembaga, khususnya Kemdikbud. Dia tegaskan, semua itu harus disampaikan sebelum azab menimpa kita karena berdiam diri. 

Saya kira apa yang dikatakan SD itu benar adanya. Tapi saya tidak yakin, akankah membawa hasil? Sudah ada Buku Hitam UN. Sudah ada Komunitas Air Mata Guru di Sumatera Utara yang, menurut istilah Lies Amin,  telah membasahi layar TV dan halaman koran. Sudah banyak  kritikan mulai dari yang paling halus dan paling pedas tentang UN dengan segala kecurangannya. Tapi UN tetaplah UN. Meski dari tahun ke tahun dimodifikasi sedemikian rupa, namun esensinya tidak berubah. Kecurangan itu tetap menjadi warna dominannya. Apakah para pengambil kebijakan tidak tahu? Mereka tahu. Menteri tahu. Staf ahli tahu. Penegak hukum tahu. Bupati tahu. Kepala dinas, kepala sekolah, guru, orang tua, kita semua tahu. Bahkan tidak sekedar tahu. Kita mungkin ikut memberikan sumbangan terhadap terjadinya berbagai kecurangan itu. Tapi, kita semua, berpura-pura tidak tahu.

Mungkin benar yang dikatakan Eko Prasetyo, penulis dan editor JP. 'Kemendikbud ini mungkin sudah buta tuli terhadap masukan dan kritik dari masyarakat'. Begitu tulisnya pedas. Dengan pedas juga, Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos menimpali: 'ketika UN dianggap sbg sesuatu yg maha penting dan sangat menentukan, maka berbagai cara pun dilakukan untuk meraihnya. dari cara yg rasional sampai yg tidak rasional. dari yg jujur sampai yg curang. dari yg religius sampai yg syirik.'

Saya masih terpekur di tempat saya malam ini. Perasaan saya pedih. Hati saya meleleh. Ternyata saya sama tidak berdayanya dengan mereka, para guru-guru yang dipaksa untuk menjadi Tim Sukses UN itu. Ternyata saya tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah situasi ini. Ternyata saya hanya bisa terpekur.....

Surabaya, tengah malam.
25 Maret 2013

Wassalam,
LN

1 komentar

agi 17 Maret 2014 pukul 19.42

UN mungkin bagi sebagian kita masih menjadi momok atau pun mungkin momen yang sia-sia. Tapi, perlu optimistis dalam menghadapinya, apapun konsekuensi yang mungkin timbul nanti. Seperti Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, optimis tingkat kelulusan siswa SMA/SMK maupun SMP/Mts pada ujian nasional (UN) 2014 di daerah itu mencapai 100 persen. Demikian reportase yang dimuat dalam website pengumpul berita iyaa.com

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...