Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 08 Juni 2014

Menengok Ibu

Subuh menjelang. Kami berdua salat berjamaah. Arga sedang tidak di rumah. Semalam dia pamit ke Bromo, bersama teman-teman SMA-nya. Biasa, berburu matahari terbit. Matahari terbit kok diburu.

Selesai salat, Mas Ayik menyiapkan mobil. Saya menyiapkan baju-baju. Pagi ini, kami akan meluncur ke Tuban, menengok ibu. Sudah sekitar dua bulan kami tidak menengok ibu. Sejak bapak Tanggulangin gerah, opname di rumah sakit, sampai saat ini, sudah lewat empat puluh hari kepulangan bapak ke rumah-Nya. Kesibukan yang luar biasa tidak memberi keleluasaan bagi saya sekeluarga untuk menengok ibu.

Lama tidak menengok ibu, membuat kami seperti dibebani hutang segunung. Biasanya, kami pulang ke kampung halaman sekitar sebulan sekali. Kalau waktunya agak longgar, kami bahkan bisa pulang sebulan dua kali. Karena itulah, ketika sudah lebih dari sebulan kami tidak juga bisa menengok ibu, rasanya seperti terbebani. Kepikiran terus.

Sebenarnya ibu juga tidak terlalu menuntut kami harus menengok kampung halaman sesering mungkin. Paling-paling beliau hanya bertanya: "apa kabar, sayang? Gak onok rencana pulkam?" Kalau saya jawab "meniko taksih rapat wonten Jakarta, Mik. Dereng saget matur mbenjang menopo saget wangsul." Ibu selalu mengerti. "Yo wis, ora popo, sing penting awak sehat, donga dinonga. Ojo lali sholawat."

Saya tahu, ibu sebenarnya ingin sekali kami pulang. Tapi beliau selalu berusaha memahami kesibukan kami. Pernah suatu ketika, beliau telepon, saya posisi di Yogya. Besoknya, beliau telepon, saya posisi di Jakarta. Besoknya lagi, saat beliau telepon, saya sudah ada di Malang. "O walah ngger....ngger. Wis mugo-mugo Gusti Allah paring kuat lan sehat, awakmu sakeluargo slamet wilujeng kabeh." Begitu kata ibu. "Inggih, Mik.... Matur nuwun. Pangestunipun nggih, Mik."

Dua hari yang lalu, saat saya berada di Kupang, ibu telepon. Ibu memang sangat sering menelepon, menanyakan keadaan kami, dan memastikan kami baik-baik saja. Saya bilang kalau saya sedang ada tugas di Kupang. "Gak onok rencana pulkam?" Tanya ibu. "Insyaallah, Mik. Dalem wangsul saking Kupang Sabtu sonten. Menawi saget, Sabtu sonten dalem pulkam". Jawab saya, ragu-ragu tapi berusaha yakin. "Yo, mugo-mugo iso. Ponakanmu wis podho kangen."

Ternyata, pesawat saya yang seharusnya membawa saya terbang dari Kupang pukul 15.00, delayed. Pukul 16.00 baru boarding. Maghrib baru landed Surabaya. Begitu saya menghidupkan ponsel setibanya di Juanda, SMS ibu masuk. "Yen isih kesel, ora usah mekso pulkam. Umik paham kok." Hati saya seketika basah. Terharu dengan pengertian ibu. Saya memang lelah luar biasa. Tapi tidak tega untuk menunda pulkan karena sudah terlanjur janji pada ibu. Tapi, seperti memahami kelelahan saya, ibu malah SMS dulu. "Inggih, Mik...ningali sikon rumiyin nggih, Mik." Balas saya.

Dan pagi ini, akhirnya, kami berdua meluncur ke Tuban. Sisa lelah tak saya hiraukan. Kalau saya bisa menahan lelah untuk melakukan berbagai aktivitas, mestinya saya juga bisa menahan lelah untuk menengok ibu. Fisik boleh lelah, tapi psikis tidak. Semangat harus tetap terjaga. Termasuk semangat untuk bersilaturahim. Dan dengan semangat itulah kami berdua akhirnya berada di depan ibu, mencium tangannya, dan membaui aroma keberkahannya.

Terima kasih, Tuhan. Telah Kau hadirkan kami berdua kepada ibu kami tercinta....

Tuban, 8 Juni 2014

Wassalam,
LN

Sabtu, 07 Juni 2014

Learning by Doing

Dua hari ini saya berada di Kupang, tepatnya di Hotel Royal Kupang. Saya dijadwalkan untuk mengisi pelatihan kurikulum 2013 bagi para guru SD, SMP, SMA dan SMK, selama dua hari. Kegiatan ini sudah terlanjur saya sanggupi sejak sekitar sebulan yang lalu. Sehingga meskipun sebenarnya saya ada undangan rapat di Jakarta untuk hari Jumat sampai Minggu, saya terpaksa tidak bisa hadir. Kalah janji. 

Pelatihan diikuti oleh sekitar 100 orang guru. Syukurlah, tidak terlalu banyak. Saya bisa leluasa dan lebih intens berinteraksi dengan para peserta. Peserta yang terlalu banyak akan membuat narasumber cepat lelah, karena bicara saja mesti ngotot. Selain itu, pengendaliannya juga tidak bisa maksimal. Kalau pun bisa, pasti melelahkan, karena perlu energi besar untuk mobile kesana kemari melakukan interaksi dengan para peserta. Saya pernah mempunyai pengalaman menjadi narasumber dengan jumlah peserta 800-an orang. Selesai acara, panitianya saya amuk. "Yo lek kampanye, tidak apa-apa mau peserta sebanyak apa pun." Kata saya. "Kalau seperti ini, tidak usah mengundang saya." Saya nggondok, dan panitia berkali-kali minta maaf.

Hari pertama, kami berdiskusi tentang rasional perubahan K-13, elemen perubahan, SKL, KI, KD, pembelajaran, dan penilaian. Waktunya mulai pukul 09.00-16.00. Hanya diselingi istirahat satu jam, pukul 12.00-13.00.

Saya menggunakan pendekatan saintifik dalam pelatihan ini. Peserta saya bagi dalam kelompok-kelompok, ada 15 kelompok dengan jumlah anggota kelompok antara 5-7 orang. Guru SD berkelompok dengan guru SD, guru SMP dengan guru SMP, guru SMA dengan guru SMA dan SMK (karena guru SMK hanya ada satu).

Setiap topik saya mulai dengan informasi singkat, kemudian peserta saya minta untuk membaca sendiri materi, berdiskusi, dan mengerjakan tugas-tugas yang sudah saya siapkan di materi yang mereka miliki. Setelah itu setiap kelompok diberi kesempatan untuk presentasi dan ditanggapi oleh kelompok lain.

Tidak terasa, diskusi berjalan sangat gayeng. Guru-guru itu begitu bersemangat. Bahkan ketika makan siang, mereka sampai dipaksa-paksa oleh panitia untuk beranjak dari kursi karena mereka maunya menuntaskaskan tugas pertama dulu. Begitu juga ketika tiba waktunya pelatihan usai, mereka juga tidak segera berhenti berdiskusi. Sampai akhirnya saya paksa mereka berhenti karena besok masih ada waktu untuk melanjutkan.

Saya bertanya kepada mereka, "apakah bapak ibu belajar sesuatu hari ini?" Saya panggil kelompok per kelompok. "Kelompok Komodo, apakah hari ini belajar sesuatu?"
"Ya." Mereka menjawab serempak.
"Kelompok Tulip?"
"Ya."
"Kelompok Mawar?"
"Ya."
Ada 15  kelompok, dan mereka menjawab "ya" dengan penuh semangat.

Mereka telah belajar menerapkan pendekatan siantifik dengan begitu mudahnya. Mengalir, sangat mengasyikkan, sangat menyenangkan. Mereka tidak menyangka, bahwa pendekatan saintifik bisa diterapkan dengan sesederhana itu. Sebelumnya mereka membayangkan, pendekatan saintifik hanya bisa dilakukan di lab, memerlukan fasilitas yang memadai, penuh dengan penyelidikan, eksperimen, dan hal-hal yang sulit dilakukan, terutama oleh sekolah-sekolah di pelosok. Mereka baru menyadari, bahkan mata pelajaran sejarah, bahasa, seni, dan olah raga, bisa dengan mudah menerapkan 5M itu, mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan. Mereka sudah membuktikan, saat mempelajari K-13, mereka melakukan pengamatan dengan cara membaca dan mendengarkan. Mereka juga menampilkan banyak pertanyaan yang tidak sekedar membutuhkan jawaban mudah, namun pertanyaan yang membutuhkan analisis dan sintesis. Mereka juga mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu dengan memanfaatkan materi yang mereka miliki, berdiskusi, dan bertanya pada narasumber. Setelah itu, mereka berusaha menghubungkan pemahaman mereka dengan pengalaman di lapangan, dan juga dengan sumber-sumber lain. Selanjutnya, mereka mengkomunikasikan hasilnya untuk memperoleh kesimpulan bersama.

Ya. Para guru itu baru saja membuktikan, betapa pembelajaran yang interaktif, menantang dan membebaskan, akan sangat menyenangkan dan membuat betah siapa pun yang belajar. Mereka juga menyadari, dalam proses itu, sikap jujur, tanggung jawab, teliti, tangguh, juga dikembangkan. Begitu juga keterampilan berkolaborasi dan berkomunikasi. Artinya, sikap, pengetahuan dan keterampilan yang disyaratkan dalam pembelajaran dengan K-13, dapat dibangun melalui pendekatan saintifik.

Sore itu saya memberi hadiah buku bagi empat kelompok terbaik. Mereka senang sekali menerima "Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita", "Ibu Guru, Saya Ingin Membaca", "Jangan Tinggalkan Kami", dan "Berbagi di Ujung Negeri." Buku-buku itu lekat dengan kehidupan mereka. Selain karena sebagian besar setting-nya di NTT, juga karena tulisan-tulisan di dalam buku itu sangat menggugah.

Hari kedua, diskusi dilanjutkan dengan penyusunan RPP. Saya memberikan materi RPP lengkap dengan peraturan-peraturan menteri, terkait kerangka kurikulum serta kompetensi inti dan kompetensi dasar semua jenjang pendidikan. Saya juga memberi contoh RPP yang menerapkan pendekatan saintifik, bagaimana mengemas proses pembelajarannya sampai pada penilaiannya. 

Seperti hari kemarin, diskusi begitu gayeng. Tidak henti-hentinya guru-guru itu berdebat, saling menanggapi, saling melengkapi. Saya sampai merasa tidak sedang berada di Kupang, salah satu wilayah di Indonesia bagian timur yang katanya SDM-nya sangat rendah kualitasnya itu. Saya baru sadar, guru-guru ini pasti bukanlah termasuk SDM yang rendah itu. Mereka datang jauh-jauh untuk ikut pelatihan di tempat ini atas inisiatif mereka sendiri. Mereka membayar biaya pelatihan dengan uang mereka sendiri. Mereka datang dari tempat-tempat yang jaraknya puluhan kilometer, ada yang dari Amarasi Barat, Amarasi Selatan, Semau Selatan, Besmarak, bahkan dari Amfuang Timur, wilayah yang berbatasan dengan Timur Leste. Mereka seperti orang-orang yang kehausan dan ingin sepuas-puasnya minum dari sumber air pengetahuan. Sampai takjub saya melihatnya.

Saya bertanya kepada mereka: "adakah guru yang paling bapak ibu ingat, ketika bapak ibu bersekolah di SD, SMP, SMA atau SPG? Apa yang membuat bapak ibu selalu mengingatnya?"

Para guru itu berebut menjawab. Ada yang mengatakan, dia ingat selalu seorang guru SMP-nya karena guru itu sangat menyenangkan ketika mengajar, dia juga tidak suka menghukum seperti guru-guru lain. Ada juga yang mengatakan, dia ingat seorang gurunya saat SMA karena guru itu suka memukul dan membentur-benturkan kepala anak-anak ke tembok.

"Jadilah guru yang dikenang oleh siswa-siswa karena hal-hal baik, bukan karena hal-hal buruk. Apakah bapak ibu ingin dikenang karena hal-hal baik atau karena hal-hal buruk, itu adalah pilihan." Kata saya. "Tentu kita ingin, siswa-siswa kita mengenang kita, karena hal-hal baik yang telah kita tanamkan pada diri mereka, hal-hal baik yang itu berguna untuk bekal mereka menjalani kehidupan mereka."

"Apakah kita ingin menjadi guru yang dinantikan kehadirannya, ataukah menjadi guru yang menakutkan, momok, bagi siswa-siswa kita?"

Guru-guru itu menjawab serempak, mereka ingin menjadi guru yang dirindukan, yang dinantikan kehadirannya oleh para siswa.

"Maka kita harus menjadi teladan bagi siswa kita. Kata pepatah, poor teacher tells, good teacher teaches, best teacher inspires the students. Kita harus bisa menjadi guru-guru yang mampu menginspirasi. Untuk bisa menjadi guru-guru yang mampu menginspirasi, kita harus menjadi teladan. Jangan menuntut siswa untuk berdisiplin kalau kita sendiri tidak bisa disiplin, datang ke sekolah seenaknya, mengajar hanya formalitas, tidak menghargai siswa, suka memukul, suka menyalah-nyalahkan, dan seterusnya."

Di akhir pelatihan, saya memanggil peserta yang paling tua di ruangan itu. Seorang ibu, usianya 74 tahun, ya, 74 tahun, dengan sigap maju ke depan. Disusul dengan seorang bapak dan seorang ibu juga, yang ternyata usia mereka 'masih' 59 tahun. Dua orang itu terpaksa mundur karena kalah tua. Saya memberikan hadiah buku pada ibu yang paling senior itu (saya lupa namanya). Meski usianya 74 tahun, dia masih aktif mengajar, karena di yayasan tempat dia mengajar masih terus menugasi dia. Semangat belajar yang terus menyala, sangat nampak dari caranya berbicara, mendapatkan applaus dari semua peserta.

Saya juga memanggil peserta yang termuda. Ada empat peserta yang maju. Yang termuda dari mereka, Ibu Maria, 24 tahun, memperoleh hadiah buku. Satu lagi, meskipun tidak termuda, 25 tahun, juga mendapatkan hadiah buku, karena tepat hari ini, dia berulang tahun. Wow, betapa senangnya dia mendapatkan hadiah buku di hari ulang tahunnya. Dia juga mendapatkan ucapan selamat dari para peserta yang lain.

Kemudian saya juga memanggil peserta yang rumahnya paling jauh. Ada tujuh peserta yang maju dan mengklaim bahwa merekalah peserta yang rumahnya paling jauh. Padahal buku tinggal tiga. Maka saya bertanya pada para peserta yang lain, "siapa tiga di antara tujuh orang itu yang berhak menerima buku?" Dan riuh-rendahlah ruangan. Tidak hanya para peserta yang ramai, tapi juga tujuh orang itu ramai sendiri di depan. Mereka berdebat dan berusaha meyakinkan saya dan semuanya bahwa merekalah yang datang dari tempat yang paling jauh. Kami juga terpingkal-pingkal menyaksikan betapa mereka bertengkar sendiri gara-gara memperebutkan buku itu. Akhirnya, setelah dibantu oleh para peserta, saya memutuskan untuk memberikan buku kepada tiga peserta. Yang lainnya, saya minta untuk menuliskan alamatnya, dan saya janjikan bahwa saya akan mengirimkan buku di alamat tersebut. Legalah mereka. Tanpa dikomando lagi, mereka bergegas menuliskan alamat mereka di secarik kertas, dan diserahkannya kepada saya. Bahkan yang tidak termasuk nominasi pun, ikut-ikutan menyerahkan alamat mereka ke saya.

Senang sekali bisa bersama para guru yang hebat itu.  Rasa lelah saya terobati dengan semangat mereka. Mereka juga nampak sangat puas dengan apa yang mereka pelajari selama dua hari ini. Wajah mereka berseri-seri.  Usai pelatihan, mereka berebut ingin berfoto dengan saya, dan beberapa dari mereka bahkan berusaha mencium tangan saya ketika bersalaman, sesuatu yang bukan kebiasaan orang NTT. Saya katakan ke mereka, apa yang kita pelajari dua hari ini tidak akan ada gunanya kalau kita tidak mencoba menerapkan dan membagikannya pada rekan guru yang lain. Ilmu itu bermanfaat kalau diamalkan. Kita akan tahu kelebihan dan kekurangan K-13 kalau kita mau memahaminya dengan baik dan mencoba menerapkannya. Learning by doing.

Selamat berjuang, guru-guru yang baik. Selamat jalan dan kembali ke pelosok-pelosok tempat kalian mengabdi. Nyalakan lilin-lilin untuk menerangi kegelapan....

Kupang, 7 Juni 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 05 Juni 2014

Tamu Istimewa dari Jauh

Hari ini saya kedatangan tamu istimewa dari jauh. Tidak tanggung-tanggung. Tamu saya itu dari Kabupaten Mamberamo Raya, Papua. Namanya, Isak Torobi. Beliau adalah Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mamberamo Raya.

Sebenarnya Pak Kadis, begitu kami menyebutnya, sudah tiba di Surabaya sejak dua hari yang lalu. Tetapi karena saya masih bertugas di Yogya, maka baru hari ini kami bertemu.

Siang ini saya membawa Pak Kadis menghadap Pak Rektor. Di ruang rektor yang sejuk, ditemani PR 1 dan secangkir teh manis serta kletikan, Pak Kadis menyampaikan maksud kedatangannya. Beliau menunjukkan setumpuk berkas surat kesanggupan para peserta SM-3T untuk kembali ditugaskan ke Mamberamo Raya.

"Saya ingin menyampaikan kepada Bapak Rektor, bahwa para guru SM-3T sanggup untuk kembali ditugaskan ke Mamberamo Raya. Tentu saja kalau Bapak merelakan mereka.." Begitu kata Pak Kadis. Lelaki hitam tinggi besar tapi ramah itu menjelaskan. Kata-katanya runtut, mengalir lancar dengan suaranya yang agak serak namun jelas. Mata tajamnya yang bersembunyi di wajah hitamnya menyiratkan kesungguhan.

"Kami merasa sangat terbantu dengan kehadiran para guru itu. Kami sangat kekurangan guru. Bupati mengharapkan mereka semua akan menetap di sana. Mereka akan diangkat sebagi guru kontrak, sambil menunggu formasi untuk CPNS. Mereka nantinya akan diprioritaskan."

Tentu saja Pak Rektor menyambut dengan tangan terbuka. Para guru itu sudah membuat surat kesanggupan yang sudah mereka tandatangani sendiri. Atas inisiatif mereka sendiri. Apa yang harus ditolak? Ketika anak-anak muda itu merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari pembangungan pendidikan di pelosok negeri, bukankah itu pilihan yang hebat. Tidakkah itu membanggakan?

"Tapi, kalau nanti mereka selesai bertugas di Mamberamo Raya, saya dengar, mereka masih harus setahun mengikuti program PPG, benarkah begitu?"
Pak Rektor mengangguk. Menjelaskan bahwa selepas dari Program SM-3T, mereka akan mengikuti Program PPG.
"Tidak bisakah itu ditunda?" Tanya Pak Kadis.
Tentu saja tidak, itulah jawaban Pak Rektor. Namun dengan bahasanya yang rileks dan mencerahkan. Ternyata Pak Kadis datang, selain ingin menyampaikan surat kesanggupan para peserta SM-3T, juga untuk memohon supaya mereka boleh tidak mengikuti Program PPG.

Saya katakan itu program yang penting untuk mereka. Juga menguntungkan bagi Pemda Mamberamo Raya. Karena begitu mereka nanti bertugas di sana, mereka tidak lagi direpotkan dengan kewajiban harus ikut sertifikasi guru. Mereka sudah memiliki sertifikasi itu. Artinya, begitu bertugas, mereka tidak akan pergi-pergi dalam jangka waktu yang lama untuk menempuh pendidikan profesi.

"Berarti mereka akan pergi selama setahun? Bisakah kami dijamin bahwa kami diberi guru-guru untuk menggantikan mereka, Pak Rektor? Sementara mereka pergi untuk menempuh PPG? Kami sangat kekurangan guru, dan kehadiran mereka begitu berarti bagi kami. Kalau kami harus kehilangan mereka selama setahun, saya khawatir dengan anak-anak, guru-guru, dan sekolah-sekolah yang sudah terlanjur mencintai mereka." Lanjut Pak Kadis.

Pak Rektor spontan melihat saya. Saya mengangguk, terharu. Juga meyakinkan Pak Rektor. "Bisa, Bapak." Suara saya pelan. Dada saya agak sesak tiba-tiba. Suara Pak Kadis barusan, begitu menghunjam ulu hati saya. Membayangkan rasa kehilangan itu. Setahun memang waktu yang singkat. Namun ketika dalam setahun itu kebersamaan begitu intens, bersama-sama membangun pemahaman dan pengertian, memaknai suka-duka karena keberagaman, dan lantas terjalin perasaan saling membutuhkan dan saling mencintai, betapa berat sebuah perpisahan.

"Mungkin ada baiknya Pak Kadis menulis surat ke Dikti, supaya nanti Mamberamo Raya dikirim lagi guru-guru ke sana." Kata Pak Rektor.
"Ke Dikti?" Tanya Pak Kadis. Ragu.
"Ke Unesa saja juga tidak apa-apa, Bapak." Tukas saya, mencoba memahami keraguan Pak Kadis. Beliau pasti merasa akan kehilangan jalur emas kalau harus berkirim surat ke Dikti. "Ke Unesa saja, Bapak, nanti kita yang membawa suratnya ke Dikti."
"Ya ya, begitu juga bagus." Kata Pak Rektor.

Tiba-tiba Bu Kisyani, tersenyum, menarik perhatian kami. "Ada apa, Bu Kis?" Tanya saya.
"Gelangnya Pak Kadis...bagus sekali."
Kami tertawa berderai. Gelang perak di pergelangan tangan Pak Kadis serta merta menjadi pusat perhatian kami. Pak Kadis tertawa lebar, memperlihatkan lesung pipitnya.

Tentang lesung pipit itu, tadi, menjelang masuk ruangan Pak Rektor, saat saya memperkenalkan Pak Kadis ke Bu Kis, Bu Kis juga spontan berkomentar. "Aduh, Bapak manis sekali....punya lesung pipit ...." Tentu saja Pak Kadis tersipu-sipu dengan sapaan yang tidak terduga itu.
 
Kami keluar dari ruangan rektor saat jam menunjukkan pukul 14.00 lewat. Sebenarnya ada kegiatan pembukaan Pekan Olah Raga (POR) Peserta PPG siang ini, dan saya diharapkan bisa membuka acara. Namun saya sudah berpesan ke Pak Sulaiman dan Pak Heru tadi, kalau acara sudah dimulai dan saya belum tiba, Pak Sulaiman bisa mewakili saya untuk memberi sambutan dan membuka acara.

Tiba di PPG, ternyata acara baru akan dimulai. Benar-benar tepat momennya. Upacara Pembukaan POR ini tidak hanya dihadiri oleh kami para pengelola, namun juga dihadiri Kepala Dinas Mamberamo Raya sebagai tamu kehormatan. Saat saya memberi sambutan, saya memperkenalkan kepala dinas dari seberang timur itu, dan menyampaikan maksud kedatangannya. Maka sambutan yang hangat pun riuh rendah dari para peserta PPG.

Kami membawa Pak Kadis berkeliling, melihat gedung PPG dari satu lantai ke lantai yang lain. Saya sempat memisahkan diri karena saya harus menghadiri pertemuan dengan para mahasiswa S2 peserta penelitian Hibah Pasca Sarjana, yang memang sengaja saya undang ke PPG, biar saya bisa nyambi-nyambi. Sementara itu, Pak Heru dan Pak Julianto, mendampingi Pak Kadis mengunjungi asrama. Bercengkerama dengan para peserta PPG, yang kebetulan beberapa ada yang asli Papua, dan sempat makan malam bersama dengan anak-anak muda itu.

Begitu tiba di ruangan saya sekembalinya dari asrama, Pak Kadis berkata. "Luar biasa. Saya yakin, kita bisa mengembalikan jati diri kita bila proses pendidikan guru dikemas seperti ini." Wajahnya menyiratkan kebanggaan.
"Ya, Bapak. Oleh sebab itu, biarkan para guru yang saat ini bertugas di Mamberamo Raya, pulang dan belajar di sini setahun, dan baru kembali lagi ke Mamberamo. Untuk melengkapi bekal mereka sebagai guru."
"Ya ya, saya sangat setuju. Saya akan laporkan ke Pak Bupati nanti, bahwa para guru itu harus mengikuti program ini, supaya Mamberamo Raya nantinya mendapatkan guru-guru yang benar-benar guru."

Malam itu, lewat waktu Isya, kami mengakhiri pertemuan dengan makan malam di Rumah Makan Lombok. Pak Kadis dan Pak Heru menikmati sup buntut, saya dan Anang menyeruput sayur asem, dan Pak Julianto melahap gurami bakarnya. Pertemuan sehari ini begitu indah dan penuh makna. Semoga memberi makna juga bagi hal-hal baik yang telah terbangun dan terus dibangun.

Surabaya, 4 Juni 2014.

Wassalam,
LN
(5 Juni 2014. 19.10. Di Juanda, nunggu boarding)

Senin, 02 Juni 2014

Please Note Your Boarding Time

Pagi ini saya kembali menyapa Juanda. Hari ini saya dan besok terjadwal melakukan monitoring dan evaluasi (monev) Program PPG di UNY. Bila on time, saya akan menumpang Wings Air menuju Yogyakarta pada pukul 07.10. Diperkirakan pukul 08.20, saya akan tiba di Yogyakarta.

Di pintu masuk bandara, saya bertemu Mendikbud M. Nuh, bersama ajudannya, Mas Rizal, polisi yang tinggi semampai  dan ngganteng itu. Pak Nuh  tersenyum lebih dulu ke saya. "Selamat pagi, Pak." Saya mengulurkan tangan, tapi, tidak seperti biasanya, beliau menolak bersalaman. Mungkin beliau habis wudhu dan bersiap salat dhuha. Atau mungkin karena sebenarnya beliau tidak suka bersalaman dengan lain jenis, khas kyai NU, kecuali terpaksa. Hehe. Mas Rizal, yang dalam kondisi rileks biasanya sangat 'celelekan', kali ini 'macak' sopan, formal, dan tidak banyak cakap.

Saya mengantri di barisan penumpang Wings Air. Pak Nuh dan ajudannya berlalu, Mas Rizal bilang, 'bapak' naik Twin Air.

Setelah menerima boarding pass, saya langsung naik ke lantai dua. Dua orang gadis menyambut di ujung tangga, dengan membawa papan kecil berwarna biru dengan tulisan putih. Saya sempat membaca di salah satu papan itu. "Please note your boarding pass." Oya, saya jadi ingat, beberapa waktu yang lalu, saya mendengarkan informasi dari televisi kalau sejak Juni 2014, pengumuman naik pesawat tidak lagi akan dilakukan di Bandara Juanda. Penumpang harus mencermati waktu boarding-nya masing-masing, karena kalau tidak, mereka bisa ketinggalan pesawat.

Maka saya bayangkan Bandara Juanda sejak hari ini akan sunyi dan tenang, tidak ramai oleh pengumuman-pengumuman masuk pesawat yang sambung-menyambung seperti biasanya. Dan benar. Beberapa waktu duduk di ruang tunggu, saya tidak mendengar pengumuman apa pun. Bagus. Ini akan membuat penumpang lebih hati-hati dan lebih cermat terkait dengan waktu boarding. Ini juga akan membuat penghematan energi karena bandara tidak harus menggunakan loud-speaker terus-menerus. Juga lebih ramah lingkungan, mengurangi polusi suara.

Tapi, olala. Ternyata perkiraan saya meleset. Pengumuman pertama terdengar di seantero gedung. Pengumuman untuk penumpang yang mengandung, membawa bayi di bawah enam bulan, serta yang sedang sakit cacar, supaya mereka lapor. Juga pengumuman kedua, untuk penumpang Lion Air yang membawa bagasi lebih dari satu koli, yang diminta melapor kembali ke konter check in.

Baiklah, kalau pengumuman terkait dengan hal-hal itu, bolehlah. Itu pengumuman penting. Untuk pengumuman waktunya naik pesawat, mungkin tidak akan diumumkan seperti yang sudah diinformasikan.

Tapi, sekali lagi, dugaan saya meleset. Pengumuman demi pengumuman ternyata masih juga berkumandang. Mulai Lion Air yang akan terbang ke Balikpapan, dan lain-lain, sampai akhirnya Wings Air jurusan Yogyakarta. Itu pesawat saya. Maka masuklah saya ke badan pesawat ATR itu.

Mungkin karena saat ini masih masa transisi, meski Bandara Juanda sudah menyampaikan kalau setiap penumpang harus memperhatikan waktu boardingnya masing-masing, informasi waktu naik pesawat masih juga diumumkan. Ya sudahlah, karena masih masa transisi, bisa dimaklumi. Yang akan datang, pasti semuanya akan berjalan sesuai rencana.

Jadi, perhatian untuk semua penumpang yang akan berangkat dari Bandara Juanda, please note your boarding time....


Yogyakarta, 2 Juni 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 01 Juni 2014

Pagi Hari di Soetta

Manisnya bubur kacang hijau di pagi ini, seperti manis senyummu yang menawan hati
Santan kentalnya yang gurih adalah gurihnya canda tawamu yang menghibur diri
Bongkah kecil roti mini ini bagai bongkah-bongkah rindu yang tak pernah henti, menyatu di sanubari seperti menyatunya roti dengan selai strawberi

Coba kucicip legitnya muffin pandan mungil ini
Hm, lembutnya, wanginya, mengingatkan diriku akan harummu, serasa merasuk di hati

Ditemani secangkir teh manis dan hangatnya sinar mentari yang menembus jendela-jendela kaca
Mengantarkan diriku merindui kehangatanmu yang selalu setia....

Garuda Lounge, Soetta, 29 Mei 2014. 06.30 WIB


Wassalam,

LN

Kangen

Sore sudah jatuh ketika saya keluar dari lobi hotel Grand Candi, Semarang. Waktu menunjukkan pukul 17.00. Dengan menumpang taksi, saya menuju bandara. Pukul 18.30 nanti, saya akan terbang menumpang Sriwijaya Air, pulang ke Surabaya.

Ini perjalanan di luar rencana. Seharusnya kegiatan di Semarang dijadwalkan sampai tanggal 2 Juni besok, dan malam ini adalah finalisasi reviu instrumen ujian tulis PPG Kolaboratif. Namun karena 16 'pakar' yang diundang untuk mereviu instrumen ini memiliki kecepatan bekerja yang berbeda, maka orientasi kegiatan lebih pada output, bukan waktu. Tugas mereviu dilakukan secara mandiri, dan siapa pun yang sudah selesai, bisa pulang lebih dulu. Namun pada umumnya, tidak ada yang mampu menyelesaikan sebelum jadwal yang sudah ditentukan, bahkan kadang ada yang melewati jadwal, alias pekerjaannya belum selesai. Kecuali orang-orang yang sedang beruntung. Seperti saya.

Ya, saya benar-benar menjadi orang yang beruntung kali ini. Saya kebagian mereviu instrumen bidang tata boga, sesuai dengan spesialisasi saya. Instrumen yang saya reviu itu, sudah lumayan rapi. Meski tetap harus melakukan pembenahan di sana-sini, namun, dibandingkan dengan instrumen yang ada pada teman-teman reviewer yang lain, butir-butir soal yang harus saya reviu, sebagian besar sudah baik.

Kebetulan saya kenal penyusunnya. Teman dosen dari UNY dan UNJ, keduanya asli orang Tata Boga, jadi paham bidang studi. Mereka lulus S2 dan S3 dalam bidang pendidikan, bahkan salah satu di antaranya lulusan doktor bidang penelitian dan evaluasi. Klop sudah. Bidang studi paham, pedagoginya dapat, dan evaluasinya kena.

Sejak kemarin sore, begitu saya membaca butir-butir instrumen secara sepintas, saya memperkirakan kalau saya tidak perlu memerlukan dua hari dua malam untuk membenahinya. Rencana saya semula yang akan langsung ke Yogya, karena tanggal 2-3 Juni saya dijadwalkan untuk melakukan monev PPG di UNY, mungkin bisa saya atur ulang. Saya akan pulang Minggu malam ke Surabaya, dan paginya baru berangkat lagi ke Yogya. Dari pada saya naik travel dari Semarang ke Yogya dengan waktu tempuh sekitar empat jam, rasanya pulang ke Surabaya jauh lebih dekat dibanding jarak Semarang-Yogya.

Menjelang siang, ketika saya sudah menyelesaikan 90 persen tugas saya, saya menelepon Mas Nardi, minta dipesankan tiket pesawat ke Surabaya untuk penerbangan sore. Sekaligus juga pesan untuk penerbangan dari Surabaya ke Yogya besok pagi.

Mungkin bagi sebagian orang, betapa melelahkannya perjalanan saya. Beberapa minggu ini, jadwal tugas keluar kota begitu padat. Berderet-deret sampai saya tidak lagi bisa menikmati tanggal-tanggal merah yang berkali-kali menghiasi kalender, termasuk juga libur akhir pekan. Dengan kondisi seperti itu, sebenarnya, untuk saat ini, mungkin saya lebih baik naik travel ke Yogya, semalam istirahat di Yogya, dan besok bisa langsung beraktivitas di UNY, tanpa perlu bangun pagi-pagi dan terburu-buru mengejar pesawat.

Namun saya akan kehilangan beberapa jam yang sebenarnya bisa saya dapatkan untuk bisa bersama keluarga. Beberapa jam itu, betapa berharganya. Ya, dalam kondisi aktivitas yang sedemikian padat, ada sesuatu yang sepertinya terenggut dari hari-hari saya. Berkumpul bersama keluarga. Bersantai di rumah, nonton TV, makan bersama, pulang kampung, nge-mall, nonton film, bersepeda, memasak, membersihkan taman...

Saya kangen itu semua. Dalam segala keterbatasan saya, dalam segala kepadatan tugas-tugas saya, saya selalu berjuang untuk bisa mendapatkan kesempatan itu. Ternyata saya bukan siapa-siapa tanpa keluarga. Ternyata saya begitu lelahnya ketika kesempatan bertemu keluarga terenggut dari hari-hari saya. Saya rindu, saya kangen, saya ingin pulang....

Ya Tuhan, beri kekuatan lahir dan batin, perlindungan lahir dan batin, kesehatan lahir dan batin, untuk saya, anak dan suami saya, seluruh keluarga besar saya. Berkahi setiap langkah kami, tuntunlah kami ke jalan yang senantiasa Engkau ridhoi....

Semarang, 1 Juni 2014. 18.21.

Wassalam,
LN

Senin, 26 Mei 2014

Jus Pinang Aceh

Pernah minum jus pinang?

Sore ini, sekitar pukul 15.30, saya dan Dr. Heri Yanto, dosen Unnes, tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Begitu keluar pintu bandara, sebuah sapa mengagetkan kami.
"Assalamualaikum..."
Ternyata Pak Jufri, Dekan FKIP. Beliau dengan seorang teman, Bapak Samingan, Koordinator PPG SM-3T Unsyiah.

Kami bersalaman dan saling berkabar. Saya pikir, kami akan dijemput driver FKIP saja atau driver dengan koordinator PPG SM-3T atau salah satu dosen. Tidak membayangkan pak Jufri yang akan menjemput.
"Kok Bapak sendiri yang menjemput?" Protes saya. Benar-benar protes. Kalau dekan yang menjemput, saya jadi tidak leluasa untuk mengajak mampir ke sana ke mari sebelum masuk hotel. Padahal rencana saya dan Pak Heri, sore ini mau langsung jalan-jalan ke Masjid Raya Baiturahman dan makan jagung bakar di Pantai Oleele, sambil menikmati matahari terbenam.

"Ya, karena tahu Bu Luthfi yang mau datang, saya putuskan untuk menjemput sendiri." Kata Pak Jufri. Olala...inilah risikonya jadi orang terkenal. Hehe, bercanda.

Kami diantar ke Hotel Hermes. Saat melepas kami bersama room boy yang akan mengantar kami ke kamar, Pak Jufri mengucapkan selamat beristirahat dan mengatakan kalau pukul 20.00 akan datang menjemput kami untuk makan malam.

Selamat beristirahat? Boro-boro.... Hanya sebentar kemudian, setelah menunaikan salat dhuhur dan ashar jama' taqdim, saya dan Pak Heri sudah berada kembali di lobi hotel. Setelah meminta petugas hotel untuk memanggilkan taksi, maka meluncurlah kami menuju Museum Tsunami.

Sayang sekali, museum sudah tutup. Ya, pukul 16.30 museum memang sudah tutup, dan ini sudah pukul 17.00. No problemo. Masih ada yang menarik. Masjid Raya Baiturahman. Masjid indah yang lebih mirip taman rekreasi itu asyik juga untuk cuci mata. Apa lagi ini hari Minggu. Wow, ramainya mantap. Di mana-mana kerumunan orang. Mulai bayi sampai manula. Juga orang-orang berjualan jajanan. Termasuk mi aceh yang dibeber di rombong.

Tapi yang menarik tentu saja tidak hanya itu. Keindahan Masjid Baiturahman itu menyimpan cerita panjang sejarahnya sendiri sejak ratusan tahun silam. Ya, setelah sekitar 600 tahun lebih melewati peristiwa-peristiwa bersejarah, sampai saat ini, masjid itu masih berdiri kokoh sebagai simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme Suku Aceh.

Di seberang jalan masjid, ada juga sederetan rombong yang menjual produk khas. Buah pinang atau jambe. Dari kejauhan, buah yang warnanya hijau itu nambak bergerombol-gerombol digantung-gantung.  "Pak Epi, apa orang Aceh juga makan sirih pinang?" Tanya saya pada driver.
"O tidak, Bu. Itu untuk obat kuat laki-laki."
"Hah?"
"Ya, buah itu diminum sama telur bebek."
Penasaran, saya menyeberang jalan. Memisahkan diri dari Pak Heri dan Pak Epi. Saya mendekati rombong-rombong itu.
"Bu, ini untuk apa?" Saya bertanya pada ibu penjual, sambil menunjuk buah jambe yang dibungkus dengan daun sirih.
Ibu itu melihat ke saya. Agak heran. Mungkin dalam pikirannya, "perempuan ini kalau lihat manisnya sih kayak perempuan Aceh, tapi kok nggak ngerti sirih jambe buat apa." Hehe. Asli, saya tidak ge-er. Tadi, di perjalanan, driver taksi sempat bilang "saya pikir ibu orang Aceh. Ibu rapi sekali pakai kerudung, dan wajah ibu mirip-mirip orang Aceh." Nah, kan? Padahal orang Aceh kan manis-manis...

"Itu....untuk digigit-gigit....untuk menghilangkan bau badan." Jelas ibu penjual. "Satu harganya seribu."
Saya mengangguk-angguk. Kok jawabannya berbeda dengan penjelasan Pak Epi ya? Apa karena yang bertanya saya ya? Kalau yang bertanya bapak-bapak, mungkin jawabannya berbeda.

Dari Masjid Baiturahman, kami meluncur ke Pantai Oleele. Makan jagung bakar dan minum kelapa muda. Sambil menikmati matahari jingga yang jatuh di kaki langit. Ini kali kedua saya menikmati laut di pantai ini. Di tempat yang sama. Dengan keindahan yang juga sama.

Malamnya, sekitar pukul 20.00, kami dijemput oleh Dekan FKIP bersama istrinya, para Pembantu Dekan, para pengelola PPG SM-3T, makan malam di sebuah restoran. Menu di restoran itu tentu saja menarik, terutama seafood-nya. Udang gorengnya besar-besar, gurih, manis, dan juga...gratis. Haha.

Namun ada yang lebih menarik perhatian saya. Saat pelayan membawa dua buah gelas bertangkai yang isinya cairan kental berwarna kelabu seperti kopi susu, saya bertanya ke pak dekan.
"Itu minuman apa, Pak?"
"Itu dia....jus pinang."
"Hah? Jadi pinang diminum?"
"Ya. Ibu mau?" Tanya pak Dekan, yang disambut dengan gelak tawa berderai-derai dari yang lain. Rupanya khasiat jus pinang sebagai obat keperkasaan laki-laki ini membuat pertanyaan saya terdengar lucu di telinga para bapak itu.
"Mumpung bisa ngerjain profesor." Canda pak dekan. "Kalau di kampus, kita tidak bisa kan ngobrol-ngobrol begini? Betul kan, Pak?" Tanyanya pada yang lain.

Jadi, ternyata, jus pinang itu, banyak dijual di sembarang tempat di Banda Aceh ini. Di depan restoran tempat kami makan, juga ada rombong penjual jus pinang. Namanya Jus Pinang Spesial. Entah seperti apa yang spesial itu. 

Selidik punya selidik, jus pinang spesial itu, adalah
campuran beberapa butir pinang muda yang dikupas dan diambil isi buahnya, jahe merah yang sudah dihaluskan, telur bebek diambil hanya bagian kuning telurnya saja, sari kurma, ditambah serbuk habatus sauda. Semua bahan itu dicampur air dan dihaluskan dengan blender. Hasil akhirnya adalah cairan yang sewarna dengan kopi susu.

Selidik punya selidik lagi, ternyata jus pinang tidak hanya berkhasiat sebagai obat kuat laki-laki, tetapi juga untuk obat masuk angin. Artinya, mungkin cocok juga untuk ibu-ibu yang masuk angin. Dari pada kerokan dan blonyohan minyak kayu putih atau minyak tawon, mungkin ada baiknya sesekali mencoba jus pinang.

Berani coba?
Saya tidak. Tidak. Sekali lagi, tidaaaakkkk.......

Banda Aceh, 26 Mei 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 18 Mei 2014

Sate Dan Gule Pak Slamet

Tiba di Bandara Juanda, begitu saya masuk mobil, bersalam pada Mas Ayik dan mencium tangannya, Mas Ayik bilang "Langsung ke Kediri ya, Sayang?" Saya mengangguk. "Tapi pulang bentar, naruh koper dulu ya, sekalian nengok rumah." Jawab saya.

Maka pagi ini, kami berkendara menuju Kediri, tepatnya Pare. Ada teman kantor Mas Ayik yang punya hajat mantu. Sebenarnya acaranya kemarin, tapi Mas Ayik ingin datang bersama saya, mengingat saya pun sudah kenal baik dengan Pak Siswanto, teman kantor Mas Ayik itu. Tapi karena saya masih bertugas di Semarang, maka baru hari ini kami bisa memenuhi undangan itu.

Di perjalanan, baru beberapa menit, saya sudah izin ke Mas Ayik. "Aku bobo' ya, Mas?"
"Ya. Bobo' aja. Kursi diundurne, sendenan dijeglekne, ben bobo'e nyaman." Tentu saja saya manut. Menggeser jok dan sandarannya, memastikan pada PW (posisis wenak). Dan pulaslah saya.

Sampai di Pare, pas adzan dhuhur. Tamu di rumah Pak Sis ada beberapa pasang. Terop mulai dibongkar. Kami ngobrol ngalor-ngidul sambil makan kue-kue, minum kopi dan teh. Pak Sis jago ngobrol. Ada saja topiknya. Kami lebih banyak hanya mendengar. Sambil senyum-senyum, tertawa-tawa, mengangguk-angguk, dan berkomentar sepatah dua patah kata untuk mengimbangi obrolan saja.

Kami tidak berlama-lama di rumah Pak Sis. Hanya sekitar setengah jam. Yang penting kami sudah datang, menunjukkan perhatian sekaligus mempererat tali silaturahim dengan Pak Sis dan keluarganya. Untungnya, kami tidak disuguh makan siang. Ya, karena ada yang kami incar sejak dari Surabaya. Yaitu, sate dan gule Pak Slamet.

Ini yang kedua kali kami makan sate gule Pak Slamet yang ada di jalan raya Kandangan, Pare itu. Yang pertama kali dulu waktu saya ada kegiatan terusan dari Kediri ke Malang. Ditemani Mas Ayik juga, kami makan sate dan gule di tempat itu. Rasanya cocok dengan selera kami. 

Sebagai orang Ponorogo, Mas Ayik sangat fanatik pada sate. Sate ayam maupun sate kambing. Kalau tidak enak, dia mending tidak makan sate.

Nah, untuk sate dan gule Pak Slamet ini, rupanya cocok dengan selera Mas Ayik. Sama, cocok juga dengan selera saya. Kami berdua memang sama-sama penggemar sate, terutama sate kambing.

Meski penggemar sate, kami tidak lantas umpak-umpakan makan sate. Tahu diri. Ingat kesehatan. Cukuplah sepuluh tusuk untuk berdua. Juga semangkok gule untuk berdua. Minumnya wedang jeruk nipis hangat, untuk menetralisir. Bahkan sambil menunggu sate, kami makan banyak buah untuk 'nglambari'.

Sate Pak Slamet empuk, bumbu kacang yang ditabur irisan bawang merah dan sesendok sambal pas sekali untuk melumuri daging bakar yang masih panas itu. Begitu irisan jeruk nipis dibubuhkan di atasnya, wow, aromanya... Hanya dari aroma dan tampilannya saja, sate ini sudah menunjukkan pesona rasanya yang pasti lekerrr.....

Jadi, tunggu apa lagi? Mari kita nimati satenya. Te.....sate......


Pare, 18 Mei 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 15 Mei 2014

Olala....Sriwijaya....

Saya sedang mengajar di kelas saat sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Saya meminta izin mahasiswa untuk mengecek ponsel.

Ya, meski saya tidak membolehkan mahasiswa untuk menghidupkan ponsel ketika perkuliahan sedang berlangsung, tapi sejak awal saya sudah meminta keistimewaan, aturan itu tidak berlaku bagi saya. Posisi saya sebagai koordinator SM-3T mengharuskan saya untuk selalu menyediakan diri mengangkat telepon dan SMS sepanjang waktu, 24 jam nonstop. Para peserta SM-3T tidak mudah untuk mendapatkan sinyal, mereka harus menaiki bukit atau berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk bisa telepon atau mengirim SMS. Dengan kondisi seperti itu, maka saya harus senantiasa siap sedia mengangkat telepon dan membalas SMS secepatnya. Pernah suatu ketika saya telat membaca SMS, akhirnya SMS balasan saya tidak berhasil terkirim. Saya telepon ponselnya, tidak ada nada sambung sama sekali kecuali "tulalit....tulalit...." Yang bersangkutan pasti sudah turun dari bukit sinyal. Di SMS-nya dia bilang "Ibu, mohon SMS saya segera dibalas. Saya sedang di atas bukit, tapi ini mendung. Saya tidak bisa berlama-lama, harus segera turun."

Saya mengecek SMS, ternyata dari Sriwijaya Air. "Kpd YTH pelanggan Sriwijaya Air kami informasikan utk tgl 16MAY SJ225 SURABAYA-SEMARANG jam 11.25 Berubah MAJU  menjadi jam 10.10.
Mohon maaf atas ketidak nyamanan ini. Untuk keterangan lebih lanjut hub 031-5491777 atau call center 021-29279777 atau -031.8688538 -08041777777 atau kantor perwakilan Sriwijaya Air terdekat."

Duh. Padahal saya lagi nggetu-nggetunya mengajar. Saya sudah memperhitungkan waktu dengan baik. Saya akan mengajar sampai pukul 08.30, lantas ke Pasca untuk menyerahkan nilai dan menitipkan tugas-tugas mahasiswa ke sekuriti, lanjut ke LPPM, bertemu dengan tamu penting, yaitu Bapak Nanang Ahmad Rizali dari Pertamina Foundation, baru meluncur ke Bandara Juanda. Kalau penerbangan sesuai jadwal awal, yaitu pukul 11.25, waktu saya lumayan leluasa. Tapi kalau tiba-tiba jadwalnya dimajukan begini, wah, bisa kacaulah rencana saya.

Saya melihat jam. Pukul 8.10. Saya mendekati Pak Leksono, partner mengajar.
"Cak, penerbanganku maju, jek tas onok SMS soko Sriwijaya, piye iki?"
"Yo wis ora opo-opo, Jeng. Wis, ndang budhal, kelas tak atasane."
"Ngono yo, Cak? Sepurone yo, Cak?" Saya bersiap-siap. Mengemasi laptop dan buku-buku saya.
"Sama Pak Leksono dulu ya, anak-anak..." Pamit saya pada mahasiswa. Seperti guru SD ke murid-muridnya.
"Ya, Bu Guru..." Serentak jawaban mahasiswa.

Saya meminta Anang, driver PPG, untuk mengantar saya ke Pasca. Terus yergesa-gesa lanjut ke Bandara Juanda. Di tengah perjalanan, Pak Nanang mengirim pesan di whatsapp.
"Ass. Ww. Bu Prof, saya sdh di mobil keluar jln bandara. LP2M itu dekat gd Rektoratkah?"
Saya langsung mengangkat telepon. Menghubungi Pak Nanang. Menyampaikan permintaan maaf tidak bisa menemui beliau, meskipun sangat ingin. Saya juga katakan kalau Pak Isbondo dan Prof. Wayan Susila, Ketua LPPM, sudah menunggu beliau di LPPM. Dan berharap semoga suatu saat ada kesempatan bagi saya untuk bertemu.

Sampailah saya di Bandara Juanda. Langsung masuk dan menuju tempat check in. Selagi mengantri, ada sepasang suami istri yang marah-marah pada seorang petugas di konter check in itu. Saya tidak terlalu menghiraukan. Tapi begitu giliran saya sampai di depan petugas, saya jadi ngeh, kenapa orang-orang itu marah. Ternyata SMS dari Sriwijaya yang mengatakan kalau jadwal penerbangan dimajukan itu, tidak benar. Ternyata ada miscommuniation di internal Sriwijaya, dan terkirimlah SMS untuk para pelanggan itu. Padahal sebenarnya, ternyata, jadwal tidak berubah. Tetap. Tidak maju tidak mundur.

"Hah, apa?" Tanya saya pada petugas.
"Ya, Bu. Mohon maaf, ada miscommunication, Bu. Jadi jadwal seperti semula."
Rasanya ingin saya ngremus petugas itu. Ingat kelas yang saya tinggalkan sebelum waktunya, ingat pertemuan penting dengan tamu penting yang saya harus abaikan, ingat bagaimana saya meminta Anang untuk ngebut di tol sewaktu mengantar saya tadi. Tapi melihat wajah petugas yang  seperti sudah siap menerima kemarahan itu, hati saya tidak tega. Sepertinya dia sudah sejak tadi menerima komplain dari satu pelanggan ke pelanggan lain. Melihat wajah dan sorot matanya yang memelas, saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja.
"Kok bisa sih..." Kata saya lirih. "Maaf, bu..."

Ya sudah. Saya pun naik. Masuk ke sembarang kafe. Pesan jus jambu dan kentang goreng. Makan, meski tidak sedang lapar. Pelampiasan rasa jengkel dan kecewa. Kecewa sama Sriwijaya. Olala....Sriwijaya.....

Bandara Juanda, 16 Mei 2014


Wassalam,
LN

Nasi Pecel Tempe Kepleh

Pagi ini saya seperti orang mau lebaran. Setelah berminggu-minggu dihajar kesibukan dan banyak kegiatan di luar kota, saya menyambut liburan Waisak ini dengan penuh suka cita. Seolah-olah sayalah yang punya Waisak. Bahkan sejak tadi malam saya sudah menyanyikan lagu sorak-sorak bergembira dan berteriak-teriak "horee....horeee.....besok liburrrr....yes, yes, yes!"

Begitu bangun pagi, salat subuh berjamaah, Mas Ayik langsung menyiapkan sepeda. Dua seli (sepeda lipat) warna putih, segera parkir di teras. Saya juga bersiap. Tanpa bikin jus buah seperti biasa. Tanpa menggoreng tempe, masak balado terong dan omelette. Apa lagi menyapu, mengepel, mencuci piring....oh tidakkkk. Pokoknya pagi ini saya tidak mau itu semua. Saya mau bersepeda, makan di luar, bersenang-senang. Masa bodo dengan piring kotor dan rumah yang amburadul. Bisa diurus nanti. Hehe.

Kami berdua keluar dari rumah setelah pamit Arga. Pagi ini Arga ada acara ke Taman Safari bersama teman-temannya. Mereka pergi semobil, bensinnya urunan, makannya urunan. Seperti biasa, Arga menyiapkan seperangkat alat fotografinya. Ranselnya penuh padat. Seperti fotografer profesional. Koyok iyo-iyo'a....

Meski waktu belum pukul 06.00, Taman Jangkar di samping rumah sudah ramai. Anak-anak kecil dan orang tua memenuhi setiap sudut. Juga beberapa rombong penjual makanan jajanan. Tapi tujuan kami tentu saja bukan ke Taman Jambangan Karah itu (disingkat Jangkar). Terlalu dekat. Jadi ke mana? Ke mana lagi kalau tidak ke Masjid Al-Akbar. Ya, Masjid Agung Surabaya atau MAS. Oh, rasanya sudah bertahun-tahun tidak mengunjungi masjid yang dikelilingi oleh berbagai macam makanan itu. Bersepeda oke, kuliner yes.

Semanggi. Horeee....akhirnya kami makan semanggi. Sepincuk cukup. Dengan segelas jus jeruk. Murni, buah jeruk asli. Jeruk pacitan itu tuh, yang biasanya dipotong-potong untuk dimakan segar. Saat ini memang banyak penjual jus jeruk pacitan itu. Segelas Rp. 8.000,-. Lumayan, daripada memeras sendiri.

Kenyang makan semanggi dan jus jeruk, kami bersepeda lagi mengelilingi Masjid Agung. Satu-dua putaran cukuplah. Mas Ayik pagi ini harus segera bergabung dengan para bapak warga perumahan, kerja bakti. Saya sendiri juga musti beres-beres dapur, kamar, dan juga buku-buku.

Tapi, olala.... Baru nggowes beberapa puluh meter dari kawasan Masjid Agung, di pinggir jalan sisi kiri ada penjual nasi pecel. Nasi Pecel Tempe Kepleh Ponorogo. Siapa pun orang asli Ponorogo, pasti tahu apa itu pecel tempe kepleh. Ya, betul. Nasi pecel yang lauknya tempe goreng setengah matang. Kepleh, tidak keras, tidak renyah. Tempe kepleh itu, kalau sudah ketemu temannya, yaitu nasi pecel, wow, rasanya.....lezat poll.

"Mau?" Tanya Mas Ayik seperti tahu pikiran saya.
"Kan sudah makan semanggi." Jawab saya, pura-pura sih. 
"Semanggi kan sayuran. Belum ada karbohidratnya." 
Kami pun menghentikan sepeda. Duduk di kursi plastik merah, di pinggir jalan. Memesan dua porsi pecel tempe kepleh. Juga tambah lauk lento. 

Begitu nasi pecel pesanan kami ada di tangan, wow.....ini mah Ponorogo banget. Nasi putihnya, kulupannya, sambalnya, tempe keplehnya, lentonya, rempeyek terinya...hmmm.... 

Di Surabaya, pecel ponorogo banyak. Tapi yang "monorogoni", tidak banyak. Pecel ponorogo, cembahnya tidak pernah pakai cambah panjang, selalu cambah pendek. Sambalnya tidak terlalu manis, pedasnya terasa. Lauknya yang khas tempe goreng, lento dan trimbil (teri kambil, kambil artinya kelapa). Juga berbagai pilihan lauk yang lain seperti babat, iso, paru, pelo ati, lidah,  ayam, telur asin. Tapi yang saya paling suka tiga yang terdepan: tempe, lento dan trimbil.

Selesai makan, kami kembali mengayuh sepeda. Masih ada sekitar tiga kilometer untuk mencapai rumah. Jalan menanjak di jembatan Kebonsari membantu membuang lebih banyak kalori. Hah hah hah.....nafas ngos-ngosan. 

Horeeee, akhirnya sampai juga di rumah. Sepeda kami parkir, helm kami gantung. Mas Ayik langsung keplas ikut kerja bakti. Saya langsung berkutat dengan proyek saya, korah-korah, nyapu-nyapu, bersih-bersih, koreksi-koreksi tugas dan UTS, bikin soal, dan...... Ya sudah, mari kembali ke rutinitas.... Cukuplah refreshing pagi ini. Setumpuk pekerjaan menantiiiii....hiks.

Selamat merayakan Waisak.


Surabaya, 15 Mei 2014

Wassalam,
LN

Senin, 12 Mei 2014

Sorong 9: Kembali ke Surabaya

Pagi masih gelap saat Dian, pemandu kami mengetuk pintu  kamar. "Morning call, morning call." Suaranya memecah keheningan.
"Okay.....sudah bangun." Sahut Mbak Desi, teman sekamar saya.

Pagi ini, kami harus sarapan pukul 05.30. Serasa seperti makan sahur. Ya, karena hari masih gelap, lampu-lampu masih menyala. Tapi, meskipun tidak terbiasa sarapan sepagi itu, kami makan lahap saja: roti panggang, mi rebus, dan pisang goreng yang masih panas. 

Pukul 6.30, kami sudah siap di dalam speedboat. Cuaca cerah, sangat bersahabat. Marion dan Didik, dua sejoli yang menjadi host di Raja Ampat Dive Resort, melepas kami di dermaga, bersama dua orang kru. Melambai sampai speedboat kami menjauh. Menembus kabut tipis, berlomba dengan burung-burung laut yang terbang rendah, mengarungi Selat Dampir menuju Sorong.

Di speedboat, saya menulis, membuka tab, melihat foto-foto. Seperti tak percaya, saya baru saja meninggalkan Raja Ampat. Negeri surga. Pulau-pulau cantik nan molek. Penduduknya yang ramah, berkulit hitam, berambut keriting, berbulu mata lentik yang menaungi mata hitamnya yang bulat penuh. Oh Tuhan....betapa saya jatuh cinta pada tanah ini. Pada orang-orang ini. 

Sebersit perasaan sedih menyelinap. Dalam beberapa kali mengobrol dengan Rani, pemandu kami yang lincah dan cerdas lagi intelek itu, ada kekhawatiran pada pendidikan anak-anak di kawasan Raja Ampat. Di sebuah kampung, namanya Tanjung Besi, ada puluhan KK dengan ratusan jiwa di sana, dan anak-anak biasanya suka melongok para pelancong yang melintasi kampung mereka dari jendela-jendela rumah. Anak-anak itu, banyak yang tidak bersekolah, karena di kampung mereka tidak ada sekolah. Di sisi lain, di banyak bagian di Papua ini, ada banyak gedung sekolah yang bagus, tapi guru tidak ada. Kalau ada guru pun, mereka jarang datang ke sekolah, dengan berbagai alasan. Banyak anak lulusan SMA yang bingung mau ke mana, sekolah tidak, kerja belum, akhirnya kerjanya hanya mabuk-mabukan saja. Mereka masih muda. Energi mereka besar. Namun nampaknya, wahana untuk menyalurkan energi itu masih sangat terbatas. Maka pelampiasannya adalah di jalan-jalan, mabuk, dan aktivitas-aktivitas kontraprodutif lainnya.

Saya membandingkan kondisi tersebut dengan kondisi di wilayah-wilayah 3T yang lain. Nyaris sama. Begitulah. Dengan otak yang terus dijejali alkohol, bagaimana orang bisa berpikir jernih, berperilaku halus penuh pertimbangan, dan belajar dengan baik? Bagaimana orang terbiasa berpikir pendek bisa menerima perubahan dengan hati terbuka?  

Tentu tidak semua seperti itu. Banyak orang Papua yang berhasil, intelek dan populer. Walikota Sorong dan Bupati Kabupaten Sorong juga orang asli Papua. Rektor UNIPA, PTN satu-satunya di Papua Barat, adalah doktor lulusan Oxford University, perguruan tinggi ternama di dunia. Orang Papua juga terkenal dengan kepiawaiannya dalam sepak bola. Sebut saja nama yang ada di timnas, Tibo, Oktavianus, Patrich, Boas, dan lain-lain. Mereka hebat memainkan bola, mengharumkan nama Indonesia. Kita juga tentu masih ingat, ada anak-anak Papua yang memenangi olimpiade Matematika dan Fisika tingkat nasional dan dunia dan juara nasional membuat robot. Kalau kita mengintip di Wikipedia, ada sejumlah orang terkenal Papua atau yang secara genetis berdarah Papua, yang dibagi dalam kelompok agamawan dan teolog, ahli dan akademisi, aktivis dan pejuang, juga atlet yang terdiri dari puluhan pesepakbola dan olah raga lain seperti lari, lempar lembing, tolak peluru, petinju, angkat besi dan lain-lain, militer dan polisi, pahlawan nasional, menteri dan pejabat tinggi, politisi dan negarawan, serta seniman sastrawan dan budayawan. Nama Domine Eduard Osek, adalah juga pahlawan asli Papua yang sangat disegani sampai-sampai namanya diabadikan sebagai nama bandara. 

Artinya, Papua sesungguhnya memiliki potensi untuk bisa maju dan berkembang cepat seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia bagian barat. Ada banyak upaya yang telah dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, juga organisasi-organisasi lain semacam LSM. Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang langsung di bawah komando wakil presiden juga dimaksudkan untuk mendorong kemajuan Papua dan Papua Barat. Berbagai program afirmasi juga telah dilaksanakan beberapa tahun dan memberi manfaat bagi para pemuda Papua untuk maju sejajar dengan teman-temannya di kota-kota besar di Indonesia. 

Namun begitu, upaya pemberdayaan tidak akan bisa berjalan dengan cepat bila Papua tidak bangkit dengan sepenuh keinginannya. Papua harus membangun kesadaran diri sendiri untuk bangun, untuk menjadi wilayah yang berdaya. Membuang hal-hal buruk yang akan menghambat    kemajuan, belajar dari banyak tempat dan orang-orang, membuka diri untuk sebuah perubahan. 

Dalam upaya tersebut, pendidikanlah yang seharusnya menjadi penggerak utama. Bicara tentang pendidikan, artinya bicara tentang guru. Guru harus menjadi contoh tentang kebaikan, kerja keras, kedisiplinan, religiusitas, penghormatan pada keberagaman, kecintaan pada belajar, kasih sayang pada anak didik, dan kepedulian pada sesama. Tidak sebaliknya, suka mangkir dari tugas, main pukul pada anak didik, mabuk dan berjudi, mengancam, mengintimidasi, dan membenci orang-orang yang ingin membawa perubahan ke arah kebaikan. 

Sedih memang, menyadari kenyataan pahit tersebut. Namun begitu, kita tidak boleh kehilangan semangat, untuk terus melakukan sesuatu, menebarkan hal-hal baik, menyemai benih-benih kasih sayang, agar setidaknya, mereka menyadari bahwa ada banyak tangan yang siap merangkul mereka, membimbing mereka menuju peradaban yang lebih unggul. 

Baiklah. Saat ini saya sedang berada di ruang tunggu Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, menunggu boarding. Saya terpisah dari rombongan Jakarta karena satu-satunya dari Surabaya hanya saya. Kami berangkat bersama-sama menumpang Garuda dari Sorong pukul 14.30 WIT tadi. Bersama rombongan Mendikbud juga. Tapi Mendikbud ada di kelas eksekutif, tidak seperti Jokowi yang tetap memilih duduk di kelas ekonomi...hehe. Sebentar lagi, kalau on time, saya akan masuk pesawat. 

Nah, ini dia, waktunya masuk pesawat. Boarding time. Sampai jumpa di Surabaya.

Makassar, 12 Mei 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 11 Mei 2014

Sorong 8: Snorkeling, Yes!

Dan di sinilah kami. Di ketinggian bukit Pianemo. Setelah berspeedboat sekitar satu setengah jam dari Pulau Waigeo dan menempuh sekitar tiga puluh menit perjalanan mendaki bukit batu yang terjal dan menanjak tajam. Batu-batu karang yang permukaannya runcing-runcing, sangat berbahaya bila terinjak kaki. Maka sepatu harus memadai. Sepatu yang tidak licin, yang alasnya tidak lunak, karena kalau lunak bisa tertembus batu karang.

Di bawah sana, adalah gundukan-gundukan pulau. Seperi jamur-jamur raksasa yang ranum, hijau muda, hijau tua, kebiruan, menghampar di atas air tenang bak pualam. Saya pernah melihat pemandangan ini di internet, di televisi, di kalender. Tapi tentu saja yang saat ini saya lihat jauh lebih indah. Tuhan......ingin rasanya saya berteriak histeris menatap  lukisan alam tiga dimensi itu. Luapan kekaguman pun berhamburan dari semua orang yang ada di puncak bukit. Juga ketercekatan. Tercekat. Ya, tak terbayangkan keindahan seperti ini ada di atas bumi. Ini bukan dunia. Ini surga. Benar-benar surga.

Maka sesi pengambilan gambar pun berlangsung. Terjadi sangat alamiah. Dengan berbagai pose. Di setiap titik-titik berbahaya itu, di atas batu-batu karang. Dengan latar belakang gundukan ratusan pulau. Ya, Raja Ampat memang terdiri dari ratusan pulau. Pulau, dimaknai semua daratan yang menyembul di atas laut. Maka daratan kecil-kecil pun dihitung sebagai pulau. 

Rasanya ingin sekali berlama-lama di atas bukit terjal ini. Memandangi gundukan-gundukan pulau sesuka-sukanya. Seperti tak kunjung puas menikmati setiap lekuknya, keseksiannya, kecantikannya, kemolekannya. Bukit terjal ini, yang harus kami daki dengan susah payah, seperti mewakili perjuangan hidup. Begitu sampai di puncaknya, hadiah indah telah menanti, suguhan alam nan mempesona. Seperti itulah hidup. Bila kau ingin mendapatkan sesuatu, sebuah kenikmatan, kebahagiaan, maka raihlah itu, namun kau harus berjuang demi mendapatkannya.

Turun dari ketinggian, kami kembali berspeedboat. Sementara teman-teman masuk ke speedboat, saya mengambil air wudhu di sebuah toilet di pinggir pantai. Lantas terburu-buru menyusul masuk ke speedboat. Salat di dalam speedboat sebisanya. Setidaknya, menghormati waktu salat. Nanti disempurnakan lagi kalau sudah tiba di daratan. 

Perjalanan menuju Arborek. Kata kapten speedboat, perjalanan akan memakan waktu sekitar 30 menit. Laut berombak keci, dan speedboat terhentak-hentak saat melaju. Lumayan keras. Saya pernah mengalami perjalanan yang lebih berat dan lebih lama dengan menumpang speedboat. Saat mengarungi Samudera Pasifik dan Sungai Mamberamo, menuju Kasonaweja, Mamberamo Raya. Meski begitu, doa yang diajarkan ibu nyaris tak pernah jeda saya lafalkan terus-menerus di dalam hati. Bismillaahi majreeha wamur saaha inna robbi laghofuu rurrohiim.

Tibalah kami di Arborek. Sebuah perkampungan yang dipenuhi dengan anak-anak berkulit hitam, berambut keriting, bermata lentik, dan bola mata hitam bulat penuh. Anak-anak itu ramah sekali, tidak seperti kebanyakan anak di daerah 3T. Mereka semua juga sadar kamera. Langsung bergaya ketika kami akan memotretnya. Oh, ternyata di antara mereka ada Marion, bule asal Perancis itu. Anak-anak itu sedang mengerubuti Marion dan mengacak-acak rambutnya. Mereka bilang, Tante Bule rambutnya banyak yang putih, dan mereka akan membantu mencabuti rambut-rambut putih itu. Tentu saja yang dimaksud rambut putih adalah rambut pirang. Marion duduk rileks saja di dermaga dan membiarkan anak-anak manis itu berebut memilih-milih rambut putihnya. Haha. Lucu sekali.

Acara pertama makan siang dulu. Menunya, nasi putih, ca sawi jagung manis, balado terong, ayam goreng tepung dan telur rebus yang dibumbu (semacam bumbu bali). Karena perut lagi lapar-laparnya, maka kami pun makan dengan lahap. Saya juga sempat salat lagi, menyempurnakan salat saya di speedboat tadi, di rumah penduduk, dengan meminjam tikar untuk alas salat.

Nah, ini dia acara yang dinanti-nanti. Snorkeling, yes! Wow, tak terbayangkan betapa indah pemandangan di dasar laut yang akan kami lihat nanti. Kami semua langsung bersiap. Memasang pelampung bagi yang tidak bisa berenang (termasuk saya), memasang snorkel di muka dan fin di kaki. Siap sudah.

Karena kemarin sore sudah dilatih sama pemandu di Pulau Freewen, hari ini kami langsung mahir. Begitu masuk ke laut yang dalamnya sekitar enam meteran, posisi kami langsung seimbang. 
"Oke, kita wisata laut ya..." Kata Dian, pemandu saya. Dia meminta saya memegang pelampung yang menghubungkan saya dengannya. Menjelajah laut dan menikmati apa pun di kedalamannya. 

Pokoknya, luarrr biasa. Tak terkatakan indahnya. Ikan-ikan itu, batu-batu karang itu, belut laut, ubur-ubur, bintang laut, merah-merah, kuning-kuning, biru-biru, hijau-hijau, semua warna-warna, bentuk-bentuk, yang diam dan bergerak-gerak, yang menghampar di bawah sana... Subhanallah, Allahu Akbar. Tidak salah kalau Raja Ampat dikatakan sebagai tempat ekspedisi bawah laut terbaik di dunia. Meski saya tidak pernah melihat di tempat lain, kecuali di Pasir Putih Sirubondo dan di beberapa laut dangkal di Jawa, namun saya tak bisa membayangkan yang lebih indah dari yang saya lihat di Raja Ampat. 

Tentu saja hari ini, selain di Arborek, kami masih akan mengunjungi tempat lain. Tempat-tempat yang pasti tidak kalah eksotisnya. Tentu saja tidak akan bisa mengunjungi semua tempat di Raja Ampat ini. Kata Dian dan Rani, pemandu kami, untuk bisa menikmati semua pulau di Raja Ampat, waktu yang dibutuhkan setidaknya seminggu. Wow, seminggu? Asyik punya tuh...hehe.

Sore ini, saya ingin segera mengunggah foto-foto saya di FB. Saya ingin menulis status tentang betapa Maha Indah Dia yang Maha Memberi Keindahan, dan betapa Maha Pengasih Dia Yang Maha Memberi Waktu, Kesempatan, Energi, dan Rasa Syukur.

Fabiayyi alaaairobbikumaa tukadzdzibaan....

Raja Ampat, 11 Mei 2014

Wassalam,
LN

Sorong 7: Back to Nature

Pagi ini, hujan deras sekali. Cuaca sepertinya kurang bersahabat untuk kami yang sedang ingin bersenang-senang di laut. Bagi saya, tidak terlalu bermasalah. Tidak membuat saya mati gaya. Saya membawa setumpuk berkas hasil UTS yang menunggu untuk saya koreksi. Begitulah, pagi ini, setelah senam pagi (sendiri) dan mandi, saya duduk manis di atas bed, menghadapi berkas-berkas koreksian. Tapi sebelum koreksi, biarkan saya selesaikan dulu cerita ini.

Tapi, uff. Ternyata sudah ada kru Raja Ampat Dive Resort yang menjemput kami sambil membawakan payung-payung. Kami bersiap turun untuk makan pagi dan bersiap melakukan perjalanan wisata. Ya, turun, karena rumah atau bungalow yang kami tempati adalah rumah panggung, terbuat dari papan-papan dan kayu-kayu, dan berada persis di bawah bukit. Ada 8 bungalow di resort ini, di Pulau Waigeo, kampung Saporkren (sapor artinya tanjung, kren artinya miring). Pemilik Resort ini adalah Nadine Candrawinata, pasti semua mengenalnya, dan Pak Agus, Tionghoa yang tinggal di Sorong. Penjaga resort, antara lain Marion, perempuan bule asal Perancis, bersama suaminya, Didik, keduanya instruktur diving. Didik berasal dari Sulawesi Selatan.

Wisata di kawasan Raja Ampat memberikan banyak pengalaman berharga bagi kita. Tidak hanya keindahan alamnya, pulau-pulau, laut, pasir putih, snorkeling, diving, dan keindahan biota laut, tapi juga pelajaran tentang bagaimana hidup bersama alam. Jangan harap Anda bisa membuang sampah seenaknya di kawasan ini. Bahkan hanya kulit apel pun, kalau Anda membuangnya sembarangan, pemandu akan mengambilnya dan memasukkannya ke kantung plastik sampah yang selalu tersedia, sambil tersenyum manis dan berkata: "Ibu, kulit apelnya saya ambil boleh ya?" Dia memunguti kulit apel itu. "Bukankah itu sampah yang mudah busuk, Mbak? Bukan sampah plastik? Dan di situ itu...juga tumpukan sampah kan?" Tanya saya saat saya membuang kulit apel di gundukan sampah. "Ya, benar, tapi ibu jangan menambahnya lagi...".

Raja Ampat merupakan kawasan wisata terbatas. Tidak terbuka bagi sembarang wisatawan. Konsepnya adalah ekowisata. Di bungalow, handuk akan diganti tiga hari sekali kecuali kalau kita minta ganti sebelum waktunya. Air mineral dalam botol, sangat disarankan untuk tidak dibuang botolnya, melainkan diisi ulang dari dispenser yang disediakan, baik di bungalow atau di tempat makan, juga di speedboat. Kita juga tidak diperbolehkan menggunakan air sesuka kita kecuali harus berhemat, pastikan kran mati ketika tidak sangat dibutuhkan seperti saat kita bersabun atau menyikat gigi, dan kalau ada kran bocor, segera laporkan.

Kita juga akan dihibur dengan suara alam. Saat kami tiba, sore sudah menjelang, bungalow-bungalow di bawah bukit itu menyambut kami begitu kami turun dari speedboat, melangkah di atas jembatan yang menjorok ke laut. Suara binatang, mungkin burung, belalang, jangkrik, entah apa lagi, riuh-rendah dari atas bukit. Tidur malam kita pun ditemani dengan binatang-binatang kecil yang beterbangan di dalam kamar kita yang nyaman, yang tempat tidurnya dilengkapi dengan kelambu untuk menjaga kita dari gigitan nyamuk. Back to nature. Sungguh menyenangkan, tentu saja bagi yang suka dekat dengan alam. Bagi yang tidak suka, seperti teman saya, Mbak Desi, staf operasional Dikti, sudah mengeluh. "Ih, ngeri. Di tengah hutan. Nggak ada TV lagi...."

Wisata Raja Ampat adalah wisata dari pulau ke pulau. Kita akan dibawa speedboat dari satu tempat ke tempat lain. Dengan pemandangan yang subhanallah....begitu luar biasa indahnya. Saya pernah melihat Danau Sentani, Danau Toba, Danau Sarangan, Ranupane, Ranugumbolo, Pantai Kuta di Bali maupun di Lombok, Pantai Delegan di Wonogiri, Pantai Tawui di Sumba, Pantai di sepanjang Talaud, dan pemandangan alam yang lain di banyak tempat. Tapi, sungguh, Raja Ampat begitu mempesona. Luasnya, beningnya, hijaunya, birunya, pulau-pulaunya, karang-karangnya, garis cakrawala bahkab langitnya. Tak henti-hentinya saya menyebut Nama Allah mengagumi ciptaan-Nya. 

"Jadi ingat Tuhan ya, Bu..." Kata Rani, mendengar saya melafalkan "Allahu Akbar."
"Ya..." Saya menjawab pelan, dengan keharuan yang menyesakkan dada. Saya selalu jatuh pada perasaan tak berarti setiap kali dihadapkan pada alam terbuka mahaluas yang indahnya tak terkatakan. Begitu tak berarti. Begitu kecil. Hanya setitik noktah di hamparan kemahaluasan. Dan Sang Khalik, Sang Kreator segala makhluk, betapa Maha Besarnya. Terima kasih, Ya Rabbi, telah Kau beri kesempatan pada hamba untuk menikmati keindahan karya cipta-Mu.      

Kami juga melewati Tanjung Besi, sebuah kampung nelayan yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Mereka menetap di kampung itu, dengan rumah-rumah mereka yang mengikuti kontur bukit, sama-sekali tidak memotong bukit untuk membuat lantai rumah mereka menjadi rata. Dari kejauhan, rumah mereka nampak miring, mengikuti kemiringan bukit. Mereka membuat ikan asin, dijual di Waisai (wai artinya kepala, sai artinya perahu, dulunya merupakan tempat turunnya perahu), ibukota Kabupaten Raja Ampat.  

Speedboat kami terus melaju. Ada delapan belas orang dalam grup tim Dikti ini. Ditambah dua pemandu, dua driver, dan dua yang lain, mungkin semacam mekanik atau kenek. Seperti di kapal pesiar saja, makanan selalu tersedia, buah, kue-kue, bahkan teh, kopi dan jus. 

Hari ini kami akan tracking di Pulau Pianemo. Melihat pemandangan Raja Ampat dari ketinggian. Kemudian melanjutkan berspeedboat lagi menuju Arborek. Makan siang di tempat ini, terus snorkeling di jettynya, melihat seahorse dan aneka ikan tropis. Dari Arborek, kami akan melanjutkan perjalanan dengan speedboat menuju Yenbuba. Snorkeling lagi di air jernihnya, melihat karang-karang yang cantik, baracuda, parot fish, dan turtles. Setelah itu ke pasir timbul, menyeruput kehangatan teh dan kopi sambil menikmati keindahan pasir, menunggu sunset. Sepertinya luar biasa.

Baiklah, biarkan kami melanjutkan perjalanan dulu sampai nanti bertemu tempat-tempat yang akan kami kunjungi ini. BTW, seharusnya judul tulisan ini tidak lagi Sorong, karena kenyataannya kami sudah pindah tempat ke sebuah kabupaten, yang namanya Kabupaten Raja Ampat. Tapi tidak apa-apa, judul tetap Sorong, meski edisi Raja Ampat. Besok kembali ke Sorong lagi, dan langsung bertolak ke Surabaya.

Surabaya, oh....rasanya begitu lamanya telah kutinggalkan dikau....


Raja Ampat, 11 Mei 2014

Wassalam,
LN