Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 Juli 2014

Muhibah Lebaran (2): Bani Wahabi dan Bani Tamami

Sekitar pukul 15.20, kami meninggalkan Kota Ponorogo. Meluncur menuju Solo. Kami mengambil rute Purwantara, Wonogiri, Sukoharjo, Solo.

Lalu lintas padat lancar. Sebenarnya cukup menyenangkan untuk perjalanan jauh. Tapi Arga yang hampir semalaman tidak tidur karena menyiapkan acara halal bi halal keluarga bersama Dio, memilih pensiun sementara jadi driver. Mas Ayik yang semalam melekan bersama teman-teman SMA-nya, terserang flu, dan obat flu yang diminumnya hanya membuatnya bertahan mengemudi sampai Purwantara. Akhirnya, sayalah yang harus pegang kemudi. Oh Tuhan, tidak terbayangkan, ternyata kedua laki-laki itu begitu teganya pada saya. Mereka berdua tidur mendengkur sementara saya mengukur jalan.

Tapi sebenarnya, pucuk dicinta ulam tiba. Dari dulu saya ingin nyetir di Jalur Ponorogo-Solo yang jalannya meliuk-liuk dan lumayan naik turun itu. Dari dulu Mas Ayik tidak pernah memberi saya kesempatan karena dia tidak tega. Katanya, medannya berbahaya.

Tapi kini, dia menyerah. Kondisi fisiknya yang teler karena obat flu tak memungkinkan dia untuk menolak kemauan saya. Wow, asyik sekali. Saya menguasai mobil sampai lepas Maghrib, saat kami tiba di rumah saudara di Jayengan, Solo. Kami salat dan makan malam, lantas pamit melanjutkan perjalanan menuju Boyolali.

Akhirnya, pada pukul 20.15, kami bertiga memasuki Kota Boyolali. Baru sekitar empat puluh menit yang lalu, kami meninggalkan Kota Solo. Solo dan Boyolali, dua kota yang menyimpan sejarah masa kecil saya.

Ibu saya lahir di Solo. Eyang dan buyutnya tersebar di Solo dan Boyolali. Sebagian saudara saya lahir di Solo. Masa kecil saya, sering saya habiskan di Solo dan Boyolali. Setiap liburan sekolah, kami sering dikirim bapak ibu ke Solo atau Boyolali, berlibur di rumah Mbah Putri dan Mbah Kakung, atau di rumah Pakde dan Bude Tamam. Ingatan masa kecil saya saat bersama Mbah Kakung, Mbah Putri, Pakde dan Bude Tamam, serta bersama para saudara sepupu, masih tersimpan rapi. Juga kenangan bersama Paklik Mubin almarhum, adik terkecil ibu, yang hobinya motret dan ngusungi para keponakan ke mana-mana, ke Sriwedari, Jurug, Tawangmangu, Pasar Kembang, Pasar Klewer dan Alun-alun.

Begitu kami tiba di depan rumah Pakde Tamam, keriuhan segera terdengar. Subhanallah. Di rumah itu ternyata sudah ada Bani Wahabi, para anak cucu Paklik Wahab. Mulai dari anak pertama sampai kelima, lengkap dengan anak-anak mereka. Bertemu dengan Bani Tamami, para anak cucu Pakde Tamam, mulai dari anak pertama sampai keenam, juga lengkap dengan anak-anak mereka. Suasana di ruang keluarga itu seperti sedang ada perayaan ulang tahun atau semacamnya. Lebih dari empat puluh orang berkumpul. Ramainya bahkan tidak kalah dengan ramainya PAUD atau kelompok bermain.

Begitu saya menginjakkan kaki ke ruang keluarga, mereka semua bahkan sudah menyiapkan acara penyambutan secara spontanitas. Mendendangkan salawat badar. Lengkap dengan bunyi-bunyiannya.

Kami bertiga geleng-geleng kepala melihat tingkah polah puluhan anak-anak kecil dan remaja itu. Sementara orang tua mereka tertawa cekakakan sambil memegangi perut masing-masing. Kami bergantian bersalaman, berangkulan, berpelukan. Saya bersimpuh di depan Bude Tamam, yang sedang duduk dan tersenyum manis menikmati tingkah polah anak-anak manusia yang tersaji di depannya. Saya cium punggung tangannya, kedua pipinya, dan menyampaikan permohonan maaf, serta menghaturkan salam takzim dari ibu saya dan saudara-saudara saya.

Bude Taman, sudah empat tahun gerah stroke. Sakit itu membuat beliau sulit berjalan. Tapi beliau secara mental sangat sehat, meski bicaranya sangat pelan. Dalam kondisi seperti itu, dalam usianya yang sudah mendekatai 80 tahun, bude Tamam tidak pernah meninggalkan salat tahajud dan dhuha, selain, tentu saja, tak pernah meninggalkan salat wajib lengkap dengan sunnat rawatibnya. Selama bulan puasa ini, beliau puasa penuh, meski dahar sahur nyaris tidak pernah kerso, kecuali hanya ngunjuk saja.

Kami sebenarnya ingin langsung menemui Pakde Tamam di kamar. Beliau sedang terbaring sakit. Namun masih ada beberapa tamu yang berada di kamar, menjenguk Pakde.

Sejak beberapa minggu ini, Pakde hanya bisa berbaring. Ibu dan saudara-saudara saya sudah menengok Pakde pada Ramadhan beberapa hari yang lalu. Kondisi beliau saat itu masih bisa berkomunikasi, masih sesekali bercanda dengan anak cucu, di antara waktu-waktu istirahatnya yang lebih banyak diisi dengan salat dan dzikir. Dalam kondisi tidur pun, lidah Pakde bergerak-gerak seperti melafalkan nama Allah.

Begitu kamar Pakde kosong, kami bertiga menghampiri beliau. Mbak Menuk, Mbak Umi, dua orang putri Pakde, juga Dik Iffah, putri almarhum Paklik Wahab, juga menemani. Mbak Menuk berbisik di telinga bapaknya.

"Bapak, Dik Luluk, Pak. Dik Luluk Bulik Basyiroh, Tuban, Pak."

Pade hanya sedikit menggerakkan matanya yang terpejam. Tidak berkata sepatah pun.

"Pakde..." Saya meraih tangannya yang tersembunyi di bawah selimut. "Pakde, ngaturaken sedoyo kalepatan, nyuwun pangapunten..." Saya mencium punggung tangannya dengan sepenuh perasaan. Hati saya meleleh. Sosok yang biasanya selalu ceria namun teduh itu begitu saja membuat hati saya menangis. "Pakde, ngaturaken salam lan sungkemipun Ibu lan sederek-sederek Tuban sedoyo..." Pakde tak bergeming. Saya menghela nafas panjang, melantunkan doa. Memberi kesempatan pada Mas Ayik dan Arga untuk menyapa Pakde.

"Waktu rene sing kapan iko, Pakde isih saget guyon lho, Mbak." Kata Dik Iffah. "Aku matur ngene. Pakde, kulo niki lek ningali Pakde remeeennn saestu. Terus Pakde ngendikan 'lha ngopo?' Pakde meniko pasuryanipun teduuuhhh sanget. Menopo Pakde Golkar to? Golkar meniko teduh Pakde, mergi pohon beringin. Wah, Pakde nggujeng kekel kae.."

Dik Iffah, anak perempuan satu-satunya Paklik Wahab dan Bulik Kafiyah (keduanya sudah almarhum), adalah saudara sepupu kami yang paling heboh. Ceriwisnya minta ampun. Kami pikir dulu karena dia masih kecil. Ternyata, sampai sekarang, di usianya yang sudah empat puluh tahun, ceriwisnya semakin menjadi. Dia bilang, sudah diobatkan ke mana-mana. Tidak ada obat yang cocok. Bahkan menurutnya, dia sudah kebal dengan berbagai macam obat. Tapi itu membuatnya sangat cocok menjadi guru PAUD, profesinya sekarang.

Setelah beberapa waktu menunggui Pakde, saya keluar kamar. Tiba-tiba barisan anak-anak kecil itu, anak turun Bani Wahabi dan Bani Tamami, melantunkan koor.

"Bude Luluk, Bulik Luluk.....sawerannya mannaaaaa?"
"Hah?" Saya kaget. Anak-anak itu tertawa keras. Para orang tua terpingkal-pingkal.
"Siapa yang ngajari kalian, hah?"
Spontan anak-anak itu menunjuk ke seseorang. Siapa lagi kalau bukan..... Dik Iffah.
"O.....dasar. Guru PAUD gak nggenah." Semprot saya. Dik Iffah tertawa berderai, puas sekali wajahnya. Saudara-saudara yang lain tidak kalah puasnya.

Malam itu, kami pamit sekitar pukul 21.30-an. Bani Wahabi akan melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing, ke Yogya, ke Solo Baru, dan di Boyolali saja. Bani Tamami, tentu saja, tetap tinggal bersama Pakde dan Bude Tamam, menunggui bapak ibu dan eyang mereka yang lagi gerah. Kami sendiri, delegasi Bani Zawawi, akan melanjutkan perjalanan, entah sampai di mana, sampai kami merasa perlu berhenti dan menginap di hotel untuk transit. Besok pagi, perjalanan dalam rangka muhibah lebaran ini berlanjut menuju Rembang, Pamotan, dan Tuban.

Rasa bahagia dan marem menyelimuti benak saya, ketika mobil kami menembus malam yang masih ramai. Bertemu dengan banyak saudara, bersilaturahim dengan para orang tua, seperti memberikan energi dalam jiwa. Rasanya ingin berlama-lama bersama mereka, namun perjalanan musti berlanjut untuk menemukan sumber energi yang lain.

Boyolali, 28 Juli 2014

Wassalam,

LN

Muhibah Lebaran (1): Tong Ting

Sabtu, 26 Juli 2014, sekitar pukul 22.30, kami berangkat dari rumah menuju Ponorogo. Arga pegang kemudi, Mas Ayik di sebelahnya sebagai navigator, saya dan ibu duduk di jok tengah. Ada berkotak-kota kue di belakang, tas pakaian, dan dua sepeda lipat di roof rack di atas.

Perjalanan lancar mulai Surabaya sampai Wilangan, Nganjuk. Sejak Wilangan, lalu lintas padat merambat. Tiba di Madiun, sekitar pukul 03.15. Masih terhitung normal. Kami makan sahur di Sego Pecel Bu Wo.

Kami tiba di Ponorogo menjelang shubuh. Bu Heni dan Pak Anwar, suami istri adik ibu, sudah menunggu. Tapi ngantuk berat yang menyerang membuat saya tidak betah berlama-lama beramah-tamah. Saya pun izin berselancar di Negeri Kapuk.

Sekitar pukul 08.00, saya dan Mas Ayik keluar, berkunjung ke rumah sanak saudara. Kami ditugasi ibu untuk ulem-ulem. Besok pagi, selepas salat Idul Fitri, kami ketempatan acara halal bi halal keluarga besar Ki Amat Drangi, punjernya keluarga besar Ponorogo. Acara akan dihelat di Terazz Cafe, sebuah cafe milik saudara sepupu.

Meski kami sekeluarga ketempatan halal bi halal, kami tidak terlalu repot. Semua makanan kami pesankan. Menunya sederhana, nasi uduk lengkap, rujak manis, dan kue kotak. Minumannya cukup air mineral dan soft drink.

Selepas salat Ied, kami sungkem-sungkeman, tradisi dalam keluarga besar kami. Cium tangan, cipika-cipiki, berpelukan, saling memaafkan, saling mendoakan. Setelah itu....ini yang juga sangat ditunggu-tunggu....pesta makan nasi uduk dan ayam ingkung.

Nasi uduk dan ayam ingkung, adalah menu utama tradisi keluarga setiap lebaran. Semua dimasak sendiri. Pak Anwar, adik ipar ibu, kepala rumah tangga di rumah keprabon ini, selalu menyembelih sendiri ayam kampung yang besar, meracik bumbu, dan mengolahnya, dibantu Bu Heni, istrinya, dan putro-putri.

Kebetulan hari ini, Dik Riris, putri pertama mereka, memasak nasi biriani. Dia khusus membeli beras jenis long grain untuk mendapatkan nasi biriani yang sempurna.

Dik Riris, saudara sepupu kami ini tinggal di Malang. Dua putrinya sudah mahasiswa. Bersama mereka ada seorang guru asli China yang bertugas mengajar di STT Telkom Malang, yang tinggal di rumah mereka. Tong Ting (entah seperti apa ejaannya), gadis China itu, juga ikut pulang mudik ke Ponorogo. Sebenarnya dia diajak temannya untuk berlibur ke Bali, tapi dia memilih ikut mudik host parent-nya. Saya bilang ke dia: "You do not just teach, you learn about the culture as well."

Acara halal bi halal keluarga besar kami dihadiri oleh sekitar 50 orang, yang semuanya keluarga, kecuali Tong Ting, yang panggilannya Tiny. Selain acara sebagaimana layaknya acara halal bi halal yang lengkap dengan tausiah yang diberikan oleh Pak Anwar, acara juga dimeriahkan oleh sajian live music. Iwuk, adik Mas Ayik, memegang keyboard, bergantian dengan Arga. Dio memegang biola. Penyanyinya bergantian, termasuk Tiny. Tiny menyanyikan lagu Hao Siang dan Yue Liang Dai. Tepuk tangan meriah mengikuti alunan suaranya yang nyengek-nyengek. Saat menyanyikan Yue Liang Dai, dia duet dengan Arga. Gadis 23 tahun itu nampak begitu menikmati berada di antara keluarga besar kami di acara family gathering ini.

Dio, adalah saudara sepupu Arga. Dia sekelas dengan Arga, di Pendidikan Sendratasik Unesa. Dio piawai memainkan Biola, Arga lebih suka Cello. Tapi biola yang dimainkan Dio saat ini, adalah biola milik Bapak almarhum. Ibu sengaja mengeluarkan biola itu dan meminta Dio untuk memainkannya. Lagunya, Jali-Jali, salah satu lagu kesukaan Bapak.

Selesai acara, kami semua beres-beres. Termasuk membereskan makanan yang masih cukup banyak tersisa, kami bagikan untuk keluarga dan tetangga-tetangga. Saya sendiri membawa puluhan kotak kue, kami akan bagi-bagikan nanti pada anak-anak dan orang-orang di perempatan jalan.

Puas rasanya bisa bertemu dengan para saudara, keluarga besar Ponorogo, mulai dari mbah-mbah sampai buyut-buyut. Tradisi tahunan ini selalu menjadi momen yang ditunggu oleh keluarga besar kami. Setelah setahun bersitegang dengan berbagai macam tugas dan urusan, bertemu keluarga besar seperti ini seperti mengurai semua rutinitas yang kadang menjemukan dan melelahkan.

Inilah salah satu berkah silaturahim.

Siang nanti, kami bertiga akan melanjutkan muhibah lebaran ke Solo dan Boyolali. Biasanya kami juga berkunjung ke Sragen, ke rumah Paklik Wahab dan Bulik Kafiyah. Namun beliau berdua telah berpulang sejak sekitar dua tahun yang lalu.

Setiap tahun, kerabat kami hampir selalu berkurang. Waktu acara halal bi halal tadi, kami juga berdoa bersama untuk Bapak Nurhadi, Bapak kami, yang berpulang sekitar seratus hari yang lalu. Juga untuk Mas Ranawi, saudara sepupu, yang berpulang hanya beberapa hari menjelang idul fitri.

Begitulah. Umur manusia benar-benar rahasia Illahi. Semoga kita masih dipertemukan dengan Ramadhan dan Idul Fitri yang akan datang. Amin.   

Ponorogo, 28 Juli 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 08 Juni 2014

Menengok Ibu

Subuh menjelang. Kami berdua salat berjamaah. Arga sedang tidak di rumah. Semalam dia pamit ke Bromo, bersama teman-teman SMA-nya. Biasa, berburu matahari terbit. Matahari terbit kok diburu.

Selesai salat, Mas Ayik menyiapkan mobil. Saya menyiapkan baju-baju. Pagi ini, kami akan meluncur ke Tuban, menengok ibu. Sudah sekitar dua bulan kami tidak menengok ibu. Sejak bapak Tanggulangin gerah, opname di rumah sakit, sampai saat ini, sudah lewat empat puluh hari kepulangan bapak ke rumah-Nya. Kesibukan yang luar biasa tidak memberi keleluasaan bagi saya sekeluarga untuk menengok ibu.

Lama tidak menengok ibu, membuat kami seperti dibebani hutang segunung. Biasanya, kami pulang ke kampung halaman sekitar sebulan sekali. Kalau waktunya agak longgar, kami bahkan bisa pulang sebulan dua kali. Karena itulah, ketika sudah lebih dari sebulan kami tidak juga bisa menengok ibu, rasanya seperti terbebani. Kepikiran terus.

Sebenarnya ibu juga tidak terlalu menuntut kami harus menengok kampung halaman sesering mungkin. Paling-paling beliau hanya bertanya: "apa kabar, sayang? Gak onok rencana pulkam?" Kalau saya jawab "meniko taksih rapat wonten Jakarta, Mik. Dereng saget matur mbenjang menopo saget wangsul." Ibu selalu mengerti. "Yo wis, ora popo, sing penting awak sehat, donga dinonga. Ojo lali sholawat."

Saya tahu, ibu sebenarnya ingin sekali kami pulang. Tapi beliau selalu berusaha memahami kesibukan kami. Pernah suatu ketika, beliau telepon, saya posisi di Yogya. Besoknya, beliau telepon, saya posisi di Jakarta. Besoknya lagi, saat beliau telepon, saya sudah ada di Malang. "O walah ngger....ngger. Wis mugo-mugo Gusti Allah paring kuat lan sehat, awakmu sakeluargo slamet wilujeng kabeh." Begitu kata ibu. "Inggih, Mik.... Matur nuwun. Pangestunipun nggih, Mik."

Dua hari yang lalu, saat saya berada di Kupang, ibu telepon. Ibu memang sangat sering menelepon, menanyakan keadaan kami, dan memastikan kami baik-baik saja. Saya bilang kalau saya sedang ada tugas di Kupang. "Gak onok rencana pulkam?" Tanya ibu. "Insyaallah, Mik. Dalem wangsul saking Kupang Sabtu sonten. Menawi saget, Sabtu sonten dalem pulkam". Jawab saya, ragu-ragu tapi berusaha yakin. "Yo, mugo-mugo iso. Ponakanmu wis podho kangen."

Ternyata, pesawat saya yang seharusnya membawa saya terbang dari Kupang pukul 15.00, delayed. Pukul 16.00 baru boarding. Maghrib baru landed Surabaya. Begitu saya menghidupkan ponsel setibanya di Juanda, SMS ibu masuk. "Yen isih kesel, ora usah mekso pulkam. Umik paham kok." Hati saya seketika basah. Terharu dengan pengertian ibu. Saya memang lelah luar biasa. Tapi tidak tega untuk menunda pulkan karena sudah terlanjur janji pada ibu. Tapi, seperti memahami kelelahan saya, ibu malah SMS dulu. "Inggih, Mik...ningali sikon rumiyin nggih, Mik." Balas saya.

Dan pagi ini, akhirnya, kami berdua meluncur ke Tuban. Sisa lelah tak saya hiraukan. Kalau saya bisa menahan lelah untuk melakukan berbagai aktivitas, mestinya saya juga bisa menahan lelah untuk menengok ibu. Fisik boleh lelah, tapi psikis tidak. Semangat harus tetap terjaga. Termasuk semangat untuk bersilaturahim. Dan dengan semangat itulah kami berdua akhirnya berada di depan ibu, mencium tangannya, dan membaui aroma keberkahannya.

Terima kasih, Tuhan. Telah Kau hadirkan kami berdua kepada ibu kami tercinta....

Tuban, 8 Juni 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 01 Juni 2014

Kangen

Sore sudah jatuh ketika saya keluar dari lobi hotel Grand Candi, Semarang. Waktu menunjukkan pukul 17.00. Dengan menumpang taksi, saya menuju bandara. Pukul 18.30 nanti, saya akan terbang menumpang Sriwijaya Air, pulang ke Surabaya.

Ini perjalanan di luar rencana. Seharusnya kegiatan di Semarang dijadwalkan sampai tanggal 2 Juni besok, dan malam ini adalah finalisasi reviu instrumen ujian tulis PPG Kolaboratif. Namun karena 16 'pakar' yang diundang untuk mereviu instrumen ini memiliki kecepatan bekerja yang berbeda, maka orientasi kegiatan lebih pada output, bukan waktu. Tugas mereviu dilakukan secara mandiri, dan siapa pun yang sudah selesai, bisa pulang lebih dulu. Namun pada umumnya, tidak ada yang mampu menyelesaikan sebelum jadwal yang sudah ditentukan, bahkan kadang ada yang melewati jadwal, alias pekerjaannya belum selesai. Kecuali orang-orang yang sedang beruntung. Seperti saya.

Ya, saya benar-benar menjadi orang yang beruntung kali ini. Saya kebagian mereviu instrumen bidang tata boga, sesuai dengan spesialisasi saya. Instrumen yang saya reviu itu, sudah lumayan rapi. Meski tetap harus melakukan pembenahan di sana-sini, namun, dibandingkan dengan instrumen yang ada pada teman-teman reviewer yang lain, butir-butir soal yang harus saya reviu, sebagian besar sudah baik.

Kebetulan saya kenal penyusunnya. Teman dosen dari UNY dan UNJ, keduanya asli orang Tata Boga, jadi paham bidang studi. Mereka lulus S2 dan S3 dalam bidang pendidikan, bahkan salah satu di antaranya lulusan doktor bidang penelitian dan evaluasi. Klop sudah. Bidang studi paham, pedagoginya dapat, dan evaluasinya kena.

Sejak kemarin sore, begitu saya membaca butir-butir instrumen secara sepintas, saya memperkirakan kalau saya tidak perlu memerlukan dua hari dua malam untuk membenahinya. Rencana saya semula yang akan langsung ke Yogya, karena tanggal 2-3 Juni saya dijadwalkan untuk melakukan monev PPG di UNY, mungkin bisa saya atur ulang. Saya akan pulang Minggu malam ke Surabaya, dan paginya baru berangkat lagi ke Yogya. Dari pada saya naik travel dari Semarang ke Yogya dengan waktu tempuh sekitar empat jam, rasanya pulang ke Surabaya jauh lebih dekat dibanding jarak Semarang-Yogya.

Menjelang siang, ketika saya sudah menyelesaikan 90 persen tugas saya, saya menelepon Mas Nardi, minta dipesankan tiket pesawat ke Surabaya untuk penerbangan sore. Sekaligus juga pesan untuk penerbangan dari Surabaya ke Yogya besok pagi.

Mungkin bagi sebagian orang, betapa melelahkannya perjalanan saya. Beberapa minggu ini, jadwal tugas keluar kota begitu padat. Berderet-deret sampai saya tidak lagi bisa menikmati tanggal-tanggal merah yang berkali-kali menghiasi kalender, termasuk juga libur akhir pekan. Dengan kondisi seperti itu, sebenarnya, untuk saat ini, mungkin saya lebih baik naik travel ke Yogya, semalam istirahat di Yogya, dan besok bisa langsung beraktivitas di UNY, tanpa perlu bangun pagi-pagi dan terburu-buru mengejar pesawat.

Namun saya akan kehilangan beberapa jam yang sebenarnya bisa saya dapatkan untuk bisa bersama keluarga. Beberapa jam itu, betapa berharganya. Ya, dalam kondisi aktivitas yang sedemikian padat, ada sesuatu yang sepertinya terenggut dari hari-hari saya. Berkumpul bersama keluarga. Bersantai di rumah, nonton TV, makan bersama, pulang kampung, nge-mall, nonton film, bersepeda, memasak, membersihkan taman...

Saya kangen itu semua. Dalam segala keterbatasan saya, dalam segala kepadatan tugas-tugas saya, saya selalu berjuang untuk bisa mendapatkan kesempatan itu. Ternyata saya bukan siapa-siapa tanpa keluarga. Ternyata saya begitu lelahnya ketika kesempatan bertemu keluarga terenggut dari hari-hari saya. Saya rindu, saya kangen, saya ingin pulang....

Ya Tuhan, beri kekuatan lahir dan batin, perlindungan lahir dan batin, kesehatan lahir dan batin, untuk saya, anak dan suami saya, seluruh keluarga besar saya. Berkahi setiap langkah kami, tuntunlah kami ke jalan yang senantiasa Engkau ridhoi....

Semarang, 1 Juni 2014. 18.21.

Wassalam,
LN

Minggu, 04 Mei 2014

Memaknai Kehilangan

Siang kemarin, ketika saya sedang ada di acara peresmian gedung dekanat FMIPA, tiba-tiba saya ingat ibu (mertua) dan ingin meneleponnya. Saya keluar ruangan yang hiruk-pikuk karena campursarinya grup Bharada sedang manggung, untuk mencari tempat yang agak terhindar dari keriuhan.
"Nembe nopo, Uti?" Sapa saya pada ibu.
"Iki lho, Fi....resik-resik..." Lantas pecahlah tangis ibu. Menceritakan semua aktivitasnya sepanjang pagi sambil terisak-isak. Melipat baju-baju bapak, selimut, sarung, membenahi tempat tidur. Membayangkan bapak yang biasanya pada jam-jam seperti ini sedang duduk-duduk di teras di depan dapur sambil minum teh manis dilengkapi sepotong dua potong polopendem, menemani ibu yang lagi sibuk di dapur.
"Ti..." Lembut suara saya. "Uti tidak boleh terus-menerus sedih seperti itu. Bapak meniko sampun dipun pilihaken yang terbaik kalih Gusti Allah. Ingkang dipun suwun Uti, putro wayah, lak inggih meniko to? Sing paling sae kagem bapak..."
"Iyo, Fi...yo kuwi sing menghiburku. Tapi jenenge ati, Fi..."
"Uti berdoa terus kagem akung.."
"Uwis, Fi..., mesti tak dongakne...tapi aku kelingan terus bapak sak tingkah polahe, kebiasaane, remenane...."
"Inggih mesti, Ti... Tapi mboten sisah dipun inget-inget terus, didongakne mawon saben kemutan..."

Saya mengakhiri telepon setelah berhasil sedikit menenangkan ibu. Saya katakan ke ibu, saya dan Mas Ayik akan sowan nanti sore, dan tidur di Tanggulangin untuk menemani. Setelah berpulangnya bapak, saya dan Mas Ayik memang harus sering mondar-mandir dan tidur di Tanggulangin untuk menemani ibu.

Saya pernah kehilangan bapak (sendiri, bukan mertua). Ketika itu saya masih menempuh Program S2 di Yogyakarta, dan tidak sempat melihat bapak pada hari-hari terakhirnya. Saat pulang ke rumah, bapak baru saja selesai dimakamkan, tapi ratusan tamu masih memenuhi rumah dan halaman kami yang besar. Saya yang sempat sempoyongan dan tidak sadar, dibangunkan oleh ibu dan beliau menguatkan saya untuk bersabar dan bertahan. Ibu, yang saya pikirkan akan 'jatuh' karena kehilangan bapak, ternyata justeru yang menguatkan saya dan kami semua, anak-anaknya. 
"Alhadulilah, Nduk....bapak apiiiikkk kapundhute. Kowe ora usah nangis yo? Bapak wis kepenak. Awake dewe kabeh kudu bersyukur, bapak kepenak banget kapundhute. Mugo-mugo awake dewe kabeh yo iso dipundhut kepenak koyo bapak..."

Berhari-hari setelah itu, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun setelah meninggalnya bapak, ibu masih terus teringat bapak. Ya, namanya juga suami, belahan hati, yang telah puluhan tahun menemani membangun dan mengayuh bahtera rumah tangga, siapa pun akan mengalami hal yang sama. Terus teringat, terus terkenang, bahkan mungkin sampai mati. 

Tapi ada yang begitu mengagumkan pada diri ibu setiap kali teringat bapak. Caranya memaknai kesedihan dan rasa kehilangan. Suatu ketika, kami sedang menikmati makan bersama di meja makan, dan salah satu makanan itu adalah kesukaan bapak. "Dadi eling bapak...iki remenane bapak..." Kata saya sambil menunjuk gule kambing. 
"Bapak wis luwih enak dahare ning kono...ngersakke opo wae ono..." Tukas ibu. Wajahnya datar saja, tanpa kesedihan, malah menyungging senyum. "Bar maem ndang podho salat, ojo lali kirim Fatihah ning bapak."

Suatu saat, ibu berkata. "Iki lho, bapak iki lho....wis kapundhut isih saget nafkahi anak bojo terus. Alhamdulilah, Gusti... Panjenengan Ingkang Moho Sugih." Waktu itu ibu habis terima uang pensiun. Bapak adalah guru PNS, sehingga beliau masih memperoleh uang pensiun bahkan saat beliau sudah berpulang.

Saya dan kami semua tidak pernah melihat ibu begitu terbebani dengan meninggalnya Bapak. Meskipun kami yakin, pasti ibu sangat merasa kehilangan. Sangat sedih. Tapi ibu tidak pernah menunjukkan rasa khilangan itu dengan menangis, mengeluh, apa lagi menyesali meninggalnya bapak. Ibu meyakini, semua yang sudah digariskan oleh Allah untuk bapak, untuk kami semua, adalah yang terbaik. "Gusti Allah wis noto kanthi apik." Begitu selalu yang dikatakan ibu. "Awake dewe sing syukur. Bapak wis kepenak. Mugo-mugo awake dewe kabeh ngko yo kepenak. Kepenak ndunyo akhirat sak anak bojo lan kabeh keturunan."

Semangat ibu seperti tak pernah padam dan bahkan terus memberikan energi pada kami semua. Benar sekali apa yang dikatakan orang bijak. Selalu berpikir positif, banyak bersyukur, akan membuat orang yang bersangkutan selalu memancarkan energi positif. Itulah yang kami rasakan dari ibu. Senyumnya, kekuatan batin sekaligus kepasrahannya, adalah energi buat kami semua untuk terus memaknai hidup ini dengan segala hal yang berarti demi kehidupan yang lebih abadi kelak.

Memang beda sekali dengan cara ibu (mertua) dalam memaknai kehilangan bapak (mertua). Kesedihan dan kedukaan yang mendalam menjadi warna-warna dominan di hari-hari setelah kepergian bapak. Dalam pembicaraan melalui telepon, dalam keseharian, ibu lebih banyak menangis. Membalut setiap ucapan, ingatan, dengan kesedihan dan kedukaan. Kadang terselip penyesalan kenapa tidak begini, tidak begitu. Kadang mempertanyakan, kenapa begini, kenapa begitu. 

Setiap kali kami ingatkan, bahwa inilah hal terbaik untuk bapak dan kami semua, ibu bisa menerima dengan mudah. Ya, karena ibu sebenarnya juga tahu betul tentang hal itu. Namun pemahamannya itu, sayang sekali, belum diejawantahkan dari caranya memaknai kesedihan dan rasa kehilangannya. Belum bisa membalut kesedihannya dengan senyum tulus yang menunjukkan keihklasan dan kerelaan. Siapa pun yang di dekatnya akan menjadi tumpuan kesedihan dan keluh kesahnya. Meskipun ibu mengatakan bahwa ibu sudah ikhlas bapak pergi, namun sikap dan ucapannya tidak mencerminkan keikhlasan itu.

Kami yakin, ibu hanya perlu waktu untuk merasa "lego lilo". Mudah-mudahan segera. Dengan keteguhan hati kami anak-anaknya, ibu akan menjadi kuat dan kembali 'hidup'. Ya, karena roda terus berputar, dan hidup harus terus berlanjut.

Begitulah, setiap orang memiliki cara yang tidak sama dalam memaknai sebuah kehilangan. Namun setiap orang yakin, kehilangan adalah suatu keniscayaan. Tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali harus terus bersyukur bahkan saat kita harus kehilangan. Rasa syukur itu akan menjadi energi abadi dalam diri kita, dan akan selalu memancarkan energi bagi orang-orang di sekitar kita. Meski kehilangan, kita harus tetap dapat memberikan makna dan manfaat bagi orang lain. Rasa syukur itulah kuncinya....


PPPG, Kampus Lidah Wetan, 4 Mei 2014

Wassalam,
LN

Senin, 21 April 2014

Bapak (2)

Jam 23.00. Aku metu soko kamar bapak. Sakwise salaman karo ibu lan Mas Ayik. Aku pamit, uluk salam.
"Assalamualaikum, Bu, Mas...."
"Waalaikum salam. Ati-ati". Sahutane ibu karo Mas Ayik. 

Koridor rumah sakit sepi. Mung ono siji loro perawat sing lagi nyiapne obat-obatan karo resik-resik troli. Aku mlaku alon-alon, ditutke Cak Jum, driver sing ngeterke aku. Soyo adoh soko kamare bapak, atiku soyo kroso cuwo.

Bapak bengi iki kahanane soyo mundur. Ambegane sesek, abot. Awake panas. Ketoke kelaran banget. Socone metu luhe. Bapak muwun.

Aku koyo gak kuat ndelok kahanane bapak. Atiku kroso keiris-iris. Aku nggegem astane, karo gak mandeg nyebut asmane Allah. "Ya Allah, mugi Panjenengan paringi enggal enteng sakitipun bapak, Gusti...".

Bapak kesadarane ugo kethok lek mudhun banget. Socone ora ono cahyane babar pisan. Alum. Dodone munggah-mudhun ngunjal ambegan  abot. Sok-sok bapak nduding padarane, mustokone, dodone. 
"Sakit, Kung?" Mas Ayik ngelus-elus padarane bapak. Bapak manthuk-manthuk.

Ibu gupuh ngompres bapak. Aku mijeti astane ben nyudo kemeng mergo diinfus, mijeti ampeyane ben ilang keju-keju mergo kurang obah, nepuk-nepuk dodone ben rodho lego ambegane. 

Dokter ngendikan, bapak kejobo stroke, ugo keno pnemonia. Pnemonia iku penyebabe bakteri, soyo nemen lorone mergo kepapar stroke, ugo mergo faktor umur, ngono ngendikane dokter. 

Wektu ibu konsultasi nang dokter mau awan, dokter ugo ngendikan, lek obate bapak wis dipilihke sing paling apik, ben bapak cepet pulih kesehatane. Yo pancen larang-larang, ning ora popo, tinimbang ora ndang waras, ngono advise dokter. 

Aku karo Cak Jum teko latar parkiran. Sepi. Aku mlebu mobil. Ngunjal ambegan gedhe. Kelingan bapak. Ugo kelingan Mas Ayik. Wektu bapak iso tenang sedelo mau, Mas Ayik mojok, meneng wae, koyo wong bingung. Tak cedhaki, nangis. Pasuryane abang ireng ngempet sedihe ati. "Mesakne bapak..." Socone mbrabak, luhe nyumber. Aku ndekep mustokone, karo ngelus-elus rekmane. 
"Mas ojo sedih, ojo nangis. Mas kudu kuat. Mesakke bapak ibu..." Asline aku dewe ngempet tangis, ning tak kuat-kuatne.

Dalan-dalan wis sepi. Cak Jum lungguh ngarep, nyupir. Aku ndepipis nang jok tengah. Mripatku nanar ndelok lampu-lampu kutho. Tisu nang sisihku tak ranggeh, bola-bali tak gawe ngelap luhku. Mbuh piye rasane atiku....ning aku percoyo, Gusti Allah bakal milihke sing paling apik gawe bapak...

Amin Ya Rabbal Alamiiin....

Suroboyo, 21 April 2014

Wassalam,
LN

Bapak

Bapakku morosepuh gerah, wis sepuluh dino ngamar nang RSUD Sidoarjo. Bapakku gerah stroke serangan kapindho. Stroke kawitan, rong tahun kepungkur, pas tengahe ulan poso. Waktu iku bapak klakon ngamar sangang dino. 

Stroke kawitan nyebabne ampeyan karo asto tengene bapak lumpuh. Sakwise diobatne, diterapi, dipijetne, bapak wis saget tindhakan maneh, masia ora iso normal koyo adate. Dahare yo wis apik, entek akeh. Wis iso tindhak-tindhak menyang Tuban lan Ponorogo.

Limolas dino kepungkur, ujug-ujug bapak ora iso ngendikan. Ilate rupane putih koyo gomen. Lek dahar lan ngunjuk, keselek-selek. Bapak langsung dipriksakne nang dokter. Jare dokter, bapak terlalu sensitif, didiagnosis radang amargo keno virus singapur. Ora perlu ngamar. 

Jane aku wis ora sronto ndelok kahanane Bapak. Karepku wis ben ngamar wae, ben diramut sing temenan karo dokter lan perawat. Lha wong bapak gak kerso dahar, lak yo susah. Angger dahar sitik-sitik, iku wae nganggo keselek-selek. Tapi yo opo maneh, wong jare dokter ora perlu ngamar.

Limang dino sakwise iku, pas aku dines ning Yogya, aku dtelepon bojoku, lek bapak masuk rumah sakit, ngamar. Aku dikongkon bojoku ndang mulih cepet. Sak kal aku pesen tiket kapal muluk, sokor oleh. Bengi iku aku langsung mabur soko Yogya nang Suroboyo, numpak kapal muluk jam wolu.

Bapak ngamar nang RSUD Sidoarjo Pavilyun Anggrek nomer selikur. Astone diinfus. Pipise dikateter. Onok tabung oksigen sing siap sak wayah-wayah. Kahanane bapak jan nrenyuhake tenan. Aku cuma iso nangis ning sebelahe bapak karo nyekeli astone sing kebek perban infus. Lambeku komat-kamit moco donga. Aku mbayangne bapak waktu isih waras, seger, kerso dahar, senengane crito. Mbandingne karo kahanane saiki sing lemah gak nduwe doyo, atiku ngeres.

Bengi iki aku ning RSUD Sidoarjo, koyo bengi-bengi sakdurunge. Lek aku ora ono tugas luar kutho, aku nunggu bapak. Mulih kerjo, aku biasane langsung budhal nang RS. Kadang-kadang mampir omah sedelo, nyiap-nyiapne omah. Bojoku soko kantor yo langsung nang RS. Dadi ketemu nang RS. Aku ora nginep, mergo isuk kudhu ngurus omah lan kerjo. Bojoku nginep ning RS, budhal kantor soko RS.

Sing tak karepne saiki, bapakku ndang diparingi waras. Mugo-mugo Gusti Pangeran mirengke panyuwunku. Amin.


Sugeng Kartinian....

RSUD Sidoarjo, 21 April 2014

Wassalam,
LN
(Boso Suroboyoan campur Tuban lan Ponorogo)

Minggu, 23 Maret 2014

Ke Pamekasan, Membayar Hutang

Adik ibu saya, Bulik Karimah, meninggal dunia tanggal 29 Januari 2014 yang lalu, pada usia 75 tahun. Beliau berdomisi di Pamekasan, tepatnya di Desa Plakpak, Kecamatan Pegantenan. Suaminya, Kyai Bakir, sudah berpulang beberapa puluh tahun yang lalu, waktu saya masih kecil.
  
Bulik Karimah selama ini tinggal bersama anak perempuannya sekeluarga, namanya Dik Khoiriyah. Suami Dik Khoiriyah, Dik Ghofur, adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Mujtama'. Sebuah pesantren yang mengelola sekitar 1500 santri laki-laki dan perempuan, mulai dari santri kecil sampai santri mahasiswa.
  
Ibu tiba dari Tuban ke rumah kami kemarin sore, diantar mas Ipung sekeluarga. Mas Ipung adalah kakak saya. Dia dan anak istri, serta dua anak saudara kami yang lain, berniat menikmati akhir pekan di Surabaya, sekalian mengantar ibu.

Para keponakan saya itu memang sudah lama ingin berkunjung ke Surabaya. Kebetulan di dekat rumah kami ada taman baru, namanya Taman Jangkar (Jambangan Karah). Lumayan menarik untuk tempat bermain anak-anak. Juga dekat dengan Masjid Al-Akbar, yang bila hari Sabtu dan Minggu, ramainya luar biasa. Banyak hiburan, banyak orang jualan, banyak tontonan. Juga dekat dengan Royal Plaza, yang bisa membuat betah siapa pun yang ingin melemaskan kaki, dengan belanja atau sekedar window shopping. 

Jadi pagi ini, kami hanya berangkat berempat. Saya sekeluarga dan ibu. Mas Ipung sekeluarga mau jalan-jalan sendiri, karena kebetulan dia sudah takziyah ke Pamekasan saat hari H bulik kami berpulang waktu itu. Saya sekeluarga yang belum sempat takziyah.  

Kami berangkat pukul 08.48, setelah membereskan rumah. Setelah semua sarapan dan dapur serta rumah kembali rapi. Arga pegang kemudi, mas Ayik di sebelahnya, sementara saya dan ibu duduk di belakang.

Yang namanya Arga, doyan ngomongnya luar biasa. Ada saja topiknya. Mulai dari musik, fotografi, mobil, burung, sepeda, apa saja. Karena bapaknya juga sama doyan ngomongnya, jadilah mobil kami ramainya seperti ruang diskusi. Saya dan ibu hanya sekali-sekali saja berkomentar.

Persis saat adzan dhuhur, kami tiba di Masjid Syuhada di alun-alun Pamekasan. Kami salat di masjid tersebut. Masjid berlantai tiga yang megah dan bersih, namun sepi. Di mana-mana, saya sering menemui kondisi seperti ini, masjid yang megah tapi sepi. Ramainya hanya sesaat, yaitu waktu salat lima waktu. Atau pada saat salat Jumat dan tarawih.

Kami tiba di Ponpes Al Mujtama' pada sekitar pukul 13.00. Disambut dengan hangat oleh Dik Khoiriyah sekeluarga. Saudara misan saya yang dipanggil bu Nyai Khoir ini usianya sepantaran saya. Anaknya empat, yang pertama sudah sarjana. Meski jarang bertemu, kami sangat akrab, dan peluk cium penuh kerinduan mewarnai pertemuan kami.

Siang ini, kami menghabiskan waktu mengobrol di teras rumah yang sejuk karena semilir angin, ditemani kue-kue ringan. Saya selalu menyukai suasana seperti ini. Bertemu kerabat, bercerita banyak hal, berkangen-kangenan, seperti nge-charge jiwa dan raga. 

Kami sempat beristirahat sejenak di kamar besar di rumah induk yang megah. Hanya sebentar, tidak lebih dari satu jam. Lantas kami berempat, diantar Azizah, putri sulung Dik Khoir, berziarah ke makam Bulik Karimah. Makam itu letaknya dekat saja, dalam kompleks ponpes. 

Di bawah gerimis yang hangat (karena matahari bersinar terang), kami berjalan menuju makam. Di makam yang masih baru itu, baru Bulik Karimah satu-satunya yang disemayamkan di situ. Semasa hidupnya, beliau memang sudah berpesan, di mana pun beliau meninggal, di makam itulah beliau ingin dikuburkan. Beliau memilih tempat itu karena tempat itu ada di lingkungan ponpes. Pilihan beliau tidak salah, nyatanya,  hampir setiap hari beliau ditahlilkan oleh para santri.

Kami berpamit saat sore mulai jatuh. Arga kembali pegang kemudi, tapi saat ini dia mengajukan syarat. Berhenti sejenak di pantai Camplong untuk berburu matahari terbenam.

"Kasihan Mbah Uti, Ga...nanti kemalaman," kata saya.
"Nggak kok, bu, sebentar saja. Tiga puluh menit."
"Hah, tiga puluh menit? Ya sudah, tidak apa-apa." Tukas saya. "Mboten menopo nggih, mbah uti?" Tanya saya pada ibu. 
Ibu menggeleng sambil tersenyum. "Ora popo." Beliau justeru ikut turun untuk bersama-sama menikmati pantai. 
"Ya, waktunya nuruti karepe bocah...tadi kan bocahe wis nuruti karepe orang tua.." Kata saya.

Kami melanjutkan perjalanan lagi setelah puas menikmati Pantai Camplong sambil menunggu senja. Sempat singgah di sebuah masjid di Sampang, untuk menunaikan salat maghrib.

Perasaan saya begitu lega. Sebenarnya, kami sudah lama sekali ingin berkunjung ke Pamekasan, sejak Bulik Karimah berpulang Januari yang lalu. Namun karena kesibukan, keinginan itu tidak kunjung terwujud. Alhamdulilah, hari ini Allah memberikan izin-Nya. Seperti lepas dari beban hutang saja perasaan saya saking leganya....

Tana Mera, Bangkalan, 23 Maret 2014. 18.48 WIB.


Wassalam,
LN
(OTW Surabaya) 

Minggu, 16 Maret 2014

Ngoweh Berjamaah

"Waktunya silaturahim dan wisata kuliner. Menikmati quality time bersama keluarga."

Pagi ini, kami sekeluarga meluncur ke Tuban. Kami bertiga, saya, mas Ayik, dan Arga. Sudah lama, mungkin sebulan lebih, kami tidak mudik. Sowan ibu dan mbah uti. Bersilaturahim sama mas-mas dan mbak-mbak, adik-adik, keponakan dan saudara misan. Senengnya....

Kami berangkat dari rumah jam 07.30. Hanya minum teh dan makan roti (saja). Niatnya memang mau melaparkan perut dulu. Merencanakan wisata kuliner setibanya di kota Tuban nanti.

Perjalanan kami relatif lancar. Biasalah, kalau bertemu dengan truk-truk besar dan bus umum. Juga mobil-mobil pribadi dan sepeda motor. Namanya juga jalan raya. Bukan jalannya nenek moyang.  Kalau mau lengang, ya bikin jalan sendiri.... 

Sepanjang perjalanan, ibu beberapa kali telepon. Memantau. Biasalah, namanya juga orang tua. Apa lagi kalau sudah sebulan lebih tidak ketemu sama anak perempuannya yang paling manis dan cucunya yang paling ngganteng serta anak menantunya yang paling hitam....hehe (hitam tapi manis poll, dan yang penting....baik hati, tidak sombong dan suka menabung).

Masuk kota Tuban pukul 10.03. Langsung menuju Belut Jangkar. Lokasinya di desa Tegalagung, Pronggahan. Dari sebelah barat Pasar Baru, ke arah selatan. Terusss ke selatan. Ketemu Pasar Klampok, belok kanan. Itu sudah.... Tanya saja di mana Belut Jangkar. Semua orang tahu. Karena ternyata yang punya adalah Riyani Jangkaru....(Haha, kalau ini suwerr...hanya bercanda).

Belut jangkar ini terkenal puwedes dan suwedep. Bagi Anda yang bukan penyuka makanan pedas, boleh coba. Dijamin Anda akan lupa kalau Anda tidak suka pedas. Pedasnya belut jangkar ini ngangeni. Sekali coba pasti ketagihan. Atau kalau tidak.... perut Anda pasti mulas, lantas tergopoh-gopoh pergi ke belakang....(Maksudnya ke kamar kecil...kamar yang keciiiillll sekali....). 

Belut itu sebenarnya hanya belut goreng saja. Digoreng nyel, tentu saja setelah dipotong-potong sekitar 2-3 centi-an. Setelah digoreng, dibumbu. Bumbu itu lho yang maut. Mirip bumbu rujak, tapi cita rasa rempahnya sangat kuat, dan pedasnya super duper mantap. Wehhh....siapa pun yang makan di situ, coba perhatikan, nggak ada yang nggak gobyos dan ngoweh-ngoweh. Terbayang kan? Puluhan orang yang gobyos dan ngoweh-ngoweh bareng? Suweru....

Seperti itulah yang terjadi pada kami bertiga. Arga terutama. Anak gendut itu seperti balas dendam saja. Seperti sudah ratusan tahun tidak makan. Lahapnya bukan kepalang. Dua porsi belut, dua porsi nasi jagung, dan dua porsi nasi putih, ludes dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Meskipun mulutnya ngoweh-ngoweh dan mukanya basah kuyup. Dasar anak kost.....

Sebelum pulang, kami pesan 15 bungkus belut dan 15 bungkus nasi jagung. Untuk ibu dan para keponakan. Saya ingin melihat pemandangan yang saya tunggu-tunggu. Mbah Uti dan para anak mantu serta para cucu ngoweh berjamaah...huwah.....huwah....huwah....heboh kan? Hehe...


Tuban, 16 Maret 2014

Wassalam,
LN

Senin, 17 Juni 2013

Menunggui Nizar Jalani Operasi Tumor Otak

Anak jangkung itu tergolek lemah. Bibirnya yang merah, terkatup rapat. Kedua matanya setengah terbuka. Lehernya disangga dengan sebuah bantal berbentuk U, berwarna pink. 

'Budhe, dik....', bisik Bu Yanti (Dr. Suryanti, M. Pd., Pembantu Direktur I P3G Unesa), di telinga anak bungsunya itu. Mata Nizar, anak itu membuka sedikit. 'Budhe....' Lirihnya, menatap saya dan mas Ayik, sebentar, lantas matanya terkatup lagi. Tangannya yang terulur segera saya tangkap, saya genggam erat. Hati saya meleleh.

Nizar, adalah putra bungsu Dr. Wahono Widodo dan Dr. Suryanti, keduanya sahabat saya. Mereka dan kedua anaknya, Danang dan Nizar, sudah seperti keluarga saya sendiri. Kami sangat dekat. Sejak belasan tahun. Sejak anak-anak kami masih balita. Sampai saat ini anak-anak kami sudah menjadi mahasiswa dan tumbuh remaja. 

Nizar sendiri, saat ini sudah kelas 3 SMP. Baru saja lulus, namun tidak bisa mengikuti wisuda pada Sabtu kemarin, karena dia sakit.

Nizar dan Danang memanggil saya Budhe, dan menyebut mas Ayik dengan Abah. Arga, anak kami, menyebut bapak ibu mereka sebagai Tante Yanti dan Wak Son. Ya, entah bagaimana ceritanya, pak Wahono oleh kami semua, dipanggil Wak Son. Kami, adalah kelompok Kobamin, kepanjangan dari Komunitas Bambung Indonesia. Kelompok penyuka aktivitas outdoor (camping, rafting, dan travelling). Beranggotakan beberapa teman dosen dan keluarganya.

Malam ini Nizar akan masuk ke ruang operasi. Cairan di kepalanya akan diambil, sebelum operasi untuk mengangkat tumor di otaknya dilakukan pada hari yang akan datang. 

Wajahnya yang pasrah begitu menyentuh hati. Sakit yang dideritanya hanya dia keluhkan sekitar satu dua minggu sebelum akhirnya dia harus terbaring di tempat ini, di Paviliyun VII, RSAL. Dokter bilang, seharusnya dia sudah merasa kesakitan sejak lama. Tumor yang ada di kepala bagian kiri itu sudah cukup besar. Terjadinya sudah berbulan-bulan. Namun, menurut dik Yanti, Nizar hanya belakangan ini saja sering mengeluh pusing-pusing. Puncaknya, adalah sejak Rabu minggu kemarin, saat Bu Yanti baru saja pulang dari monev SM-3T di Sumba Timur. Nizar tidak bisa menoleh. Dokter bilang kemungkinan terjadi  injury sport. Namun ternyata setelah itu Nizar muntah-muntah, dan dia tidak kuat untuk berdiri. Ternyata, hasil CT Scan yang baru bisa dilihat  tadi pagi menunjukkan, ada tumor di kepalanya.

Kabar sedih itu saya terima langsung dari Bu Yanti  tadi pagi saat saya rapat di rektorat. Tak ayal, hati saya sontak sangat terpukul. Saya mengikuti rapat dengan setengah hati, dan meninggalkan ruang sebelum rapat usai karena harus menguji di pasca. Pikiran saya terus terbayang Nizar. 

Usai menguji, saya mengikuti upacara pemberangkatan Tim Ekspedisi Lawe Alas Himapala, tetap dengan pikiran yang 'sumpek'. Selepas upacara, saya bermaksud langsung ke RSAL. Namun genangan air di mana-mana, kerumunan orang di mana-mana (para calon peserta SBMPTN yang sedang mencari lokasi tes besok), serta macet di mana-mana; ditambah dengan kondisi saya yang tidak terlalu fit, menyurutkan langkah saya menuju RSAL. Saya memutuskan untuk pulang. Minum obat, beristirahat sebentar sambil menuggu mas Ayik pulang kantor, untuk bersama-sama menunggui Nizar selepas maghrib nanti.

Selain saya dan mas Ayik, ada beberapa teman dosen yang menunggui Nizar. Pak Yoyok, pak Mintohari, pak Subandi, pak Alimufi, dan sebagainya, termasuk sanak saudara Bu Yanti. Pak Wahono, yang biasanya super ndableg, malam ini matanya sembab, lebih sembab dari mata bu Yanti. Tadi pagi, begitu Bu Yanti mengabarkan ke saya tentang hasil CT scan, dia bilang kalau pak Wahono sudah terus-terusan menangis. 'Aku berusaha tabah, Budhe...', begitu katanya. 'Bapaknya sudah menangis terus dari tadi...'.

Nizar (depan) bersama ayah dan ibunya mengikuti rafting.
Nizar disuntik antibiotik. Suster bilang kalau suntikan itu akan terasa panas, tapi dia meminta supaya Nizar menahan rasa sakit itu dengan menarik nafas dan membuangnya melalui hidung. Benar saja. Ketika suntikan itu menghunjam menusuk lengannya, anak itu menarik nafas, menahan sakit. Punggung tangannya yang ditusuk jarum infus kugenggam dan kuusap-usap. Mata saya perih dan air mata nyaris membasahi lengan Nizar bila saya tak segera membuang muka.

Sepuluh menit setelah itu, tiga orang suster memasuki ruangan. Nizar siap dibawa ke ruang operasi. Seperti memahami perasaan kami, suster membiarkan bapak dan ibu anak itu mengusap-usap kepalanya dengan penuh kesedihan, dan berbisik di telinganya untuk menguatkankan hatinya. 'Kuat ya, dik...'. Begitu bisik Bu Yanti. 'Mama menunggu sama Bapak di sini'. Sementara itu Pak Wahono yang tidak tahan, menahan isaknya, menjauh dari kerumunan. 

Malam ini kami semua ada di ruang tunggu ICU, menunggui Nizar diobservasi, dan menjalani pengambilan cairan di kepalanya. Kami semua dengan pikiran dan doa kami masing-masing. 

Semakin malam, teman-teman yang datang semakin banyak. Pak Waspodo dan istri, ibu PR I (Prof. Dr. Kisyani), Bu Hani dan pak Dewanto, Pak Asrul sekeluarga, dan banyak yang lain. Bahkan Pak Alimufi yang tadi sudah pamit pulang, malam ini datang lagi bersama istrinya.

Saya sendiri terus membaca sholawat dan doa untuk Nizar. Terbayang Nizar kecil di pelupuk mata. Saat di lehernya tergantung dua liter air mineral waktu kami berpetualang ke Pulau Sempu. Karena di sana tidak ada air tawar, maka semua orang harus membawa air tawar, tak terkecuali anak-anak kecil kami. Terbayang juga saat Nizar menangis mencari ubur-ubur hitamnya sewaktu kemping di Pantai Lombeng. Atau malam-malam memanggil-manggil mamanya dan minta dipijit karena kakinya 'putus-putus' (saking capeknya, dia menyebut kakinya putus-putus). Terbayang juga saat dia melompat-lompat dengan sebelah tangannya memegang tangan saya, sambil berceloteh kalau dia barusan muntah-muntah karena habis minum bing (maksudnya bir. Sebenarnya yang dia minum adalah minuman bersoda).

Hampir tiga jam kami semua menunggui Nizar yang sedang ditangani dokter di kamar operasi. Pada pukul 21.20, tiba-tiba suster memanggil nama keluarga Nizar. Pak Wahono dan Bu Yanti spontan mendekat. Suster mengatakan, pengeluaran cairan sudah selesai, dan lancar. Kami semua bernafas lega. Kemudian suster menyilakan Bu Yanti dan Pak Wahono menengok Nizar sebentar. Kami menunggu di luar ruangan, membiarkan kedua sahabat kami itu menengok putra bungsunya.  

Meski dengan mata yang semakin sembab, Pak Wahono dan Bu Yanti nampak sedikit lega. Begitu juga kami. 'Nizar gundul...' Desis Bu Yanti. Matanya memerah. 'Ada selang di kepalanya. Alhamdulilah, Nizar sudah sadar, dan membalas menyapa kami...'.

Setidaknya, satu tahap telah terlewati dengan lancar. Insyaallah tahap-tahap berikutnya juga lancar. Allah yang Maha Pengasih, berikan kekuatan pada Ahmad Nizar Permana. Berikan kesembuhan, berikan kesehatan, dan berikan dia umur panjang yang penuh berkah. Amin YRA.

Surabaya, 17 Juni 2013. 01.10 WIB.

Wassalam,
LN

Minggu, 26 Mei 2013

Ke Jakarta

Alhamdulilah. Akhirnya, setelah menunggu hampir sejam, ya, hampir sejam, bapak muncul di pintu keluar. Duduk di atas kursi roda yang didorong oleh seorang petugas. Ibu dan mas Ayik membuntuti di belakangnya. Lega.

Kami bersembilan. Saya sekeluarga, bapak, ibu, dan dik Riris (adik misan) sekeluarga. Terbang dari Juanda dengan Lion Air pada sekitar pukul 18.30 tadi. On time. Ya, tumben, tanpa delay. 
Kami akan menghadiri acara mantu putranya budhe. Acaranya sendiri masih hari Minggu lusa. Namun kami berangkat sore tadi karena bapak dan ibu, sebagai sesepuh, sangat diharapkan kehadirannya untuk 'nungguin' rangkaian acara pernikahan. Besok pagi siraman, lusanya resepsi di Gedung Ki Ageng Serang. Maka kami yang muda-muda pun (uh, sok muda....hehe), musti menyesuaikan dengan jadwal itu. 

Sejak kemarin saya sudah memberi tahu Mas Nardi kalau saya perlu satu kursi roda untuk bapak. Begitu kami tiba di Juanda sore tadi, Mas Nardi mengurus semuanya, mulai dari tiket, check in, bagasi-bagasi kami, boarding pass, kursi roda dan petugasnya. Lancar. Termasuk surat dokter yang kami tidak persiapkan sebelumnya. Ternyata, untuk bisa dilayani oleh pramugari, kita harus menunjukkan surat keterangan sakit dari dokter. Sekejap saja Bapak memperoleh surat dokter itu setelah dibantu petugas bandara.

Ini memang pengalaman pertama kali kami terbang dengan membawa 'pasien'. Sejak bapak terkena stroke pada Ramadhan tahun lalu, beliau hampir selalu memerlukan bantuan. Tangan dan kaki kanannya lemah. Jalannya sangat-sangat pelan, dengan bantuan tongkat. Itu pun tidak bisa jauh-jauh. Lebih dari dua puluhan meter sudah harus istirahat, jeda dulu, baru melanjutkan langkah lagi. Tentu saja, dengan kondisi seperti itu, kursi roda mutlak diperlukan saat menempuh penerbangan seperti ini.

Mbak Wiwik, kakak misan yang' kagungan kerso mantu' itu, menjemput kami. Ditemani Mas Aris, suaminya, dan Arik serta Icha. Arik inilah yang besok mau dimantu. Icha adalah adik perempuannya. Dasar 'manten' zaman sekarang, besok mau siraman, malam ini malah keluyuran. Sak 'pak-mbok-e' pisan. He he. 
Bandara Soetta padat luar biasa. Maklum, long week-end. Layanan kursi roda juga sampai harus antri lama. Petugas yang saya tanya berkali-kali minta maaf karena terlambat menjemput bapak dari pesawat karena semua kursi roda dan petugas terpakai. Tapi entahlah. Saya pikir, ini tidak bagus. Mestinya pada saat-saat 'peak season' seperti ini, hal seperti itu sudah diantisipasi. Masak saya harus 'marah-marah' sama front staff dulu untuk bisa dilayani dengan lebih cepat. Gitu kok katanya profesional. 

Tapi alhamdulilah. Saat ini kami sudah meluncur keluar dari Bandara Soetta. Duduk manis bersama bapak, ibu, Arga dan Mbak Wiwik, di mobil yang dikemudikan Arik. Mas Ayik dan Dik Riris sekeluarga bersama mas Aris di mobil yang lain. 

Alhamdulilah, lega. Karena bisa mengisi liburan dua hari ini dengan mendampingi bapak ibu, menghadiri acara mantu, dan bertemu dengan 'poro dulur'. Meski harus mengorbankan banyak momen penting di kampus: pentas seni mahasiswa PPG dan festival batik di busem Kampus Ketintang. Tidak apa-apa. Saatnya waktu bersama keluarga. Semoga barokah.

Jakarta, 24 Mei 2013

Minggu, 27 Januari 2013

Gagal Pulang Kampung

Minggu pagi ini saya dan mas Ayik berencana mengunjungi ibu di kampung halaman, di desa Jenu, Tuban. Sebenarnya rencana itu sudah sejak kemarin sore, tetapi tidak jadi. Ketika saya ber-sms dengan ibu kemarin pagi, ternyata beliau malah sedang di perjalanan menuju Surabaya, mengikuti rombongan ziarah wali se-Jawa Timur. Maka kami putuskan untuk besok paginya saja, yaitu hari ini, untuk berangkat ke Tuban.

Saya memasak dengan cepat untuk Arga yang sudah 'sambat' lapar. Tempe goreng, ayam bacem, dan pecel sayuran. Mas Ayik membersihkan mobil dan ngecek air aki. Selesai semua, saya mandi, bersiap-siap. Tiba-tiba seorang tetangga mengabarkan, ada tetangga kami yang meninggal. Kabar itu hampir bersamaan dengan kabar duka berpulangnya bapak Widodo, mantan PR 2 Unesa. Saya pun jadi ragu, jadi pulkam tidak ya? 

Saya menelepon ibu. Menanyakan kabarnya, jam berapa tadi malam beliau rawuh dari ziarah wali, sayah apa tidak, dan apa ada acara hari ini. Ternyata ibu ada acara pengajian, ba'da dhuhur. Ya sudah. Mungkin memang belum waktunya pulang kampung mengunjungi ibu. Kalau kami tetap berangkat pun, bisa jadi tidak bertemu ibu, karena ibu sendiri sedang padat acaranya. 

Jadilah kami gagal pulkam. Ada hikmahnya juga. Selain bisa memanfaatkan waktu untuk takziyah, kami juga bisa mengunjungi teman-teman, bersilaturahim. Maka beberapa teman berhasil kami datangi rumahnya hari ini. Ada dua teman SMP dan SMA saya, yang tinggalnya di jalan Gundih, dekat PGS (Pasar Grosir Surabaya), yang memang sejak lama ingin kami kunjungi. 

Sebelum silaturahim ke teman-teman, kami juga menyempatkan mampir di Kampoeng Ilmu di jalan Semarang. Saya berburu majalah Anita Cemerlang, yang di dalam majalah kumpulan cerpen itu ada tulisan Lutfi AZ. Beberapa waktu yang lalu saya menemukan empat buah, di Kampoeng Ilmu ini juga. Hanya empat buah. Padahal yang saya cari mungkin belasan atau bahkan puluhan. Saya memang telah bertindak ceroboh. Tidak mendokumentasikan majalah-majalah yang telah memuat tulisan-tulisan saya itu. Ada cerpen, ada laporan perjalanan dalam bentuk feature. Saat ini, setelah beberapa puluh tahun kemudian (saya menulis di Anita Cemerlang sejak 1982-1989), saya mencoba mengumpulkannya lagi. Selain dari Kampoeng Ilmu, beberapa saya peroleh dari kolektor di Yogya dan Banjarmasin. Dengan harga yang relatif mahal. Dua puluh ribuan per majalah. Padahal di Kampoeng Ilmu cuma lima ribuan. 

Saya dan mas Ayik juga melihat-lihat buku-buku yang lain. Buku-buku baru seperti Ainun dan Habibie, 5 cm, Chairul Tanjung si Anak Singkong, Sepatu Dahlan, Ganti Hati, dan puluhan buku baru yang lain. Buku baru apa pun. Juga buku-buku sastra keluaran Balai Pustaka: Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layang Terkembang dan banyak lagi. Juga novel-novel terjemahan. Kalau mau melanggar undang-undang hak cipta, monggo, silahkan borong semua buku itu. Buku dengan kertas dan cetakan yang kualitasnya jauh di bawah buku aslinya. Juga, tentu saja, harganya. Ya, buku-buku tembakan.    

Selepas dari Kampoeng Ilmu dan silaturahim ke teman-teman, saya ber-BBM dengan adik kami, Rini. Rini adalah istri Dedi, adik bungsu mas Ayik. Dia bersama anak semata wayangnya, yang saat ini sudah berusia lima tahun, tinggal di rumahnya di perumahan Permata Gedangan, Sidoarjo. Dedi sendiri saat ini sedang bertugas di Laos. Ichiro dilahirkan sebagai anak berkebutuhan khusus, yakni down syndrom (DS) atau biasa disebut mongoloid. Meski DS, Ichiro tergolong anak yang cerdas, lincah dan lucu menyenangkan. Ichi berarti satu, ro adalah sebutan untuk anak laki-laki. Waktu Ichiro masih di dalam perut ibunya, Dedi saat itu sedang bertugas di Jepang. Senseinya, namanya Ichiro Yamaguchi, adalah sosok yang sangat dikagumi Dedi karena kebaikannya. Oleh sebab itu, atas seizin beliau, Dedi menggunakan nama Ichiro, nama depan senseinya, untuk anak laki-laki pertamanya. Sampai saat ini, setiap Ichiro berulang tahun, Ichiro Yamaguchi selalu mengirim message 'selamat ultah dari papa di Jepang'.

Kami mengajak Rini dan Ichiro berburu bandeng bakar di tempat pemancingan di desa Kalanganyar, Sedati. Awalnya Rini tidak mau karena dia sedang menggoreng kentang, bahan untuk membuat kering kentang. Dua minggu lagi Dedi cuti, minggu berikutnya kembali ke Laos. Kering kentang, kering tempe, balado ikan teri, menjadi bawaan wajib bagi Dedi kalau dia kembali ke Laos. Terbatasnya pilihan menu halal di tempatnya bekerja membuat Dedi memilih membawa sendiri lauk-pauk dari Tanah Air. 

Meski hari sudah menjelang sore, lewat pukul 15.00, tempat pemancingan bandeng masih ramai.  Tempat yang sepanjang kanan-kiri jalannya adalah tambak, umumnya tambak bandeng. Di sisi kanan, di situlah menghampar kolam pemacingan, tepatnya tambak pemancingan. Lengkap dengan tenda-tenda semi permanen tempat para pemancing menghabiskan waktunya. Di sepanjang kiri jalan, para tukang masak sedang membakar bandeng-bandeng pesanan para pemancing. Asap mengepul-ngepul menyebarkan aroma gurih bandeng bakar. Di sela-sela tukang bakar itu adalah para ibu yang sedang melakukan aktivitas mencabuti duri bandeng. Bandeng, sebagaimana yang kita ketahui, adalah jenis ikan yang duri lembutnya sangat banyak. Orang seringkali malas mengonsumsi bandeng yang sebenarnya rasanya sangat gurih itu karena malas berurusan dengan duri-durinya. Maka ibu-ibu yang menawarkan jasa cabut duri bandeng sangat membantu mengatasi persoalan tersebut. Seekor bandeng dihargai dua ribu rupiah untuk menghilangkan duri-durinya. Bebas dari duri. Mau dibakar, digoreng, dipepes, bandeng bisa dimakan dengan nikmat tanpa khawatir tertelan durinya yang lembut tapi jahat itu.

Tapi entah kenapa, mungkin karena kondisi habis hujan, tempat pemancingan itu terkesan becek di mana-mana, dan belum-belum sudah membuat selera makan kami hilang. Bau anyir dan kepulan asap dari pembakaran bandeng menghasilkan aroma yang mulek meski di alam terbuka. Kami batal makan di tempat itu, dan memilih keluar dari area pemancingan.

Kami lantas menuju ke TPI Banjarkemuning yang letaknya tidak jauh dari tempat pemancingan tersebut. Saya dan teman-teman jurusan PKK sering ke tempat ini. Membeli kepiting telur, dan memasakkan ke jasa pengolahan kepiting di warung yang ada di tempat itu juga, dengan masakan asam manis atau lada hitam. Bandeng, gurami, nila, kakap, cumi-cumi, udang, bahkan lobster juga tersedia, dan bisa diolah sesuai keinginan kita. Sore itu kami memesan dua bandeng bakar dan sekilo kepiting masak lada hitam untuk kami nikmati dengan nasi putih dan teh manis.

Senja mulai turun ketika kami keluar dari warung pasar ikan 'Pak Budi', nama warung tempat kami makan itu. Sekilo kepiting masak lada hitam saya tenteng menuju mobil. Jatah untuk Arga. Anak lanang kami itu sedang tidur di rumah, kecapekan setelah tadi malam manggung di Imperial Ballroom. Ichiro di gendongan mas Ayik, dan Rini membawa sebungkus nasi putih serta beberapa potong kepiting masak lada hitam, juga menuju mobil. Kami pulang dengan perut kenyang.

Meski gagal pulkam, hari ini kami dapat banyak. Silaturahim, buku-buku, bandeng bakar dan kepiting lada hitam. Insyaalah menjadi tambahan nutrisi bagi jasmani dan rohani kami. Amin.

Banjarkemuning, 27 Januari 2013

Wassalam,
LN