Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 16 November 2011

Sumba (3): Masyarakat dan Alam Sumba Barat

Pukul 14.30 waktu Waingapu. Siang ini kami bergerak menuju Sumba Barat. Ditemani Ariyanto, pemuda kelahiran Kupang, yang namanya sama sekali tdk berbau Kupang. Pemuda lajang 28 tahun, jangkung, kulit sawo matang, wajahnya seperti kebanyakan orang Sumba, dan rambutnya ikal. Dia berkalung berbahan monel, berbandul salib, dengan gelang-gelang  besar dari bahan yang sama. Waktu saya tanya kenapa masih melajang, bukankah gadis Sumba cantik-cantik, dia bilang, ya betul, ibu, cantik-cantik, tapi
mahal. Saya harus mengumpulkan uang dulu untuk beli kuda dan kerbau untuk menebusnya. O o..... Ariyanto kami sewa bersama mobilnya utk mengantar kami ke Sumba Barat. Tujuan ke Sumba Barat semata-mata utk mengumpulkan data komite sekolah.

Jalan menuju Sumba Barat berkelok-kelok, naik-turun, dengan perbukitan kapur di sisi kanan-kirinya, berseling dengan lembah dan ngarai, serta jurang-jurang yang curam. Pada beberapa bagian mengingatkanku pada rute antara Ponorogo dan Pacitan, beberapa bagian mengingatkanku pada pelosok Tuban, Bojonegoro, Lamongan, yang gersang dan kekurangan air. Sempat kami melihat serombongan perempuan dan anak-anak  bergerombol dengan menenteng jurigen-jurigen, mereka sedang mengantri untuk mendapatkan air.

Beberapa kilometer sebelum memasuki Lewa, sekitar 50 km dari Waingapu, ada serombongan anak dan remaja membawa kom plastik di tangannya, berisi dagangan yang dijajakan pada para pengendara. Jagung rebus dengan kulitnya, kacang rebus, telur rebus, dan juga-yang khas-adalah buah sirih. Yang terakhir ini biasa dikunyah-kunyah dengan kapur (di Jawa namanya 'nginang'), oleh para wanita maupun
pria, sehingga melihat mulut mereka, gigi dan bibir yang merah kecoklatan adalah pemandangan biasa.

Aku membeli jagung rebus 10 ribu, dapat 6, yang 3 dari seorang gadis kecil berusia 8 tahunan, dan 3 lagi dari seorang gadis belasan tahun. Wajah manis mereka penuh peluh dan nampak lelah. Sekantung kacang rebus yang sepertinya sudah tidak segar lagi, kubeli dari seorang bocah lelaki belasan tahun yang
nafasnya ngos-ngosan karena memburu mobil kami.

Beberapa kali kulihat segerombolan kuda yang sedang merumput (mungkin kuda-kuda itulah yang menghasilkan susu kuda liar), kerbau yang beriringan, dan puluhan sapi menyeberang jalan. Rumah-rumah panggung beratap tinggi menjulang, atau rumah-rumah khas Sumba yang beratap jerami. Anak-anak  belasan tahun yang kulitnya hitam legam,  sedang bekerja bermandi peluh ikut melakukan pekerjaan memperbaiki jalan.

Jarak satu rumah dengan rumah yang lain sangat jauh, kadangkala puluhan kilometer. Saya membayangkan, apa yang mereka makan, di mana mereka membeli kebutuhan sehari-hari, dan apa yang dilakukan anak-anak mengisi waktu senggangnya, di mana mereka bersekolah. Sejauh perjalanan yang sudah kami tempuh, sekitar 2 jam dari Waingapu, aku hanya melihat 1 sekolah. Tepat di jalan
yang berkelok tajam, dan sekolah itu ada di bawah sana.

Semakin menjauh dari Sumba Timur, keadaan alamnya semakin subur. Pemandangan hijau dan rimbun di mana-mana, air melimpah di sawah dan rawa-rawa, beberapa rumah sedikit lebih modern, dengan parabola bertengger di salah satu sudut di halamannya. Aku baru tahu kalau mereka harus punya parabola utk bisa melihat TV. Menurut Ariyanto, hanya rumah-ramah yang ada parabolanya itulah yang punya TV. Wah, kalau begitu TV pasti masih menjadi barang mewah bagi mereka, karena kalau beli TV juga harus beli antene parabola. Dan memang tidak banyak rumah yang memiliki parabola; sampai menjelang masuk kabupaten Waikabubak, kuhitung hanya belasan.
Dan tentu saja, kemiskinan tetap mendominasi. Seringkali kulihat para wanita menyunggi jurigen berisi air di kepalanya, atau anak-anak usia sekolah yang bekerja di pinggir-pinggir jalan, dengan wajah lelah dan pakaian lusuh mereka.  Jam di tanganku menunjuk angka 17.00. Masih sekitar dua jam lagi kami mencapai Waikabubak, ibukota Sumba Barat. Nicky Astria mendayu-dayu melantunkan lagu-lagu yang kukenal tapi lupa judulnya. Ariyanto, driver kami, memegang kemudi menyusuri jalan yang meliuk-liuk. Kuperhatikan, kecepatan rata-ratanya cuma sekitar 60 km/jam. Aku senang caranya pegang kemudi. Rileks, fokus. Membuat kami merasa nyaman utk tetap beraktivitas. Aku mebuka laptop, mengecek berkas-berkas dari peserta SM-3T karena hasilnya harus segera kukirim ke Surabaya, melalui sms tentu saja, karena internet tdk bisa. Pak Pram sibuk mengabadikan hampir setiap jengkal pemandangan yang ditemuinya.

Tiba di Waikabubak, kami langsung ke hotel Kuranto. Menurutku lebih tepat disebut penginapan. Bu Titin Gah, kasubag Umum dinas PPO Sumba Barat, sudah menunggu kami. Orangnya cantik, khas Sumba, matanya bulat tajam, terkesan cerdas. Beliau memastikan besuk pagi kami bisa bertemu dengan kepala sekolah, komite sekolah, guru, DU/DI, dan orang tua siswa di kantor dinas. Tak berapa lama, ketua dewan pendidikan datang. Pensiunan pejabat dinas, sudah berumur, tapi masih enerjik. Senang kami merasakan sambutan hangatnya.

Kami membicarakan teknis kegiatan besok. Pengisian instrumen dilakukan di kantor dinas. Semua responden sdh dihubungi. Setelah itu, saya akan mampir ke sekolah-sekolah sebelum bertolak ke Sumba Timur. Ketua dewan pendidikan nampaknya berharap betul saya bisa ke sekolah-sekolah.

Tapi ada yang menggelisahkan saya. Pak Pram asam uratnya kumat. Kakinya diseret ketika turun dari mobil, dengan wajah meringis menahan sakit. Semper. Walah. Ini pasti gara-gara makan mie goreng semalam. Mie dengan minyak yang klomoh, pakai kol. Meskipun sebenarnya pak Pram sudah menyisihkan kol-nya supaya tidak 'katut' termakan, tapi tentu saja tidak mungkin menyisihkan minyaknya. Wah wah wah....bisa diprotes aku sama istrinya....

Wassalam,
LN

Selasa, 15 November 2011

Sumba (2): Ketemu Bupati, Misi Sukses

Pukul 7.30. Kami sudah di lobi, menunggu pak Minggus menjemput kami. Tujuan pertama pagi ini adalah ke kantor kabupaten. Saya akan mengantarkan surat dari rektor Unesa, surat pemberitahuan tentang program SM-3T dan menjajagi kerja sama dalam bentuk penandatanganan MoU. Tapi tentu saja, saya tidak bermaksud sekadar
mengantarkan, saya akan meminta langsung bertemu dengan Bupati. Sudah kuniatkan untuk bisa bertemu, tanggung, jarak sudah kutempuh sejauh ini, terlalu banyak sumberdaya yang dikorbankan kalau hanya sekedar mengantar surat.

Kantor kabupaten Sumba Timur sangat sederhana. Jauh lebih sederhana dibanding dengan kantor-kantor pemerintahan di daerah kabupaten di Pulau Jawa. Tidak ada kesan 'untouchable' seperti kantor-kantor kabupaten yang sering kulihat, dengan halaman luas dan berpagar, dengan satpam berjaga di pintu masuk.

Beberapa pegawai sedang berbincang-bincang di dekat pintu masuk kantor yang tampak dari luar masih sepi, namun ternyata di dalam ruangan sudah ramai. Kami melihat ada salah seorang pejabat yang mengenakan pakaian adat (katanya namanya malambung), kain khas Sumba yang dililitkan di bagian bawah sebagai pengganti celana
panjang, dengan ujung kain yang menjuntai ke bawah. Di pinggang mereka terselip golok. Kepala mengenakan kain yang sama, yang diikatkan, tidak menutup seluruh bagian kepala.

Setelah bertemu dengan sekretaris pribadi bapak bupati di lantai 2, kami dijanjikan bisa ketemu bupati pada sekitar pukul 11.00. Pagi ini, mulai pukul 09.00, akan ada acara pembukaan sidang DPR. Termasuk juga kepala dinas PPO, juga akan mengikuti acara. Maka meluncurlah kami ke kantor dinas PPO, supaya bisa bertemu dengan Kadis sebelum beliau mengikuti acara pembukaan sidang.

Beruntunglah kami. Pak Kadis sudah hadir, dan kami disilakan petugas untuk langsung menemui beliau. Masuklah kami ke ruangan kadis. Ruangan itu tidak terlalu luas, ber-AC, tapi penuh asap rokok. Aku langsung berasa pengap. Ruangan ber-AC yang penuh dengan asap rokok. Berapa banyak racun yang telah dihisap oleh sekretaris pak kadis yang cantik itu, dan beberapa staf di ruangan itu, mengingat mereka mungkin sudah bertahun-tahun di ruangan tersebut, dengan status sebagai perokok pasif.

Pak Kadis, posturnya tinggi besar, berkulit hitam, bermata tajam. Ramah. Beliau mengenakan busana adat juga, seperti yang kami lihat di kantor kabupaten tadi. Yang beliau ucapkan pertama kali adalah permohonan maaf karena kemarin tidak bisa menemui kami. Kemudian beliau meminta kami menjelaskan program SM-3T dan
bagaimana pelaksanaan seleksinya nanti. Saya kemukakan kronologis program tersebut, program dikti yang diluncurkan di penghujung tahun, dan betapa kami semua 'kepontal-pontal' untuk melaksanakannya. Saya kemukakan juga harapan peserta dari Sumba Timur yang ingin tes diadakan di Sumba Timur. Konsekuensi dari hal itu adalah Unesa harus mengirim petugas ke Sumba Timur. Dan itu berarti pemerintah kabupaten harus mengalokasikan sejumlah dana untuk transport, akomodasi, dan lumpsum.

Pembicaraan dengan pak Kadis terputus karena beliau harus segera ke kantor kabupaten untuk mengikuti acara pembukaan sidang DPR. Kami berjanji akan bertemu lagi jam 11 di ruang bapak bupati. Dinas tidak punya anggaran untuk memfasilitasi tes di Sumba Timur, dan akan mengajukan anggarannya ke bupati. Kebeneran, karena saya juga akan menyampaikan rencana MoU dengan bapak bupati.

Sejak pukul setengah sebelas, saya dan pak Pram sudah duduk di ruang tunggu kantor kabupaten di lantai 2. Sekitar pukul 12, pak bupati muncul. Lengkap dengan busana adatnya. Beliau menyapa kami, dan menyilakan kami untuk masuk ke ruangannya yang cukup luas. Lantas berbincanglah kami tentang program SM-3T. Saya katakan bahwa pimpinan Unesa memberikan prioritas untuk Sumba Timur. Oleh sebab itu, saya ditugaskan khusus ke Sumba Timur untuk keperluan mendiskusikan program tersebut.

Pak bupati bersedia mengupayakan dana untuk memfasilitasi tes bisa dilakukan di Sumba Timur. Beliau juga berkenan untuk menjalin kerja sama dengan Unesa dalam bentuk penandatanganan MoU. Alhamdulilah, misi berhasil.

Sebelum pamit, kami meminta izin untuk berfoto bersama. Bukan sekadar karena beliau adalah bupati dan kepala dinas PPO, orang-orang penting di Sumba Timur. Lebih dari itu, karena busana adat beliau yang unik. Sayang kalau dilewatkan. Jarang melihat orang berdasi dengan dasi menjuntai di bawah pusar....


Wassalam,
LN

Senin, 14 November 2011

Sumba (1): Inilah Waingapu

Inilah 0 km Kota Waingapu, Ibu Kota Sumba Timur.

Batavia, berangkat 8.30 dari Juanda. Cuaca cerah sekali. Semoga perjalanan lancar.

Landing di Ngurah Rai, pukul 10.15 waktu Denpasar. Cuaca tetap cerah. Menunggu 20 menit untuk terbang lagi menuju Kupang. Duduk manis di dalam pesawat yang sedang diisi bahan bakarnya.

Pukul 12.45. Landing di El Tari Kupang. Terlambat sekitar 10-15 menit, karena ketika mau take off di Ngurah Rai tadi, ngantre agak lama disebabkan lalu lintas padat. Langit agak mendung. Sejuk di dalam pesawat. Penumpang ada yang saling berbincang, tetap duduk di kursinya, atau memanfaatkan waktu untuk berdiri supaya tidak terlalu lama duduk. Anak-anak berpindah dari satu kursi ke kursi lain, karena penumpang yang naik dari Kupang belum masuk, jadi banyak kursi kosong. Dua puluh menit lagi terbang menuju Waingapu.

Pukul 13.50. Landing di Umbu Mehang Kunda airport. Inilah Waingapu, ibukota  Sumba Timur, kota tujuan pertama kami. Panas menyengat menyambut kami. Status di layar BB saya tertulis SOS. Tidak ada sinyal untuk Axis. Hanya Simpati dan AS. IM3 kadang bisa, kadang tidak, sering tidak bisa.

Kami, saya dan pak Pramukantoro, dosen dari Teknik Listrik, disambut oleh pak Minggus, driver dari Kantor Dinas PPO (Pendidikan, Pemuda dan Olahraga). Dia mengendarai mobil kijang biru plat merah, dan membawa kami keluar dari ruang pengambilan bagasi yang pengap dan penuh asap rokok, dengan satu-satunya toilet yang kurang layak untuk toilet bandara.

Saya minta pak Minggus untuk mampir ke rumah makan. Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu lapar, tapi saya harus bertanggung jawab pada teman yang bersama saya. Istri pak Pram sudah wanti-wanti supaya saya take care betul suaminya. Harus dijaga makannya. Dia alergi hampir semua jenis makanan kecuali nasi putih dan garam. Tapi siang ini dia hampir saja pilih menu iga bakar, namun segera beralih minta soto ayam setelah memastikan kuahnya tidak kental, tanpa kol dan tauge, dan setelah kuingatkan kalau iga bakar galak utk asam urat.

Siang ini kami berbagi tugas. Saya akan berkoordinasi dengan dinas PPO utk program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Tertinggal, Terluar (SM-3T). Dinas PPO telah mengundang sekitar 50 calon peserta yang sudah mendaftar dan lulus seleksi administrasi, pada pukul 17.00 waktu Waingapu. Mereka ingin mendengar penjelasan langsung dari saya sebagai koordinator SM-3T Unesa, mengenai apa itu SM-3T, seleksi akademiknya, kegiatan prokondisinya, penugasannya, dan tentu saja beasiswa serta tindak lanjutnya setelah program selesai. Saya juga akan menjajagi kemungkinan tes akademik bisa diselenggarakan di Sumba Timur, mengingat kondisi keuangan peserta yang sebagian besar memprihatinkan, serta sebaran lokasi mereka yang jauh dari kota (rata-rata 2-3 jam dari kota, bahkan
lebih). Saya juga akan menjajagi kerja sama dengan Bupati dalam bentuk MoU, serta mencari narasumber untuk pembekalan peserta nanti. Narasumber dari daerah ini akan memberikan pelatihan keterampilan sosial dan memberikan gambaran kondisi wilayah tempat peserta ditugaskan nanti.

Sementara tugas pak Pram adalah mengumpulkan data untuk penyusunan naskah akademik strategi peningkatan kemitraan antara komite sekolah, DU/DI dan SMK. Respondennya adalah kepala sekolah, komite, guru, DU/DI, orang tua, dewan pendidikan, dan dinas PPO. Ini merupakan pekerjaan lain (dari Direktorat Dikmen), yang kebetulan juga saya sebagai koordinatornya.

Mobil memasuki kantor dinas yang sepi. Di tempat pertemuan baru ada 3 orang. Seorang guru, dan 2 orang peserta SM-3T, yang datang dari jarak 120-an km jauhnya. Tidak ada seorang pun petugas dari dinas. Awalnya aku pesimis misi kami akan berjalan lancar. Namun tak berapa lama ternyata satu per satu mereka berdatangan. Juga kepala sekolah, guru, komite sekolah, DU/DI, yang akan menjadi
responden kami. Mereka sebenarnya sudah ada dari tadi, tetapi mengisi waktu dgn beristirahat di
sekitar kantor dinas.

Sambil menunggu calon peserta SM-3T lengkap, saya dan pak Pram mulai melakukan kegiatan pengumpulan data. Kesabaran mereka menunggu kami, ketekunan mereka mengisi instrumen, dan kesantunan mereka, membanggakan kami. Mereka datang dari Pahunga, sekitar 100-an km; dan datang dari Lewa, sekitar 60 km dari Waingapu. Serta dari berbagai pelosok lain di Sumba Barat.

Pengisian angket diteruskan dengan FGD. Pak Pram terpaksa memandu sendiri karena saya harus segera berpindah ke ruangan lain. Di ruang pertemuan itu sudah menunggu 50-an anak muda Sumba Timur. Kulit mereka kebanyakan sawo matang, alis tebal, bola mata hitam tajam. Manis-manis. Sebagian dari mereka telah menunggu kami dari pagi, karena harus menyesuaikan dengan jadwal angkutan umum, atau bus kayu (yaitu truk yang ditutup dengan seng), yang membawa mereka dari semua penjuru di Sumba Timur ke kota Waingapu.

Mereka adalah calon peserta program SM-3T. Pemuda-pemudi yang akan dikirimkan ke wilayah pelosok Sumba Timur dan Papua, membantu membangun percepatan pendidikan, menjadi agent of change. Tugas mereka yang utama adalah mengajar di sekolah-sekolah miskin, membantu memecahkan berbagai persoalan pendidikan dan juga sosial kemasyarakatan. Mereka akan dibekali dengan keterampilan mengajar di kelas rangkap, serta mengajar multi-bidang, karena bisa jadi, mereka akan bertugas di sekolah di mana gurunya sangat minim, atau bahkan merekalah satu-satunya guru di sekolah itu. Mereka juga akan dibekali dengan keterampilan ketahanmalangan (survival), serta kepramukaan. Selama 12 hari, pembekalan tersebut akan diberikan, termasuk juga pelatihan menyusun perangkat pembelajaran.

Namun semua pelatihan itu baru dapat mereka ikuti bila mereka lulus tes. Tes yang meliputi TPA, akademik, Bakat Minat Keguruan, baru akan dilaksanakan 18-19 November 20122. Problem yang muncul di lapangan adalah di manakah tes itu dilaksanakan? Mereka semua berharap tes bisa dilaksanakan di Sumba Timur. Kendala jarak, waktu, uang, adalah hal-hal yang mereka kemukakan. Melihat kondisi mereka, saya tidak tega membayangkan mereka harus berangkat tes ke Unesa, apalagi kalau harus pulang karena tidak lulus. Sedih rasanya.

Maka misi saya di sini adalah juga mengupayakan supaya tes dapat dilakukan di Waingapu. Saya sudah mengantongi surat tugas dari Rektor untuk berkoordinasi dengan Kadis dan Bupati. Besok pagi, saya pastikan akan menemui beliau berdua.

LN
Waingapu, 14 November 2011

Jumat, 02 September 2011

Ke Pantai

Pagi tadi, kami sekeluarga bersama keponakan-keponakan, kakak ipar dan adik perempuanku dengan suaminya, pergi ke pantai. Pantai itu letaknya sekitar 3 km dari rumah kami, berada beberapa puluh meter sebelah barat terminal  (rumah kami sekitar 9 km di sebelah barat kota). Pantainya bersih, pasirnya putih kecokelatan, lembut, dan banyak pohon cemara yang rendah dan rindang untuk kami berteduh.


Kami berangkat sekitar pukul 07.00. Mobil kami penuh. Di jok belakang, ada 5 anak 'kruntelan'. Di jok tengah, ada 2 anak kecil dan 3 orang dewasa. Di depan, aku dan suamiku. Bekal kami memenuhi bagasi. Serabi, nasi uduk, berbagai makanan kecil termasuk aneka biskuit dan pastry (dari bongkaran parcel-parcel untuk suami), dan tentu saja, permen dan minuman. Juga baju-baju untuk ganti setelah main di pantai.

Cerita tentang serabi dan nasi uduk dulu. Sehabis shubuh tadi, aku dan mas Ayik, suamiku, bersepeda ke Merakurak, 5 km dari tempat kami di desa Jenu. Niatnya berolah raga sambil berburu serabi dan nasi uduk. Pagi masih gelap. Kami bersepeda dengan lampu sepeda menyala, menyusuri jalan datar yang mulus, dengan hamparan sawah dan kebun jagung yang samar-samar bisa kami lihat di sepanjang kanan-kiri jalan. Udara dingin. Sejuk sekali. Lima km kami tempuh sekitar 20 menit. Penjual serabi masih siap-siap 'bukak dasar', tapi sudah ada yang ngantre 2 orang. Kami pesan 20 biji atau 10 'tangkep'. Dari bakul serabi bergeser beberapa meter ke bakul uduk. Wuih..., yang ngantre sudah hampir sepuluh orang, beberapa bahkan sudah ada yang 'ngandok' (ya, meskipun masih repet-rapet, mereka sudah sarapan). Kami pesan 20 bungkus.

Mas Ayik sabar menunggu di belakang bakul Serabeh.
Serabinya terbuat dari tepung beras, kelapa parut, dan garam, dimatangkan dengan cara dipanggang dengan wajan tanah liat  kecil, di atas 'pawonan' dari tanah liat, berbahan bakar kayu dan sekam. Rasanya khas, gurih, lembut, dengan kuah santannya yang juga gurih. Harganya seribu setangkep (2 biji). Sedang nasi uduknya, berkuah sayur lodeh kecambah dan kobis (ini memang khasnya),  mie, dan 2 buah tempe gimbal. Harganya dua ribu. Menu sesederhana itu, selalu kami cari setiap pulang kampung. Ngangeni. Makanan kami sejak kanak-kanak. Setelah dapat serabi dan nasi uduk, kami mengayuh sepeda kembali ke arah pulang. Seperti tadi, waktu tempuh sekitar 20 menit. Sampai di rumah, keponakan-keponakan sudah bangun dan bersiap-siap pergi ke pantai.

Nah, serabi dan nasi uduk itulah yang sebagian kami bawa utk bekal ke pantai. Sebagian kami tinggal di meja makan untuk persediaan ibu dan kakak-kakak yang di rumah.

Matahari bersinar hangat ketika kami tiba di pantai. Pengunjung sudah cukup banyak. Mas Ayik memarkir mobil agak menjauh dari keramaian, supaya kami lebih leluasa bermain di pantai. Kami menghambur keluar begitu pintu mobil dibuka. Anak-anak kecil  langsung berlarian ke arah laut. Kami yang tua-tua juga tak mau kalah. Menceburkan diri, sengaja berbasah-basah, menantang ombak yang datang bergulung-gulung kecil, bebas lepas.... 

Aku membuat acara lomba lari. Dari satu titik ke titik tertentu. Semua anak kecil ikut, aku juga, adikku yang jadi juri. Karena larinya di air, lari kami tidak bisa kencang, kecipak-kecipok.....apalagi kalau ombak datang, air 'muncrat-muncrat' sampai ke muka dan bahkan ada yang tertelan...wih, asin buwanget. Tiga empat kali putaran, aku nggak pernah menang, pura-pura, memberi peluang pada manusia-manusia mungil itu utk menjadi juara. 

Puas berlarian, kami main tanah. Bikin sumur-sumuran, rumah-rumahan, dan gunung-gunungan. Badan kami kotor semua. Bau kami amis kayak laut (ya lah, masak kayak duren, he he). Tapi kami bersuka ria. Pindah dari satu titik ke titik lain, membuat gunung-gunungan, sumur-sumuran, di beberapa tempat. Bertepuk tangan dan berteriak-teriak kalau ada ombak datang mengempasnya. Waahhh....senangnya, semua beban seolah terlepas, lupa pekerjaan, lupa hutang, juga lupa daratan (karena kami sedang ada di laut he he...).

Capek bermain, kami makan es krim (kok ya kebetulan ada penjual es krim yang lagi 'ider' di pantai). Makan nasi uduk, serabi, biskuit. Belum cukup, kami makan cilok (kok ya pas ada penjual cilok datang). Kayaknya perut nggak kenyang-kenyang juga, semua bekal yang kami bawa nyaris habis tandas.

Menjelang jam 9, kami mengakhiri wisata kami. Anak-anak berganti pakaian, tanpa mandi. Toh rumah kami dekat, sebentar lagi bisa mandi sepuasnya di rumah. Kami yang tua-tua, dengan pakaian 'kemel-kumel', membersihkan pasir-pasir yang nempel, biar tidak terlalu mengotori mobil. 

Dan pulanglah kami dengan bagasi penuh baju kotor, piring-piring dan sendok-sendok kotor, tapi hati riang gembira karena wisata pantai yang sangat berkesan.....

Nanti siang kami berencana berburu becek dan sate mentok sorwo yang direkomendasikan teman kami, mas Rohman, wartawan kuliner. Hmm, pasti sedap...

Wassalam,
LN

Kamis, 01 September 2011

Nasi Belut

Pagi ini kami sekeluarga mudik ke Tuban. Berangkat dari rumah sekitar jam 7. Sengaja tidak sarapan, niat sarapan di jalan. Sasarannya, kalau tidak nasi boranan, ya rumah makan Kaliotik di Lamongan.

Ternyata dua-duanya tidak ada, tutup libur lebaran. Anak tidur mendengkur di jok tengah. Semalaman dia tidak tidur, melekan sama teman-teman masa kecilnya. Jadi aman, tidak ada yang 'ngroweng' minta makan. Mobil terus melaju. Suami pegang setir sambil makan biskuit utk mengganjal perut. Saya juga.

Masuk kota Tuban sekitar pukul 9. Tujuan tempat makannya jelas. Belut. Langganan kami. Kalau pulang ke Tuban, hampir selalu mampir makan di warung Jangkar, di desa Pronggahan. Alhamdulilah, warung itu buka. Pembelinya full.
Kebek mencep.

Suami dan anak penggemar belut. Saya ikut-ikutan saja. Belutnya dimasak mirip bumbu bali, tapi rasanya puwanas, puwedes. Nasinya nasi jagung lembut, tapi nasi putih juga ada. Huwenak polll.... Kalau makan pasti gobyos.....ngoweh-ngoweh....

Wassalam,
LN

Sabtu, 06 Agustus 2011

Catatan Perjalanan Umroh (11) Tiba di Tanah Air

Date: Sat, 6 Aug 2011 14:54:32 

Alhamdulilah, baru saja landing di Juanda. Alhamdulilah, semua lancar. Alhamdulilah, tetap diberi kesehatan lahir dan batin.

"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji hanya tertuju kepada Allah yang tidak akan pernah mati dan sirna selamanya. Sesungguhnya kami bertahmid kepada-Mu, ya Allah, dengan ibadah umrah kami yang telah kami selesaikan dan dengan sunnah Nabi-Mu yang telah kami jalani".

Semoga umroh kami sekeluarga mabrur dan barokah.

Terimakasih atas doa teman2. Semoga doa, perhatian,  dan kebaikan teman2 dicatat sebagai amal baik dan diberikan balasan oleh Allah SWT. 

Selamat berpuasa. Allah SWT meridhoi ibadah kita.

Wassalam,
LN

Jumat, 05 Agustus 2011

Catatan Perjalanan Umroh (10) Thawaf Wada'

Jumat, 5 Agustus 2011. Kami akan melaksanakan thawaf wada' selepas sholat jumat. Ya, ketika matahari sedang terik-teriknya. Ba'da ashar, kami akan bertolak menuju Jeddah, dan terbang kembali ke Tanah Air, insyaallah dengan GA pada pukul 02.00 waktu Jeddah. Diperkirakan tiba di Bandara Juanda, pada Sabtu, 6 Agustus 2011, pukul 19.00 WIB.

Sehari sebelumnya, Kamis, 4 Agustus, kami berumroh, mengambil miqot di Ji'ronah. Perjalanan dari hotel ke Ji'ronah dimanfaatkan sekaligus untuk mengunjungi Jabal Tsur, Jabal Rahmah, Arofah, dan Mina. Berangkat dari masjid Ji'ronah menuju Masjidil Haram pada sekitar pukul 11.00. Menunggu beberapa saat untuk shalat dhuhur berjamaah, lantas bersiap melaksanakan thawaf.

Bayangkan, thawaf di bawah terik matahari yang sangat menyengat. Sekeliling ka'bah tidak terlalu penuh, meskipun tidak bisa dibilang sepi. Kami bisa memutari ka'bah dengan jarak agak dekat, sehingga waktu yang diperlukan bisa lebih cepat. Tapi betapa luar biasa panasnya, sekujur tubuh seperti terbakar.
Lantunan tasbih, dzikir, sholawat, doa-doa, terucap lirih. Tidak seperti biasanya. Semua orang menghemat energi, atau mungkin memang sudah kehabisan energi.

Subhanallah. Belum pernah aku merasakan panas menyengat seperti ini. Anakku, Arga, sudah tidak mampu berkata-kata apa pun kecuali bertasbih dalam hati. Hanya bibir keringnya saja yang bergerak-gerak. Wajahnya pucat pasi. Aku membisikkan bacaan tasbih, doa, dan sholawat di belakangnya. Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaaha illallahu allahu akbar, laa khaula wa laa kuwwata illaa billaahil 'aliyyil 'adziim, allaahumma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aali sayyidina muhammad... Pundak kanannya yang terbuka basah penuh dengan peluh. Bagaimana pun ini bukan ujian yang ringan untuk usia mudanya, tapi aku yakin, tasbih dan sholawat akan mampu menghembuskan semangat dan menguatkan hatinya.

Akhirnya thawaf itu selesai. Kami keluar dari putaran dengan tertib. Ustadz Agung dan mas Ayik melambaikan tangan kanannya sebagai tanda kami akan keluar dari barisan, dan meminta jamaah yang lain memberi kami jalan. Berbarislah kami kemudian di depan multazam, melakukan sholat sunnat ba'da thawaf. Menyungkurkan kepala di lantai yang panas menembus kulit itu. Menantang matahari. Antara peluh dan air mata berbaur. Percayakah kalian, dalam panas terik yang luar biasa menyengat itu, dengan wajah dan sekujur tubuh yang serasa terbakar, dengan tenggorokan kering kerontang sampai terasa sangat pahit, dan bibir pecah-pecah yang begitu perih; namun yang kami rasakan adalah kedamaian hati dan jiwa yang tiada tara? Allaahu akbar, terimalah rasa syukur kami, ya Allah, pada Engkau yang Maha Memberikan Kedamaian....

Dan siang ini, setelah shalat jumat dan diteruskan sholat jama' qoshor takdim ashar, kami melakukan thawaf. Mengulang perjalanan kemarin. Arga nampak sudah lebih siap. Kubilang padanya, "Dik, tidak cemberut seperti kemarin, ya?" Dia mengangguk pasti. "Sure I will, mam. Aku kemarin memang drop, kakiku suwakiit. Tapi sekarang insyaallah siap."

Kami tidak berpakaian ihrom, karena memang tidak sedang berumroh. Kami 'hanya' akan melakukan thawaf wada'. Ketika kaki-kaki ini menapaki lantai sekeliling ka'bah yang panas, dengan matahari bersinar garang di atas kepala, dan peluh-peluh bercucuran di sekujur tubuh, tasbih dan dzikir tetap kami lantunkan dengan sepenuh hati. Doa-doa tetap kami tunaikan sepenuh perasaan. Bahkan mungkin lebih khusyu' dan mendalam dibanding yang sudah-sudah. Karena hari ini kami akan berpisah dengan Baitullah, meninggalkan kota suci Makkah Al Mukarromah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Keluar dari Tanah Haram. Namun insyaallah, hati dan jiwa kami akan tetap tinggal. Dan suatu saat, tentu kami semua ingin kembali lagi ke sini, menapak jejak Rasulullah dan Nabi Ibrahim A.S. Insyaallah...

Ya Allah Yang Maha Besar, semoga kami termasuk orang-orang yang kembali, ahli taubat, ahli ibadah, ahli sujud, dan hanya kepada-Mu kami memuji.....

Amin Yaa Rabbal 'Aalamiin


Wassalam,
LN

Selasa, 02 Agustus 2011

Catatan Perjalanan (9) Tarawih di Masjidil Haram

Selasa, 2 Agustus 2011. 

Pukul 18.40. Kami berempat, aku, mas Ayik, Arga dan bu Wiwik (seorang teman dalam rombongan kami), sedang dalam perjalanan dari hotel menuju Masjidil Haram. Toko-toko di sepanjang jalan sudah mulai banyak yang tutup. Sebagaimana di Madinah, mereka hanya menutupi barang dagangan mereka dengan kain-kain, dan memadamkan atau mengurangi lampu-lampu penerangan. Jarang yang menutup toko dengan cara seperti di Tanah Air, yaitu menutup rapat pintu tarik atau pintu dorong, serta mengunci atau menggemboknya.

Di depan toko, di sepanjang jalan itu, tikar-tikar digelar. Berbagai makanan dihidangkan, yang selalu ada adalah kurma, dalam keadaan segar atau kering. Selebihnya roti Arab, hidangan dari ayam, daging, kentang, dan beberapa macam hidangan fast-food (misalnya kabab, shawarma, sandwich, dll), yang memang banyak dijual di sepanjang jalan tersebut. Berbagai minuman juga disiapkan, air putih (mungkin air zam-zam), dan berbagai juice, yang memang mudah didapatkan di toko-toko di sekitar Masjidil Haram. Orang-orang duduk bersila melingkari makanan-makanan tersebut, berkelompok-kelompok, ada yang berempat, berlima, ada yang dalam kelompok besar lebih dari 15 orang. Mereka semua menunggu adzan maghrib, duduk diam sambil berdoa, atau berbincang-bincang untuk mengisi waktu.

Di dalam tas kecil kami, ada bekal minuman, beberapa kurma, dan kue-kue kecil. Kami akan berbuka dan menunaikan sholat maghrib di Masjidil Haram. Beberapa meter sebelum mencapai halaman masjid, adzan berkumandang. Sontak, semua orang membatalkan puasanya. Ada yang langsung menyerbu takjil, yang disediakan di beberapa meja, berupa kurma, kue-kue, yang disiapkan di sudut jalan, di sebuah lahan kosong. Ada juga beberapa orang yang dengan sengaja membawa sekotak kurma, dan ditawar-tawarkan kepada siapa pun yang berlalu lalang di dekatnya. Sangat simpatik.

Kami menyantap bekal yang sudah kami siapkan. Setelah itu berpisah di tangga pintu satu, menuju tempat sholat masing-masing. Di tempat itu jugalah kami nanti akan bertemu selepas sholat maghrib, untuk kembali ke hotel, menikmati santapan buka puasa yang sudah disiapkan.

Setelah berbuka puasa, kami bergegas lagi kembali ke masjid. Orang telah berbondong-bondong berebut tempat, di dalam maupun di halaman masjid. Teriakan para asykar yang mengatur jamaah bersaut-sautan. Asykar-asykar itu akan mengusir siapa pun orang yang menggelar sajadahnya di luar tali pembatas. Bila ada yang nekad, asykar akan mengangkat sajadah dan barang-barang mereka, untuk memaksa mereka pindah tempat. Baru kalau dirasa sangat perlu, tali pembatas akan diulur untuk
memperluas tempat sholat.

Seperti tadi, kami berpisah di tangga pintu satu. Aku dan bu Wiwik memasuki tempat bersekat khusus jamaah perempuan. Di sebelah kananku, perempuan Turki, tinggi besar. Berkulit putih, cantik. Begitu juga barisan di depan kami. Tidak ada tempat kosong sejengkal pun. Syaf rapat. Meski begitu, orang-orang besar itu, umumnya berkulit hitam, berjubah hitam, akan menerobos shaf, berjalan di atas
sajadah, melangkahi orang-orang, kadang sambil memegang kepala orang yang dilangkahinya, memaksa-maksakan tubuh besarnya mengambil tempat di antara tubuh-tubuh yang sudah rapat.

Sekitar pukul 21.00. Adzan isya bergema, sholat demi sholat didirikan. Lantunan ayat-ayat suci dari imam, begitu menghanyutkan. Ayat-ayat yang panjang, yang sebagian besar kukenal namun tidak kupahami maknanya (dari kecil aku diajari mengaji oleh bapak ibuku, kadang-kadang oleh kakak-kakakku, dan ngajiku tidak akan ditambah kalau yang sudah diajarkan sebelumnya belum 'lanyah' dan bahkan setengah hafal. Oleh sebab itu aku mengenal hampir semua surat dalam Al Quran, meski sebagian besar tidak kupahami maknanya). Namun cara imam melafalkannya, terasa begitu penuh perasaan, kadang meninggi, melemah, menghiba, datar, beberapa kali bergetar.... lalu berhenti sejenak. Imam itu menangis. Lantas melanjutkan lantunannya dengan suara serak.

Aku teringat saat malam ramadhan seperti ini, ketika di Tanah Air, aku suka menyaksikan liputan tarawih dari Tanah Suci, di salah satu stasiun TV. Ketika imam menangis saat membaca ayat suci Al Quran, aku selalu ikut sesenggukan. Padahal aku tidak paham maknanya. Kadang-kadang kucoba untuk mencari-cari ayat-ayat yang dibacanya dengan membuka tafsir al Quran, tentu saja tidak semudah itu.

Dan saat ini, aku lalui beberapa rakaatku dengan menangis. Ka'bah ada beberapa puluh meter di depanku, tak nampak oleh mata karena terhalang pilar-pilar besar masjidil haram yang rapat. Namun aku bisa membayangkan di mana imam itu, dengan gamis putihnya, berjubah, dan bersurban hitam putih atau merah putih yang menghiasi kepalanya; sebagaimana yang sering kulihat di TV. Namun suaranya yang begitu dekat, kepasrahan dan keihlasan yang tercermin dari lantunannya, sedemikian mampu membawaku ke titik yang paling nadhir. Aku terisak. Airmata terus mengalir tanpa mampu kutahan. Begitu juga dengan orang-orang di sisi kanan-kiriku, di depanku, di belakangku. Lantunan ayat-ayat suci yang membahana, juga ketika doa qunut yang panjang itu dibacakan, merobek-robek qalbu, menyiramkan kesejukan dan kedamaian dalam rohani setiap orang.

Sholat berakhir sekitar pukul 23.15. Aku dan bu Wiwik bertemu dengan mas Ayik dan Arga di pintu 1. Mata mereka juga sembab. Tak terasa, lebih dari dua jam kami melakukan sholat jamaah ini. Benar-benar tak terasa. Waktu bagiku seperti berjalan begitu cepat. Ayat-ayat suci yang membuai kekhusyukan kami membuat kami seolah tidak ingin beranjak dari tempat kami sujud. Subhanallah....betapa
indahnya.

Alhamdulilah, ya Allah, telah Kau berikan kesempatan pada kami mereguk keindahan yang tak terkira ini...

Wassalam,
LN

Senin, 01 Agustus 2011

Catatan Perjalanan Umroh (8) Ke Mekkah

Senin, 1 Agustus 2011.

Hari ini, selepas shubuh di Nabawi, kami bertiga langsung pulang ke hotel. Tubuh lelah kami memerlukan istirahat, dan ada cukup waktu untuk sejenak menghimpun energi, sebelum kami melakukan perjalanan panjang menuju Makkah Al Mukarromah, setelah dhuhur nanti.

Aku bangun dari tidur pagi itu pada pukul 10. Mas Ayik kulihat sibuk dengan bagasi-bagasi kami. Orang itu memang sangat care pada urusan "packing-memacking". Meskipun kami sudah mencoba melakukan packing bagasi kami masing-masing, dia masih memastikan bahwa barang-barang kami sudah diatur sedemikian rupa dalam tas koper, barang-barang yang baru saja kami beli sudah dirapikan semua, dan barang mana yang diperlukan dalam perjalanan serta yang mungkin diperlukan, disiapkannya dengan
baik. Nampaknya itulah yang dilakukannya sejak pagi, dan sengaja membiarkan aku dan Arga pulas.

Arga masih pulas ketika aku memutuskan untuk bangun, mandi dan keramas. Aku juga berwudhu untuk menunaikan sholat dhuha. Perlu waktu beberapa menit untuk mengeringkan rambut. Sementara itu, Arga bangun dan langsung masuk ke kamar mandi, dan setelah dia selesai, abahnya menyusul. Mandi yang kami lakukan hari ini, adalah mandi wajib sebelum umroh.

Pukul 12.00, kami bertiga berangkat ke Nabawi. Adzan dhuhur berkumandang pukul 12.30. Rangkaian kegiatan mulai dari takhiyatul masjid dan ibadah-ibadah yang lain, termasuk sholat ghaib, selesai pukul 13.15-an. Kami bertiga bertemu di pintu 22, dan langsung pulang ke hotel, tanpa melakukan shopping atau window shopping seperti biasanya. Panas terik dan waktu yang terbatas untuk bersiap diri (mengemasi bagasi dan berganti busana dengan busana ihrom), membuat kami tidak berselera untuk berlama-lama di jalan, apalagi kami memang harus menghemat energy pada puasa pertama ini untuk melakukan perjalanan menuju Mekkah.

Jam 14.30-an, kami semua telah siap memasuki bus yang akan membawa kami. Semua berpakaian ihrom. Kami akan melakukan umroh wajib dengan mengambil miqot di Bir Ali atau Zulhulaifah. Saat bus mulai bergerak, Achmad, sang muthawif, memimpin membaca doa meninggalkan kota Madinah, diteruskan dengan membaca doa safar. Selamat tinggal Madinaturrosul. Ya Allah, limpahkanlah rahmad bagi junjungan kami Muhammad dan keluarganya...

Dari Nabawi ke Bir Ali hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 20 menit. Panas terik begitu menusuk-nusuk kulit. Tenggorokan kami kering, sampai pahit rasanya. Wajah terasa terbakar. Kami menuju tempat wudhu, lengkap dengan busana umroh penuh (hanya telapak tangan dan wajah yang terbuka untuk perempuan; untuk laki-laki, mengenakan dua helai kain putih). Ustadz kami selalu mengingatkan supaya kami tidak membuka aurat, lebih-lebih bila nanti setelah sholat sunat umroh dan membaca doa umroh. Berbagai hal seperti menggunting kuku, menutup kepala (bagi laki-laki), adalah beberapa larangan ketika kita sudah mengenakan pakaian ihrom dan berniat umroh.

Kami ber-16 orang kembali ke bus setelah ustadz Agung memimpin kami membaca doa dan niat umroh. Bacaan talbiyah diselingi sholawat terus-menerus kami lantunkan seiring dengan bergeraknya bus meninggalkan Bir Ali. Labbailka Allaahumma labbaik.... Hatiku bergetar melafalkannya. Ya Allah, kami datang memenuhi panggilan-Mu.....

Sambil terus bertalbiyah dan bersholawat, aku menikmati pemandangan di luar. Adalah padang pasir yang luas menghampar, gunung-gunung dan perbukitan gundul, sesekali diselingi dengan barisan pohon kurma dan bangunan-bangunan berbentuk kotak-kotak tanpa genteng, yang bercat senada dengan warna padang pasir di sekelilingnya. Selebihnya adalah tiang-tiang listrik yang berbaris di sepanjang jalan, dan pagar besi pembatas jalur jalan. Pemandangan yang sama seperti itu jugalah yang kulihat ketika perjalanan dari Jeddah menuju Madinah.

Bus meluncur dengan tenang di atas jalan yang mulus, lalu lintas yang tidak terlalu padat, dan kecepatan yang mungkin berkisar sedikit di bawah 100 km/jam. Kata Achmad, ada larangan bagi kendaraan besar untuk melaju di atas 100 km/jam. Dengan kondisi jalan yang relatif lengang, bus sebenarnya bisa melaju
dengan kecepatan yang lebih tinggi (seperti kebiasaan supir-supir bus di Tanah Air), namun itu tidak terjadi, mungkin karena kesadaran berlalu-lintas mereka yang cukup baik, atau karena mereka takut kena tilang polisi yang banyak berpatroli di sepanjang jalan.

Hampir semua penumpang di dalam bus tertidur, termasuk Achmad dan ustadz Agung. Aku sebenarnya berusaha memejamkan mata, namun tak juga tertidur. Yang kulakukan akhirnya menulis, bertalbiyah, bersholawat. Pada jarak sekitar 150 km sebelum kota Makkah, Achmad bangun dan meminta para penumpang untuk bersiap diri berbuka puasa dan menunaikan sholat maghrib. Bus berhenti di tempat peristirahatan, di sana ada beberapa kedai makanan dan minuman, serta masjid.

Masjid itu tidak terlalu besar, setidaknya bila dibandingkan dengan jumlah jamaah yang seharusnya bisa ditampung dengan cukup layak. Tempat wudhu, seperti kebanyakan tempat wudhu di tempat-tempat  peristirahatan di sepanjang jalan kota Madinah dan Makkah, kotor dan bau, mungkin itulah representasi dari berbagai kultur di seluruh dunia. Aku seringkali tidak habis pikir, bagaimana Makkah dan Madinah, kota muslim yang menjadi pusat ziarah dan ibadah umat muslim di seluruh dunia itu, tidak menunjukkan gambaran perilaku muslim yang seharusnya suka kebersihan, setidaknya di tempat-tempat yang digunakan untuk bersuci. Bukankah "annadhoofatu minal iimaan?"

Kami berbuka dengan nasi kotak, lauknya ayam bumbu dan oseng buncis. Sebuah pisang dan segelas air putih. Menu buka puasa yang sangat sederhana dibandingkan dengan bila kita berbuka puasa di rumah. Seperti biasa, separo porsi kuserahkan Arga untuk diselesaikannya.

Bus bergerak lagi. Talbiyah dan sholawat dikumandangkan lagi. Perut kenyang, tubuh lelah, mata mulai mengantuk. Talbiyah dan sholawat pun lambat-laun berhenti. Berganti dengan dengkuran tubuh-tubuh yang lelah.

Sekitar jam 23-an, kami dibangunkan oleh Achmad. Dia menyampaikan kalau kami sebentar lagi sampai di tujuan, yaitu hotel tempat kami menginap. Tetapi ternyata bus harus memutar, karena jalan yang seharusnya dilewati dipenuhi oleh jamaah yang pulang dari tarawih dari masjidil haram.

Sekitar pukul 24.00 kami tiba di depan hotel. Kami semua, termasuk ustadz Agung, kaget bukan kepalang. Hotel itu, lebih tepat disebut maktab, itu pun kondisinya jauh lebih baik maktab-maktab yang kami tempati ketika berhaji. Tidak ada lobi, lift kecil (hanya cukup utk 4 orang), dan kondisi kamar yang... Dengan kos-kosanku di Ketintang ketika kuliah dulu, yang sekamar untuk berempat, yang bayarnya waktu itu terhitung murah..., masih lebih baik kos-kosanku. Tapi stop bicara tentang hotel ini dulu... nanti dilanjutkan. Waktunya ke masjidil haram untuk thawaf, sai, dan tahalul....dan sempurnalah umroh kami. Semoga menjadi umroh yang diterima dan berkah. Amin.

Wassalam,
LN

Minggu, 31 Juli 2011

Catatan Perjalanan Umroh (7): Tarawih di Nabawi

Minggu, 31 Juli 2011.
Tidak seperti makan malam sebelumnya yang kami nikmati selepas sholat isya, malam ini, kami bersantap selepas maghrib. Ini adalah malam pertama tarawih, oleh sebab itu makan malam disediakan selepas sholat maghrib, supaya tidak terlalu malam waktu bersantap makan malamnya.

Di Madinah, adzan maghrib berkumandang pada 07.05. Sedangkan isya pada 09.05. Bisa dibayangkan bila kami bersantap malam setelah tarawih. Dengan 23 rakaat termasuk witir, dan bacaan surat-surat panjang dan lama, dilengkapi doa qunut yang juga puanjanggg, tarawih berakhir sekitar pukul 11.00, terlalu malam untuk makan malam.

Tadi pagi sampai siang menjelang dhuhur, kami berziarah ke masjid Quba. Sholat takhiyatul masjid dan dhuha. Kata Nabi, sholat 2 rakaat di masjid Quba pahalanya sama dengan umroh. Dari Quba diteruskan ke pasar kurma yang jaraknya tidak terlalu jauh, berburu bermacam-macam jenis kurma, cokelat, kacang-kacangan, dan lain-lain oleh-oleh khas Madinah. Setelah itu berkunjung ke masjid Kiblatain, dan terakhir ke gunung Uhud. Ketika perjalanan mau diteruskan ke jabal magnet dan percetakan Al Quran, dengan berbagai pertimbangan, terutama mengejar waktu sholat dhuhur berjamaah di Nabawi (karena jamaah yang mengambil program umroh sebulan harus mengejar arbain), maka kunjungan di kedua tempat tersebut dibatalkan. Disimpan dulu untuk kunjungan umroh yang akan datang, insyaallah....

Begitu padatnya acara sejak kami datang di Madinah sehari sebelumnya, membuat tubuh terasa pegal-pegal, mata bawaannya pingin tidur saja, dan tenggorokan terasa kering, lebih-lebih dengan suhu yang sangat tinggi. Menurut Achmad, muthawif yang mendampingi rombongan kami sejak dari Jeddah, suhu mendekati 50 derajat Celcius. Juli dan Agustus memang sedang panas-panasnya. Pantas saja kami serasa sauna di alam bebas bila keluar dari hotel atau dari masjid. Bahkan baju-baju yang kami pakai pun, serasa panas layaknya baju yang baru saja diseterika. Hampir semua barang yang kami pegang di toko-toko di sekeliling Nabawi dan di sepanjang jalan pulang pergi dari hotel, hangat atau bahkan panas. Air mineral yang kami beli pun, dalam botol 5 liter-an, menjadi air mineral yang hangat. Sinar matahari yang setiap kali menerpa wajah dan kulit kami, terasa begitu menyengat. Kalau ada dingin yang menusuk tulang, maka inilah panas yang juga menusuk sampai ke tulang sumsum.

Arga sudah mulai mimisan, karena panas tinggi di luar dan udara dingin AC di dalam ruangan sepanjang waktu. Anak itu, seperti yang tak pernah kubayangkan, tampak sangat menikmati dan menghayati setiap moment. Dengan rambut gondrongnya (sampai saat ini dia masih belum mau memotong rambutnya, katanya ada pekerjaan shooting utk film indie karya temannya, dan dia sudah telanjur menyanggupi untuk menjadi salah satu pemerannya, dengan rambut gondrongnya itu. Duh....), dia rajin pulang pergi ke masjid, melakukan berbagai sholat sunnat, termasuk qiyamul lail, dan berebut syafaat di rawdhah. Kata abahnya, dia bahkan menangis terisak-terisak ketika sholat dan berdoa di rawdhah....entah apa yang ada dalam benaknya. Saat kami bertanya apa yang dia munajatkan di rawdhah, jawabnya,
semuanya yang terbaik, untuk abah dan ibu, utk keluarga, untuk teman-temanku, untuk aku sendiri. Semuanya yang terbaik.....

Apa pun yang kami lakukan, muaranya adalah masjid Nabawi, sholat berjamaah, dgn imam masjid. Istirahat setelah makan siang misalnya, nyaris tidak bisa kami gunakan untuk tidur meskipun sangat ingin, karena sebelum adzan berkumandang, kita berusaha sudah berada di masjid. Menunaikan berbagai sholat sunnat, mengaji, sholat wajib berjamaah, sholat ghaib (yang selalu dilakukan setelah sholat wajib), dan dzikir. Seringkali sambil terkantuk-kantuk. Bila kami memasuki masjid waktunya terlalu pas dengan saat sholat, misalnya setelah adzan dikumandangkan, maka kami sdh berebut tempat, di dalam maupun di luar ruangan masjid. Berjejal-jejal, seringkali sampai tidak bisa sujud sempurna atau duduk sempurna. Kalau sudah seperti itu, yang namanya  etika dan sopan santun kadang-kadang ditanggalkan (tapi insyaallah bukan termasuk jamaah Indonesia), seperti berjalan seenaknya di depan orang yang lagi solat, melangkahi orang-orang yang lagi sujud, melangkahi Al Quran atau kitab-kitab lain yang di dalamnya tertulis Asma Allah dan Rasulullah, dan memaksakan diri menerobos shaf yang sebetulnya sudah sangat rapat-pat!

Meskipun dengan tubuh yang pegal-pegal, kami memastikan diri untuk menyediakan energi mengikuti sholat tarawih. Begitu selesai makan malam, kami bergegas ke masjid. Seperti yang sudah kami duga, jamaah membludak, baru di halaman masjid saja sudah penuh sesak. Aku berpisah di pintu 22, seperti biasa, dengan mas Ayik dan Arga, dan kami menuju tempat sholat masing-masing. Asykar yang biasanya hanya berjaga di ambang pintu masuk, kali ini bertambah tidak hanya di tempat itu, tetapi di depan teras masjid. Mereka meminta siapa pun untuk berbalik, tidak boleh masuk ke masjid, karena masjid sudah penuh sesak. Ketika aku berhasil mencapai ruang masjid, aku mundur teratur, menyadari bahwa aku tidak akan mendapatkan tempat di dalam ruangan, atau akan ketinggalan sholat berjamaah, mengingat adzan sudah berkumandang, dan tentu sebentar lagi akan dikumandangkan iqomah, sehingga tidak cukup waktu bagiku untuk mencari tempat sholat di dalam ruangan masjid. Aku beringsut di teras, bersama orang-orang berbadan besar-besar, berkulit putih, sebagian berkulit hitam, yang hanya menunggu asykar berhenti meneriaki kami untuk turun ke halaman masjid. Belajar dari pengalaman, akhirnya asykar-asykar itu akan membiarkan saja kami sholat di tempat itu, begitu sholat jamaah dimulai. Dalam keadaan seperti itu, alhamdulilah, aku masih bisa melakukan sholat takhiyatul masjid dan sunnat rowatib qobliyah.

Maka tarawihlah aku di teras masjid Nabawi yang tetap terasa kesejukannya meski penuh sesak. Rakaat demi rakaat aku lalui bersama orang-orang yang berbadan besar-besar itu. Surat-surat panjang yang dibaca imam, mengalun indah, kadangkala terdengar seperti suara dari tempat yang sangat jauh. Menggetarkan hati setiap jiwa yang menghayati lantunannya. Memang begitu Maha Luar Biasanya Allah, dan begitu kuatnya daya tarik Rasul-Nya. Apakah yang sebenarnya dicari oleh orang-orang ini, yang "tumplek bleg" dari seluruh penjuru dunia, kecuali ridho Allah dan syafaat Rasul-Nya? Subhanallaahh....aku merinding setiap kali memikirkan hal itu, dan melihat betapa setiap orang dari segala arah berbondong-bondong menuju ke satu titik: masjid Nabawi; semuanya seperti tergesa-gesa, seolah takut tidak kebagian ridho dan syafaat yang sebenarnya melimpah-ruah itu....

Tarawih dan witir akhirnya selesailah sudah. Aku langsung melakukan sujud syukur. Tubuhku lunglai, dan mataku terasa sangat berat. Meski ada sebotol air zam-zam yang senantiasa kusanding di sisi tempatku sholat, dan aku bisa meneguknya di antara waktu-waktu sholat, lelah fisik benar-benar kurasakan. Hanya karena keinginan kuat sajalah, yaitu melaksanakan sholat tarawih pertama di Nabawi ini, insyaallah aku, dan juga banyak orang, bisa melaluinya dengan baik.

Beberapa jam lagi waktu makan sahur. Setelah itu masih ada kesempatan berebut ridho dan syafaat melalui qiyamul lail, subuh, dan ibadah-ibadah lainnya. Besok, selepas dhuhur, rombongan kami akan bergerak meninggalakan Madinah, menuju Makkah Al Mukarromah...

Zulhulaifah, Baitullah, bukit shofa dan marwa, Tan'im, Ji'ronah, Hudaibiyah, multazam, Hijir Ismail, Maqom Ibrahim, masjidil harom.....semuanya, terbayang-bayang di benakku....
Di sinilah sejatinya inti dari ibadah umroh ini....

Semoga Allah SWT meridhoi...
Amin ya robbal alamin

Wassalam,
LN

Catatan Perjalanan Umroh (6): Rawdhah yang Agung

Tulisan ini sebenarnya sudah selesai kemarin. Tapi karena BB trouble, email minta divalidasi, tidak nemu wi-fi, maka saya minta tolong teman di Surabaya untuk melakukan validasi melalui laptop-nya. Syukur alhamdulilah, pagi ini, pukul 05.55, email sudah aktif lagi. Semoga lancar teyuuusss...

Selamat menikmati laporan dari Madinah Al Munawaroh...

Wassalam,
LN


RAWDHAH YANG AGUNG

Sabtu, 30 Juli 2011.
Akhirnya moment yang kutunggu-tunggu itu datang juga. Mengunjungi salah satu taman surga: rawdhah. Sabda Nabi, "Tempat di antara rumah dan mihrabku itu adalah salah satu dari taman surga". Rawdhah, salah satu tempat paling mustajabah untuk bermunajat. Tempat yang menjadi salah satu tujuan utama siapa pun muslim yang berziarah ke Madinah.

Nabila Travel Biro menyediakan seorang muthawifah untuk membimbing kami memasuki rawdhah. Namanya Rahma. Lagi-lagi, asli Madura. Komunitas Madura memang luar biasa berperan di jagad per-mutahawif-an ini. Hampir setiap kali kami bertemu dengan rombongan dari travel biro lain yang juga akan memasuki rawdhah, muthawifahnya adalah perempuan Madura. Tangkas-tangkas, berpengetahuan luas (setidaknya untuk menjelaskan segala sesuatu terkait dengan rawdhah), dan memiliki kemampuan guiding yang bagus. Juga sangat peduli. Selalu memastikan jumlah anggota jamaah yang dibawanya lengkap, memberi tempat jamaah yang sudah sepuh senantiasa ada di dekatnya agar dia bisa selalu menggandeng tangannya, dan mengingatkan kami supaya berjalan dengan tenang, duduk, membaca doa, dan saling menjaga satu dengan yang lain.

Pukul 22.30. Rahma, muthawifah itu, membimbing kami merangsek ke dalam masjid, setelah memastikan kami semua sudah berwudhu, dan semua hape berkamera yang sudah terlanjur dibawa, disimpan di dalam kaus kaki atau stocking masing-masing, supaya tidak menghambat perjalanan karena kena razia asykar yang semakin malam semakin galak. Pastikan kaki kanan dulu yang menapak ketika memasuki masjid, karena hal itu juga merupakan salah satu sunnah Rasul, begitu Rahma mengingatkan. Luar biasa. Bahkan hal 'kecil' seperti itu pun, dia peduli.

Rahma memimpin kami membaca doa sebelum memasuki masjid Nabawi. Lantas mempersilakan kami melakukan sholat sunnat takhiyatul masjid begitu kami tiba di zona aman di dalam masjid. Zona aman, karena bila kami masih belum memasuki zona tersebut setelah pukul 23.00, maka kesempatan untuk memasuki rawdhah tidak akan kami dapatkan malam ini, sebab pintu masuk akan ditutup tepat jam 23.00.

"Assalamualaikum, ya Rosulullaah. Assalamualikum ya Waliyyullah. Assalamualikum ya Habiballoh. Assalamualaikum ya Abu Bakar Assidiq. Assalamualaikum ya Umar bin Khattab. Assalamualaikum ya amirul mukminiin...."

Kunjungan ke rawdhah ini bukan yang pertama kali bagiku. Juga bagi sebagian besar anggota jamaah yang lain. Namun saat mengucapkan salam tersebut, hatiku bergetar, sama persis ketika pertama kali aku mengucapkan salam itu, dua tahun yang lalu. Seluruh sendi-sendi tubuhku seolah luruh. Dadaku bergemuruh menahan haru. Tak ayal, semua dari kami berurai air mata. Baru di dekat rawdhah. Belum di dalamnya. Namun jiwa-jiwa yang lelah dan haus ini sudah larut dalam kepasrahan yang mengharu biru. Bacaan doa sebelum memasuki rawdhah terdengar di antara isak tangis. Doa salam untuk Rosul, untuk Abu Bakar Assidiq, dan doa salam untuk Umar bin Khattab. "Sampaikan titipan salam untuk Rasul dan para sahabatnya di sini, dari siapa pun orang-orang yang telah titip pada ibu-ibu", kata Rahma.

Kusebut nama ibuku, bapakku, saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku, dan kusampaikan pada Rasulullah sholawat dan salam dari mereka semua. Kuucapkan kata-kata terindahku untuk Rasul tercinta. Dengan sepenuh hati dan sepenuh perasaan. Kubayangkan Al Amin itu sedang tersenyum bahagia di dalam rumahnya, di bawah naungan kubah hijau itu. Memandangi mesra umatnya yang sedang berlomba meraih syafaatnya. Yaa Rosul, yaa habiballaah, rengkuhlah kami semua dalam dekapanmu, selalu dalam dekapanmu, dalam iman, islam, dan ihsan, sampai akhir zaman....

Waktu begitu lambat berjalan. Sejak pukul setengah sebelas, sampai setengah dua belas, kami bersama ratusan jamaah yang lain, hanya beringsut sedikit demi sedikit. Rahma menjelaskan bahwa jamaah yang ada di sebelah kanan sekat, yang tak terlihat oleh kami, yang harus didahulukan untuk memasuki rawdhah. Urut sesuai antrean. Setiap muthawif memberikan instruksi pada jamaah yang ada dalam
tanggung jawabnya, dengan sangat baik, serta saling bahu membahu dengan muthawif yang lain. Mereka juga menjelaskan di mana letak makam Rasulullah, Abu Bakar Assidiq, Umar bin Khattab, dan rumah Fatima Azzahra. Juga pilar-pilar yang membatasi masjid Nabawi yang asli (karena yang sekarang sudah mengalami perluasan luar biasa).

Perlu kesabaran untuk bisa berhasil memasuki rawdhah. Tubuh yang sudah lelah dan mata yang sudah sangat mengantuk, karena sejak perjalanan dari Tanah Air kami sangat kurang istirahat, membuat waktu rasanya begitu lambat berjalan. Seorang ibu yang sudah sepuh, yang tangannya selalu kugamit, nyaris putus asa dan minta pulang. Saya menenangkannya supaya beliau bersabar. Inilah memang salah satu
ujian yang harus kita semua lalui, untuk bisa memasuki rawdhah yang kita idam-idamkan.

Akhirnya waktu itu pun tiba. Kami semua yang awalnya ada di sebelah kiri sekat, diinstruksikan oleh muthawif dan para asykar untuk bergeser ke sebelah kanan sekat. Kami bergerak dengan tertib, di bawah komando Rahma, yang ada di depan kami, sambil melambai-lambaikan tangannya supaya kami bisa selalu melihatnya. Rawdhah sudah tampak di depan mata. Puluhan orang bersimpuh, bersujud, bermunajat kepada Allah melalui Rasullullah. Asykar-asyakar berteriak-teriak meminta mereka keluar dari karpet hijau itu bila mereka terlalu lama bersimpuh untuk berdoa. "Sudah, ibu, sudah...." Begitu kata-kata yang selalu diucapkannya. Beberapa asykar sampai naik ke pilar-pilar untuk memastikan tidak ada jamaah yang berlama-lama bersimpuh dalam doa.

Kami melihat pemandangan itu dengan hati yang semakin bergetar. Sejengkal lagi, tinggal sejengkal lagi, kami juga akan melakukan hal yang sama. Oh, terasa begitu lamanya detik-detik yang kami nantikan itu tiba...

Rahma mengingatkan kami, untuk yang ke sekian kali, tentang apa-apa yang harus kami lakukan begitu kami mencapai rawdhah. Dia memastikan bahwa dalam bimbingannya, setiap orang akan dapat melakukan sholat minimal sunnat mutlak 2 rokaat, dan berdoa tapi dalam posisi sujud (karena asykar akan mengusir kita bila kita berdoa dalam posisi duduk), serta bila memungkinkan, kita juga akan dapat
melakukan dua rokaat sholat taubah.

Begitu tiba saatnya kami memasuki rawdhah, tangis pun pecah. Rahma dan muthawif lain menjaga kami dari 'serangan' jamaah lain, agar kami bisa sholat dengan khusyu'. Kami melafalkan takbirotul ihrom dalam tangis, ruku', sujud, semuanya kami lakukan dalam kekhusyu'an dan keihlasan yang dalam. Ketika tiba gilirannya kami bersujud untuk berdoa, sedu-sedan yang tertahan-tahan pun terdengar di antara doa-doa yang berhamburan. Inilah hal terindah yang selalu kuimpi-impikan. Berserah diri secara total kepada-Nya, Dzat Yang Maha Perkasa lagi Melindungi, di rawdhah. Menikmati ketakberdayaan kita sebagai manusia. Menyediakan jiwa-jiwa yang kosong, hati-hati yang kering, dan tubuh-tubuh yang lelah, kepada Dia Yang Maha Mengisi dan Menyirami. Yaa Rab-ku, mohon ampunilah semua dosa-dosaku, dosa bapak ibuku, dosa anak-anakku, dosa saudara-saudaraku, dosa sahabat-sahabatku. Allah yang Maha Memberi, terimalah rasa syukurku atas semua nikmat yang telah Kau beri, termasuk nikmat berada dalam rawdhah-Mu ini. Ya Allah yang Maha Mendengar, dengarkanlah doaku, doa bapak ibuku, doa saudaraku, doa anak-anakku, doa sahabat-sahabatku, dan kabukanlah, karena hanya Engkau yang Maha Mengabulkan atas segala doa....

Aku dan semua jamaah sepuas-puasnya bermunajat dalam sujud. Kami bahkan sempat sholat taubah dan sholat hajat, karena Rahma dibantu teman-temannya benar-benar menjaga kami, sampai semua dari kami merasa cukup. Dia menanyai kami satu per satu, apakah kami sudah selesai, dan bisa keluar dari rawdhah. Ketika kami sudah menyelesaikan munajat kami, Rahma mengumpulkan kami di satu sudut di pintu keluar rawdhah. Sisa-sisa isak tangis dan mata yang sembab menghiasi wajah-wajah kami, juga wajah Rahma, namun kelegaan dan kedamaian hati dan jiwa kami memancar dari wajah-wajah yang lelah ini.

Rahma kemudian meminta kami untuk melihat di sebelah kanan atas kami, sesuatu yang tertutup oleh sekat. Namun masih bisa kami lihat ujung mimbar di mana Rasulullah dahulu berkhutbah, serta kerucut di depannya yang merupakan ujung mihrab, tempat Rasulullah mengimami sholat-sholat bersama jamaahnya. Ya. Hanya pada bagian-bagian ujung itu sajalah yang bisa kami lihat, para jamaah perempuan. Tidak seperti para jamaah laki-laki, yang konon bisa melihat mihrab dan mimbar Rasulullah secara utuh. Meski begitu, kami semua sangat bersyukur karena telah diberi kesempatan menikmati kemuliaan ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 01.15 ketika kami keluar dari rawdhah dengan tertib. Lampu-lampu di dalam ruangan masjid sudah dipadamkan sebagian. Beberapa orang yang mungkin sedang beritikaf, tengah melakukan sholat dan berdoa. Rahma menanyakan pada kami, apakah kami tahu jalan pulang menuju hotel. Lantas kami berpisah di halaman masjid, setelah bersalaman, saling meminta maaf, dan saling mendoakan utk kebaikan kami semua.

Dini hari yang hangat. Hembusan angin yang ramah. Dan cahaya lampu-lampu di Madinah Al Munawaroh. Adalah saksi bisu atas tunainya munajat kami di rawdhah. Di langit, ribuan malaikat mengamini dan memohonkan doa untuk keselamatan dan kemuliaan kami, fiddunya wal akhirah.

Amin ya robbal alamiin...

Wassalam,
LN

Sabtu, 30 Juli 2011

Catatan Perjalanan Umroh (5): Tiba di Madinah

Sekitar pukul 10.00, bus kami memasuki Tanah Haram, tanah yang dimulyakan Allah SWT. Muthawif memimpin kami membaca doa memasuki kota Madinah. Selanjutnya kami bersholawat, mengucap salam kepada Nabiyullah Muhammad SAW.

Waktu yang tersedia bagi kami, ber-16 orang, yang mengambil program 9 hari, hanya pendek di sini, hanya sampai hari Senin. Selebihnya kami habiskan di Makkah, dan kembali lagi ke Jeddah sehari menjelang pulang ke Tanah Air. Karena begitu singkatnya waktu kami untuk berada di Madinah, muthawif memastikan kami akan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk beribadah, melakukan sholat wajib dan sunnat, membaca Al Quran, berdzikir, di Nabawi. Muthawif juga mengingatkan pahala sholat berjamaah di masjidil Nabawi, yakni 1000 kali dari sholat biasa. Bagi kami, bukan itung-itungan pahala itu yang terpenting, melainkan memperoleh keridhaan Allah karena keihlasan kami menjalaninya.

Begitu keluar dari bus, udara panas langsung menerpa kami. Menyengat. Kami menghambur memasuki lobi hotel yang berplavon rendah dan berudara sejuk karena AC. Tak berapa lama, kami mendapatkan kunci kamar. Kamar kami ada di lantai 1 nomer 12.

Hotel kami berjarak sekitar 150 m dari masjid Nabawi, di depan pintu utama, yang ada monumen jamnya. Dibanding ketika kami berhaji dua tahun yang lalu, jaraknya lebih jauh. Dulu jarak hotel kami dengan masjid Nabawi hanya 50 meter, dekat dengan sisi kiri belakang, pas dengan makam Nabi dan berseberangan dengan makam baqi.

Setelah membongkar bagasi, kami mandi, bersiap menuju Masjid Nabawi. Waktu seperti begitu cepat berjalan. Kami keluar dari kamar hotel pada pukul 11.30-an, tapi hotel sudah sepi. Hanya ada beberapa orang yang lagi minum. Ketika kami mau keluar dari lobi, kami berpapasan dengan ustadz Agung, ketua rombongan kami, pemilik KBIH Al Qudus. Beliau menunjukkan ke mana arah masjid Nabawi, dan mengatakan bahwa semua teman dari rombongan jamaah sudah berangkat ke Nabawi.

Keluar dari hotel, panas yang luar biasa langsung terasa. Wajahku sampai sakit karenanya. Panasnya lebih tinggi dibanding ketika kami datang tadi. Spontan kututup mukaku dengan jilbab. Kacamata hitam kupakai untuk mengurangi silau dari panas yang seolah memantul di sepanjang jalan. Membayangkan puasa dalam keadaan sepanas ini.... wow, pasti luar biasa.... nikmatnya.

Begitu memasuki pintu utama masjid Nabawi, aku dan suami spontan berujar. Subhanallaah, alhamdulilah, kami sampai di sini lagi.... Perasaan terharu melingkupi kami. Masjid Nabawi yang megah dan agung membentang di hadapan kami. Pilar-pilar besarnya seolah menyambut kedatangan kami. Atapnya yang tinggi dan indah menyapa kami dengan anggunnya. Jamaah yang tumpah ruah seolah saling berlomba untuk masuk dalam rengkuhannya, berebut berkah dan kemuliaannya. Kami bertiga
mematung, memandang sekeliling, menikmati sejenak suasana syahdu yang luar biasa itu, sebelum berpisah untuk menuju tempat sholat.

Karena kami tidak mungkin sholat di tempat yang sama, maka kami bersepakat untuk bertemu di pintu 22, pintu tempat kami masuk tadi, selepas sholat dhuhur. Aku langsung mengikuti arus jamaah perempuan, ke arah salah satu pintu masuk masjid. Begitu kulihat ada asykar-asykar yang menjaga tiap pintu masuk, aku langsung lesu. Ada hape di dalam tas passportku. Pasti aku tidak akan diizinkan masuk. Tapi tetap saja kucoba. Dan benar, begitu askar berkulit hitam menyentuh hape dalam tasku, dia langsung mempersilahkan aku untuk balik kanan sambil berujar "amanat, ibu, amanat...".

Aku tidak mau kehilangan kesempatan. Aku memang bisa saja menggelar sajadah di halaman masjid, seperti banyak orang yang juga memilih sholat di luar masjid. Tapi aku ingin solat di dalam masjid. Aku menelepon Arga, supaya dia kembali ke tempat di mana kami berpisah tadi. Untung jaraknya tidak terlalu jauh. "Hape ibu kamu bawa aja, ibu nggak bisa masuk ke dalam masjid kalau bawa hape", kataku di telepon. Maka bertemulah kami di pintu 22, dan hape kuserahkan pada Arga untuk dibawanya.

Dulu ketika berhaji, aku mengakali para askar perempuan itu dengan menyimpan hapeku di kantong baju, atau di bagian belakang jilbabku. Tapi kali ini, aku tidak mau melakukan hal itu lagi. Aku ingin ibadahku di Nabawi kali ini dengan cara yang bersih, tidak dengan cara mengibuli petugas. Toh aku juga tidak terlalu memerlukan hape itu ketika berada di dalam masjid.

Aku kembali menuju tempat khusus jamaah perempuan, melewati askar yang tadi memeriksa tasku. Tentu saja kali ini aku bisa melenggang masuk. Ruangan di dalam masjid masih cukup longgar, masih leluasa memilih tempat. Aku memilih di dekat orang-orang berwajah Asia, karena kupikir lebih familiar, serta dekat dengan pilar-pilar yang di sekelilingnya dipenuhi Al Quran. Dengan begitu aku tidak terlalu jauh bila memerlukannya.

Sebelum duduk, kutunaikan sholat takhiyatul masjid. Dhuhur masih 30 menit lagi, aku masih bisa melakukan sholat sunat mutlak, membaca Al Quran, dan berdzikir, sebelum sholat berjamaah. Terbayang bapak ibu, sanak-saudara, teman-temanku.... yang menitip doa untuk aku munajatkan di Tanah Haram. Mungkin di tempat di mana aku sedang sujud ini bukanlah tempat yang mustajabah untuk memanjatkan doa. Tapi begitulah. Jangankan di roudhoh, di multazam, di hijir ismail, atau di belakang
maqom ibrahim, bahkan di tempat-tempat yang mungkin tidak mustajabah sekali pun, aku selalu mengingat mereka semua. Menangis untuk mereka yang merindukan panggilan-Nya agar bisa datang di Tanah Suci, untuk kebaikan dan keselamatan mereka, keluarga mereka, anak cucu keturunan mereka. Ya Allah yang Maha Mengetahui, Yang Maha Mengabukan, Engkau mengetahui apa yang menjadi keinginan bapak ibu kami, saudara-saudara kami, sahabat-sahabat kami, maka kabulkanlah. Mudahkanlah mereka untuk menjadi tamu-Mu di Madinaturrasul, di Makkah Almukarromah, memasuki roudhoh-Mu, menyentuh ka'bah-Mu, bersholat di Hijir Ismailmu, dan bermunajat di multazam-Mu, serta bersujud di sudut mana pun di Arofah-Mu. Allah Yang Maha Memudahkan apa-apa yang sulit, Yang Maha Menjadikan apa-apa yang tidak mungkin, mudahkanlah, jadikanlah...

Aku tersungkur dalam sujudku. Berurai air mata. Menistakan diriku yang memang nista ini di hadapan-Nya. Begitu tak berartinya aku, ya Allah....di hadapan-Mu Yang Maha Agung. Allahu Akbar, Allah Yang Maha Besar....

Dan adzan dhuhur itu berkumandang. Begitu merdu di telingaku. Inilah suara yang kurindukan itu. Syahdu mendayu-dayu, menggetarkan segenap relung hati dan jiwa. Seperti ada ribuan malaikat berjajar di sela-sela shaf kami yang rapat, ikut mengamini setiap doa kami, dan bahkan mendoakan kami semua. Allah Yang Maha Memberi Keindahan, dan Rasul yang begitu dekat dalam jangkauan, bagilah
keindahan ini untuk setiap muslim di dunia ini, khusunya untuk bapak ibu kami, sanak saudara kami, sahabat-sahabat kami, semuanya, semuanya yang telah menitipkan doa-doanya pada kami....amin ya mujiibassaailiin....

Wassalam,
LN

Catatan Perjalanan Umroh (4): Perjalanan menuju Madinah

Jarak Jeddah ke Madinah lebih dari 400 km. Waktu tempuh sekitar 6 jam. Muthawwif yang mendampingi kami dalam bus, namanya Achmad Abdul Ghofar, asli Madura, mengucapkan selamat datang kepada kami. Ahlan wasahlan, marhaban....wes hewes hewes.... Menurutnya kami akan tiba di Madinah sekitar pukul 9 atau 10 pagi. Rencananya kami akan mampir untuk sholat shubuh dan makan pagi. Dhuhur nanti insyaallah sudah bisa sholat berjamaah di masjid Nabawi.

Baru berjalan sekitar 10 menit, bus berhenti untuk mengisi bahan bakar di POM. Petugasnya berseragam biru-biru, berkulit hitam, rambut ikal, matanya lebar dan tajam. Hidungnya....kok nggak nemu yang berhidung pesek ya.... semuanya mancung.... he he.

Baru berjalan sekitar 5 menit, bus kami berhenti di sebuah tempat, namanya Rohili, yaitu sebuah rumah makan lesehan ala Timur Tengah, yang di sampingnya ada mushola. Di mana-mana kotor, botol plastik air mineral, kertas-kertas, kresek-kresek, kotak-botol.... bo aboohh...

Kami tidak makan di rumah makan itu, melainkan makan nasi kotak yang dibagikan oleh abang-abang Madura. Kemasan kotaknya bagus dan sehat, pakai aluminium foil, bukan sterofom kayak di Indonesia. Di tutup kemasannya bertuliskan huruf arab dan latin. Bunyinya Java Grill Mr Sateis (kayaknya yang punya abang Madura juga nih). Porsinya besar: nasi, ayam bakar bumbu rujak, oseng tempe kacang tanah, sambel, lalap ketimun dan daun selada. Anakku saja sampai menggeleng ketika kutawari tambah nasi dan lauknya; berarti memang benar-benar besar porsinya.

Adzan shubuh menggema tepat setelah kami selesai makan. Kami langsung berkemas, menuju mushola, mengambil air wudhu, dan sholat. Meskipun masih shubuh, udara terasa panas sekali, di luar maupun di dalam mushola. Di dalam mushola ada kipas angin besar yang suaranya mirip helikopter, tapi tetap tak cukup mengatasi udara yang panas. Hal itu membuat kami tak ingin berlama-lama di dalam musholla, segera setelah sholat dan dzikir sebentar, kami menuju bus dan langsung masuk. AC bus yang terus dinyalakan membuat ruangan di dalam bus sangat suwejukk...

Tak berapa lama, setelah anggota jamaah lengkap, kami berangkat melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Muthawif kami menyarankan kami untuk tidur tapi tetap dengan hati yang berdzikir. Perjalanan masih cukup panjang. Sepanjang jalan hanya bentangan padang pasir dan lampu-lampu jalanan. Sesekali bus kami berpapasan dengan kendaraan-kendaraan lain. Mungkin ada rumput atau pohon-pohon kecil yang tumbuh di padang pasir sana, tapi pagi yang masih gelap mengaburkan pandangan.

Perut kenyang, udara sejuk, mata lelah. Apalagi yang lebih nikmat dari tidur?

Sampai jumpa di Madinaturrosul...

Wassalam,
LN

Catatan Perjalanan Umroh (3): Tiba di Jeddah

Sabtu, 30 Agustus 2011. Pukul 01.00 waktu Jeddah (pukul 05.00 WIB). Pesawat kami landing di King Abdul Aziz Airport. Mulus, nyaris tak terasa ketika roda pesawat GA Jumbo Jet itu menyentuh tanah. Kata suami, "kok gak kroso yo? Beda dengan pesawat kecil...."

Semalam ketika kami berada di pesawat, seperti biasa, aku mencuri start untuk tidur. Kebiasaanku ketika terbang adalah memanfaatkan waktu untuk tidur (hanya sesekali untuk baca), karena dengan cara begitu, bisa menghemat energi. Begitu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan, jaket kupakai, selimut kubuka, kututupkan ke sekujur tubuh, termasuk ke mukaku, untuk melawan dinginnya AC yang bikin kepala pusing (dasar orang udik). Waktu pramugari membagikan juice apel/jeruk, aku langsung meneguknya sampai habis, karena memang lagi haus-hausnya. Ketika tissue basah dibagikan, aku membuka mata sebentar, mengusap-usapkan tissue itu ke seluruh telapak tangan, kemudian merem lagi, menunggu makan malam dibagikan.

Makan malam yang terdiri dari dua pilihan, beef atau chicken, kami selesaikan dengan cepat dan tertib. Porsinya yang kecil membuatku tidak tega melahapnya, kusorongkan ke baki makan anakku. Dengan porsi segitu, dia tidak akan kenyang. Aku melahap russian salad dan separo dessert, apple truffle, separonya juga kusorongkan ke baki anakku. "Lho, lha ibu makan apa?" Tanya anakku. "Makan salad udah kenyang, soalnya saladnya kentang". Jawabku meyakinkannya.

Perjalanan malam tadi benar-benar membuatku kenyang tidur. Aku sengaja tidak melakukan apa pun kecuali berdzikir sambil merem sampai tertidur. Mas Ayik dan Arga berdiskusi tentang sepeda, helm, camping, kacamata, jam tangan.... berhenti sejenak ketika kuingatkan untuk dzikir dan baca sholawat, hanya sejenak, kemudian diskusi diteruskan lagi. Akhirnya kuputuskan aku berdzikir dan baca sholawat sendiri tapi kuniatkan untuk kami bertiga.

Dua jam sebelum landing, kami dibangunkan untuk menikmati mie atau nasi goreng. Mie kumakan habis, tapi roti dan mentega putihnya, lagi-lagi, menjadi jatah Arga. Ukurannya yang jumbo (seperti pesawat yang kami tumpangi), membuatnya mampu melahap tiga roti sekaligus (apalagi rotinya cil-kecil tak iye). Selepas makan, aku tidur lagi. Sebetulnya tidak terlalu ngantuk, tapi hembusan AC yang langsung menerpa mukaku, membuatku benar-benar tidak tahan untuk tidak menutupi wajahku dengan selimut. Dalam keadaan seperti itu, apalagi yang bisa dilakukan, kecuali bersholawat sampai tertidur.

Begitu masuk bandara King Abdul Aziz yang luas itu, kami langsung menyerbu toilet. Ampuunnn, antreannya, sampai tumpah keluar ruangan. Aku pikir, toilet ini tidak memadai jumlahnya. Cuma ada 3 kamar kecil, di dalam ruangan yang juga kecil, sehingga antrean tumpah di luar ruangan. Dan kotornya minta ampun, air "ngecembeng", tissue, pembalut, berserak di lantai. Duh. Sekoboi-koboinya aku, ternyata aku gak tega juga untuk buang hajat kecil di toilet itu. Aku mengurungkan niat, berharap nanti akan ada acara mampir pipis ketika perjalanan dengan bus menuju Madinah.

Kami semua kemudian digiring ke counter imigrasi yang antreannya sudah mengular. Berbaris dengan tertib. Menunggu pemeriksaan dokumen, untuk kemudian melanjutkan perjalanan selama sekitar 6 jam menuju Madinah, tempat Rosulullah bersemayam. Antrean panjang di depanku tak kunjung beringsut. Tapi kubah hijau dan roudhoh seperti menari-nar dalam bayanganku.

Ya Muhammad, kami datang, dengan sepenuh cinta, dan membawa salam untukmu dari bapak ibu kami, keluarga kami, sanak saudara kami, teman-teman kami....

Wassalam,
LN

Jumat, 29 Juli 2011

Catatan Perjalanan Umroh (2): Sholat Jamaah di Cengkareng

Waktu sholat maghrib tiba. Antrian di toilet, di tempat wudhu, di mushola mini ruang tunggu E6 itu, penuh sesak. Aku jadi ingat ketika 2 tahun lalu menunaikan ibadah haji. Antrean yang serupa terjadi di hampir semua toilet perempuan (nggak tahu apa seperti itu juga yang terjadi di toilet laki-laki), di Masjid Nabawi, di Masjidil Harom, lebih-lebih di Arofah. Panjaaaanggg dan laaamaaa...

Karena mushola yang ada terlalu mini, sementara kami semua mengejar waktu untuk sholat maghrib-isya jamak takdim sebelum boarding, maka jadilah ruang tunggu E6 itu, di beberapa sudutnya, disulap menjadi mushola dadakan. Lengkap dengan khotib dan imam dadakan juga. Suasananya mirip--sedikit mirip--di masjidil harom dan di masjid nabawi. Orang berdempet-dempet rapat menunaikan sholat, nyaris tidak ada tempat sisa di setiap shaf-nya. Sajadah digelar, ada yang dipakai sendiri, ada yang dipakai berdua, ada yang tanpa sajadah. Ada juga yg menggelar koran. Nah, yang sholat dengan separo sajadah dan yang tanpa sajadah ini yang aku ragu-ragu... bagaimana pun ini bukan musholla, tapi ruang tunggu, yang tidak terjaga kesuciannya. Sholatnya sah tidak ya? Hanya Allah Yang Maha Tahu, Maha Memaafkan, Maha Penuh Pengertian (khusnudhon@com). Untungnya aku selalu bawa sajadah tipis yang cukup lebar, oleh-oleh dari seorang teman dari Mekkah, dia pramugari haji, lulusan Unesa juga. Sajadah itulah yang kubawa ke mana-mana, cukup lebar tapi ringan, dan saat ini kugelar untuk sholat berjamaah.

Menunggu beberapa saat lagi. Perut sudah mulai terasa lapar. Waktu seperti berjalan lambat. Pinginnya segera masuk pesawat, terus makan...

 Cukup dulu, boarding time....

 Wassalam,
 LN

Catatan Perjalanan Umroh (1) Ngleset di Cengkareng

29 Juli. 15.00 WIB. Transit di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng. Insyaallah terbang ke Jeddah by GA pada 18.45. Semoga perjalanan lancar, tidak ada halangan apa pun. Diperkirakan tiba di Jeddah pada 15.00.

Aku, Mas Ayik, Arga dan semua jamaah yang lain--jamaah yang biro travelnya Nabila--dari KBIH Al-Quddus, dan KBIH yang lain, duduk-duduk di depan counter check-in penerbangan keluar negeri. Petugas dari Nabila sedang mengurus segala sesuatunya. Beberapa jemaah menunggu dibimbing ke tempat sholat, mereka belum sholat ashar. Aku kebetulan sudah sholat ashar jama' takdim di Juanda tadi.

Sambil membunuh waktu, beberapa dari kami membuka perbekalan, roti, cokelat, wafer, kletikan, minuman. Anakku Arga sudah minta jalan saja, katanya daripada nganggur. Tapi abahnya memintanya bersabar. Ya beginilah kalau pergi bersama rombongan. Harus sabar, toleran, tepo seliro. Ini belum seberapa. Ketika haji, kesabaran diperlukan berlipat-lipat.

Anakku yang termuda dalam rombongan kami. Di atasnya, ada mahasiswi ITB, semester terakhir, anak tunggal juga. Dia dengan bapak-ibunya, yang tahun lalu baru saja menunaikan ibadah haji.

Dalam rombongan kami, ada 22 orang. Sebagian ada yang mengambil 9 hari, sebagian 31 hari, dan sebagian lagi ada yang mengambil 35 hari. Dua kelompok yang kusebut terakhir, pulang setelah lebaran di Mekkah. Aku bilang ke anak dan suamiku, "Yuk, kapan-kapan kita berumroh di bulan Ramadhan sampai Idul Fitri..." Wah, kubayangkan betapa nikmatnya? Tapi jawaban suami, "Sebulan? Perusahaane mbah-e tah? Ijine rek, kakehan....".

Beberapa saat kemudian petugas travel meminta passport kami semua, dan tak berapa lama, dia mengembalikannya lagi, lengkap dengan boarding pass yang sudah dijepret di tiket kami, disatukan dengan passport. Beberapa orang masih sholat, dan karena aku sudah Sholat, maka aku bertugas menunggu tas-tas tenteng mereka. Tentu saja sambil menulis, duduk di atas trolly, dan sesekali melihat ke arah tumpukan tas-tas di depanku.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya kami digiring ke arah custome. Antrean panjang. Counter imigrasi yang lebih dari sepuluh itu penuh. Tiga orang ibu yang sudah sepuh, semua di atas 60 tahun, minta saya ada di depan mereka, katanya karena saya "sing enom". Saya minta mereka menyiapkan passport dll-nya, karena dokumen itulah yang akan diperiksa. Mereka bertanya, "Nak, nanti ditanya-tanya apa sama petugasnya?" Saya jawab, "Nggak ditanya, Bu, hanya diperiksa saja surat-surat kita, terus distempel, cetok-cetok....!"

Akhirnya kami lolos dari imigrasi. Masuk ke ruang tunggu E6. Anakku langsung tengok sana-sini, cari stop kontak, maksudnya mau nge-charge hape-nya. Akhirnya nemu di dekat kotak telepon, langsung aja tanpa ba-bi-bu, hape-nya langsung di-charge.

Pukul 17.10. Kalau tepat waktu, sebentar lagi boarding. Aku harus ke toilet dulu sebelum naik pesawat. Bukan untuk nge-charge. Tapi nge-tap. He he....

Moga perjalanan lancar.

Wassalam,
LN