Pages

Rabu, 17 April 2013

MBD (3): Berlayar ke Tepa

Pagi ini, pukul 07.15 WIT, kami bertujuh sudah naik angkot menuju pelabuhan Saumlaki. Kami akan berlayar menumpang kapal Pangrango menuju Tepa. Di Tepa ada Noval dan Risna. Tepa merupakan ibu kota kecamatan Pulau-Pulau Babar. Pulau Babar sendiri terdiri dari dua kecamatan, Kecamatan Pulau-Pulau Babar dan Babar Timur. Ibu kota Kecamatan Babar Timur adalah Letwurung. Mudho bertugas di Letwurung, bersama tiga teman lainnya. Sedangkan Nanda di Kecamatan Mdona Hyera, tepatnya di Sermata, desa Mahaleta. Mdona Hyera merupakan kecamatan yang terdiri dari dua pulau, Pulau Luang dan Sermata. Di Pulau Luang ada 5 peserta. Jarak tempuh dari Pulau Babar ke Pulau Sermata enam jam; dari Sermata ke Luang, dua jam. Semua ditempuh dengan kapal motor (kapar nelayan) atau kapal perintis (Maloli, Santika, Sabuk 34 dan Maumere). Jadwal kapal perintis tidak tentu. Dalam keadaan cuaca ekstrim, bahkan tidak ada kapal yang berlayar sampai berbulan-bulan karena kapal-kapal perintis pun tidak berani bersandar.

Itulah sebabnya untuk monev kali ini kami tidak berani sampai ke Mdona Hyera, meskipun sebenarnya kami sangat menginginkannya. Andaikata ada kapal perintis yang bisa kami tumpangi menuju ke sana, jadwal kembalinya tidak bisa dipastikan. Bisa-bisa kami tertahan sebulan dua bulan di Mdona Hyera. Tanpa sinyal. Terputus dengan dunia luar.

Mudho, Noval, Nanda dan Risna sudah bersama kami sejak kemarin. Menginap di penginapan yang sama. Menghabiskan waktu untuk berdialog dan curhat. Anak-anak manis itu  sengaja datang ke Saumlaki untuk menjemput kami. Berangkat dari Tepa dua hari yang lalu, menumpang kapal Maloli, sebuah kapal perintis.  Mengarungi laut selama sekitar 17 jam, bercampur jadi satu dengan barang dan binatang (kambing, babi, ayam dan anjing). Bahkan juga jenazah. Jenazah itu diangkut dari Lelang (ibu kota Kecamatan Mdona Hyera), menuju Pulau Dawelor, dan akan dimakamkan di sana.

Akhirnya kami sampai di Pelabuhan Saumlaki. Dari kejauhan, Pangrango nampak dikerubuti banyak calon penumpang dan pengantar. Saya, mas Heru dan Mudho, ke bagian loket pembelian tiket. Setelah bertanya ke petugas, seketika kami agak kecewa. Kamar habis, hanya ada tiket ekonomi. Ya sudah, apa boleh buat. Kemarin kami yakin saja kalau masih akan kebagian kamar sehingga tidak memesan tiket dari kemarin. Setelah kami membayar harga tiket dan menerima tiketnya, saya bergumam sendiri, 'sayang ya tidak kebagian tiket kamar.' Eh, ternyata gumaman saya didengar oleh seorang petugas yang lain, kelihatannya atasan dari petugas yang pertama. Perempuan itu bertanya: 'Ibu mau ambil kamar?' Langsung saya jawab 'ya.' 'Semuanya, untuk tujuh orang ini?' Saya mengangguk pasti. 'Baik, ibu tunggu sebentar ya.'

Setelah nego sana-sini termasuk nego harga, jadilah kami masuk ke dua kamar kelas dua. Nomer 3003 dan 3010. Meski ambil dua kamar, akhirnya kami 'ngumpul' saja di satu kamar. Ngobrol, melihat foto-foto aktivitas para peserta SM-3T, melihat video-video kehidupan masyarakat MBD, dan berdiskusi. Karena kami belum makan, kami juga pesan makanan di pantry yang hanya menyediakan satu-satunya menu: nasi ayam. Nasi putih, ayam goreng tepung, saus sachet, dan seiris mentimun. Kami sangat menikmatinya. Juga menikmati 'kelahapan' anak-anak kami makan ayam goreng yang sudah sejak enam bulan tidak ditemuinya. Begitu juga ketika saya mengeluarkan apel dan jeruk, mereka langsung melahapnya juga. Setiap suapan seperti begitu berarti. 

Selesai makan dan meneruskan diskusi, kami memutuskan untuk naik ke dek kapal. Mencari udara segar. Mas Rukin memilih tinggal di kamar, tidur, semalam dia tidak bisa tidur nyenyak. Kami menuju buritan, lantas menuju bagian depan. Menikmati samudra nan luas tak berbatas. Daratan yang nun jauh di sana membentuk bukit-bukit kecil berwarna kelabu. Langit yang teduh seperti payung raksasa yang siap menaungi ke mana pun kapal ini berlayar. Puluhan ikan terbang berkejaran di depan mata. Sungguh indah benar ciptaan Sang Maha Indah. 

Kami akan menempuh perjalanan ini selama sekitar sepuluh jam. Tadi kapal mulai bergerak meninggalkan Pelabuhan Saumlaki pada pukul 08.30. Saat ini pukul 11.30. Sekitar pukul 18.30 nanti kami akan merapat di Tepa.

Puas menghirup udara segar di dek dan di anjungan, kami turun. Di dek lantai tiga, kami dicegat oleh tiga orang bapak. Mereka memperkenalkan diri sebagai anggota DPR komisi B, sekda MBD, serta pejabat dari Dinas Perhubungan. Tadi ketika akan naik ke anjungan, kami memang lewat di depan mereka, dan nampaknya gerak-gerik kami menarik perhatian mereka. Kami akhirnya mengobrol dan mendiskusikan banyak hal di dek, tentang kondisi kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan berbagai kebijakan pemerintah yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat MBD. Sebagai kabupaten yang baru (sejak 2008), hasil pemekaran dari MTB (Maluku Tenggara Barat),  MBD memang masih sangat jauh dari maju, di semua bidang. Ibu kota kabupatennya saja, Tiakur, baru saja beroperasi sejak November 2012 yang lalu. Sebelumnya masih di Kisar sebagai ibu kota sementara, menunggu Tiakur siap. MBD memiliki puluhan pulau, enam pulau terluar berhadapan dengan negara lain. Tiga pulau, yaitu Marsela, Babar dan Mdona Hyera berhadapan dengan Australia; sedangkan Wetar, Kisar dan Leti berhadapan dengan Timor Leste.  

Ketiga pejabat itu menyambut sangat senang program SM-3T ini. Meski mereka yakin, program ini tidak akan maksimal tanpa kolaborasi lintas sektor. Infrastruktur jalan, komunikasi, sarana kesehatan, pendidikan, semua perlu dibangun. Ada bahaya mengintai yang begitu dekat bila semua sektor ini tidak segera mendapatkan perhatian yang cukup. Ancaman terhadap keutuhan NKRI. Uluran tangan dari negara-negara yang terdekat, sangat berpeluang mengancam rasa nasionalisme rakyat di daerah perbatasan yang haus akan sentuhan dan sapaan dari pemerintah pusat.

Kami sholat di mushola, di lantai paling atas. Mushola yang bersih, terawat dan wangi. Sujud dalam kondisi seperti diayun-ayun lembut karena goyangan kapal. Mas Rukin mengimami kami. Mushola tidak terlalu ramai, hanya ada kami dan dua orang yang lain. Mungkin waktu sholat berjamaah kelompok besar sudah usai. 

Selesai sholat, kami kembali ke kamar. Ngumpul lagi. Kamar yang satu dibiarkan kosong. Sambil menunggu waktu, kami belajar bahasa daerah Pulau Babar. Unik. Ini dia beberapa istilah dalam bahasa Pulau Babar.

Tas plastik : tas beribut
Sudah penuh: su pono
Sudah lembek: su lombo
Mereka: dong
Saya: beta, ose (pada anak yang lebih kecil atau kalau lagi marah), ale (pada teman sebaya).
Adik kecil: nara
Gadis: nona
Jejaka: nyong
Mas: bung (biasanya disingkat bu). Jadi Noval biasa dipanggil bu Noval.
Mbak atau kakak: usi
Kita: katong
Bohong: parlente
Punya: pung
Jangan: jang
Kambing: pipi
Jalan-jalan: ronda
Jelek: tar baik
Tidak: tar, seng
Saling: baku
Saling memeluk (baku polo)
Genit: cakadidi
Genit sekali: cakadidi mandidi
Sumur: perigi
Air putih: teh putih
Teh tawar: teh seng pake gula
Diulang-ulang: Taputer-tabalik
Wajah ngantuk: muka kering, muka seng ada judul, muka munafik
Kakek: tete
Nenek: nene
Tuhan: tete manis
Hantu: tete momo
Penyu: tete ruga
Cari gurita: balobe
Senar: tasi
Surut, kering: meti (laut su meti, artinya laut sudah surut)
Bia: kerang
Air laut: air garam
Belinjo: ganemo
Ketela: kasbi
Terimakasih: danke
Lombok: cili
Untuk: par
Air: gera
Kelapa: nora
Sendok: hnyora
Parang: weleh

Ada ungkapan lucu ciptaan anak-anak SM-3T sendiri: 'Seng makan mati, makan seng juga mati' (Tidak makan mati, makan seng juga mati).

Sekitar pukul 16, kami kembali menaiki dek. Cari angin lagi sambil melihat pulau yang sudah nampak. Pulau Marsela merupakan pulau terjauh, ada di sisi kiri kapal. Pulau Babar, seolah sudah begitu dekat, meski jarak tempuh masih sekitar dua jam lagi, ada di arah depan kiri kapal. Di bagian kanan kapal, berurutan: pulau Dawelor, Dawera, Dai,  dan Wetang.

Angin berhembus kencang di atas dek. Air laut, sejauh mata memandang, berwarna hitam, menunjukkan kalau kami sedang berlayar di laut dalam. Tak terasa sudah sekitar delapan jam kami berlayar. Sepanjang perjalanan, sinyal ponsel lebih banyak off daripada on. 

Dua jam lagi....
Dan laut yang hitam
Setia menggerakkan kapal
Membelah samudra 
Memercikkan buih-buih

Sedang matahari di ujung barat
Tak jua beradu
Seperti menunggu
Kapal bersandar
Di pelabuhan Tepa 
Yang sedang merindu.... 

MBD, 16 April 2013

Wassalam,
LN

4 komentar

evin

ibu trnyt kuat dlm menahan ombak oya ibu slm knl dr sy oya sy adalah guru honor mngjr pljrn bhs.inggris prnh mngjr di pulau dawelor dawera skrng sdh balik ke mksr rncn balik ke sn dlm thn 2014 bln april kl tdk ada hlngn

harcop 18 September 2015 pukul 13.30

Perjalanan yang menginspirasi.. Bagaimana saya bisa kontak Ibu? Saya dalam waktu dekat juga ada rencana ke Desa Lelang di MBD. Mohon pencerahannya bu.. ini email saya bu agusdh08@gmail.com
Maksih sharingnya

Unknown 28 Februari 2016 pukul 05.03

Cerpen menarik
baronda MBD

Jonathan Tamonob 27 Mei 2016 pukul 21.56

Senang membaca pengalaman yang unik ini. Sayangnya saya belum sempat mengerti misi perjalanan Ibu LN ke MBD apakah dalam perjalanan dinas ataukah hanya berwisata biasa. Selain itu saya juga kurang mengerti arti SM-3T?

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...